Hubungan Budaya Organisasional, Keefektifan Organisasional Dan Kepemimpinan, Telaah Perspektif Untuk Riset
Tulisan dalam postingan ini bertujuan menyusun konstruksi relasi antar tiga konstruk penting dalam teori organisasi. Ketiga konstruk tersebut terdiri atas budaya organisasional, keefektifan organisasional dan kepemimpinan. Langkah pertama dimulai dengan elaborasi setiap konstruk dalam berbagai perspektif. Langkah berikutnya yakni melakukan simulasi dan konstruksi hubungan antar konstruk sehingga tersusun peta permulaan dari relasi antar variabel tersebut.
1. Konstruk “Budaya organisasional”
Pemaknaan budaya organisasional demikian luas dalam berbagai setting sehingga ungkapan budaya dalam suatu perusahaan atau organisasi pernah menjadi suatu “fashion” baik di kalangan manajer, konsultan dan bahkan juga di golongan akademisi. Namun demikian dalam perkembangannya, budaya organisasional mendapat “tempat” penting dalam khasanah akademis, terutama teori organisasi seperti halnya struktur, seni manajemen dan pengendalian (Hofstede, 1990).
Dalam terminologi akademis, “Budaya organisasional” merupakan sebuah konstruk, yang merupakan abstraksi dari fenomena yang mampu diperhatikan dari banyak dimensi. Sehingga banyak andal ilmu-ilmu sosial dan administrasi belum memiliki “communal opinio” tentang definisi budaya organisasional. Mereka mendefiniskan terminologi tersebut dari bermacam-macam perspektif dan dimensi.
Dalam persepsi Davis (1984) menyatakan bahwa budaya organisasional merupakan teladan doktrin dan nilai-nilai (values) organisasi yang difahami, dijiwai dan dipraktikkan oleh organisasi sehingga contoh tersebut menunjukkan arti tersendiri dan menjadi dasar aturan bertingkah dalam organisasi. Schein (1992) mendefiniskan budaya organisasional sebagai suatu contoh dari perkiraan-perkiraan dasar yang didapatkan, diciptakan atau dikembangkan oleh sebuah kalangan tertentu dengan maksud agar organisasi mencar ilmu mengatasi atau menanggulangi problem-duduk perkara yang muncul akibat penyesuaian eksternal dan integrasi internal yang telah berjalan dengan cukup baik, sehingga perlu diajarkan terhadap anggota-anggota baru selaku cara yang benar untuk mengetahui, mempertimbangkan dan merasakan berkenaan dengan problem-masalah tersebut.
Dalam pandangan Schein (1992), budaya organisasional berada pada tiga tingkat, yakni artifacts, espoused values dan basic underlying assumptions (lihat Gambar 1). Pada tingkat artifacts, budaya organisasional memiliki karakteristik bahwa struktur dan proses organisasional mampu terlihat. Pada tingkat berikutnya, espoused values, para anggota organisasi mempertanyakan “Apa yang seharusnya dapat mereka berikan kepada organisasi”.
Pada tingkat ini organisasi dan anggotanya memerlukan tuntunan taktik (strategies), tujuan (goals) dan filosofi dari pemimpin organisasi untuk bertindak dan berperilaku. Sedangkan pada tingkat basic underlying assumptions berisi sejumlah kepercayaan (beliefs) bahwa para anggota organisasi mendapat jaminan (take for granted) bahwa mereka diterima baik untuk melakukan sesuatu secara benar dan cara yang sempurna.
Kotter dan Hesket (1992), Sackmann (1992), Hofstede (1994) dan Maschi dan Roger (1995) menyatakan bahwa budaya organisasi ialah seperangkat asumsi-perkiraan dogma-keyakinan, nilai-nilai dan pandangan-pandangan yang dimiliki para anggota golongan dalam sebuah organisasi yang membentuk dan mensugesti sikap dan perilaku kelompok tersebut.
Stoner et. al (1995) mendefiniskan budaya organisasional sebagai suatu cognitive framework yang mencakup perilaku, nilai-nilai, norma sikap dan impian-cita-cita yang disumbangkan anggota organisasi. Kreitner dan Knicky (1995) menambahkan bahwa budaya organisasi berperan selaku perekat sosial (social glue) yang mengikat semua anggota organisasi secara bantu-membantu. Pendapat Luthans (1998) hampir senada dengan usulan sebelumnya, bahwa budaya organisasional merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi.
Sedangkan sifat-sifat yang dimiliki budaya organisasional secara mendasar dikemukakan Hofstede (1991) meliputi: 1) menyeluruh dan meraih dimensi waktu yang panjang (holistic), 2) ditentukan atau mencerminkan catatan historis perusahaan (historically determined), 3) berafiliasi dengan sesuatu yang bersifat ritual dan simbolik, 4) dihasilkan dan dipertahankan oleh kalangan-kalangan yang secara bahu-membahu membentuk organisasi (social constructed), 5) halus (soft) dan 6) susah berganti (hard to change)
Smircich (1983) menunjukkan empat fungsi penting budaya organisasional, yakni: 1) menawarkan sebuah identitas organisasional terhadap para anggota organisasi., 2) memfasilitasi atau mempermudah janji kolektif, 3) memajukan stabilitas metode sosial, dan 4) membentuk sikap dengan membantu anggota organisasi memilih sense kepada sekitarnya. Di ssamping itu budaya organisasional disimpulkan pula sebagai “ruh” organisasi karena di sana bersemayam filosofi, misi dan visi organisasi yang mau menjadi kekuatan penting untuk bersaing.
2. Keefektifan dan Kinerja Organisional
Konsep keefektifan mirip juga konsep budaya organisasinal, juga mempunyai pemaknaan yang beragam yang berimplikasi pada kesulitan dalam pemahaman desain dan metoda. Hal tersebut disebabkan belum adanya komitmen perihal dimensi-dimensi dari rancangan keefektifan, patokan yang dipakai dalam pengukuran, tingkat analisis yang appropriate dan kalangan aktivitas organisasional mana yang mencerminkan pusat perhatian untuk studi keefektifan (Scott, 1977). Kondisi “chaos” ihwal rancangan tersebut tidak menciptakan konsep keefektifan “hengkang” dari topik organisasi.
Dalam pandangan Cameron dan Whetten (1983), ada tiga alasan meliputi teoritis, empiris dan praktis. Pertama secara teoritis konsep keefektifan organisasional secara teoritis terletak pada pusat semua model organisasional. Kedua, keefektifan secara empiris berfungsi sebagai variabel penting dalam acara riset dan konsep penting dalam penafsiran fenomena organisasional. Dan ketiga, adanya keperluan untuk membuat judgements tentang kinerja (performance) aneka macam organisasi. Namun demikian, paling tidak ada dua persepsi yang paling banyak dipakai dalam mengevaluasi keefektifan kepemimpinan, ialah dalam kaitannya dengan konsekuensi-konsekuensi dari tindakan-tindakan pemimpin tersebut bagi para pengikutnya dan para stakeholder organisasi lainnya.
Pandangan yang lain dengan melihat banyak sekali jenis hasil yang telah dipakai, tergolong di dalamnya kinerja dan pertumbuhan kalangan atau organisasi dari pemimpin tersebut, kesediaannya untuk menyikapi tantangan-tantangan atau krisis-krisis, kepuasan pengikut dengan pemimpinnya, janji pengikut terhadap target-target kalangan, kemakmuran psikologis dan pengembangan para pengikut dan pertumbuhan pemimpin ke posisi kekuasaan yang lebih tinggi di dalam organisasi.
Salah satu hal yang menjadikan kurangnya pengembangan konsepsual perihal keefektifan yaitu kesusahan dalam mengintegrasikan banyak sekali konsepsualisasi organisasi yang berbeda. Oleh karena itu setiap upaya pengembangan konsep keefektifan mesti dimulai dengan sebuah analisis teori organisasi yang menjadi dasarnya (Goodman dan Penning, 1980).
3. Hubungan Budaya Organisasional dengan Keefektifan Organisasional
Tujuan seorang manajer dalam setiap organisasi secara logis menghendaki peningkatan kinerja organisasional organisasi. Namun demikian banyak problem organisasional dan ketidakpastian (uncertainty) baik internal maupun eksternal yang seringkali mengusik pencapaian kinerja organisasional. Bahkan banyak observasi memberikan kegagalan organisasi lebih sering disebabkan oleh problem manajerial organisasi secara internal (Koontz, 1991). Permasalahan tersebut mendorong Peters dan Waterman (1982) menggagas pentingnya kebudayaan organisasional untuk memajukan keefektifan dan kinerja organisasional. Menurut Peters dan Waterman, setiap organisasi mempunyai kebudayaannya masing-masing. Tiap kebudayaan tersebut dapat menjadi kekuatan nyata dan negatif dalam meraih kinerja organisasionalonal. Dalam berbagai observasi dan kajian administrasi organisasi banyak para andal telah meyakini keeratan relasi antara budaya organisasional (organizational culture) dan keefektifan organisasional, sehingga kekerabatan keduanya hampir tidak diperdebatkan lagi.
Penelitian O’Reilly (1989) menunjukkan santunan penting bagi proposisi di atas bahwa budaya perusahaan memiliki efek terhadap keefektifan sebuah perusahaan khususnya pada perusahaan yang mempunyai budaya yang sesuai dengan taktik dan mampu mengembangkan janji karyawan kepada perusahaan. Kemudian Lusch dan Harvey (1994) mengatakan bahwa peningkatan kinerja organisasional juga diputuskan oleh aktiva tidak berwujud, antara lain: budaya organisasional, korelasi dengan konsumen (customer elationship) dan gambaran perusahaan (brand equity).
Pandangan tersebut sejalan dengan kajian sebelumnya yang dilaksanakan Kotter dan Heskett (1992) bahwa budaya organisasional diyakini sebagai salah satu faktor kunci penentu (key variable factors) kesuksesan kinerja organisasional mirip yang disampaikan pada hasil studi mereka:
Berdasarkan observasi kepada 207 perusahaan dari 22 jenis industri di Amerika Serikat, Kotter dan Heskett mendapatkan bahwa budaya organisasional mempunyai dampak yang signifikan terhadap kinerja ekonomi perusahaan untuk jangka panjang. Secara lengkap empat tugas utama budaya organisasional berhasil dieksplorasi dari observasi tersebut, meliputi: 1) memiliki efek yang signifikan terhadap kinerja ekonomi perusahaan, 2) menjadi faktor yang lebih menentukan sukses atau gagalnya perusahaan pada kala mendatang, 3) dapat mendorong peningkatan kinerja ekonomi jangka panjang jika di dalam perussahaan berisikan orang-orang yang patut dan pandai, dan 4) dibuat untuk mengembangkan kinerja perusahaan.
Demikian pula hasil observasi sejumlah perusahaan di Amerika Serikat yang melakukan merger pada dekade 1980-an yang memperlihatkan bahwa merger acap kali mengalami kegagalan alasannya adalah tidak kompatibel dengan budaya organisasional (Marren, 1993). Sehingga keselarasan antara nilai-nilai individu (individual values) dengan nilai-nilai organisasi (organizational values) secara signifikan berhubungan dengan komitmen organisasional, kepuasan kerja, harapan berhenti dan turn over seperti yang diperoleh dari sejumlah hasil riset empiris Kreitner dan Knicky (1995).
Pandangan di atas didukung pula oleh persepsi beberapa jago ilmu-ilmu sosial dan manajemen organisasi, seperti: Hofstede (1991), Sharplin (1992), Wilhelm (1992), Martin (1992), Mody dan Noe (1996), Sobirin (1997), dan Luthans (1998).
Dalam masalah di Indonesia, studi wacana efek budaya organisasional kepada keefektifan kinerja manajerial dan kinerja ekonomi organisasi telah banyak dilaksanakan. Misalnya studi yang dilaksanakan oleh Supomo dan Indriantoro (1998) yang meneliti 79 manajer dari berbagai departemen dalam perusahaan-perusahaan manufaktur yang mendapatkan bukti empiris adanya efek faktual budaya organisasional yang berorientasi pada orang terhadap keefektifan aanggaran partisipatif dalam peningkatan kinerja manajerial. Bahkan observasi yang dilaksanakan Lako dan Irmawati (1997) menjelaskan kesuksesan organisasi mengimplementasikan nilai-nilai (values) budaya organisasional dapat mendorong organisasi tumbuh dan meningkat secara berkelanjutan.
Sejumlah penelitian di atas memperlihatkan bahwa budaya organisasional memiliki peran yang sungguh strategis untuk mendorong dan meningkatkan keefektifan kinerja organisasional, termasuk di dalamnya kinerja manajerial, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Di sini, budaya organisasional berperan penting untuk memilih arah organisasi, bagaimana mengalokasikan dan mengorganisir sumber daya selaku kekuatan internal dalam memanfaatkan potensi (opportunity) dan mengantisipasi ancaman (threat).
Konstruk “Kepemimpinan” (Leadership)
Seperti halnya konstruk budaya organisasional, konstruk kepemimpinan juga menjadi subyek yang senantiasa menarik dan diperbincangkan bagi banyak golongan yang lalu berakibat pula pada pendefinisian yang beragam dan kadang kurang tepat secara ilmiah. Telaah yang dilakukan para peneliti dalam mendefinisikan konstruk berbasis pada perspektif-perspektif individu dan faktor dari fenomena perhatian mereka yang paling menarik.
Menurut Hemhill & Coons (1957) kepemimpinan adalah perilaku dari seorang individu yang memimpin kegiatan-kegiatan sebuah golongan ke sebuah tujuan yang ingin dicapai bersama (shared goal). Tannenbaum, Weschler, dan Massarik (1961) berpendapat bahwa kepemimpinan adalah pengaruh antar eksklusif yang dilaksanakan dalam sebuah suasana tertentu serta diarahkan lewat proses komunikasi ke arah pencapaian satu atau beberapa tujuan tertentu. Pandangan lain mengatakan bahwa kepemimpinan yaitu pembentukan permulaan serta pemeliharaan struktur dalam impian dan interaksi (Stogdill, 1974). Rauch dan Behling (1984) menggagas pengertian kepemimpinan selaku proses menghipnotis kegiatan-kegiatan suatu kalangan yang diorganisasikan ke arah pencapaian tujuan. Sedangkan Hosking (1988) berpendapat bahwa para pemimpin adalah mereka yang secara konsisten memberi bantuan yang efektif kepada orde sosial dan yang diharapkan dan dipersepsikan melakukannya. Jacob dan Jacques (1990) mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses memberi arti terhadap perjuangan kolektif dan yang menjadikan kesediaan untuk melaksanakan usaha yang dikehendaki untuk meraih sasaran.
Melihat demikian banyaknya pemahaman tentang kepemimpinan, Stogdill (1974) menyimpulkan bahwa terdapat banyak definisi ihwal kepemimpinan sebanyak jumlah orang yang sudah menjajal mendefinisikannya. Secara garis besar menjelaskan bahwa kepemimpinan menyangkut proses imbas sosial (dampak yang sengaja dijalankan oleh seseorang terhadap orang lain untuk menstruktur acara-aktivitas serta kekerabatan-hubungan di dalam suatu golongan atau organisasi (Yukl, 1989).
Di atas tampak bahwa studi kepemimpinan sangat tergantung pada preferensi metoda dari peneliti dan desain kepemimpinan. Di bawah ini Yukl (1989) mencoba menelaah perspektif-perspektif dalam studi kepemimpinan.
1. Pendekatan berdasarkan ciri (trait approach), pendekatan ini menekankan pada atribut-atribut eksklusif para pemimpin. Asumsi pada pendekatan ini bahwa beberapa orang pemimpin alamiah dianugerahi beberapa karakteristik yang tidak dipunyai orang lain.
2. Pendekatan berdasarkan sikap, terbagi ke dalam dua klasifikasi. Kategori pertama yakni penelitian tentang sifat dari pekerjaan manajerial. Penelitian ini menguji bagaimana para manajer mempergunakan waktu mereka, dan menjajal menjelaskan isi aktivitas-kegiatan manajer dengan menggunakan kategori wacana isi seperti peran, fungsi dan tanggung jawab manajerial. Berikutnya yakni observasi terhadap pekerjaan manajerial, membandingkan sikap pemimpin yang efektif dan tidak efektif.
3. Pendekatan kekuasaan-imbas (power-influence approach), pendekatan ini mencoba menerangkan keefektifan kepemimpinan dalam kaitannya dengan jumlah dan jenis kekuasaan yang dimiliki dan cara kekuasaan dipakai. Kekuasaan tersebut dilihat selaku hal penting bukan saja untuk menghipnotis bawahan, tetapi juga kawan sejawat, atasan maupun orang yang berada di luar organisasi.
4. Pendekatan situasional, menekankan pentingnya faktor-aspek kontekstual mensugesti studi kepemimpinan.
5. Kepemimpinan partisipatif, memperlihatkan pengutamaan kepada pembagian kekuasaan (power sharing) dan pemberian kewenangan kepada para pengikut. Studi ini juga berakar dari tradisi pendekatan keperilakuan.
6. Kepemimpinan karismatik dan transformasional, menjelaskan mengapa para pengikut dari pemimpin-pemimpin tertentu bersedia melakukan usaha yang hebat dan pengorbanan pribadi untuk meraih tujuan dan misi organisasi/ kalangan.
7. Kepemimpinan dalam kelompok pengambil keputusan, menerangkan bagaimana kontribusi kepemimpinan di dalam golongan pengambil keputusan.