Perbandingan Pidana Mati Terhadap Koruptor Di Indonesia & Cina

Diskursus penegakan aturan di Indonesia sebagai salah satu perihal dominan, menemui maknanya saat hingga pada konteks alternatif pembangunan hukum terhadap kejahatan korupsi yang sudah mendistorsi sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi ialah salah satu penyakit penduduk yang sama dengan jenis kejahatan lain seperti pencurian, penyuapan ataupun penggelapan yang telah ada semenjak insan bermasyarakat di atas bumi ini. Hal ini dapat dilihat, pada zaman kerajaan di Indonesia alasannya adalah pandangan feodal, rakyat memberikan upeti-upeti terhadap raja-raja. Korupsi juga mampu terjadi pada lingkup rumah tangga, seorang anak, suami atau istri ada yang tidak jujur dan tidak bertanggungjawab kepada amanat yang diterimanya. Misalnya Ketika seorang anak meminta pembayaran SPP yang lebih dari yang seharusnya, hal ini merupakan awal dari sebuah praktik korupsi. Sedangkan praktik korupsi pada tingkatan elit bangsa antara lain dengan cara penyelewangan anggaran, penggelembungan (mark up) anggaran, ataupun dengan penyuapan, yang semuanya ini akan mempunyai dampak pada kesehjateraan rakyat.

Di negeri ini, korupsi agaknya telah menjadi penyakit akut yang sangat sulit untuk diberantas. Bertahun-tahun di bawah pemerintahan yang korup, mengakibatkan penyebaran korupsi semakin meluas dan sistematis, bahkan korupsi memiliki kecenderungan untuk menjadi duduk perkara publik, yang dilakukan secara tolong-menolong yang juga disebut dengan “korupsi berjamaah”. Korupsi yang meluas dengan gampang kita temui pada nyaris seluruh kantor pelayanan publik. Korupsi telah menjadi bagian sistem pengelolaan negara. Celakanya korupsi kerap melibatkan petinggi-petinggi negeri ini. Hasil riset juga menunjukkan korupsi meningkat dari waktu ke waktu, baik kuantitas maupun kualitas, bahkan korupsi menjadi kejahatan yang sangat hebat (ekstraordinary crimes), seiring dengan predikat Indonesia selaku negara terkorup.

Melihat begitu banyaknya aturan-aturan maupun pembentukan tim dalam upaya memberantas korupsi, Klitgaard menyatakan bahwa seni manajemen pemberantasan korupsi harus meninggalkan refleks menciptakan hukum-aturan baru, membuat mekanisme baru, dan membentuk unit-unit pengawas gres setiap kali timbul masalah korupsi. Apa yang dinyatakan Klitgaard yaitu seusai dengan fenomena yang terjadi di negeri ini, dimana setiap kali pergeseran rezim berkuasa selalu ditandai dengan kesungguhan membuat dan mengubah undang-undang tindak kriminal korupsi dan memperbanyak forum pengawasan atau komisi anti korupsi, meskipun dikenali risikonya dikenali tidak akan efektif dan efisien.

Sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia sudah dilaksanakan semenjak tahun 1967, dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi. Pada tahun 1970 dibuat Komite Anti Korupsi (KAK). Selanjutnya dibentuk juga Komisi Empat. Tahun 1977 dibentuklah Opstib. Kemudian pada tahun 1982 Tim Pemberantas Korupsi (TPK) dihidupkan kembali. Tahun 1999 dibuat tim yang bertugas untuk menyelidiki kekayaan pejabat negara yaitu KPKKN. Selanjutnya dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) tahun 1999. Pada tahun 2002 terbentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dari sisi peraturan perundang-permintaan, perumpamaan korupsi sebagai istilah yuridis gres dipakai pada tahun 1957, ialah dengan adanya Peraturan Penguasa Militer yang berlaku di daerah kekuasaan Angkatan Darat, lalu disusul Undang-Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan tindak Pidana Korupsi, lalu digantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Selanjutnya berlakulah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, lalu diubah lewat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pemerintah Indonesia sudah melakukan terobosan dengan mengoptimalkan hukuman bagi koruptor yang tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 31/1999 yang diubah dengan UU No. 20/2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dimana dalam pasal ini sanksi hukumanya yakni eksekusi mati, bilamana tindakan korupsi itu dilakukan terhadap dana yang didedikasikan bagi penanggulangan keadaan ancaman, petaka nasional, penanggulangan balasan kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindakan melawan hukum korupsi. Penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak kriminal korupsi cuma dijatuhkan jika dikerjakan dalam kondisi tertentu. Hal ini menjadi titik kekurangan perangkat undang-undang kita, mengapa “si pembuat undang-undang” tidak menyeragamkan semua bentuk-bentuk korupsi dengan ancaman optimal eksekusi mati atau dengan menciptakan suatu batasan minimal berapa besar nilai korupsinya untuk mampu dijatuhi hukuman mati.

Adapun masalah-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia yang mampu dipidana mati berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU No. 31/1999 yang diubah dengan UU No. 20/2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, misalnya kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Dana Bantuan CGI, kredit macet yang melahirkan pengutang-utang raksasa, ataupun masalah-perkara lain yang mampu dijerat dengan pidana mati.

Sampai ketika ini di Indonesia penerapan pidana mati cuma diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan konvensional, misalnya pembunuhan berencana dan pengedaran narkoba, walaupun pidana mati masih menjadikan prokontra dengan argumentasi pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Tapi Kita telah mengetahui bersama, bahwa tindak pidana korupsi tergolong ekstraordinary crime atau kejahatan hebat, sebab korupsi menimbulkan terjadinya pengangguran dan kemiskinan serta putus sekolah, tergolong penyebab naiknya harga BBM. Kaprikornus sudah sungguh pantaslah bila masalah korupsi dijatuhi pidana mati, hal ini pastinya bukan untuk “membalas dendam” namun berfungsi selaku shock therapy atau untuk “menakut-nakuti” bagi para kandidat koruptor yang lain. Yang menjadi pertanyaan yakni adakah keseriusan para elite politik, penguasa negeri ini untuk memberantas korupsi dengan cara menghukum mati para koruptor, atau cuma sekedar poltical will saja dengan menuangkannya ke dalam Pasal 2 (2) UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001 biar semoga tidak dibilang bukan ialah bab dari duduk perkara korupsi. Kelihatannya pemberantasan korupsi dengan menghukum mati para koruptor cuma menjadi issue poltik demi menghibur rakyat.

Melihat fenomena dikala ini saatnya diberlakukan “keadaan darurat korupsi” dimana penanggulangan korupsi menggunakan cara-cara yang sangat hebat melalui hukum lebih revolusioner atau yang bersifat tink tank artinya, pemerintah mampu melaksanakan cara-cara ekstrim sekalipun sepanjang hal itu dipandang selaku terobosan yang akan menghasilkan pengaruh singnifikan. Dalam keadaan mirip ini, sungguh dimungkinkan mengambil tindakan atau langkah apapun (tidak anarkis dan berperikemanusiaan), asal saja tetap berada dalam bingkai ketentuan yang memberi keleluasan dan akomodasi untuk itu, yang diseusaikan dengan tujuan hukum keadilan dan kemanfaatan. Misalnya dalam bentuk langkah-langkah: pidana mati terhadap elit politik dan konglomerat yang korupsi.

Dalam memberantas tindakan melawan hukum korupsi, pemerintah Indonesia sebaiknya meniru pemerintah Cina, kesepakatan pemerintah Cina dalam memberantas korupsi tidak disangsikan lagi, bukan cuma slogan atau retorika belaka, mirip yang terjadi di Indonesia, akan tetapi dibuktikan dengan menghukum mati para pejabat yang korupsi. Cina yang dulunya yakni negara teratas paling terkorup di dunia, tetapi kini bukan pada gugus teratas lagi. Hal ini alasannya adalah kesepakatan dari Mantan Perdana Menteri Cina Zhu Rongji yang mengkampanyekan antikorupsi dengan memberlakukan hukuman mati bagi para koruptor, dan menantang siapa saja rakyat Cina untuk menembak dirinya di kawasan kalau dia terbukti korupsi.

Pada kurun pemerintahan Mantan Perdana Menteri Cina Zhu Rongji, diketahui dengan istilah 101 peti mati untuk koruptor, sembilan puluh sembilan untuk para koruptor dan satu untuk Zhu Rongji apabila beliau berbuat sama. Itulah sabda dari Mantan Perdana Menteri Cina Zhu Rongji pada pelantikannya Maret 1998.

Saat ini di Cina telah ada para pejabat pemerintahnya yang dieksekusi mati sebab terbukti korupsi antara lain, Wakil Gubernur Provinsi Jiangxi, Hu Chang-ging dan Deputi Walikota Leshan, Li Yushu . Dua orang ini cuma segelentir dari orang-orang yang sudah dihukum mati karena korupsi. Mengapa Cina dapat menerapkan dengan baik penjatuhan pidana mati bagi koruptor, sedangkan di Indonesia belum pernah diterapkan meskipun aturannya sudah ada.

Telaah Kritis Political Action Penjatuhan Pidana Mati Terhadap Pelaku Kejahatan Korupsi Di Indonesia dan Cina

Aspirasi dan permintaan masyarakat yang sangat kuat di abad reformasi untuk mencegah dan memberantas korupsi secara lebih efektif, disalurkan dan diwujudkan oleh wakil-wakil rakyat di dewan perwakilan rakyat dengan mengubah UU No. 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan UU No. 31/1999 yang lalu undang-undang ini pun diamandemen dengan UU No. 20/2001. Salah satu kebijakan yang ditempuh DPR dalam melaksanakan pergantian undang-undang untuk memberantas korupsi adalah dengan mencatumkan ancaman pidana mati dalam UU No. 31/1999 yang dalam undang-undang sebelumnya tidak ada.

Dalam “Penjelasan Umum” UU No. 31/1999 dinyatakan sebagai berikut:
Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk menghalangi dan memberantas tindak kriminal korupsi, undang-undang ini memuat ketentuan pidana yang berlawanan dengan undang-undang sebelumnya, yakni menentukan bahaya pidana khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana.

Adanya bahaya pidana mati dalam UU No. 31/1999 itu seakan-akan memberikan keseriusan pemerintah dan DPR pada waktu itu untuk memberantas korupsi. Bahkan sempat juga pidana mati itu digunakan sebagai komoditas politik calon-kandidat Presiden dan Wapres sementara waktu yang kemudian untuk memperkuat komitmennya dalam upaya program pemberantasan korupsi di Indonesia.

Dalam teori kriminologi ada empat cara menangani kejahatan, demikian pula halnya dalam pemberantasan korupsi, ada empat metode pendekatan yang dimaksud yaitu:

1. Tindakan Pre-emtif, sikap korup mampu dicegah sedini mungkin dengan jalan melakukan sosialisasi, penyuluhan, penataran disekolah, kantor dan kepada seluruh unsur bangsa dimanapun berada wacana bahaya laten korupsi, maksudnya yakni untuk mendorong lahirnya perilaku resistensi. Melalui cara ini, dogma atau suntikan anti korupsi ditanamkan untuk menolak sikap permisif penduduk dan anggapan korupsi selaku bentuk kerjasama yang bersifat simbiosis mutualis.
2. Tindakan Preventif, disebut juga sebagai pendekatan kausatif artinya mencari karena mengapa penegakan aturan berbau korupsi dan lalu mengobati, sikap korupsi dicegah dengan jalan menutup semua potensi atau peluang yang berada dalam lingkup kewenangan atau kekuasaannya melalui bentuk pengawasan, transparansi, akuntabilitas. Ketiga cara tersebut dimaksudkan sebagai cara yang bersifat premium remidium
3. Tindakan Repressif, yang mengajarkan bahwa semua pelaku tindak pidana korupsi harus dilaksanakan proses hukum tanpa kecuali. Apabila terjadi tindakan melawan hukum korupsi, maka dijalankan langkah-langkah penahanan, penangkapan, atau penyitaan dan menawarkan eksekusi berat untuk melahirkan preseden, langkah-langkah mirip ini berfungsi selaku prevensi biasa dan khusus.
4. Tindakan Kuratif, melakukan pembinaan dan rehabilitasi adab para pelaku tindakan melawan hukum korupsi setelah dan setelah menjalani proses eksekusi. Kedua pendekatan ini mesti berlangsung paralel dan simultan.

Mengenai kesungguhan memberantas korupsi, pada bulan Februari 2005 lalu bertepatan dengan Hari Pemberantasan Korupsi Se-Dunia, Presiden RI telah mencanangkan tahun 2005 selaku Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi, untuk mendukung gerakan tersebut Presiden menginstruksikan terhadap jajaran menteri Kabinet Indonesia Bersatu, Jaksa Agung, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kapolri, para kepala pemerintah non-departemen, para Gubernur, Bupati/Walikota untuk melakukan tindakan yang dianggap perlu guna mempercepat pemberantasan korupsi. Perintah itu secara legal dituangkan dalam Inpres No. 5/2004 ihwal Percepatan Pemberantasan Korupsi. Tentu saja, dari semua jajaran direktur yang menerima kode khusus itu, perintah kepada Jaksa Agung dan Kapolri harus menerima perhatian istimewa. Alasannya, perhatian lebih kepada dua forum ini bukan berarti institusi lain tidak penting. Namun perbaikan performance dan kinerja jaksa serta polisi dapat menyebabkan optimisme dalam pemberantasan korupsi. Ibarat bermain sepakbola, Jaksa Agung dan Kapolri yaitu tandem yang menempati ujung tombak dan dibutuhkan dari keduanya akan lahir gol-gol yang spektakuler, sukar disangka , dan mengejutkan. Maksudnya, kita meletakkan cita-cita yang besar ke pundak Jaksa Agung dan Kapolri untuk segera menangkap, memeriksa, menyelidiki, dan menuntut para koruptor untuk di bawa ke meja hijau tanpa kompromi dan tak diskriminatif. Sehingga para bromocorah dan tikus berdasi yang menggerogoti keuangan negara mampu dijebloskan ke hotel prodeo. Bilamana perlu, melihat tingkat kejahatan korupsi yang telah menggila di negeri ini, Undang-undang yang memberlakukan hukuman mati bagi para koruptor patut dipraktekkan. Hal ini penting, sebab akan memperlihatkan efek jera bagi para koruptor. Karena bagaimanapun juga, sebenarnya korupsi dapat dikategorikan sebagai crime aginst humanity. Selain itu, tindakan korupsi juga sepadan dengan tindakan pengkhianatan terhadap bangsa dan negara.

  Proses Terjadinya Kepailitan Perusahaan

Dalam Inpres No 5/2004, ada tiga instruksi khusus Presiden RI terhadap Jaksa Agung dan Kapolri, ialah:

1. Mengoptimalkan upaya penyidikan dan penuntutan kepada tindakan melawan hukum korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan keuangan negara.
2. Mencegah dan memberi sanksi tegas kepada penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh jaksa/penuntut umum dalam rangka penegakan hukum.
3. Meningkatkan koordinasi dengan kepolisian, Badan Pengawas Keuangan, Pusat Pelaporan Keuangan dan analisis transaksi hukum serta pengembalian kerugian negara akhir tindak kriminal korupsi.

Khusus untuk instruksi memaksimalkan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi, Kejaksaan harus mengoptimalkan permintaan terhadap pelaku korupsi, adalah dengan memakai ketentuan Pasal 2 Ayat (2) UU No. 31/1999 yang telah diubah dengan UU No. 20/2001 apabila ada bahwa korupsi yang dijalankan dalam “kondisi tertentu” dapat dijatuhi eksekusi mati. Penjelasan Pasal 2 Ayat (2) memilih kondisi tertentu selaku pemberat pidana kalau korupsi dijalankan terhadap dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan (1) kondisi bahaya, (2) petaka nasional, (3) balasan kerusuhan yang meluas, (4) krisis ekonomi dan moneter, dan (5) pengulangan tindak kriminal korupsi.

Dipilihnya atau diterapkannya pidana mati sebagai salah satu fasilitas untuk menangani kejahatan pada hakikatnya merupakan salah satu opsi kebijakan. Dalam menetapkan sebuah kebijakan, mampu saja orang beropini pro atau kontra kepada hukuman mati. Namun sesudah kebijakan diambil dan ditentukan dan kemudian dirumuskan dalam suatu undang-undang, maka dilihat dari sudut kebijakan poltik aturan pidana (penal policy) dan kebijakan kriminal (criminal policy), kebijakan formulasi pidana mati itu tentunya dibutuhkan mampu diterapkan pada tahap aplikasi.

Apabila putusan hakim kasus korupsi dicermati nampak secara terang ada ketidakadilan dan perlakuan yang berbeda antara kejahatan blue collor crimes dengan white collor crimes, mengapa demikian, persoalannya terletak pada stigma kejahatan. Kejahatan blue collor crime sifat tercelanya tindakan berasal dari penduduk , perbuatan yang dilaksanakan sungguh menjijikkan. Orang sering menyebutnya sebagai kejahatan mala inse artinya stigma kejahatan berasal dari penduduk , sedangkan kejahatan white collor crime sifat tercelahnya perbuatan berasal dari negara, konsekuensinya masyarakat menilai bukan merupakan kejahatan yang serius. Tidak mengherankan jika orang yang melaksanakan kejahatan korupsi tidak merasa bersalah dan berdosa, malah terkesan “kejahatan prestise” artinya orang berlomba melakukannya, justeru orang yang tidak ikut (penyimpangan budaya) dianggap “kurang pandai” inilah yang disebut dengan keadaan “anomalia”

Seharusnya penjatuhan hukuman terhadap tindak kriminal korupsi yang telah tergolong extra ordinary crime bersifat proporsional dan lebih mengedepankan kepentingan bangsa dan negara, atas dasar hal tersebut, hakim dapat melakukan usulanputusan secara objektif antara lain :

1. Akibat yang ditimbulkan sungguh serius adalah merusak sendi-sendi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, misalnya pembangunan mengalami distorsi, pengangguran merajalela, membawa bangsa terperosok kelembah kemiskinan dan kelaparan, menurunkan pendapat/kesejahteraan penduduk dan menimbulkan terjadinya hight cost production dsb,
2. Subjek tindak pidana ialah pejabat yang mendapat akidah publik, kedudukan pejabat yaitu pengemban amanah rakyat yang mesti melaksanakan secara jujur dan bertanggungjawab kepada penduduk (akuntabilitas publik) alasannya adalah terhadapnya mendapat santunan dan akomodasi, sehingga beliau harus menjadi contoh, saat melakukan tindakan melawan hukum korupsi maka mereka yang pertama selaku preseden menerima tindak hukum tegas dan keras,
3. Korbannya tindak kriminal korupsi bersifat masif dalam arti bukan orang perorang,
4. Menjatuhkan martabat bangsa di mata dunia internasional secara politis dan ekonomi bangsa Indonesia mampu dikucilkan dalam pergaulan bangsa-bangsa di dunia.
5. Berdasarkan hal diatas, muncul pertanyaan fundamental, mengapa sejak berlakunya ketentuan tindak pidana korupsi semenjak orde usang sampai ketika sekarang ini, tidak satupun pelaku dipidana mati atau penjara seumur hidup, hal ini tentunya berhubungan poltical action pemerintah maupun pegawapemerintah aturan dalam memberantas tindak kriminal korupsi yang menjadi tanggungjawab tidak saja dibebankan kepada pemerintah, tetapi juga legislatif, yudikatif dan seluruh penduduk bangsa Indonesia.

Secara normatif ketentuan pidana mati tindak kriminal korupsi telah dikontrol dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Thn 1999 jo. UU No. 20/2001 yang menyebut selaku berikut: dalam hal tindakan melawan hukum korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikerjakan dalam kondisi tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Penjelasan pasal tersebut menyebutkan:
Yang dimaksud “kondisi tertentu“ dalam keadaan ini ialah keadaan yang mampu dijadikan argumentasi pemberatan pidana bagi pelaku tindakan melawan hukum korupsi yakni jika tindak kriminal tersebut dikerjakan kepada dana–dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan kondisi ancaman, musibah nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter dan pengulangan tidak pidana korupsi.

Melihat dari sudut pandang sosiologis-filosofis anutan pembuat undang-undang atas lahirnya pasal tersebut, yakni tercermin pada makna pinjaman pemberian kemanusian bagi mereka yang memerlukan, perilaku proteksi kepada dana derma kemanusiaan pemerintah mampu dikenali alasannya berapapun kecilnya pemberian itu mesti dijamin sampai kepada yang berhak mendapatkannya. Dalam prakteknya, nyaris sebagian besar perkara korupsi besumber dari dilema penyaluran sumbangan yang terindikasi merugikan negara dan penduduk . Contoh perkara Akbar Tandjung (seandainya dia bersalah) yang menyelewengkan dana Bulog untuk sembako dan kasus yang gres terungkap di Gowa, penyelewengan dana penanggulangan peristiwa yang melibatkan Mantan Bupati Gowa. Oleh sebab korupsi sebagai kejahatan ekstraordinary crimes, maka dari sisi filosofis seyogyanya putusan pengadilan dan Mahkamah Agung memulihkan rasa keadilan korban yang sifatnya masif dalam bentuk menunjukkan imbas psikologis atau berupa penderitaaan. Sedangkan dari segi sosiologis tujuannya untuk mengurangi kesengajangan perlakuan hukum (perlakuan diskriminatif) yang terjadi di tengah masyarakat antara pejabat dan bukan orang lazimatau antara orang kaya dengan orang miskin dan sebagainya.

Apabila dilihat dari segi politis hal ini dimaksudkan agar semoga publik mengetahui bahwa pemerintah betul-betul bertekad untuk memberantas korupsi sampai keakarnya untuk mendapat legitimasi politik dari rakyat. Sehubungan dengan hal tersebut ada tiga hal yang dapat diamati dalam penerapan hukuman pidana mati kepada pelaku delik korupsi, yakni:
1. Sejauhmana penjatuhan hukuman pidana mati berpengaruh kepada tinggi/rendahnya tingkat
kejahatan,
2. Adakah korelasi antara penjatuhan pidana mati dengan lemahnya political action dan perilaku
watak aparat memberantas korupsi, dan
3. Apakah penjatuhan pidana mati dipandang efektif dan mengandung unsur menangkal
kejahatan, atau justru sebaliknya, membuat kandidat pelaku lainnya kian menjadi-jadi dan
bahkan memberi preseden bagi yang lainnya.

Pemidanaan mengandung faktor prevensi khusus, yaitu mencegah agar pelaku tidak berbuat untuk kali berikutnya dan prevensi lazim, ialah mengendalikan penduduk semoga takut melaksanakan kejahatan. Kedua aspek pemidanaan ini pada dasarnya bermaksud memperlihatkan efek psikologis dan rasa takut. Akan namun bagaimanapun juga rasa takut ini kembali terhadap pribadi-eksklusif anggota masyarakat, dengan demikian pegawapemerintah aturan mesti mampu memberikan shock terapy terhadap kejahatan dan merehabilitasi para pelakunya. semoga pemidanaan lebih efektif mengatur dan meminimalisir laju perkembangan korupsi, maka teori yang tepat untuk menjelaskan itu yaitu yang dikemukakan oleh Suhterland dan Cressey perihal efektivitas sanksi penjatuhan pidana mati dalam menekan statistik kriminal. Dimana sanksi pidana dihadirkan selaku suatu instrumen aturan yang berfungsi untuk menakuti-nakuti orang. Teori ini dikenal dengan teori as a detterent.

Penerapan teori as a detterent, dalam memberantas korupsi diperlukan akan berfungsi prevensi biasa dan khusus. Apabila hukuman pidana dalam rumusan undang-undang ancamannya lebih tinggi, dan secara konsisten dijatuhkan di Pengadilan (misalnya, putusan pidana mati atau seumur hidup), setidaknya akan kuat kepada statistik tindak kriminal korupsi. Namun dalam kenyataannya, kalaupun ada penjatuhan hukuman pidana atas perkara tindakan melawan hukum korupsi sungguh ringan, sehingga penegakan hukum belum berjalan sesuai perasaan hukum dan keadilan penduduk .

Khusus untuk kasus korupsi imbas penjeraan dipandang lebih efektif jika diterapkan hukuman berat berupa hukuman maksimum 20 tahun bahkan eksekusi mati atau hukuman seumur hidup sekalipun. Alasannya penjatuhan pidana berat pada dua stratifikasi sosial, antara pejabat atau konglomerat disatu segi dengan masyarakat pinggiran atau gelandangan disisi lain, akan menawarkan efek psikologis (penjeraan) yang berlainan. Akan sangat terasa efek penjeraan kepada para pejabat/konglomerat. Ada hasil penelitian mengungkapkan bahwa penjatuhan pidana berat tidak berpengaruh terhadap penurunan angka kejahatan, yang perlu digaris bawahi dari hasil observasi tersebut adalah objek penelitiannya yakni penduduk pinggiran/kumuh, berbeda ketika hukuman pidana berat dipraktekkan terhadap para pejabat atau konglomerat.

Rekapitulasi putusan masalah tindak pidana korupsi diseluruh Indonesia dalam kala waktu tiga tahun terakhir, dsecara keseluruhan memberikan bahwa penjatuhan hukuman pidana oleh hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung termasuk relatif sangat minim, kurang adil dan tidak proporsional jikalau dibandingkan tindak kriminal yang lain. Bahkan Teten Masduki (Koordinator ICW) menganggap bahwa hukuman tindakan melawan hukum korupsi sama sekali tidak membuat efek jera, alasannya hakim tidak menyuruh terpidana untuk masuk penjara, contohnya masalah Probosutedjo dengan pidana empat tahun penjara, tetapi seperti vonis-vonis perkara korupsi yang lain, hakim tak menyuruh Probosutedjo untuk segera masuk penjara. Alasannya, Probosutedjo tidak akan melarikan diri, hingga ada vonis yang berkekuatan hukum tetap. Tampaknya hal ini menjadi model solusi masalah korupsi melalui pengadilan untuk melobi hakim di tingkat banding atau kasasi untuk merenggangkan putusan atau menunggu sampai terjadi pergantian kekuasaan.

  Pemahaman Aturan Yang Perlu Dimengerti

Apa argumentasi dan filosofi mengapa hakim menjatuhkan pidana penjara dan bukan pidana mati terhadap kasus tindakan melawan hukum korupsi, Prof. Surya Jaya dalam penelitiannya menemukan bahwa hakim pada prinsipnya menyatakan bahwa rendahnya penjatuhan hukum bagi pelaku korupsi didasarkan pada prinsip ultimun remidium, artinya hukuman fisik/penjara selaku senjata paling selesai dari seluruh mata rantai proses hukum. Soal penjatuhan berat ringannya pidana yakni ialah hak otonomi hakim yang dilarang dipengaruhi oleh siapapun juga, tergolong atasannya. Larangan bagi hakim hanya bila menjatuhkan pidana lebih rendah/kurang atau melampaui batas yang ditentukan dalam undang-undang. Pertanggungjawaban berat ringannya pidana hanya berdasarkan terhadap Allah SWT. Hal ini sesuai dengan suara putusan “ Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Disamping itu hukuman mati masih pro kontra, terlebih untuk kasus tindak pidana korupsi. Selain itu sungguh kecil peluang untuk menghukum mati para koruptor dikarenakan dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum masih mencurigai

Dengan kian banyaknya jumlah kasus korupsi dan menyebabkan kerugian negara yang begitu besar, tetapi rendahnya tingkat penjatuhan hukuman pidana terhadap pelaku kejahatan korupsi menandakan bahwa lemahnya political action pemerintah maupun pegawapemerintah penegak hukum. Berbagai argumentasi dan alasan yang dikemukakan berkaitan dengan hal ini, bahwa lemahnya political action pemerintah maupun abdnegara penegak hukum disebabkan dunia peradilan sudah dikuasai oleh para “cecunguk peradilan”, praktek dunia penegakan hukum sudah terkontaminasi dengan jual beli atau dagang aturan.

Melihat sedemikan parahnya keadaan peradilan mirip yang digambarkan di atas, kenyataannya hukum menjadi sub-ordinat dari kekuasaan dan ekonomi, sehingga menyebabkan terjadinya ambiguitas penjatuhan hukuman mati kepada pelaku kejahatan, disatu segi cuma kejahatan terorisme, pembunuhan, makar, narkoba yang dikenakan. Sedangkan dilain pihak kejahatan korupsi tidak pernah ada satupun yang dieksekusi mati menurut tabel-tabel diatas, padahal issue yang diangkat oleh pembela koruptor ialah sama, yaitu terjadinya pelanggaran HAM terpidana adalah hak hidup, apakah hal ini pertanda bahwa lemahnya poltical action penegakan aturan akan mengalami ambigiutas ketika menghadapi kualifikasi kejahatan blue collor crimei dan white collor crime (tindak kriminal korupsi) Oleh sebab itu, integritas pegawapemerintah aturan serta keteladanan visi misi pemerintah berpengaruh atas lahirnya disparitas pidana tersebut, yang menjadikan lemahnya poltical action penjatuhan pidana mati kepada pelaku kejahatan korupsi.

Kita memang tidak dapat memungkiri bahwa pidana mati terhadap pelaku kejahatan korupsi sampai kini masih melahirkan prokontra, artinya masih banyak kekuatan atau kelompok politik bermain untuk menggagalkan, salah satunya dengan menelaah rumusan pasalnya.

Prof. Achmad Ali dalam suatu kesempatan mengemukakan pertimbangan bahwa:

“Pidana mati kepada pelaku kejahatan korupsi sungguh dibutuhkan dengan menyaksikan konteks negara hari ini, tapi hal ini dilakukan dengan pilih-pilih dan dimulai dari koruptor kelas kakap. Pidana mati ini bukan selaku pembalasan dendam namun berfungsi untuk menakut-nakuti supaya warga penduduk lain tidak ikut-ikut melakukan korupsi. Alasan lainnya lagi, alasannya kalau para koruptor kelas kakap dibiarkan hidup maka ketika-waktu warga penduduk lain menjadi korbannya.”

Seharusnya pegawanegeri aturan tidak butuhgamang menghadapi pilihan penjatuhan pidana mati, sebab landasannya sungguh besar lengan berkuasa yaitu bersumber dari aliran/hukum Islam yang berasal dari Firman ALLAH SWT dalam Al Qur’an (Al-baqarah ayat 178, 179, dan 194) dan Sunnah Rasul (Sunnah Rasulullah “Jangan kamu menghukumnya dengan aturan Allah barang siapa menukar agamanya, hendaklah dibunuh (diriwayatkan oleh Ibnu Abbas) untuk menerapkan Hukum Pidana Islam. Penjatuhan pidana mati dalam desain Islam tidak melanggar HAM sepanjang tahapan-tahapannya dipenuhi.Jika hakim di Indonesia enggan menjatuhkan pidana mati kepada pelaku kejahatan korupsi, maka berlawanan halnya di negara Timur Tengah, Thailand, Malaysia, Hongkong, Korea, utamanya Cina (selaku negara pembanding), semua negara inilah sukses menjadikanya selaku senjata pamungkas memberantas kejahatan (korupsi). China yang sebelumnya selaku negara terkorup lalu secara spektakuler berhasil memberantas dan menghemat tingkat korupsinya, sungguh mengagumkan alasannya adalah dalam waktu beberapa tahun saja, upaya pemberantasan korupsi dilakukakan dengan hasil yang signifikan, sungguh sangat luar biasa. Sebaliknya Indonesia, dari tahun sebelumnya berada pada posisi tiga di bawah China, kemudian berkembangke ranking paling atas.

Berdasarkan hal diatas menawarkan bahwa political action penjatuhan pidana mati kepada pelaku kejahatan korupsi di Indonesia masih lemah, hal inilah mungkin selaku penyebab statistik kejahatan korupsi dari tahun ke tahun terus bertambah alasannya hukuman pidana yang dijatuhkan masih ringan. Tetapi Penggunaan sanksi pidana berat (pidana mati) tidak hanya sekedar mempertontonkan atau mengambarkan janji bahwa penegakan hukum telah dilaksanakan secara sungguh-sungguh, namun lebih dari itu hukum pidana mempunyai tujuan prevensi. Dan juga pemberantasan korupsi selaku musuh bangsa bukanlah bersifat sporadis dan temporal tetapi secara sistematis hingga ke akar-akarnya

Poilitical Action Penjatuhan Pidana Mati Terhadap Pelaku Kejahatan Korupsi Di Cina

Kalau Indonesia mau memberantas korupsi, Cina yaitu pola terbaik. Perdana Menterinya Zhu Rongji pada periode periode 1999-2002 mengkampanyekan antikorupsi dengan mengeefktifkan hukuman mati bagi para koruptor.

Pemberlakuan hukuman mati bagi para pelaku tindak kriminal korupsi di Cina sebenarnya telah diberlakukan sejak dulu, pada tahun 1950-an dengan Kepala negaranya ketika itu Presiden Mao Zedong dengan Partai Komunisnya, memberlakukan hukuman mati bagi para koruptor yang mengkorupsi 500 yuan perak.

Hal ini berlanjut ketika Cina dipimpin oleh Deng Xiao Ping pada tahun 1982 dimana ia mengatakan “barang siapa yang menggelapkan seribu yuan, ia yaitu macan kecil, dan siapa yang menggelapkan duit sepuluh ribu yuan dia adalah macan besar. Dan semuanya itu patut untuk dieksekusi mati”.

Tetapi semua komitmen-kesepakatan oleh para pemimpin Cina pada ketika itu tidak terbukti untuk memberantas korupsi ataupun menekan tingkat korupsi, yang terjadi di Cina semakin terpuruk, dengan semakin banyaknya korupsi yang menciptakan adanya kesenjangan kekayaan. Olehnya itu Cina menempati urutan teratas selaku negara terkorup di dunia.

Pada tahun 1998, Perdana Menteri Cina Zhu Rongji membuat gebrakan yang bukan cuma sekadar komitmen, dimana pada saat itu Perdana Menteri Cina Zhu Rongji mengatakan “untuk melenyapkan korupsi aku merencanakan 101 peti mati, yang satunya untuk saya kalau aku terbukti melaksanakan korupsi”. Ungkapan ini kemudian diulang selama beberapa bulan lewat koran dan televisi yang ialah kampanye pemerintah untuk melenyapkan korupsi. Ucapan Perdana Menteri Cina Zhu Rongji menemukan aktualitasnya hanya beberapa bulan sehabis diucapakan.

Kalau saja pejabat negara dan konglomerat yang ada di Indonesia hidup di Cina, niscaya hakim-hakim pengadilan akan mengantardirinya ke hadapan regu tembak untuk dieksekusi mati. Tapi kenapa pemeritah Cina mentradisikan eksekusi optimal, ialah hukuman mati bagi pejabat publik yang korup

Di Cina korupsi dipandang pemerintah Cina sebagai kejahatan terorganisasi paling laknat. Setara kejahatan narkoba sebab korbannya masyarakat banyak. Sebagai pola pejabat Cina yang mengkorup dana pembangunan jembatan yang kemudian ambruk sebab memang rapuh sebab komposisi materialnya rendah. Akibat rubuhnya jembatan yang merupakan salah satu infrasturktur perekonomian itu tak terhitung kerugian yang diderita penduduk .

Yang paling menghentak eksekusi mati di Cina yakni eksekusi mati atas Wakil Gubernur Jiangxi, Hu Chang- ging pada Maret 2000. Ia terbukti di pengadilan telah mendapatkan suap bernilai lebih dari 600.000 dollar Amerika Serikat, sekitar Rp 5,1 miliar, selaku pejabat berpangkat tinggi yang memeras uang berjumlah besar, mulai dari beberapa kendaraan beroda empat, permata, sampai jam bertatahkan emas. Hu hingga saat ini merupakan pejabat Pemerintah Cina tertinggi yang pernah dihukum mati atas tuduhan korupsi. Perbuatan bejat itu dilakoninya paling banter lima tahun belakangan. Sedangkan yang relatif anyar yaitu hukuman mati kepada Deputi Wali Kota Leshan, Li Yushu, pada 16 Januari 2002 alasannya terbukti mendapatkan suap bernilai 1 juta dollar AS, dua mobil mewah, dan suatu jam tangan Rolex. Pengadilan Tinggi Rakyat Sichuan beropini, Li Yushu memanfaatkan jabatannya sebagai deputi wali kota dengan meraup sogok dalam bentuk kado serta duit tunai 8,2 juta yuan. Penyelidikan memperlihatkan, Li mempunyai sejumlah saham serta rumah dan kendaraan beroda empat mewah senilai 1,5 juta dollar AS. Kekayaan sejumlah ini tak terbayangkan di sebuah kota semacam Leshan, yang pegawai negerinya berpenghasilan tak lebih dari 1.500 dollar setahun.

Dua pola orang ini cuma segelintir dari lebih dibandingkan dengan 4.300 orang di Cina yang sudah menjalani eksekusi eksekusi mati sampai tahun 2002 sebab terbukti korupsi dan melakukan kejahatan lain. Inilah upaya Pemerintah Cina menggelar reformasi demi mengangkat negeri berpenduduk 1,25 miliar itu menghadapi kompetisi yang bersifat global. Transformasi modern Cina meliputi aneka macam dimensi, antara lain yang menonjol yaitu ekonomi dan penegakan hukum. Yang disebut terakhir ini mengakibatkan terang berkilat-kilat ke seluruh dunia atas kesungguhan pemerintah menanggulangi korupsi yang dicanangkan oleh Presiden Jiang Zemin pada tahun 1995, resonansinya mengurat mengakar kepada langkah-langkah menghukum mati para koruptor sehabis sabda Zhu Rongji ketika pelantikannya pada tahun 1998.

Ketegasan membersihkan pemerintahan dari tindakan laknat bernama korupsi itu plus penegakan aturan, dalam persepsi Zhu, akan melakukan roda ekonomi bersemangat sosial-pasar selaku bagian dari transformasi terbaru Cina di lapangan pasar dunia. Dengan aturan yang terperinci, pemain ekonomi dari segala mata angin akan terpancing tanpa waswas masuk ke negeri itu.

Segi inilah yang membedakan reformasi di Cina dan reformasi di Indonesia. Reformasi di Cina dengan tindakan merupakan operator bagi transformasi modern Cina ke arah nyata atau dengan kata lain political action terhadap pelaku kejahatan korupsi di Cina sangat berpengaruh. Sedangkan reformasi di Indonesia dengan ihwal tanpa tindakan merupakan operator kepada transformasi antimodern Indonesia yang tanpa arah.

Pasal-Pasal Tindak Pidana Korupsi Yang Diancam Pidana Mati Dalam kitab undang-undang hukum pidana Cina

Cina ialah salah satu negara komunis yang masih bertahan, walaupun demikian kehidupan ekonominya sudah membuka diri dan dalam hal-hal tertentu menempuh pula jalan kapitalisme. kitab undang-undang hukum pidana Cina disusun pada tahun 1979 dan mulai berlaku pada tanggal 1980, lalu kitab undang-undang hukum pidana Cina diamandemen pada Kongres Masyarakat Cina yang ke VIII pada tahun 1997. Sama halnya dengan KUHP-KUHP terbaru yang lain KUHP Cina terdiri atas dua bagian (buku), ialah bab I perihal Ketentuan Umum dan Bagian II ihwal Ketentuan Khusus.

  Teknologi Media Sosial Dan Dramatistik Lingkungan Rt & Agama

Dalam Ketentuan Khusus KUHP Cina pada Bab I menertibkan mengenai kejahatan yang mengancam kemanan nasional, Bab II kejahatan yang membahayakan ketertiban lazim, Bab III kejahatan yang membahayakan ekonomi sosialis, Bab IV kejahatan pelanggaran hak-hak eksklusif dan hak-hak demokratik, Bab V kejahatan pelanggaran harta benda, Bab VI kejahatan yang menghancurkan ketertiban manajemen sosial, Bab VII kejahatan yang membahayakan kepentingan dalam pembelaan negara, Bab VIII sogok menyogok dan penyuapan, Bab IX kejahatan meninggalkan tugas, dan yang terakhir Bab X Kejahatan atas pelanggaran peran yang dilaksanakan oleh personil militer.

Pada Bab VIII perihal sogok menyogok dan penyuapan, alasannya adalah dalam bagian ini termasuk dalam tindak pidana korupsi yang diancam dengan pidana mati.

Adapun pasal-pasal yang diancam dengan pidana mati dalam bagian ini, adalah Pasal 383 mengenai tindak kriminal sogok menyogok, Pasal 384 tentang penyalahgunaan keuangan negara, dan Pasal 386 mengenai penerimaan uang suap.

Tindak pidana korupsi sogok menyogok dirumuskan dalam Pasal 383 yang rumusan lengkapnya selaku berikut:

Mereka yang melakukan tindak kriminal sogok menyogok akan menerima hukuman tergantung perkara yang dilakukakannya.

1. Individu yang terlibat di dalam tindak kriminal sogok-menyogok dengan sejumlah uang yang lebih dari 100.000 yuan diharapkan untuk menerima hukuman penjara lebih dari 10 tahun atau eksekusi penjara seumur hidup dan sebagai komplemen semua harta kekayaannya disita. Di dalam perkara yang serius, pelanggar tersebut akan mendapat eksekusi mati, dan semua kekayaannya disita.
2. Individu yang terlibat di dalam tindak kriminal sogok-menyogok dengan jumlah duit lebih dari 50.000 yuan namun kurang dari 100,000 yuan akan mendapatkan hukuman lebih dari 5 tahun atau lebih dan sebagai pemanis semua kekayaannya disita. Di dalam masalah yang serius, pelanggar akan menerima hukuman mati dan semua hartanya disita.
3. Individu yang terlibat di dalam tindak kriminal sogok-menyogok dengan jumlah 5.000 yuan namun kurang dari 50,000 yuan akan dieksekusi lebih dari satu tahun dan kurang dari 7 tahun eksekusi penjara. Di dalam perkara yang serius, pelanggar akan menerima eksekusi penjara lebih dari 7 tahun dan kurang dari10 tahun. Bagi individu yang terlibat dalam langkah-langkah sogok-menyogok dengan sejumlah 1,000 yuan tetapi kurang dari 10,000 yuan boleh menerima suatu hukuman kurang dari satu tahun dan kecuali mereka dibilang sudah bertaubat setelah melakukan kejahatan dan dengan aktif mengembalikan uang yang diperolehnya secara tidak sah. Bagaimanapun, mereka akan mendapatkan langkah-langkah administrative di mana beliau menjadi anggota dan diputuskan oleh unit administrative yang lebih tinggi.
4. Individu yang terlibat dalam langkah-langkah sogok-menyogok dengan jumlah yang kurang dari 5,000 yuan, dengan suasana yang serius, akan menerima hukuman penjara kurang dari 2 (dua) tahun atau dijalankan penahanan.

Pengertian sogok menyogok dalam pasal ini sama halnya dengan pengertian sogok menyogok secara umum yang artinya menawarkan sejumlah duit terhadap orang lain dalam hal ini siapa saja, untuk berbuat ataupun tidak berbuat sesuatu yang berlawanan dengan kewajibannya.. Atau sama halnya dengan penyuapan.

Kalimat “Individu yang terlibat di dalam tindak pidana sogok-menyogok” mengartikan bahwa bukan hanya pemberi sogok saja yang dapat dijerat aturan namun peserta suap dapat juga dijerat, hal ini ditegaskan dalam rumusan Pasal 386 KUHP Cina, sebagai berikut:

Siapapun yang melaksanakan kejahatan atas adanya penerimaan duit suap maka mendapatkan hukuman atas dasar pasal 383 dari hukum ini menurut jumlah uang suap. Hukuman yang lebih berat akan diberikan kepada siapapun yang menerima duit suap.

Dalam Pasal 383 ayat (1) dan (2) kitab undang-undang hukum pidana Cina permintaan pidana mati mampu diajukan bila pelaku melaksanakan penyuapan ataupun yang menerima suap lebih dari 50.000 yuan.

Sedangkan yang dimaksud “kasus serius” sehingga pelaku diancam pidana mati, menurut penulis ialah kasus korupsi yang dilaksanakan oleh pejabat negara dan kasus yang menerima perhatian serta meresahkan penduduk . Hal ini berlainan dengan “kondisi tertentu” yang ada dalam UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001 wacana Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam pasal ini juga ditegaskan bahwa “semua harta kekayaan disita”, jadi tidak hanya uang penyuapannya disita tapi juga seluruh harta benda dari pelaku, beda halnya dalam UU Tindak Pidana Korupsi Indonesia yang hanya ada pidana denda dan pengembalian hasil korupsi. Hal ini pastinya untuk membuat jera bagi pelaku dan untuk menakut-nakuti bagi kandidat pelaku lainnya.

Pasal 383 KUHP Cina ini nyaris seperti dengan Pasal 5 ayat (1) dan 6 ayat (1) UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tetapi yang membedakannya ialah objek pidananya, dalam Pasal 383 kitab undang-undang hukum pidana Cina objek pidananya berdasarkan berapa nilai besar duit sogok menyogok, sedangkan Pasal 5 ayat (1) dan 6 ayat (1) UU No. 20/2001 perihal Tindak Pidana Korupsi objek pidananya menurut orang yang disuap, apakah akseptor suap pegawai negeri atau penyelenggara negara (Pasal 5) dan hakim atau advokat (Pasal 6).

Untuk tindak kriminal korupsi Pasal 386 perihal akseptor suap, ada kalimat yang menyatakan “eksekusi yang lebih berat akan diberikan terhadap siapapun yang menerima uang suap”. Kalimat ini menegaskan bahwa akseptor suap pastinya akan menerima hukuman yang lebih berat dari pemberi suap, secara nalar hal ini memang masuk akal alasannya adalah secara biasa orang yang disogok penyelenggara negara maupun pegawanegeri aturan, dengan disogoknya mereka tentunya yang dipertaruhkan yakni integritas dan kapabilitas selaku penyelenggara negara maupun sebagai penegak hukum.

Pasal 386 ini berlainan halnya dengan Pasal 5 ayat (2) dan 6 ayat (2) UU No. 20/2001, dimana dalam kedua pasal tersebut hukuman pidananya sama dengan pemberi suap atau yang melaksanakan sogok menyogok. Pidana untuk Pasal 5 palilng singkat 1 (satu) tahun dan paling usang 5 (lima) tahun, sedangkan pidana untuk Pasal 6 paling singkat 3 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima) tahun.

Tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan keuangan negara, dirumuskan dalam Pasal 384 KUHP Cina yang rumusan lengkapnya sebagai berikut:

Personil negara yang mengambil keuntungan dari kantor di mana mereka melakukan pekerjaan dan menyelewengkan dana negara untuk penggunaan pribadi dan aktivitas yang tidak sah atau menyelewengkan dana milik negara dalam jumlah yang cukup besar tanpa berniat mengambalikan uang tersebut dalam rentang waktu tiga bulan, maka beliau dibilang bersalah atas kejahatan korupsi dan kepadanya dijatuhi hukuman penjara yang tidak lebih dari lima tahun hukuman. Di dalam perkara yang cukup serius, pelanggar tersebut diperlukan untuk mendapat hukuman penjara lebih dari lima tahun. Mereka yang menyalahgunakan dana-dana milik negara tanpa berusaha mengembalikannya, maka kepadanya dijatuhi eksekusi lebih dari 10 tahun hukuman penjara atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati, begitu juga dengan mereka yang menyelewengkan dana pinjaman petaka, tragedi banjir, dana fakir miskin, yang digunakan untuk kepentingan langsung, maka kepada pelanggar tersebut dijatuhi hukuman mati.

Dalam pasal ini dapa dibagi empat bagian, yakni :

1. Personil negara yang mengambil laba dari kantor di mana mereka bekerja dan menyelewengkan dana negara untuk penggunaan langsung dan aktivitas yang tidak sah atau menyelewengkan dana milik negara dalam jumlah yang cukup besar tanpa berniat mengambalikan duit tersebut dalam jangka waktu tiga bulan, maka ia dikatakan bersalah atas kejahatan korupsi dan kepadanya dijatuhi hukuman penjara yang tidak lebih dari lima tahun hukuman.
2. Di dalam perkara yang cukup serius, pelanggar tersebut dibutuhkan untuk mendapat eksekusi penjara lebih dari lima tahun.
3. Mereka yang menyalahgunakan dana-dana milik negara tanpa berupaya mengembalikannya, maka kepadanya dijatuhi hukuman lebih dari 10 tahun hukuman penjara atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati.
4. Mereka yang menyelewengkan dana pinjaman musibah, tragedi banjir, dana pinjaman militer, bantuan untuk fakir miskin, yang digunakan untuk kepentingan eksklusif, maka terhadap pelanggar tersebut dijatuhi hukuman mati.

Dalam Pasal 384 kitab undang-undang hukum pidana Cina, dalam hal ini yang dimaksud mengambil keuntungan ialah saat personil negara melakukan penggelembungan dana (mark up) dari kantor dimana mereka bekerja. Kemudian yang dimaksud Peyelewengan dan penyalahgunaan dana-dana milik negara dikala personil negara mengalihkan pos anggaran yang telah ditetapkan peruntukkannya demi kepentingan langsung maupun kalangan. Dalam konteks ini pemahaman diatas berkaitan dengan pengertian dalam “kasus yang cukup serius”, dimana implikasi dari penyelewengan dan penyalahgunaan dana-dana milik negara yang dilaksanakan oleh seorang pejabat negara tersebut dapat meresahkan dan merugikan penduduk .

Namun dalam pasal 384 KUHP Cina menawarkan keringanan, hal ini mampu dilihat dalam rumusan yang menyatakan bahwa “tanpa bermaksud” mengembalikan duit yang telah diselewengkan dalam rentang waktu tiga bulan maka personil negara dikatakan bersalah. Artinya dalam rentan waktu kurang dari tiga bulan ada upaya yang mampu dibuktikan untuk mengembalikan dana milik negara tersebut maka personil negara yang dimaksud tidak dipidana.

Melihat hal-hal diatas mampu disimpulkan bahwa political action penjatuhan pidana mati kepada pelaku kejahatan korupsi di Indonesia masih lemah, hal ini dapat dilihat dalam data statistik kejahatan korupsi dari tahun ke tahun terus meningkat, sebab sanksi pidana yang dijatuhkan masih ringan. Sedangkan di Cina political action penjatuhan pidana mati terhadap pelaku kejahatan korupsi sangat berpengaruh dikarenakan janji yang berpengaruh dari pemerintahya untuk memberantas korupsi, hal ini dapat dilihat dengan menurunnya tingkat kejahatan korupsi karena banyaknya para pelaku kejahatan korupsi yang dieksekusi mati.

Hukum pidana korupsi yang diancam pidana mati di Indonesia mengandung beberapa kelemahan dan memberi kesan kekurang seriusan pemerintah untuk menerapkan pidana mati. Peneliti menyaksikan pidana mati selaku pemberatan pidana hanya diancamkan untuk bentuk tindak kriminal korupsi tertentu, ialah dalam Pasal 2 (2) UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001, bilamana tindakan korupsi itu dijalankan kepada dana yang didedikasikan bagi penanggulangan kondisi ancaman, musibah nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak kriminal korupsi. Sedangkan di Cina rumusan-rumusan pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana Cina sungguh memadai untuk dapat menjerat eksekusi mati sebab mencatumkan kualitas dan kuantitas yang dikorupsi supaya menjadi indikator dalam menjatuhkan pidana mati.

Untuk itu kita mengharapka pegawanegeri hukum menerapkan pidana mati selaku bentuk janji pemerintah memberantas korupsi yang terus berkembangdalam setiap tahunnya. Dampak yang dibutuhkan dari penerapan pidana mati ini dapat menurunkan rangking Indonesia selaku negara terkorup di Asia.

S. Maronie
13 April 2010

*bagian dari peran final