Percobaan (Poging) Dalam Hukum Pidana

A. Pengertian & Sifat Percobaan

Percobaan melakukan kejahatan dikelola dalam Buku I wacana Aturan Umum, Bab IV Pasal 53 ayat (1) dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari pasal tersebut selaku berikut :

Pasal 53 ayat (1):

(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu sudah ternyata dari adanya awal pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.

Pasal 54:

Mencoba melaksanakan pelanggaran tidak dipidana.

Redaksi pasal tersebut diatas terang tidak ialah suatu definisi, namun hanyalah ialah syarat-syarat atau komponen-unsur yang menjadi batas antara percobaan yang dapat dipidana dan tidak dipidana.

Percobaan yang mampu dipidana menurut sistim KUHP bukanlah percobaan terhadap semua jenis tindak kriminal yang mampu dipidana hanyalah percobaan terhadap tindakan melawan hukum yang berbentukkejahatan saja, sedangkan percobaan terhadap pelanggaran tindak kriminal tidak mampu dipidana hal ini jelas dalam Pasal 54 KUHP.

Hanya saja tidak semua percobaan terhadap kejahatan dapat dipidana, ada percobaan kepada kejahatan-kejahatan tertentu tidak mampu dipidana contohnya :

  1. Percobaan Duel/Perkelahian tanding (Pasal 184 ayat 5)
  2. Percobaan pengeniayaan ringan kepada binatang (Pasal 302 ayat 4)
  3. Percobaan penganiyaan biasa (Pasal 351 ayat 5)
  4. Percobaan penganiyaan ringan (Pasal352 ayat 2)

Apakah percobaan itu merupakan suatu bentuk delik khusus yang berdiri sendiri ataukah cuma merupakan sebuah delik yang tidak tepat ???

Mengenai sifat dari percobaan ada dua persepsi :

1. Percobaan dipandang selaku strafausdehnungsgrund (dasar/argumentasi memperluas dapat dipidananya orang)

Menurut persepsi ini, seseorang yang melakukan percobaan untuk melakukan sebuah delik walaupun tidak menyanggupi semua unsur delik, tetap dapat dipidana apabila telah menyanggupi semua rumusan pasal 53.

Kaprikornus sifat percobaan yakni untuk memperluas mampu dipidananya orang, bukan memperluas rumusan delik. Dengan demikian menurut pandangan ini, percobaan tidaklah dipandang selaku jenis atau bentuk delik yang tersendiri (delictum sui generis) namun dipandang sebagai bentuk delik yang tidak tepat (onvolkomen delictsvrom).

Termasuk dalam pandangan ini Hazewinkel-Suringa dan Oemar Seno Adji.

2. Percobaan dipandang sebagai tatbestandausdehnungsgrund (dasar/alasan memperluas dapat dipidananya tindakan)

Menurut pandangan ini, percobaan melakukan suatu delik ialah sebuah kesatuan yang bundar dan lengkap. Percobaan bukanlah bentuk delik yang tidak sempurna namun merupakan delik yang tepat hanya dalam bentuk yang khusus. Makara merupakan suatu delik tersendiri (delictum sui generis). Termasuk dalam pandangan ini Pompe dan Moeljatno.

Alasan Prof. Moeljatno, memasukkan percobaan selaku delik tersendiri ialah :

  1. intinya orang dipidana itu sebab melakukan suatu delik.
  2. Dalam konsepsi ”tindakan pidana” (persepsi dualistis) ukuran suatu delik didasarkan pada pokok anggapan adanya sifat berbahayanya tindakan itu sendiri bagi keselamatan penduduk .
  3. Dalam hukum adat tidak dikenal percobaan sebagai bentuk delik yang tidak sempurna, yang ada cuma delik final.
  4. Dalam KUHP ada beberapa tindakan yang dipandang selaku delik yang berdiri sendiri dan ialah delik final, walaupun pelaksanaan dari perbuataan itu sebetulnya belum tamat, jadi ialah percobaan percobaan. Misalnya delik-delik makar dalam pasal 104, 106, 107 kitab undang-undang hukum pidana.

Mengenai teladan yang dikemukakan Prof. Moeljatno terakhir ini, mampu pula contohnya dikemukakan teladan adanya pasal 163. Menurut pasal ini suatu percobaan untuk melaksanakan penganjuran (poging tot uitlokking) atau biasa disebut dengan penganjuran yang gagal tetap dapat dipidana, jadi dipandang selaku delik yang bangkit sendiri.

Mengenai adanya dua pandangan diatas, Prof Moeljatno beropini bahwa pandangan yang pertama sesuai dengan penduduk individual alasannya yang diutamakan yakni ”mampu dipidananya orang” sedangkan yang kedua sesuai dengan alam penduduk kita kini yang diutamakan ialah ”tindakan yang dihentikan dilaksanakan”.

B. Dasar Patut Dipidananya Percobaan

Mengenai dasar pemidanaan terhadap percobaan ini, terdapat beberapa teori sebagai berikut :

  1. Teori Subjektif ; dasar layak dipidananya percobaan terletak pada sikap batin atau susila yang berbahaya dari si pembuat, (jika telah ada niat maka ada perbuatan pelaksanaan). Termasuk penganut teori ini ialah van Hammel.
  2. Teori Objektif; dasar layak dipidananya percobaan terletak pada sifat berbahayanya tindakan yang dijalankan oleh si pembuat (kalau acara sudah membahayakan orang lain).

Teori Objektif terbagi 2 ialah :

  1. Teori Objektif-Formil, yang menitik beratkan sifat bahayanya tindakan itu kepada tata hukum. Menurut teori ini, sebuah delik ialah sebuah rangkaian dari perbuatan-perbuatan yang terlarang. Dengan demikian bila seseorang melakukan tindakan percobaan, mempunyai arti dia telah melakukan sebagian dari rangkaian delik yang terlarang itu,ini bermakna beliau sudah membahayakan tata hukum. Penganutnya Suynstee dan Zevenbergen
  2. Teori Objektif–Materil, yang menitik beratkan pada sifat berbahayanya tindakan kepentingan hukum. Penganutnya Simons.
  3. Teori Campuran; Teori ini menyaksikan dasar pantas dipidananya percobaan dari dua sisi yakni, perilaku batin pembuat yang berbahaya (sisi subjektif) dan juga sifat berbahayanya perbuatan (sisi objektif).

Prof. Moeljatno dapat dimasukkan dalam penganut teori ini, sebab menurutnya Pasal 53 KUHP mengandung 2 inti adalah yang subjektif dan objektif. Dengan demikian menurut dia dalam percobaan mustahil dipilih salah satu karena jikalau demikian memiliki arti menyalahi 2 inti dari delik percobaan.

C. Unsur-Unsur Percobaan

Dari rumusan Pasal 53 (1) kitab undang-undang hukum pidana, terperinci dilihat bahwa komponen-komponen percobaan adalah : (1). Ada Niat (2). Ada awal pelaksanaan, (3). Pelaksanaan tidak simpulan bukan semata-mata sebab kehendaknya sendiri.

1. Niat

Kebanyakan para sarjana berpendapat bahwa komponen niat itu sama dengan sengaja dalam segala tingkatan. Para sarjana yang berpendapat demikian yaitu Simons, van Hammel, van Dijck, van Hattum, Hazewinkel-Suringa, Jonkers. Yang tidak baiklah dengan pendapat yang luas itu adalah VOS, dia cuma mengartikan secara sempit ialah bahwa niat ialah sama dengan kesengajaan dengan maksud. Makara tidak meliputi kesengajaan dengan sadar akan kepastian dan kesengajan dengan sadar akan kemungkinan (dolus evantualis).

Contoh Kasus, misalnya ada orang yang mengirimkan kue beracun kepada musuhnya si A dan ia menyadari kemungkinan adanya orang lain yang ikut makan (contohnya anak dan Istri si A). Kalau planning itu gagal bukan alasannya kehendaknya sendiri maka menurut ukuran Vosdalam hal ini tidak mungkin ada percobaan pembunuhan

Dalam perkara serupa ini, menurut Hazwinkel-Suringa bukan saja da percobaan pembunuhan terhadap A, juga ada percobaan terhadap anak-anak dan istri si A.

Mengenai Unsur niat, Prof Moeljatno berpendapat sbb :

  1. Niat jangan disamakan dengan kesengajaan, tetapi niat secara potensiil mampu berubah menjadi kesengajaan apabila sudah ditunaikan menjadi tindakan yang dituju; dalam hal semua tindakan yang diperlukan untuk kejahatan telah dilaksanakan, namun akibat yang tidak boleh tidak muncul (percobaan simpulan), disitu niat menjadi 100% menjadi kesengajaan, sama jika menghadapi delik tamat.
  2. Tetapi bila belum semua ditunaikan menjadi tindakan maka niat masih ada dan merupakan perilaku batin yang memberi arah kepada tindakan, adalah subjective on rechtselemnet.
  3. Oleh karena itu niat tidak sama dan tidak mampu disamakan dengan kesengajaan, maka isinya niat jangan diambilkan dari isinya kesengajaan bila kejahatan timbul; untuk itu diperlukan pembuktian sendiri bahwa isi yang tertentu tadi telah ada sejak niat belum ditunaikan menjadi tindakan.

Dari usulan Moeljatno, dapat ditarik kesimpulan bahwa niat dalam delik percobaan mempunyai dua arti :

  1. Dalam hal percobaan selesai (percobaan lengkap/voltooide pooging) niat sama dengan kesengajaan.
  2. Dalam hal percobaan tertunda (percobaan terhenti atau tidak lenggkap) niat cuma merupakn unsur sifat melawan aturan yang subjektif.

Contoh Case:

  Sistem Sosial Budaya Penduduk Lokal, Melayu

Dikaataan ada percobaan akhir jika terdakwa sudah melaksanakan semua perbuatan yang diperlukan untuk terjadinya kejahatan, namun balasan terlarang tidak terjadi. Misalnya : A berniat membenuh si B dengan pistol, picu pistol sudah ditarik namun ternyata tembakan tidakmengenai target. Dalam hal ini niat sudah berkembang menjadi kesengajaan alasannya diwujudkan dalam bentuk perbuatan.

Tetapi jika tindakan yang diharapkan untuk terjadinya kejahatan belum dilakukan (misal picu belum ditarik) sehingga akibat yang terlarang juga belum ada maka dalam hal demikian dibilang ada “percobaan tidak selesai/tertunda”.

2. Permulaan Pelaksanaan

Unsur kedua ini ialah problem pokok dalam percobaan yang cukup sukar alasannya adalah baik secara teori maupun praktek selalu dipersoalkan batas antara tindakan persiapan dan tindakan pelaksanaan.

Bertolak dari pandangan atau teroi percobaan yang subjektif, van Hammel beropini bahwa dibilang ada tindakan pelaksanaan bila dilihat dari perbuatan yang telah dilakukan telah ternayat adanya kepastian nit untuk melakukan kejahatan. Jadi yang dipentingkan atau yang dijadikan ukuran oleh van Hammel adanya sikap batin yang jahat dan berbahaya dari si pembuat .

Bertolak dari pandangan teori percobaan yang objektif materil, Simons berpendapat bahwa :

  1. Pada delik formil, tindakan pelaksanaan ada kalau sudah dimulai tindakan yang disebut dalam rumusan delik.
  2. Pada delik materil, tindakan pelaksanaan ada kalau telah dimulai/dilakukan perbuatan yang berdasarkan sifatnya pribadi dapat menjadikan akibat yang tidak boleh oleh UU tanpa memerlukan perbuatan lain.

Menurut pertimbangan Prof.Moeljatno yang dapatdigolongkan penganut teori gabungan. Dalam memilih adanya awal/tindakan pelaksaan dalam delik percobaan, beliau berpendapat yang mesti diperhatikan :

  1. Sifat atau inti dari delik percobaan;
  2. Sifat atau inti dari delik pada umumnya.

Mengingat kedua aspek tersbut, maka tindakan pelaksaan harus menyanggupi 3 syarat, yaitu :

  1. Secara objektif, apa yang telah dilaksanakan terdakwa harus mendekatkan kepada delik yang ditujukan atau mesti mengandung kesempatanuntuk merealisasikan delik tersebut.
  2. Secara subjektif, dipandang dari sudut niat, mesti tidak ada keraguan lagi bahwa yang telah dilaksanakan oleh terdakwa itu ditujukan pada delik yang tertentu tadi.
  3. Bahwa apa yang telah dijalankan oleh terdakwa itu merupakan perbuatan yang bersifat melawan aturan.

Dengan demikian menurut dia, diakatak ada perbuatan pelaksanaan bila seseorang sudah melaksanakan perbuatan :

  1. yang secara objektif mendekatkan pada suatu kejahatan tertentu;
  2. Secara subjektif tidak ada keraguan lagi delik mana yang diniatkan;
  3. Perbuatan itu sendiri bersifat melawan hukum.

Untuk memilih apakah perbuatannya itu bersifat melwan hukum, Prof Moeljatno beropini bahwa segi subjektif dan objektif tolong-menolong memiliki dampak timbal balik menurut keadaan tiap-tiap kasus. Ada kalanya perbuatan lahir yang sepintas kemudian merupakan perbuatan pelaksaan dari suatu kejahatan, tetapi alasannya adalah jelas tak adanya niat untuk melakukan kejahatan itu, harus tidak dikualifisir selaku melawan aturan.

Sebaliknya adakalanya juga bahwa perbuatan lahir yang tampaknya tidak jahat sama sekali, namun karena terang didorong oleh niat untuk melaksanakan kejahatan maka harus diputuskan selaku melwan hukum.

3. Pelaksanaan Tidak Selesai Bukan Karena Kehendak

Tidak selesainya pelaksanaan kejahatan yang dituju bukan sebab hasratsendiri, mampu terjadi dalam hal sbb:

  1. Adanya penghalang fisik
  2. Walaupun tidak ada penghalang fisik, namun tidak selesainya itu disebabkan alasannya adalah akan adanya penghalang fisik.
  3. Adanya penghalang yang disebabkan oleh faktor-faktor khusus pada objek yang menjadi sasaran.

Dalam hal tidak selesainya perbuatan itu sebab keinginansendiri, maka dalam hal ini dibilang ada pengunduran diri secara sukarela. Tidak selesainya tindakan karena keinginansendiri secara teori mampu dibedakan :

  1. Pengunduran diri secara sukarela (rucktriit) yakni tidak menyelesaikan perbuatan pelaksanaan yang dibutuhkan untuk delik tersebut.
  2. Tindakan penyesalan (tatiger reue) yaitu meskipun tindakan pelaksaan sudah dituntaskan tetapi dengan sukarela mengusir timbulnya akhir mutlak delik tersebut.

Maksud dicantumkannya unsur pengunduran diri dalam Pasal 53 KUHP :

  1. Untuk menjamin agar orang yang dengan kehendaknya sendiri secara sukarela mengurungkan kejahatan yang beliau telah mulai tetapi belum terlaksana tidak dipidana.
  2. Pertimbangan dari sisi kemanfaatan (utilitas) bahwa usaha yang paling tepat untuk mencegah timbulnya kejahatan yakni menjamin tidak dipidana orang yang telah mulai melaksanakan kejahatan tetapi dengan sukarela mengurungkan pelaksanannya.

Dengan adanya penjelasan MvT tersebut, maka ada pendapat bahwa komponen ketiga ini merupakan :

  1. Alasan peniadaan pidana yang diformulir sebagai unsur (Pompe)
  2. Alasan pemaaf (van Hattum, Seno Adji)
  3. Alasan penghapusan penuntutan (Vos, Moeljatno)

Mengenai konsekuensi adanya bagian ketiga dalam Pasal 53 kitab undang-undang hukum pidana,ada dua pendapat :

  1. Mempunyai konsekuensi materiil, artinya unsur ketiga ini merupakan bagian yang melakat pada percobaan, jadi bersifat accesoir (tidak bangkit sendiri). Dengan kata lain untuk adanya percobaan komponen ketiga ini (tidak selesainya pelaksaan perbuatan bukan sebab hasratsendiri) harus ada. Ini memiliki arti jika ada pengunduran diri secara sukarela maka tidak ada percobaan.
  2. Mempunyai konsekuensi formil artinya sebab bagian ketiga ini dicantumkan dalam pasal 53 maka komponen tersebut mesti disebutkan dalam surat tuduhan dan dibuktikan. Menurut pertimbangan ini, bagian ketiga tidak ialah unsur yang melekat pada percobaan, jadi tidak bersifat accesoir, dia merupaka bagian yang berdiri sendiri. Dengan perkataan lain meskipun unsur ini tidak ada (adalah sebab adanya pengunduran diri secara sukarela) maka percobaan tetap dipandang ada.

D. Perbuatan yang Seolah-Olah

Dalam keterkaitannya dengan percobaan ini, oleh pakar hukum ada beberapa perbuatan yang seolah-olah atau mirip percobaan kejahatan, ialah :

  1. Ondeugdelijke Poging (Percobaan Tidak Mampu)
  2. Mangel am Tatbestand (Kekurangan isi delik)
  3. Putatief delict (delik putatif)
  4. Percobaan tamat, percobaan tertunda, dan percobaan yang dikualifisir

1. Ondeugdelijke Poging (Percobaan Tidak Mampu)

Ondeugdelijke poging yakni suatu tindakan yang walaupun telah ada tindakan yang dianggap permulaan pelaksanaan tetapi oleh karena sesuatu hal, bagaimanapun tindakan yang diniatkan itu tidak mungkin akan terealisasi. Dengan kata lain sebuah tindakan yang ialah percobaan, akan namun menyaksikan sifat dari peristiwa itu, mustahil pelaksanaan perbuatan yang diniatkan akan terlaksana sesuai dengan kesempatannya.

Ondeug-delijke Poging (percobaan tidak mencukupi) ini timbul sehubungan dengan telah dilakukannya tindakan pelaksanaan namun delik yang dituju tidak final atau balasan yang terlarang menurut undang-undang tidak timbul. Ada dua hal yang mengakibatkan tidak sempurnanya percobaan tersebut, pertama alasannya adalah alat (sarana) yang dipergunakan tidak tepat dan yang kedua objek (sasaran) tidak sempurna. Masing-masing ketidaksempurnaan itu dapat dibagi pula atas dua macam, adalah tidak sempurna secara mutlak (adikara) dan tidak tepat secara nisbi (relatif).

Loebby Loqman menunjukkan pola selaku berikut:

1. Ketidaksempurnaan Sarana (alat)

a. Ketidaksempurnaan fasilitas secara mutlak

Contoh: A ingin membunuh B dengan menggunakan racun arsenicum. Pada dikala B lengah A memasukkan arsenicum ke dalam minuman B. Namun B tetap hidup alasannya adalah ternyata yang dimasukkan ke dalam minuman B bukan arsenicum namun gula pasir.

b. Ketidaksempurnaan sarana secara nisbi

Contoh: Peristiwanya seperti di atas, tetapi A menunjukkan racun arsenicum ke dalam minuman B dalam dosis yang tidak memadai sehingga A tetap hidup.

2. Ketidaksempurnaan sasaran (objek)

a. Ketidaksempurnaan sasaran secara mutlak

Contoh: A ingin membunuh B. Pada sebuah malam A masuk ke kamar tidur B dan menikam B. Ternyata bahwa B sudah meninggal dunia sebelum ditikam A. Dalam hal ini A tidak mengetahui karena kamar tidur B dalam kondisi gelap. Kaprikornus A menikam jenazah.

b. Ketidaksempurnaan sasaran secara nisbi

Contoh: A ingin membunuh B. B mengenali bahwa dirinya terancam oleh A, sehingga B selalu keluar rumah dengan menggunakan rompi anti peluru di dalam bajunya. Ketika terjadi penembakan oleh A, meskipun mengenai dada B, karena memakai rompi anti peluru B tidak mati.

  Keunggulan Dan Kelemahan Modal Ventura (Mv)

Barda Nawawi Arief menyebutkan, bahwa menurut MvT mustahil ada percobaan pada objek yang tidak mampu (tidak mencukupi), yang ada hanya percobaan yang tidak mampu pada alatnya saja, sebagaimana disebutkan dalam MvT sebagai berikut:

“Syarat-syarat lazim percobaan menurut Pasal 53 kitab undang-undang hukum pidana yakni syarat-syarat percobaan untuk melakukan kejahatan yang tertentu di dalam Buku II kitab undang-undang hukum pidana. Jika untuk terwujudnya kejahatan tertentu tersebut diharapkan adanya objek, makapercobaan melaksanakan kejahatan itupun harus ada objeknya. Kalau tidak ada objeknya, maka juga tidak ada percobaan”.

Selanjutnya MvT membedakan antara percobaan yang tidak mampu alasannya alatnya, selaku berikut:

  1. Tidak bisa mutlak, yaitu kalau dengan alat itu tidak pernah mungkin timbul delik simpulan; dalam hal ini mustahil ada delik percobaan. contoh: meracuni dengan air kelapa.
  2. Tidak mampu relatif, kalau dengan alat itu tidak ditimbulkan delik simpulan sebab justru hal ikhwal yang tertentu dalam mana si pembuat melakukan tindakan atau justru alasannya kondisi tertentu dalam mana orang yang dituju itu berada. Dalam hal ini mungkin ada delik percobaan.

Berdasarkan apa yang dikemukakan MvT di atas terlihat bahwa ketidakmampuan relatif dapat dilihat dari dua sisi, ialah:

  1. Keadaan tertentu dari alat pada waktu si pembuat melaksanakan perbuatan;
  2. Keadaan tertentu dari orang yang dituju.

Hal penting untuk dikenali adalah apakah dengan tidak sempurnanya alat ataupun objek, mampu dianggap sudah terjadi sebuah percobaan. Jika dilihat dari syarat-syarat terjadinya sebuah percobaan maka pelaku sudah menyanggupi tiga syarat percobaan, ialah ada niat untuk melakukan sebuah kejahatan, dan telah mewujudkan niat tersebut ke dalam suatu bentuk perbuatan permulaan pelaksanaan. Tetapi delik yang dituju itu tidak simpulan (tidak terjadi) alasannya adalah adanya faktor eksternal dari diri orang itu, adalah alasannya alatnya atau objeknya itu tidak sempurna.

Apakah mampu dibilang telah terjadi sebuah percobaan melakukan pembunuhan jikalau A menikamkan pisau ke dada B, yang ternyata B sudah mati apalagi dahulu disebabkan oleh hal lain? Atau apakah dapat dihukum C yang mau membunuh D, dengan cara memberikan racun ke dalam minuman D yang ternyata racun tersebut yakni gula?

Dalam hal seperti ini menurut Loebby Loqman, tergantung dari teori mana kita melihatnya, apakah insiden tersebut mampu dipidana. Bagi mereka yang memakai teori subjektif, tidak ada perbedaan antara ketidaksempurnaan mutlak maupun ketidaksempurnaan nisbi, sebab dianggap dari semula pelaku telah mempunyai niat untuk melaksanakan kejahatan. Untuk itu pelaku telah mewujudkan dengan adanya tindakan yang dianggap permulaan pelaksanaan.

Sehingga dengan demikian kejadian tersebut telah merupakan suatu perbuatan percobaan melakukan kejahatan. Namun tidak demikian halnya dengan teori objektif, hanya ketidaksempurnaan mutlak saja yang tidak dapat dipidana. Sebab dalam keadaan bagaimanapun tidak mungkin menyelesaikan kejahan yang menjadi niat pelaku. Karena itu dianggap tidak mungkin membahayakan kepentingan aturan.

Bagi teori objektif, ketidaksempurnaan nisbi sebenarnya sudah hingga kepada penyelesaiaan kejahatan yang diniatkan pelaku. Hanya saja ada suatu kondisi sedemikian rupa sehingga kemungkinan penyelesaiannya berkurang. Menurut teori objektif, hal demikian sudah membahayakan kepentingan hukum sehingga pelaku perlu dipidana. Sedangkan untuk ketidaksempurnaan mutlak, baik target maupun sarana, dianggap tidak merupa-kan hal yang membahayakan kepentingan hukum sehingga tidak perlu pelaku dipidana. Apa yang dilaksanakan pelaku tidak hingga kepada hal yang dimaksudkan untuk kejahatan itu. Karena nyata-aktual sarana ataupun sasarannya mutlak salah.

2. Mangel am Tatbestand (Kekurangan isi delik)

Van Hattum dalam P.A.F. Lamintang menyebutkan, bahwa Mangel am Tatbestand ialah sebuah kesalahpahaman, akan tetapi berbeda dengan putatief delict dimana orang yang melakukan suatu perbuatan itu sudah menerka bahwa apa yang sudah dilakukannya itu merupakan suatu delik, padahal kenyataannya tidak demikian, maka pada apa yang disebut dengan Mangel am Tatbestand itu ialah berkenaan dengan de bijzonderheden van de fetelijke situatie atau dengan kekhususan-kekhususan dari kondisi yang bantu-membantu.

Mangel am Tatbestand ialah sebuah tindakan yang diarahkanuntuk merealisasikan tindak kriminal tetapi ternyata kelemahan atau tidak memenuhi salah satu komponen tindakan melawan hukum yang dituju. Di sini sudah terjadi kesesatan atau kesalahpahaman kepada salah satu unsur delik.

Contohnya: orang yang melakukan keinginanuntuk mencuri dengan mengambil suatu barang yang dikiranya barang milik orang lain, ternyata miliknya sendiri. Seorang laki-laki yang kawin lagi yang ia mengira sudah melanggar larangan poligami, ternyata istrinya itu sebelumnya sudah meninggal dunia.

Pada kedua teladan di atas, walaupun pada keadaan yang bantu-membantu orang itu telah tamat melakukan tindakan, tetapi tidaklah terjadi kejahatan. Tidaklah mungkin mencuri barang yang pada kenyataannya milik sendiri. Demikian juga tidak mungkin melaksanakan poligami dimana kenyataannya isterinya terdahulu sebelumnya sudah meninggal dunia. Di sini tidak terjadi kejahatan, dan dengan demikian juga tidak mungkin terjadi percobaannya. Di sini tidak terjadi kesesatan aturan yang dikiranya ada, melainkan kesesatan perihal sebuah kondisi yang diharapkan untuk dapatnya tindakan itu dipidana. Orang itu tidak mengenali bahwa (unsur) barang itu miliknya sendiri, dan pria itu tidak mengenali kalau istrinya terdahulu sudah meninggal dunia.

Keanehan dari Mangel am Tatbestand yaitu bahwa hasil yang dikehendaki pembuat terwujud di luar dirinya. Hal yang serupa berlaku untuk seseorang yang menembak orang mati yang dikiranya masih hidup. Pada tahun 1897 Hoge Raad memutuskan bahwa aborsi dalam Pasal 348 kitab undang-undang hukum pidana cuma dapat dipidana kalau kandungan hidup waktu perbuatan aborsi dilaksanakan. Jika tidak, maka tidak ada aborsi sama sekali; juga tidak ada percobaan sebab perbuatan telah akhir.

Tetapi dihubungkannya itu dengan percobaan mampu dimengerti alasannya dalam kedua hal, di luar kehendaknya, si pembuat berada di luar pemenuhan seluruhnya dari rumusan delik. Namun dalam hal percobaan tujuan yang hendak diraih tidak terjadi sedangkan pada Mangel am Tatbestand tujuan tersebut telah tercapai.

Mangel am tatbestand ini cuma diketahui dalam doktrin hukum. Menurut Simmons, langkah-langkah-langkah-langkah yang telah simpulan dikerjakan dan ternyata tidak memenuhi salah satu komponen dari bagian-bagian yang telah disyaratkan oleh undang-undang itu, sebaiknya tidak dibicarakan dalam pembahasan tentang poging, oleh karena itu tindakan-langkah-langkah semacam itu sesungguhnya tidak lain dibandingkan dengan langkah-langkah-tindakan yang tidak terlarang.

3. Putatief Delict

Putatief delict itu bantu-membantu bukan merupakan sebuah delik ataupun suatu percobaan untuk melaksanakan apa yang disebut putatief delict tersebut, melainkan ialah kesalahpahaman dari seseorang yang mengira bahwa tindakan yang telah beliau kerjakan di dalam sebuah keadaan tertentu itu ialah sebuah perbuatan yang terlarang dandiancam dengan sebuah eksekusi, padahal tindakan mirip itu tidak dikelola dalam suatu undang-undang pidana, dan oleh karena itu orang tersebut tidak mampu dieksekusi. Jelaslah bahwa tidak dapat dihukumnya orang tersebut yakni karena tidak adanya sebuah ketentuan pidana yang melarang perbuatannya.

Berbeda dengan Mangel am Tatbestand yang berbentukkesalahpahaman terhadap salah satu bagian delik, namun pada putatief delict ini adalah terjadinya kesesatan hukum (rechtsdwaling) pada seseorang yang melaksanakan tindakan dalam bisnisnya untuk merealisasikan delik. Putatief delict ini bukanlah sebuah tindak kriminal dan juga bukan percobaan, melainkan suatu kesalahpahaman bagi orang yang melakukan sebuah perbuatan yang dikiranya sudah melakukan tindakan melawan hukum, padahal bahu-membahu tindakan itu bukan ialah delik.

  Soal Tamat Aturan Pidana Fakultas Hukum Umi Tahun 2012/2013

Misalnya, orang gila yang melaksanakan perbuatan yang menuruthukum negaranya merupakan delik kesusilaan, tetapi di sini bukan ialah tindak pidana. Oleh alasannya di sini bukan delik, maka disini tidak mampu dipidana berdasarkan hukum Indonesia. Tidak dipidananya si pembuat dalam hal putatief delict ini sebab perbuatannya itu bukan tindak pidana, dan demikian juga tidak ada percobaan yang dipidana pada sesuatu yang bukan delik.

D. Schaffmeister, menyebutkan, bahwa delik putatif ada kalau apa yang telah dikerjakan ternyata sama sekali tidak dilarang oleh undang-undang, bertentangan dengan asumsi pembuat waktu dia berbuat. Dapat dipikirkan bahwa dua orang gila cukup umur melaksanakan hubungan homo di Belanda dan mengira mereka telah melakukan tindakan pidana. Kesesatan ihwal norma yang bersangkutan atautentang mampu dipidana pelanggarannya inilah yang seperti dengan percobaan, ialah percobaan yang tidak pernah akan menimbulkan hasil yang dapat dipidana, alasannya tidak adanya larangan.

4. Percobaan Selesai, Percobaan Tertunda, dan Percobaan yang dikualifisir

a. Percobaan simpulan

Percobaan simpulan (disebut juga dengan delik manque) yaitu melaksanakan tindakan yang ditujukan untuk melaksanakan tindak kriminal yang pelaksanaannya telah begitu jauh, sama mirip tindak pidana tamat akan namun oleh alasannya adalah sesuatu hal tindak kriminal itu tidak terjadi.

Dikatakan percobaan, oleh alasannya tindak pidana yang dituju tidak terjadi, dan dikatakan final oleh alasannya pelaksanaannya bantu-membantu sama dengan pelaksanaan yang mampu menyebabkan tindak kriminal selesai, sebagai misalnya orang yang berkehendak membunuh musuhnya, beliau sudah mengarahkan moncong senapan ke tubuh musuhnya itu, pelatuk telah ditariknya, senapan sudah meletup, peluru sudah melesat, namun tidak perihal sasaran.

Jan Remmelink dalam hal ini menunjukkan suatu ilustrasi selaku berikut:

Terdakwa meracuni istrinya, dia telah melakukan segala daya upaya untuk menuntaskan tujuan akhir delik yang mau diperbuatnya, ialah pembunuhan. Ternyata istrinya mempunyai daya tahan fisik hebat, dan ia ‘kebetulan’ tidak meninggal. Sekalipun di sini terdakwa sudah secara tuntas menempuh jalur kriminal (iter criminis), jadinya (yang beliau harapkan) ternyata tidak terjadi. Dalam hal ini kita mengatakan perihal delik manque (beendigter Versuch, ‘delik yang dijalankan tuntas, namun kebetulan tidak berhasil’).

Pada percobaan akhir, jika dilihat dari perbuatannya sebenarnyabukan lagi percobaan, alasannya baik niat, permulaan pelaksanaan dan pelaksanaannya telah akhir. Hanya oleh alasannya adalah tindak pidana yang dituju tidak terjadi, semata-mata dilihat dari hasil selesai dari pelaksanaan yang telah simpulan saja, dan tidak mencapai apa yang dikehendaki, yang menyebabkan problem ini masih dapat dikategorikan pada percobaan.

b. Percobaan tertunda

Sudarto dan Wonosutanto menyebutkan, bahwa dikatakan ada percobaan tertunda (percobaan terhenti atau percobaan yang tidak lengkap atau Incompleted attempt), kalau kelakuan yang diharapkan untuk kejahatan belum semua dilakukan alasannya adalah ada penghalang dari luar atau sebab tidak mungkinnya tindakan itu dilengkapkan, atau karena urungnya dilaksanakan langkah-langkah itu secara sukarela.

Percobaan tertunda, yakni percobaan yang tindakan pelaksanaannya terhenti pada saat mendekati selesainya kejahatan. Misalnya, seorang pencopet yang telah mengulurkan dan memasukkan tangannya dan telah memegang dompet dalam tas seorang wanita, datang-tiba perempuan itu menghantam tangan pencopet itu, dan terlepas dompet yang sudah dipegangnya. Juga terdapat pada pola orang sudah membidik dengan senapan kepada orang yang akan dibunuhnya, dengan tiba-tiba ada orang lain memukul tangannya dan terlepaslah senapan dari tangannya. Pada kasus ini sungguh-sungguh percobaan kejahatan yang dapat dipidana, seluruh syarat atau unsur dari Pasal 53 ayat (1) KUHP telah terpenuhi.

c. Percobaan yang dikualifisir

Percobaan yang dikualifisir terjadi bila pelaku membatalkan lanjutan langkah-langkah yang diniatkannya secara sukarela untuk melaksanakan sebuah kejahatan tertentu, namun telah memenuhi unsur-bagian tindak pidana lainnya. Dalam hal ini pelaku dapat dituntut menurut tindakan melawan hukum lainnya itu, contohnya A hendak membunuh B sekeluarga. Untuk melaksanakan niatnya itu, pada tengah malam A menyiram rumah B dengan bensin dan membakarnya dengan maksud biar B dan keluarganya mati terbakar. Tetapi sesudah terjadi kebakaran, dia merasa menyesal (secara sukarela), lalu ia mendobrak salah satu pintu yang belum terbakar dan turut mengusahakan biar B dan keluarganya selamat. Akhirnya B dan keluarganya selamat, tetapi rumah B tetap terbakar. Dalam hal ini A dipersalahkan melaksanakan pembakaran rumah, sedangkan untuk percobaan pembunuhan tidak. Artinya percobaan untuk membunuh yang tidak dipidana, dirubah menjadi pembakaran.

Adami Chazawi menyebutkan, bahwa percobaan yang dikualifisir yaitu percobaan yang tindakan pelaksanaannya ialah delik final lainnya daripada yang dituju. Misalnya, seorang dengan maksud membunuh orang yang dibencinya dengan tusukan pisau, dan tidak mati tetapi hanya luka-luka berat. Pada orang ini terdapat keinginanuntuk membunuh, tikaman pisau itu diarahkan pada matinya korban, akan namun kematian tidak muncul, artinya pembunuhan tidak terjadi, yang terjadi ialah penganiayaan yang mengakibatkan luka berat (Pasal 351 ayat 3 KUHP), atau mungkin penganiayaan berat (Pasal 351 ayat 1 kitab undang-undang hukum pidana), atau penganiayaan bermaksud yang menyebabkan luka berat (Pasal 353 ayat 2 kitab undang-undang hukum pidana), atau penganiayaan berat bermaksud (Pasal 355 ayat 1 KUHP).

Selanjutnya disebutkan bahwa, dasar penyebutan percobaan yang dikualifisir dengan contohnya tersebut di atas, hanyalah dilihat dari sudut pada realita riil semata, artinya sudut obyektif. Pada pembunuhan dimana balasan ajal tidak muncul, namun cuma luka-luka saja, disebut atau dikualifisir selaku tindak pidana lain cuma oleh sebab pandangan dari luar saja. Akan tetapi kalau dilihat dari sudut subyektif, syarat batin si pembuat, bekerjsama masalah seorang yang mau membunuh dengan pelaksanaannya menikam, dari tikaman tidak mengakibatkan ajal namun hanya luka-luka saja, tidak dapat dikualifisir sebagai penganiayaan yang menimbulkan luka berat. Karena dari sudut batin sangat berlawanan antara pembunuhan dengan penganiayaan.

Pada pembunuhan perilaku batin adalah kehendak selalu ditujukanpada hilangnya nyawa (ajal) korban. Tetapi pada penganiayaan kesengajaan hanya ditujukan pada penderitaan fisik belaka, mampu sematamata rasa sakit atau mampu juga pada rasa sakit berbentukluka-luka. Jika kesengajaan penganiayaan sekedar pada rasa sakit semata-mata disebut dengan penganiayaan biasa (Pasal 351 kitab undang-undang hukum pidana), sedangkan jika kesengajaan itu ditujukan pada rasa sakit yang berupa luka berat, disebut dengan penganiayaan berat (Pasal 354 KUHP). Oleh alasannya itu orang yang berkehendak untuk membunuh, yang perbuatan pelaksanaannya (misalnya menusuk), ternyata hanya luka-luka saja, tidaklah dapat menjadi tindak pidana lain yang simpulan, contohnya penganiayaan biasa yang menjadikan luka berat (Pasal 351 ayat 2 KUHP). Kasus itu tetap percobaan pembunuhan (Pasal 338 jo. 53 KUHP), dan tidak mampu disebut penganiayaan yang menyebabkan luka berat.

E. Pemidanaan Terhadap Percobaan

Dalam hal percobaan kepada kejahatan menurut Pasal 53 (2) kitab undang-undang hukum pidana maksimum pidana yang dapat dijatuhkan yaitu maksimum pidana untuk kejahatan pasal yang bersangkutan dikurangi sepertiga. Jadi contohnya untuk percobaan pembunuhan (53 jo. 338 KUHP) , maksimumnya adalah 10 tahun penjara.

Bagaimana kalau kejahatan yang dijalankan diancam pidana mati atau pidana seumur hidup, mirip halnya dalam Pasal 340 kitab undang-undang hukum pidana (pembunuhan berencana) ? Menurut pasal 53 (3) KUHP, maksimum pidana yang dapat dijatuhkan cuma 15 tahun penjara. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan berdasarkan KUHP, maksimum pidana pokok untuk percobaan ialah lebih rendah daripada apabila kejahatan itu telah tamat semuanya. Sedangkan untuk pidana tambahannya, menurut Pasal 53 (4) adalah sama dengan kejahatan simpulan.

* sebagai materi kuliah

S.Maronie