Pertumbuhan Ekonomi Yang Berkualitas

Kondisi perekonomian Indonesia dalam perkembangannya hingga dengan ketika ini ialah citra dari suatu proses panjang selaku suatu indikator efektivitas dari kinerja pemerintahan saat itu yang dipimpin oleh seorang presiden beserta kabinetnya. Dengan mengacu pada postingan jurnal ‘Survey on Recent Development´ (Kuncoro & Resosudarmo, 2006) dan beberapa sumber serta postingan penunjang yang dimasukkan dalam rujukan, maka diharapkan kajian ini dapat membicarakan tentang topik yang dipilih selaku judul paper ini. 
Terkait dengan kinerja dari tim ekonomi kabinet Susilo Bambang Yudhoyono sehabis reshuffle pada awal Desember 2006 kemarin, publik cenderung memperlihatkan sentimen yang positif akan susunan yang gres. Pada postingan Kuncoro & Resosudarmo (2006 : 8) disebutkan bahwa kecenderungan pergantian ini dilaksanakan adalah alasannya adalah hadirnya persepsi publik ihwal kinerja sebelumnya yang kurang efektif dengan berbagai argumentasi / latar belakangnya. Bagaimanapun ada beberapa hal yang disebutkan menjadi penyebab persepsi ini, yaitu lambatnya pembayaran / pengeluaran pemerintah menurut anggaran yang dijadwalkan (ditunjukkan dengan angka perkembangan konsumsi pemerintah yang tinggi pada semester permulaan 2005), keadaan ini menyebabkan departemen-departemen pemerintah sentra maupun tempat tidak mampu memaksimalkan utilisasi dari anggaran yang telah tersedia. 
Kedua yakni kecenderungan pertumbuhan ekonomi yang rendah dengan tren yang menurun, dimana perkembangan yang ada dan sudah dicapai dinilai kecil bagi kebutuhan Indonesia akan perbaikan dan perluasan infrastruktur. Ketiga yaitu keputusan untuk mengoptimalkan harga materi bakar minyak (BBM) dalam negeri yang tidak terkenal & keempat adalah adanya praduga pertentangan kepentingan berafiliasi dengan Aburizal Bakrie selaku salah satu menteri anggota kabinet tim ekonomi. 
Berdasarkan gosip perihal Indikator Ekonomi Indonesia (tabel 1) pada halaman berikut dapat dilihat bahwa dibalik angka-angka kasatmata peningkatan total ekspor, cadangan devisa, kurs terhadap dolar AS yang menguat & stabil, tingkat SBI yang menurun, IHSG paling tinggi (lima tahun terakhir), kenaikan GDP, dll ada kalanya bahwa angka-angka tersebut belum dapat dijadikan sebuah indikasi sarat dari kinerja ekonomi Indonesia dikala ini. Hampir sebagian besar indikator ini terlihat mengalami peningkatan tergolong pada GDP Indonesia yang pada tahun 2006 tercatat sebesar Rp. 1.846,7 triliun namun ternyata menjelang pertumbuhannya melambat pada dua tahun terakhir (2005 – 5,6 %, 2006 – 5,48 %). Inflasi pada tahun 2005 juga mencatat rekor inflasi tertinggi pada lima tahun terakhir yakni 17,11 % yang sungguh jauh meninggalkan kisaran 4 – 6 % pada tahun-tahun yang lain.
Tabel Indikator Ekonomi Indonesia (2002 – 2006) 
Sumber : BPS, BI & JSX (dari Laporan Ekonomi Bulanan KADIN – 2007)
Dari analisa ‘Perkembangan Ekonomi Indonesia’ oleh KADIN pada bulan Februari 2007 disebutkan bahwa walaupun stabilitas ekonomi makro mampu tersadar dengan cukup baik, tetapi hal tersebut tidak berhasil menghidupkan rasa optimis di kalangan penduduk . Tingginya tingkat ketidakpastian di golongan dunia usaha merupakan penyebab utama dari rendahnya tingkat investasi sepanjang tahun 2006 kemudian, dan ini tidak lepas dari tidak kunjung kondusifnya iklim usaha di sektor buatan riil. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah mampu dibilang tidak efektif untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif alasannya kerap kali dibayangi oleh keragu-raguan pemerintah dalam mengimplementasikan berbagai kebijakan yang dikeluarkan tersebut. Berkaitan dengan realita ini sepantasnya pemerintah secepatnya mewaspadai keadaan perekonomian secara keseluruhan. Pemerintah jangan cuma merasa aman jikalau stabilitas nilai tukar mampu tercapai dan tingkat inflasi mampu dikendalikan. Harus disadari bahwa kondisi sektor riil saat ini sungguh-sungguhdalam keadaan yang sangat mengkhawatirkan (Zetha & Tambunan, 2007). 
Laporan ini lebih lanjut menyatakan bahwa walaupun perbaikan investasi belum mirip yang diharapkan, mendasar ekonomi Indonesia sudah berada pada jalur yang tepat. Stabilitas makro ekonomi dapat tersadar dengan baik dengan kurs rupiah yang condong menguat, sehingga tingkat inflasi mampu terus ditekan dan suku bunga perbankan diturunkan. Kondisi ini dapat tampakdimana selama tahun 2006 kurs rupiah mengalami apresiasi sekitar 8,2 % dan selama dua bulan pertama tahun 2007 dapat dikatakan relatif stabil pada kisaran sekitar Rp 9.100 per dollar AS. Angka inflasi yang melambung tinggi pada tahun 2005 (17,1%) turun menjadi 6,6 % pada tahun 2006, dan diperkirakan akan terus terkendalikan selama tahun 2007. Walau demikian, ekonomi Indonesia juga disebutkan selaku perekonomian yang rawan mirip bom waktu dimana pada saat tertentu dimana kembali goncang masih memungkinkan terjadinya krisis moneter kedua seperti yang sementara waktu ini lumayan banyak dibicarakan kembali di media. 
Identifikasi Masalah
Selama ini pola kemajuan ekonomi Indonesia termasuk bercirikan consumption driven growth dibandingkan investment led growth dan keadaan perekonomian Indonesia bantu-membantu masih jauh dari berkualitas (Kuncoro, 2007). Pertumbuhan ekonomi dibutuhkan mampu mendorong kenaikan pemasukan per kapita dan distribusi pendapatan, dalam hal ini kebijakan & upaya pemerintah dalam pendapatan mirip yang digambarkan dalam GDP banyak terkontribusi lewat peningkatan konsumsi pemerintah (lihat grafik 1, 2004 – 2006), dibandingkan hasil dari faedah pembangunan & keberhasilan pertumbuhan ekonomi khususnya pada sektor-sektor lain yang masih rendah (lihat grafik 2) serta pembangunan mirip pada kawasan timur Indonesia yang masih tertinggal karena sebagian besar terpusat di daerah barat khususnya di kepulauan Jawa. Disebutkan bahwa perkembangan ekonomi ini masih jauh dari bermutu yaitu sebab adanya indikasi trickle up effect dalam proses pembangunan di Indonesia dimana terjadi ketimpangan distribusi pemasukan yang makin lebar (Kuncoro, 2007). Ketimpangan dapat diukur salah satunya dengan menggunakan Gini Index yang memberikan bahwa rasio Gini Indonesia berkembangdari 0,29 pada tahun 2002 menjadi 0,35 pada 2006 (Kuncoro, 2007). Indonesia berada pada urutan ke 68 dari sekitar 190 an negara berdasarkan isu CIA World Factbook dengan rasio Gini 0,348 pada tahun 2007. 
Paul A. Vocker (mantan Dewan Direksi Bank Sentral Amerika) ketika berada di Jakarta pada tanggal 21 September 2006 pernah menyatakan bahwa korupsi dianggap selaku resiko bisnis dan investasi yang cukup besar di Indonesia, gosip ini dikutip dari tempo interaktif. Selain faktor itu, Vocken juga menyertakan bahwa kondisi ini juga diperburuk dengan faktor ketidakpastian hukum dan tidak efisiennya birokrasi di Indonesia. Terkait gosip ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan bahwa bagi usahawan besar ajaib & penanam modal kakap AS, demokrasi ialah faktor nomor dua sedangkan aspek yang paling diharapkan ialah stabilitas dan keselamatan investasi, isu ini dikutip dari Suara Karya Online. 
Grafik Prosentase Pertumbuhan Gdp Indonesia Berdasarkan Expenditure (2001 – 2006) 
Sumber : Laporan Ekonomi Bulanan KADIN (2007)
Grafik Prosentase Gdp & Beberapa Sektor Ekonomi Indonesia (2001 – 2006) 
Sumber : Laporan Ekonomi Bulanan KADIN (2007)
Dalam suatu diskusi wacana ‘Indeks Kebebasan Ekonomi’ disebutkan bahwa Indonesia merupakan sebuah negara yang mempunyai posisi selaku mostly unfree pada urutan ke 83 dari 130 an negara yang disurvei (Perdana & Fadhil, 2006). Freedom index berupaya untuk mengukur political & civil liberties dimana komponen yang digunakan ada 4, adalah kebebasan eksklusif untuk melaksanakan acara ekonomi, pertukaran sukarela yang dikoordinasi oleh pasar, kebebasan untuk masuk dan berkompetisi di pasar, serta pertolongan hak milik pribadi dari aksi orang lain (Perdana & Fadhil, 2006). Definisi kebebasan ekonomi disini yaitu tidak adanya kekangan pemerintah dalam hal buatan, konsumsi dan distribusi barang-barang demi melindungi kebebasan itu sendiri, pada dasarnya adalah kian kecil tugas pemerintah maka tingkat keleluasaan ekonominya semakin tinggi (Perdana & Fadhil, 2006). 
Dengan posisi Indonesia saat ini sesungguhnya Indonesia belum cukup liberal dalam menerapkan kebijakan-kebijakan ekonomi, dimana disebutkan dalam postingan ini bahwa kurang efisien & efektifnya pengambilan keputusan dalam regulasi ini dapat menghalangi laju pertumbuhan ekonomi. Disebutkan juga bahwa problem lain yakni birokrasi pemerintah yang belum mendukung kebijakan regulasi ekonomi, serta masih adanya perlindungan-perlindungan di beberapa sektor terkait peran pemerintah sebelum krisis moneter sampai saat ini. Menurut pengurus International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) negara-negara mirip Thailand & Malaysia yang tidak dibantu IMF justru lebih singkat pulih dari krisis moneter. 
Donatus K. Marut (Direktur Eksekutif INFID) juga menyampaikan bahwa selama ini Indonesia tidak bebas menentukan kebijakan dalam negeri selama masih menjalin kekerabatan dengan IMF dan Bank Dunia, alasannya adalah bagaimanapun Bank Dunia & IMF kadang kala menekan pemerintah mengeluarkan banyak sekali kebijakan yang pada karenanya justru memberatkan Indonesia di kala depan. Salah satu yang dikerjakan yakni menekan pemerintah merevisi UU No. 13/2003 tentang ketenagakerjaan yang dianggap pro buruh dibandingkan investasi. Kalau pada jadinya pemerintah berusaha untuk mempercepat pembayaran derma pada IMF maka dapat diinterpretasikan dalam dua sudut pandang, pertama bahwa kondisi perekonomian kian membaik dan pemerintah berusaha untuk menunjukkan cerminan keadaan tersebut kepada dunia internasional, sedangkan kedua yakni pemerintah menghemat resiko tekanan-tekanan perhiasan dari IMF dalam merevisi atau mengganti kebijakan-kebijakan yang dimiliki dikala ini. 
Cadangan devisa pemerintah Indonesia 2007 diperkirakan sebesar 39,5 milyar dolar AS ialah jumlah setelah dikurangi pelunasan bantuan pada IMF sebesar 7,8 milyar dolar AS. Pembayaran pinjaman IMF ini dipercepat 4 tahun dari semula dan pada final tahun 2006 (tepatnya bulan oktober) ini telah dibayarkan sisanya sebesar 3,2 milyar dolar AS, meski cadangan devisa menurun namun nillai tukar / kurs rupiah kepada USD tetap berpengaruh (Titiheruw, 2006). Pada bulan Mei 2007 ini cadangan devisa Indonesia tercatat mengalami peningkatan menjadi 50,112 milyar dolar AS berdasarkan data yang ditemukan dari website Bank Indonesia.