Jenis-Jenis Dongeng Dan Contoh Kisah (Fabel, Legenda, Mite, Sage)

Dongeng merupakan salah satu jenis karya sastra usang yang disebarluaskan dari ekspresi ke lisan. Beberapa jenis kisah, antara lain:
1. Fabel, adalah kisah berisi cerita dengan tokoh binatang yang bertingkah mirip manusia, contohnya Kancil dan Siput, Katak Hendak Jadi Lembu, dan sebagainya.
2. Legenda, ialah dongeng perihal asal mula terjadinya sebuah kawasan, contohnya Rawapening, Banyuwangi, Batu Belah Batu Betangkup, dan sebagainya.
3. Mite, ialah cerita ihwal makhluk halus atau yang kuasa-yang kuasa dan akrab kaitannya dengan dogma penduduk , contohnya Nyai Rara Kidul.
4. Sage, yaitu dongeng tentang kepahlawanan, contohnya Ramayana, Hang Tuah, dan sebagainya.
 
Contoh Dongeng 1
 
Grendi dan Pohon Pir yang Baik
Oleh: Hadi Pranoto
    Dahulu abad, ada seorang anak lelaki kecil yang suka bermain di bawah pohon pir besar. Anak itu bernama Grendi. Hampir saban hari, dia memanjat pohon pir dan naik sampai ke ujung batangnya. Lalu memakan buahnya dan tidur-tiduran di bawah pohon pir yang rindang. Grendi sangat sayang pada pohon pir itu. Demikian pula pohon pir, juga sangat sayang pada Grendi.
 merupakan salah satu jenis karya sastra lama yang disebarluaskan dari mulut ke mulut Jenis-Jenis Dongeng dan Contoh Dongeng (Fabel, Legenda, Mite, Sage)
    Waktu terus berlalu. Grendi sekarang kian besar. Ia tidak lagi bermain dengan pihon pir sahabatnya. Pohon pir itu sangat sedih. Namun, dengan setia pohon itu terus menunggu kedatangan Grendi. Sampai sebuah hari, dengan paras murung dan duka Grendi mengunjungi pohon pir itu lagi.
“Jangan duka. Ayo bermain bersamaku,” pinta pohon pir.
“Aku bukan anak kecil lagi. Sudah tidak layak lagi memanjat pohon,” jawab Grendi. “Aku ingin membeli mainan seperti punya teman-temanku, tetapi saya tidak punya uang untuk membelinya,” pohon pir ikut merasa duka. “Aku pun tak memiliki uang untuk membantumu. Tetapi kau boleh memetik semua buah pirku dan menjualnya ke pasar. Kau mampu berbelanja mainan dengan uang itu,” kata pohon pir.
    Grendi sungguh senang mendengarkannya. Ia segera memanjat pohon pir dan mulai memetiki buah-buahnya. Buah-buah pir itu dijualnya dan uangnya beliau belikan mainan.
Akan namun, sehabis mempunyai mainan, Grendi pun asyik bermain dengan sobat-temannya. Ia kembali lupa mendatangi pohon pir sahabatnya. Pohon pir itu kembali merasa sedih dan kesepian.
    Setelah bertahun-tahun, Grendi mulai remaja. Ia kembali mengunjungi pohon pir. Pohon pir itu sangat besar hati dikala melihat Grendi datang.
“Ayo bermain-main kembali bersamaku,” kata pohon pir itu.
“Aku tidak punya waktu” jawab Grendi. “Aku harus mengurus dan menghidupi keluargaku. Kami butuh rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?” tanya Grendi memohon.
“Oh…, sayang sekali saya pun tidak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan ranting-rantingku untuk membuat rumah untuk keluargamu,” jawab pohon pir.
    Dengan besar hati Grendi menebang semua dahan dan ranting pohon itu sampai pohon itu kelihatan botak. Meskipun begitu, pohon pir itu sungguh senang alasannya mampu membantu Grendi. Setelah itu, Grendi tidak pernah lagi mengunjungi pohon pir. Pohon pir itu kembali sedih dan kesepian.
    Pada sebuah isu terkini panas, kembali Grendi mengunjungi pohon pir. Pohon pir dengan sukacita menyambut kedatangan Grendi.
“Ayo bermain bersamaku,” pintanya.
“Aku sedih. Aku sudah renta. Aku ingin hidup tenang dan menikmati hidup,” jawab Grendi dengan lesu.
“Lalu…? Apa ada yang bisa aku bantu?” tanya pohon pir itu.
“Aku ingin bisa berlibur dan berlayar ke tempat lain. Maukah kamu memberi aku suatu kapal untuk berlayar?” tanya Grendi.
“Aduh …Maaf. Aku tidak mempunyai kapal untuk kuberikan padamu. Tapi kamu boleh memotong tubuhku dan memakainya untuk membuat kapal yang kau harapkan,” jawab pohon pir.
“Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah,” sambungnya lagi. Grendi lalu menebang batang pohon pir itu dan menciptakan kapal. Ia secepatnya pergi berlayar ke tempat yang diinginkannya dan tidak pernah mendatangi pohon pir itu lagi.
    Akhirnya setelah beberapa tahun, Grendi kembali mengunjungi pohon pir.
“Maaf Anakku,” kata pohon pir.
“Aku sudah tak punya apa-apa lagi untuk diberikan padamu.”
“Tidak apa-apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk menggigit buahmu,” jawab Grendi.
“Aku juga telah tak memiliki batang dan dahan lagi untuk kamu panjat,” kata pohon pir.
“Aku pun sudah terlalu lemah untuk memanjat pohon,” jawab Grendi.
“Aku benar-benar sudah tidak punya apa-apa lagi kini. Yang tersisa hanya tinggal akar-akarku yang sudah tua dan sekarat,” kata pohon pir itu sambil meneteskan air mata.
“Aku pun telah tidak membutuhkan apa-apa lagi dalam hidupku. Aku hanya memerlukan tempat beristirahat di era tuaku. Aku sungguh lelah setelah sekian usang meninggalkanmu,” jawab Grendi.
“Oohh…, cantik sekali. Tahukah Anakku, akar-akar pohon yang renta yaitu kawasan terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akarakarku dan beristirahatlah dengan damai.”
    Grendi pun beristirahat dan merebahkan tubuhnya di akar-akar pohon pir bau tanah itu. Pohon pir itu sangat bahagia sekali dan tersenyum sambil tiada hentinya menitikkan air mata. Pohon itu bagaikan orang tuanya yang bersedia memberikan apa pun yang mereka miliki untuk kebahagiaan anak-anaknya.

Sumber: Bobo, 17 Juni 2004

Contoh Dongeng 2
Rumah Cangkang dan Sayap Pelangi
Oleh: Laila Fitroh
    Di bawah pohon flamboyan yang sedang berbunga, berteduh seekor kurakura. Ia tampak duka. Air matanya menetes membasahi pipinya yang mungil dan putih. Ia tak sanggup mengusap air matanya alasannya keempat kakinya yang pendek tak kuasa menyentuh kepalanya.
“Kenapa kau menangis, Ra?” tanya seekor kupu-kupu yang kebetulan melintas. Sayap kupu-kupu itu sangat indah. Semua warna pelangi ada padanya. Dia umumdiundang Furi.
“Furi, aku bosan jadi kura-kura. Lihat jalanku semakin usang makin lambat alasannya adalah saya harus menggendong cangkang ini ke mana pun aku pergi. Huh! Berat sekali rasanya. Aku kecapekan. Andai aku kupu-kupu sepertimu pasti menyenangkan. Aku mampu melayang ke mana pun saya suka. Tubuhmu begitu ringan dan sayapmu begitu cantik. Hu…hu…hu…,” Rara menangis.
“Aku iri padamu Furi. Aku iri sekali. Hu-hu-hu,” Rara menangis lagi.
“O,jadi itu yang membuatmu menangis. Sekarang diamlah, Ra. Aku akan menghiburmu dengan tarian kupu-kupuku. Diam ya?” hibur Furi yang lalu mulai menari. Sayap-sayap indah pelanginya dikepak-kepakkan.
    Tubuh jingganya meliuk-liuk. Sejenak dia mengambang di udara, lalu menari berputar dan hinggap di kelopak mawar. Alangkah indahnya tarian Furi. Anehnya, tangis Rara makin kencang. Furi menjadi heran dan resah melihat tingkah Rara.
“Lho, dihibur, kok, malah keras nangisnya. Diamlah Rara! Bergembiralah. Tra-la-la! Mari menyanyi!”
“Hu…hu…hu menyaksikan tarianmu itu saya kian iri. Hu…hu…hu…andai aku kupu-kupu sepertimu, aku niscaya mampu menari sepertimu. Hu…hu…hu…”
“Dasar cengeng! Diamlah, Rara! Kamu kan telah besar! Apa kamu tidak aib merengek-rengek mirip itu? Sudah besar, kok, nangis. Harusnya kau malu!” Terdengar suatu bunyi. Furi dan Rara terkejut . Ia tidak menyaksikan siapasiapa selain mereka berdua, namun bunyi itu bukan bunyi Rara maupun Furi.
    Rara menengok ke kiri dan kanan. Tidak ada siapa-siapa. Rara memutar tubuh, menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa.
“Hei, perlihatkan dirimu, siapa kamu?” tanya Furi.
“Aku di sini Furi. Aku di atas cangkang Rara. Masak sih kamu tidak lihat?” ternyata ia seekor bunglon yang biasa diundang Pilon. Pantas beliau tidak kelihatan. Ia memang bisa mengganti warna kulit tubuhnya sesuai kawasan yang dihinggapi. Kini Furi bisa melihat keberadaan si Bunglon.
“Rara, aku kasih tau ya, semua makhluk di dunia ini mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing. Jadi, kamu jangan iri pada keunggulan yang dimiliki Furi. Lebih baik kamu mencari tahu apa kelebihanmu. Pasti ada,” kata Pilon.
“Pilon, kamu bisa bilang begittu alasannya adalah kau bukan kura-kura sepertiku. Coba bayangkan jika ke mana-mana kau mesti menyeret cangkang seberat ini. Kamu niscaya akan menderita sepertiku. Kamu niscaya akan menangis. Hu…hu…hu…!”
“Tapi kau juga mempunyai banyak keunggulan kan? Kamu mampu menyelam ke dalam air. Apa itu tidak menggembirakan? Kamu bisa melihat keindahan panorama di dalam air, sedangkan Furi atau aku hanya mampu melihat keindahan alam di darat saja!” Setelah berkata demikian, Pilon meloncat dari atas cangkang Rara menuju ke sebuah kerikil yang terletak persis di depan mata Rara. Sekujur tubuh Pilon serta merta berwarna hitam sehitam kerikil kali di depan Rara. Rara masih menangis tersedu-sedu. Hingga terdengarlah suara petir menggelegar. Bunyi petir itu mengalahkan suara tangis Rara. Langit mendung, gelap, matahari tertutup awan pekat. Lalu tampak cahaya kilat di angkasa yang disertai tiupan topan. Furi goyah diterpa angin. Ia berusaha tapi angin semakin kencang. Bahkan kelopak mawar, daerah Furi hinggap, lepas terbawa angin. Furi terseret angin. Ia tak ubahnya selembar bulu yang tertiup angin puting-beliung.
“Tolong aku! Tolong saya! Tolooong!” Meski Furi telah berteriak-teriak minta tolong, Pilon dan Rara tak mampu berbuat apa-apa. Mereka cuma mampu menyaksikan Furi terbawa angin. Tak usang lalu hujan turun dengan derasnya. Udara terasa sungguh acuh taacuh. Rara menyembunyikan kepala, keempat kaki,dan ekornya ke dalam cangkangnya. Kini, Rara sangat hangat. Sementara Pilon menggigil kedinginan.
    Dalam cangkangnya Rara teringat pada apa yang dikatakan Pilon bahwa semua makhluk di dunia ini mempunyai kelemahan dan kelebihan masingmasing. Rara membayangkan seandainya dia seekor kupu-kupu seperti Furi.
Wah, kini niscaya telah kehujanan, basah kuyup. Sayap-sayapnya yang cantik jadi sukar digerakan. Setelah berpikir demikian, Rara sadar. Tak ada gunannya iri pada keunggulan yang dimiliki Furi.
    Hujan berangsur-angsur reda. Perlahan-lahan sinar matahari tiba. Rara menggeliat. Oah! Betapa enaknya jadi kura-kura. Rara menggeliat lagi. Oah! Lalu kepalanya keluar dari cangkang dan melihat ke atas. Wah, ada bianglala, pelangi yang indah, bagaikan sayap kupu-kupu raksasa. Cantik!
“Pilon, lihat ke atas! Ada pelangi, tuh,” teriak Rara.
“Ya, saya tahu,” jawab Pilon sambil mengibas-kibaskan kepalanya yang lembap. Tubuh dan ekornya bergetar. Pilon masih kedinginan.
“Eh,ngomong-ngomong, apa kamu masih ingin mirip Furi?” tanya Pilon. “Apa kau masih iri pada sayap manis Furi? Masih ingin mampu melayang? Masih bosan menjadi kura-kura?” lanjut Pilon.
Rara menggeleng lemah sembari tersenyum aib.
“Aku tidak iri lagi pada Furi, tetapi saya tetap duka alasannya adalah kehilangan teman secantik Furi. Aku harap ia baik-baik saja,” kata Rara lirih. Rara dan Pilon sama-sama termenung. Lama sekali, sambil memandangi indahnya pelangi di atas cakrawala. Dalam membisu mereka berdoa supaya Furi tidak celaka dan mampu menikmati indahnya pelangi. Lalu terdengar teriakan dari kejauhan,”Aku tiba! Aku datang! Aku datang!”
“Ah, Furi tiba,” Rara dan Pilon saling berpandangan. Furi terlihat bugar dan berseri, seakan tak pernah sedih dan merasa sakit. Padahal beliau tadi terembus angin puting-beliung. Kini, Furi datang bareng sahabat-temannya. Banyak sekali.
    Semuanya bersayap seindah pelangi. Menari-nari di udara bebas. Udara terasa sejuk segar. Langit terang, Matahari mengintip di balik awan seolah memberi potensi pada bianglala untuk menampakkan diri lebih lama. Bianglala laksana kupu-kupu yang banyak. Terbang mengambang di sekeliling awan. Menjalin sebuah selendang bidadari yang melambai-lambai di udara bebas. Awan-awan tampak seperti kura-kura raksasa berwarna putih. Bergerak lambat mengiringi tarian kupu-kupu. Indah sekali.

Sumber: Yunior, 5 Agustus 2007