Daftar Isi
Contoh Dongeng
Abunawas, Bocah Tak Bertuan
Hasan kaget bukan kepalang, tatkala kambing-kambing yang digembalakannya hilang seekor. Ia mencari ke sana kemari, tetapi tak ketemu juga. Saat nyaris frustasi, dari kejauhan datang-datang tampakkambingnya tengah dituntun orang. Hasan bergegas mengejar orang itu. Ketika sudah dekat, orang yang menuntun kambingnya itu ternyata Balsom, tetangganya sendiri.
“Balsom, hendak kau bawa ke mana kambingku itu, hah?” tanya Hasan, berang. Yang ditanya ternyata menjawab dengan kalem.
“Saya kira kambing ini tak bertuan. Dia berkeliaran sendirian. Daripada disantap macan, lebih baik kuamankan saja di rumahku.”
Mendapat jawaban mirip itu, Hasan bahwasanya sakit hati juga. Namun, Hasan tidak ingin terjadi kericuhan. Dia mencoba menyerah dan menerima akibat Balsom. Cuma ia meminta supaya Balsom tak mengulanginya lagi.
Namun, akad tinggal kesepakatan. Beberapa waktu sehabis peristiwa itu, Balsom kembali mengulang perbuatannya lagi. Dia menjajal mencuri kambing Hasan lagi.
Ketika tepergok, Balsom mampu saja berdalih.
“Aku tidak tahu jika itu kambingmu. Dia berkeliaran sendirian.
Daripada dimakan harimau, lebih baik kuamankan saja di rumahku. Makanya kambing-kambingmu itu diberi tanda yang terang, biar siapa pun tahu.”
Kali ini Hasan tidak bisa menahan kemarahannya lagi. Dia menghujat Balsom habis-habisan.
“Kau memang bakir berkelit! Kau tidak bisa ditegur dengan cara yang baik-baik. Kalau itu memang maumu, oke. Aku juga bisa melakukan hal yang serupa padamu.”
Mendapat ancaman seperti itu, Balsom tidak gentar. Dia menanggapinya dengan hening. Balsom tahu, Hasan tidak cukup berilmu untuk mampu melaksanakan ancamannya itu. Namun usai peristiwa itu, Hasan punya rencana lain. Dia menemui Abunawas di rumahnya. Ia meminta nasihat supaya mampu menciptakan Balsom jera.
“Kalau masalahnya mirip itu, gampang,” ucap Abunawas, usai mendengar cerita Hasan.
“Gampang bagaimana maksudmu?” tanya Hasan, tak memahami.
“Sudah, lusa ikut aku. Dia akan mencicipi akibat yang setimpal. Aku tahu kebiasaannya. Setiap Rabu siang, dia pasti pergi ke pasar kota. Setelah itulah kita akan buat beliau menangis sejadi-alhasil.”
Hasan belum sepenuhnya mengetahui maksud Abunawas, namun sebab meyakini akal Abunawas, beliau menyetujui saja rencana itu. Rabu siang, Abunawas dan Hasan menunggu di sebuah jalan. Keduanya bersembunyi di balik rerimbunan pohon. Mereka berharap, Balsom akan melewati jalan itu.
Benar juga! Tak berapa usang lalu, Balsom melewati jalan itu sembari menuntun anak lelakinya yang berumur tiga tahun. Melihat suatu sandal tergeletak tak bertuan, Balsom berhenti sejenak.
“Bukankah ini pasangan sandal yang kutemui di jalan, beberapa dikala yang lalu? Kalau tahu saya bakal memperoleh pasangannya, mengapa aku tidak mengamankan sandal tadi?” gumam Balsom, sembari geleng-geleng kepala.
Setelah berpikir sejenak, Balsom membulatkan asumsi. Dia akan kembali untuk mengambil sandal yang tergeletak di tengah jalan, beberapa ketika yang lalu.
“Kau tunggu di sini, ya?” kata Balsom pada anaknya. “Ayah pasti akan kembali lagi. Tidak lama, kok, paling cuma sepuluh menit saja.”
Beberapa dikala setelah Balsom meninggalkan anaknya, Abunawas dan Hasan eksklusif bereaksi. Dia mendekati anak Balsom dan membujuknya semoga mau ikut dengannya. Diiming-iming mainan dan gula-gula, anak Balsom berdasarkan saja diajak Abunawas dan Hasan.
Tatkala Balsom telah kembali ke tempat semula, betapa kagetnya ia. Anaknya raib tak berimba. Dia tidak tahu mesti mengajukan pertanyaan kepada siapa. Jalanan ini sepi, hampir tak berpenghuni. Yang ada hanya rerimbunan pohon dan semak-semak. Sembari hilir mudik ke sana kemari, Balsom meraung-raung sejadi-jadinya, menangisi kepergian anaknya.
Di tengah kepanikannya, tiba-tiba dia melihat sekilas anaknya dituntun orang. Balsom secepatnya berlari memburu bayangan itu. Setelah erat, ternyata benar. Anaknya tengah dituntun Abunawas dan Hasan.
“Hai, apa-apaan ini! Mau kau bawa ke mana anakku, hah?!” seru Balsom memaki Abunawas dan Hasan.
“Lho, ini anakmu?” ucap Abunawas pura-pura tidak tahu. “Saya kira bocah ini tidak bertuan. Dia berkeliaran sendirian tadi. Daripada dimakan macan, lebih baik kuamankan saja di rumahku.”
Mendapat tanggapan setelak itu, Balsom seketika termenung. Amarahnya yang meluap-luap saat itu juga sirna. Kilahnya terhadap Hasan sementara waktu yang lalu, sekarang dibalikkan lagi kepadanya, oleh Abunawas. Wajah Balsom merah padam menahan malu. Akhirnya, tanpa banyak bicara, Balsom secepatnya merenggut tubuh anaknya dari tangan Abunawas dan pergi tanpa sepatah kata.
(Sumber: Mentari, edisi 375, Tahun XXV, 28 April 2007)
Unsur-Unsur Dongeng
Dongeng ialah salah satu bentuk karya sastra lama yang berjenis prosa. Dongeng juga ialah dongeng rekaan, khayal, atau fiksi. Dalam cerita juga terdapat unsur-unsur yang membangun kisah seperti jenis prosa lain, contohnya cerpen dan novel. Unsur-komponen tersebut meliputi tokoh, susila tokoh, alur, latar, tema, dan amanat. Perbedaan antara kisah dan cerpen atau novel yakni tingkat rekaannya. Oleh balasannya, dongeng memiliki daya tarik tersendiri bagi belum dewasa. Selain itu, kisah dalam cerita juga menjadi daya tarik bagi orang bau tanah untuk bercerita karena mengandung nilai-nilai akhlak yang mampu diajarkan terhadap bawah umur.
Unsur-bagian dalam sebuah dongeng berikut.
a. Tema, adalah pokok obrolan yang disampaikan dalam kisah dongeng.
b. Tokoh, adalah para pelaku yang mendukung kisah dalam dongeng.
c. Watak tokoh atau penokohan, yakni citra sikap atau budbahasa para pelaku dalam cerita cerita.
d. Latar, yaitu kawasan, waktu, dan situasi yang terjadi dalam kisah kisah.