Sejarah Ringkas Pemeliharaan Al-Qur’an

Sejarah Ringkas Pemeliharaan al-Qur’an
Pada permulaan Islam, bangsa Arab yakni bangsa yang buta huruf, hanya sedikit yang berilmu menulis dan membaca. Bahkan beberapa di antaranya merasa malu jikalau dikenali bakir menulis. Karena, orang yang terpandang pada dikala itu yakni orang yang mampu menghafal, bersyair, dan berpidato. Waktu itu belum ada “kitab”. Kalaupun ada hanyalah sepotong watu yang licin dan tipis, kulit binatang, atau pelepah korma yang ditulis. Termasuk kutub, jamak kitab, yang dikirim oleh Nabi kepada raja-raja di sekeliling Arab, sebagai undangan untuk masuk Islam.
Setiap kali turun ayat, Nabi menginstruksikan terhadap para sahabat untuk menghafalnya dan menuliskannya di atas batu, kulit hewan dan pelepah korma. Hanya ayat-ayat al-Qur’an yang boleh ditulis. Selain ayat-ayat al-Qur’ an, bahkan tergolong Hadis dan pemikiran-fatwa Nabi yang didengar oleh para sobat, di larang untuk dituliskan, supaya antara isi al-Qur’an dengan yang yang lain tidak tercampur.
Setiap tahun, malaikat Jibril, utusan Tuhan mengulang (repetisi) membaca ayat-ayat al-Qur’an yang sudah diturunkan sebelumnya di hadapan Nabi. Pada tahun Muhammad saw wafat, adalah tahun 632 M, ayat-ayat al-Qur’ an dibacakan dua kali dalam setahun.6 Ini mempesona sekali, alasannya seakan-akan selesai tugas dan kehidupan Nabi di dunia ini telah diantisipasi akan tamat.
Pada periode khalifah pertama, Abu Bakar, banyak terjadi pertempuran melawan orang-orang yang murtad dan para nabi palsu. Di antara mereka yang gugur dalam pertempuran banyak penghafal ayat-ayat al-Qur’an. Umar bin Khaththab mengu­sulkan untuk menghimpun para penghafal al-Qur’an, disu­ruh membacakan al-Qur’an, mengakibatkan satu, meneliti dan menulis ulang. Kumpulan itu yang ditulis oleh Zaid bin Tsabit, mushaf, berbentuklembaran-lembaran yang diikat menjadi satu, disusun menurut urutan ayat dan surat seperti yang sudah ditetapkan oleh Nabi sebelum wafat. Sedangkan pada periode Utsman bin Affan, tentara Muslim telah sampai ke Armenia, Azerbajan di sebelah Timur dan Tripoli di sebelah barat. Kaum Muslim terpencar di seluruh pelosok negeri, ada yang tinggal di Mesir, Syria, Irak, Persia dan Afrika. Naskah beredar di mana­mana, tetapi urutan surat dan cara membacanya bermacam-macam, se­suai dialek di mana mereka tinggal. Hal ini menimbulkan perti­kaian antarkaum Muslim sehingga menyebabkan kekhawatiran pemerintahan Utsman. Maka lalu Utsman membentuk panitia untuk membukukan ayat-ayat al-Qur’an dengan me­rujuk pada dialek suku Quraisy, alasannya ayat al-Qur’an diturun­kan dengan dialek mereka, sesuai dengan suku Muhammad saw. Buku tersebut diberi nama al-Mushaf, ditulis lima kopi dan diantarkan ke empat tempat: Mekkah, Syria, Bashrah, dan Ku­fah. Satu kopi disimpan di Medinah sebagai arsip dan disebut Mushaf al-Imam.
Walaupun sudah disatukan dan diseragamkan, namun tetap cukup banyak al-Qur’an di Afrika dengan dialek berbeda, ter­masuk jumlah ayat yang “berbeda” alasannya adalah perbedaan mem­baca dalam pergeseran nafas (6.666 ayat), tetapi isinya tetap sama. Awalnya, pada zaman Nabi, al-Qur’an menggunakan dialek Quraisy, namun kemudian menjelma tujuh dialek non-Quraisy. Pada mulanya, ini dimaksudkan semoga suku-suku lain lebih mengerti. Ada juga anutan tersendiri (kelompok kecill, pimpinan Dr. Rashad Khalifa, kelahiran Mesir, seorang ahli biokimia dan matematika, yang mengiklankan jumlah ayat 6.234, berbeda 2 ayat dengan naskah Ustman, 6.236 ayat.7 Sedangkan dominan Muslim, baik Sunni maupun Syi ah tetap berpegang teguh pada naskah permulaan yang dikumpulkan semasa Khalifah Ustman, yaitu dialek Quraisy, sampai sekarang. Perbedaan kecil ini, menjadi target kritik para Orientalis, bahwa al-Qur’ an tidak asli lagi, sebab sudah ada campur tangan manusia dalam transmisinya. Walaupun demikian, sebagian di antara mereka, seperti Gibb, Kenneth Cragg, John Burton, dan Schwally dalam bukunya Mohammedanism, The Collection of the Qur’an , The Mind of the Qu’ran, dan Geschichte des Qorans, mengakui bahwa “sejauh wawasan kita, kita mampu percaya bahwa teks wahyu telah di­transmisikan sebagaimana apa yang sudah diberikan kepada Nabi”.
Mushaf Utsmani Disimpan di Mana?
Banyak pertanyaan, di mana copy yang diberikan oleh Kha­lifah Utsman disimpan? Apakah masih ada? Menurut penje­lasan The Institute of Islamic Information and Education of America, naskah tadi disimpan di Museum Tashkent di Uz­bekistan, Asia Tengah. Sedangkan hasil copy fax ada di Perpus­takaan Universitas Columbia di Amerika Serikat. Keterangan lebih lanjut menerangkan bahwa copy tersebut sama dengan apa yang dimiliki pada zaman Nabi. Duplikat copy yang dikirimkan ke Syria pada era Utsman juga masih ada di Topkapi Museum Istambul, duplikat ini dibentuk sebelum terjadi kebakaran pada tahun 1892 yang merusak mesjid Jami, di mana mushaf tersebut berada. Naskah yang lebih renta mampu didapatkan di Dar al-Kutub, Kesultanan Mesir. Sangat menawan, terdapat naskah yang disimpan di Perpustakaan Kongres di Washington, Ches­ter Beatty Museum di Dublin (Irlandia) dan Museum di Lon­don-isinya tidak berlawanan dengan apa yang terdapat di Mesir, Uzbekistan dan Syria. Sebelumnya juga terdapat 42.000 koleksi naskah antik disimpan Institute for Koranforshung, University of Munich di Jerman. Namun, dikala Perang Dunia II, koleksi ini hancur karena dibom. Sejauh ini, berkat upaya para sahabat Nabi dan atas santunan Tuhan Yang Maha Esa, isi al-Qur’an, semenjak zaman Nabi hingga kini tetap sama. Namun demi­semakin, pertanyaan lainnya muncul. Jika ini semua asli sesuai dengan aslinya, bagaimana kita yakin bahwa al-Qur’an berasal dari “Sumber Metafisis Tertinggi”? Sebagian besar kaum Mus­lim sungguh percaya bahwa al-Qur’an ialah asli dari Tuhan, karena al-Qur’an sendiri yang mengatakan demikian; contohnya saja, Surat an-Nisa’ (4:82); al-An’am (6:19); (6:92); an-Naml (27:6); al-Jatsiyah (45:2). Sebagian Muslim yang lain gres percaya sesudah membaca dan mengetahui isinya dengan baik, berpikiran jernih, dan mau membuka hati dengan hal-hal yang baru. Tetapi mampu dipahami pula, alasannya “sumbernya dari dalam”, bagi urang luar yang skeptis, pendapat apa saja dimungkinkan. Oleh sebab itu, bagi orang luar, bukan golongan Muslim atau siapa sajn, pilihannya yaitu salah satu dari lima kemungkinan yang “mengarang al-Qur’an”. 
Pertama, Nabi Muhammad saw. 
Kedua, para pujangga-ilmuwan Arab dan kumpulan dongeng dari banyak sekali sumber. 
Ketiga, ialah jiplakan dari kitab suci Alkitab dan Taurat. 
Keemyat, bikinan makhluk aneh. 
Dan kelima, dari Tuhan. 
Al-Qur’ an berpandangan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Ia menyampaikan bahwa yakin atau tidaknya seseorang terhadap isi al-Qur’an, semata-mata alasannya hidayah Allah. Hidayah diberikan bagi yang mau berpikir jernih dan berprasangka baik.
Sebagian Muslim makin percaya sebab aspek-faktor eksternal, bukan hanya karena pernyataan al-Qur’an saja. Mereka berpikir begini. 
Pertarma, Muhammad saw terkenal karena kujujurannya, sanggup menerima amanah, dan bukan orang yang arif membaca dan menulis. Di lain pihak, gaya bahasa al-Qur’an sangat berbeda dengan gaya bahasa Nabi ketika bertutur. Al-Qur’an senantiasa menggunakan gaya yang unik, dimulai dengan “Katakanlah”, “ingatkah”, “Tuhan berkata”, “Mereka mengajukan pertanyaan”, dan sebagainya. 
Kedua, ada puluhan surat dan ayat yang dimulai dengan huruf-karakter Arab, yang pada awalnya tidak dimengerti maknanya. Huruf sisipan atau fawatih. Huruf-huruf ini tidak ada perlunya bila “makhluk biasa” yang membuat, alasannya adalah tidak diketahui oleh pembacanya hingga berabad-periode lamanya, membuat gundah. 
Ketiga, sesuatu yang menawan yang lain, bahwa nama Muhammad cuma empat kali disebut dalam al­Qur an. Nama Adam as dan Isa as jauh lebih banyak disebut. Mereka disebut oleh al-Qur’an masing-masing 25 kali. Bahkan nama Musa as paling banyak disebut. 
Keempat, kisah atau ung­kapan sejarah serupa dengan cerita dalam kitab suci yang lain, tetapi sungguh berlawanan dalam rincian dan maknanya. Beberapa kisah abad lalu, bahkan tidak didapatkan dalam kitab Yahudi atau Bibel. Seperti cerita bangsa Tsamud, Ad, kota Iram, dialog antara Nuh as dengan puteranya sebelum banjir terjadi, dan “percakapan semut yang didengar Sulaiman as”. 
Kelima, ajakan al-Qur’an bukan saja ditujukan kepada semua insan (di bumi dan langit–planet dan alam yang lain), namun juga kalangan jin (beserta seluruh rasnya, mirip setan, iblis, ifrit, dan makhluk gila yang belum dikenali insan). Ayat-ayat ini tidak ada perlunya kalau “makhluk biasa” yang membuat, apa manfaat­nya? 
Keenam, detail perihal malaikat, jin, penciptaan (banyak) alam semesta dan (banyak) bumi, fenomena ilmiah, di mana wawasan insan belum atau baru saja mengetahui.
Ketujuh, struktur kodetifikasi yang ditemukan dalam al-Qur’an, di mana beliau mengatakan untuk memperbesar keimanan bagi orang yang beriman dan membuat tidak ragu bagi pembaca Kitab ini (al-Muddatstsir 74 : 30).
Beberapa aspek eksternal tersebut menyebabkan sebagian kaum Muslim semakin yakin bahwa al-Qur’an kecil sekali ke­mungkinannya dibuat oleh makhluk biasa, baik manusia mau­pun jin. Kita juga harus ingat, kaum Muslim yang lain, yang bukan Islam karena “dilahirkan” – Islam sebab “pindah agama atau mendapatkan agama”, mereka mempunyai argumentasi yang Iebih spesifik.
Mushaf Utsmani yakni satu-satunya kitab, di mana enkripsi dan kodetifikasi bilangan prima ditemukan secara terorganisir, komprehensif, mulai dari yang paling sederhana sampai yang rumit.