Cerpen “Bunyi Lonceng”
“Anak-anak, hari ini kita akan mencar ilmu mengarang,” kata Bu Siska, guru Bahasa Indonesia kami memulai pelajarannya. “Langkah pertama dalam mengarang yaitu kita harus mencari pandangan baru, lalu memilih temanya. Selanjutnya, kita buat kerangka karangannya.” Bu Siska terlihat mencoretkan spidol ke papan tulis.
Anak-anak memerhatikan dengan saksama. Di tamat penjelasannya, Bu Siska mengeluarkan sesuatu, duit sepuluh ribu! Anak-anak jadi penasaran.
“Nah, bawah umur, Ibu menugaskan kalian untuk menciptakan suatu karangan.
Karangan itu dikumpulkan minggu depan. Ibu akan memilih satu karangan yang terbaik dan menawarkan uang ini terhadap sang pengarang. Makara, buatlah karangan semenarik-bagusnya. Carilah ide dan tentukan temanya mulai dari sekarang.”
Mendengar penunjukkandan kado duit, bawah umur jadi ramai. “Mau mengarang tentang apa, ya?” keluh mereka.
Bu Siska tersenyum. “Ibu mampu memberi bocoran beberapa tema. Kalian bisa menulis tentang persahabatan, keindahan alam, keluarga, atau misteri.”
Tepat di selesai kalimat, bel berbunyi. Bu Siska pun keluar kelas, seketika suasana makin ramai.
“Wah, mau buat cerita apa, ya?” keluh Alex. Dia memang tidak akil mengarang. Kalau menerima tugas mengarang, beliau niscaya sakit kepala tujuh keliling.
Alvin yang sedari tadi membisu di bangkunya, kesudahannya bangun sambil tersenyum. “Teman-sahabat, jadi kalian mau mengarang apa? Kalau aku sih telah mampu temanya. Aku mau mengarang cerita misteri,” jelasnya mantap.
“Misteri?” Alex, Beni, dan Rio berkomentar bersama-sama.
Alvin mengangguk senang. “Dan bicara soal misteri, di dekat rumahku ada tanah lapang yang seraaaaammmm banget setiap malam. Aku sering mendengar bunyi lonceng dari arah lapangan itu. Padahal saya tidak melihat siapa-siapa.”
“Ah, niscaya ada orang yang sengaja membunyikannya,” kata Alex yang terkenal sebagai pemberani.
“Atau mungkin itu suara dari lonceng yang dipasang di pintu rumah, lalu tertiup angin. Jadi bunyi deh,” timpal Rio.
Alvin menggeleng. “Aku telah memeriksa di sekeliling rumah dan tidak menemukan lonceng. Aku juga sudah mengajukan pertanyaan terhadap tetangga. Mereka juga tak memiliki lonceng. Ehm… begini saja. Bagaimana bila hari ini kalian menginap di rumahku dan menerangkan sendiri kebenaran ceritaku?”
“Aku mau!” seru Alex bersemangat. Dia memang suka hal-hal yang bersifat menguji nyali, kemudian dia pun melirik ke arah Beni dan Rio yang sepertinya ogah-ogahan.
“Kalian juga ingin tau, kan?” tanya Alex. Beni dan Rio eksklusif menggeleng. “Bukankah lebih baik kita berkonsentrasi pada peran mengarang kali ini?” kata Rio memelas.
“Ah, kalian nggak asyik! Tenang saja ada Alex!” seru Alex.
Beni dan Rio saling berpandangan pasrah. Kalau sudah berhadapan dengan Alex, niscaya pada risikonya harus menuruti keinginannya.
“Oke, jika begitu kutunggu di rumahku kapan saja. Aku tidak pergipergi kok,” ujar Alvin.
“Oke!” jawab Alex.
Alvin bahagia sekali. “Yes! Aku telah mampu mangsa, nih. Akan kubuat mereka penasaran dan panik setengah mati,” kata Alvin dalam hati sambil tersenyum bahagia.
“Tunggu saja, sobat-sobat. Biasanya bunyi itu timbul sesudah jam sembilan,” kata Alvin sambil menyaksikan jam beker di kamarnya. Dia kembali membaca komik. “Aduh, perutku tiba-datang sakit. Teman-sahabat, aku ke belakang dahulu, ya,” kata Alvin sambil meringis-ringis. Dia terburu-buru keluar dari kamar sambil memegangi perutnya.
“Makan apa, sih, beliau, datang-tiba mampu sakit perut? Aneh-gila saja,” komentar Alex. “Tapi kulihat berulang kali, Alvin memegangi perutnya,” kata Rio.
“Ssssttt… sssttt… diam, teman-sobat!” teriak Beni tiba-datang. “Sss…, apa kalian dengar sesuatu?”
Alex dan Rio eksklusif diam, lalu terdengar bunyi lonceng. Jelas sekali!
Alex langsung membuka jendela kamar dan menyaksikan ke sekeliling. Ternyata tidak ada apa-apa. Suara itu pun terdengar menuju ke arah lapangan.
“Aku harus menerimanya!” Alex pribadi menggandeng kedua temannya.
Mereka datang di lapangan. Bunyi lonceng itu masih ada, namun mereka tidak melihat apa-apa. Hanya sekadar bunyi.
“Nah, bunyi itu ke arah sana. Ayo, sobat-sahabat!” Alex berlari ke arah bunyi lonceng, sementara Rio dan Beni perlahan-lahan pergi dari lapangan dengan paras pucat.
“Ke mana lagi, sih, bunyi itu?” Alex tidak mendengar lagi suara lonceng.
“Klining… kloneng … klining ….” Tiba-tiba bunyi itu terdengar lagi. Alex eksklusif menoleh ke kanan. Terlihatlah suatu lonceng yang melayanglayang setinggi sepuluh sentimeter di rerumputan. Lonceng itu pun bergerak menjauhi Alex.
“Waaaaaaaaaaa!!!” Alex berteriak histeris sambil berbalik dan berlari menuju ke rumah Alvin.
“Meong… meong… bleki…,” panggil Alvin lembut. Sebuah lonceng tampak terbang-layang ke arah Alvin. Tapi kian mendekat, tampaklah seekor kucing hitam yang memang tidak terlihat terperinci dari kejauhan, apalagi di malam hari.
“Meong… meong….” Kucing itu menggeliat manja di kaki Alvin. Alvin menggendong Bleki dan mengantungi lonceng misterius itu.
“Terima kasih, ya, Bleki. Sudah ada ikan kesukaanmu di sangkar.” Alvin pun pulang ke rumahnya sambil mengelus-elus Bleki, kucing hitam peliharaannya. Yes! Mereka cemas, hi… hi… hi….
Dua ahad kemudian, dikala pelajaran Bahasa Indonesia berlangsung.
“Baik belum dewasa, aku telah membaca dongeng kalian dan telah menentukan pemenangnya. Cerita yang menang adalah ….”
Anak-anak serius menanti pengumuman Bu Siska. Bahkan ada yang hingga meremas-remas tangan sebab deg-degan.
“Milik Alex!” seru Bu Siska.
Seisi kelas menoleh ke arah Alex dengan terkejut, tetapi tak lama lalu bertepuk tangan. Alex sendiri masih kaget dan terbengong-melamun.
“Cerita karangan Alex sungguh-sungguh elok. Saya sendiri hingga merinding membacanya. Tapi… bergotong-royong aku juga memperoleh tiga cerita lagi yang nyaris sama dengan milik Alex. Apa… jangan-jangan kisah nyata, ya? Bunyi lonceng di malam hari?” Bu Siska terlihat penasaran. Alex, Alvin, Rio, dan Beni saling berpandangan. Tapi tampaknya hanya Alvin yang betul-betul bahagia, tidak ada raut panik sama sekali di parasnya.
Karya : Monica Kristiani K. (Sumber: Yunior, Edisi 24, Tahun Ke-8, 29 Juli 2007, hlm. 9)