Penegakan hukum lingkungan kepidanaan tidak lain yaitu penegakan terhadap ketentuan-ketentuan pidana dari aturan lingkungan. Substansi, wewenang kelembagaan, dan mekanisme yang dipakai secara biasa tunduk pada ketentuan hukum lingkungan kecuali bila hal itu belum diatur secara khusus. Dalam hal demikian, maka yang dipakai yakni ketentuan yang berlaku dalam hukum pidana kebanyakan, misalnya perihal lembaga peradilan, personil, dan hukum program yang berlaku.
Ketentuan pidana di bidang hukum lingkungan secara biasa dikontrol dalam Pasal 94-120 UUPPLH 2009. Selain itu, ketentuan pidana lingkungan juga diatur dalam peraturan perundang-permintaan sector, seperti UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistemnya (UU No. 5 Tahun 1990), UU No. 10 Tahun 1997 ihwal Ketanaganukliran, UU No. 41 Tahun 1999 jo. UU No. 19 Tahun 2004 ihwal Kehutanan, UU No. 22 Tahun 2001 wacana Minyak dan Gas Bumi, UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, UU No. 7 Tahun 2004 wacana Sumber Daya Air, UU No. 31 Tahun 2004 jo. UU No. 45 Tahun 2009 perihal Perikanan, dan UU lain sebagainya.
Setelah diuraikan dalam konferensi sebelumnya perihal Hukum Lingkungan Kepidanaan, ada beberapa hal penting yang perlu dipahami dalam rangka penegakan aturan lingkungan dari faktor aturan pidana.
1. Hukum Acara dan Tahapan dalam Proses Peradilan
UUPPLH 2009 dan UU Lingkungan sector lainnya yang meuat ketentuan pidana pada adasarnya cuma menertibkan hukuman (bahaya) pidana dan tidak mengontrol aturan program yang digunakan dalam proses peradilan. Oleh sebab itu, dalam proses peradilan pidana untuk menegakkan ketentuan-ketentuan pidana di bidang lingkungan tetap menggunakan aturan acara pidana yang berlaku dalam aturan pidana lazim.
Secara biasa proses penegakan aturan pidana (termasuk di bidang lingkungan hidup) berdasarkan KUHAP meliputi tiga tahapan, yaitu penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, putusan hakim, dan upaya hukum.
a. Tahap Penyidikan
Penyidikan pada masalah pidana lingkungan intinya sama dengan tindak pidana lainnya, alasannya adalah bukan ialah tindak kriminal khusus, mirip korupsi, tindakan melawan hukum ekonomi, subversive, HAM, dan lain-lain. Dalam tindak pidana lingkungan ada pelibatan para jago di bidang lingkungan sebagaimana dimungkinkan dalam Pasal 120 KUHAP, secara ringkas proses penyidikan masalah pidana lingkungan meliputi tahapan-tahapan berikut (Pasal 102-136 KUHAP):
-
Tahap Penyelidikan, yang berupa pengumpulan bukti-bukti permulaan untuk menciptakan terangnya masalah dan selaku dasar investigasi di TKP;
-
Tahap Penindakan, mencakup pemanggilan semua orang yang dibutuhkan, penangkapan dan penahanan bila diperlukan; penggeledahan dan penyitaan barang bukti, penyegelan tempat bangunan dan alat-alat tertentu yang berhubungan dengan pencemaran dan perusakan lingkungan;
-
Tahap Pemeriksaan; investigasi tersangka, saksi-saksi, dan informasi mahir termasuk investigasi laboratorium;
-
Tahap Penyelesaian dan Penyerahan kasus kepada Penuntut Umum (PU);
b. Tahap Penuntutan Perkara
Setelah berkas diserahkan oleh penyidik terhadap PU, maka tahap berikutnya dilakukan pra penuntutan dan penuntutan oleh Jaksa PU. Secara lazim tahapannya selaku berikut (Pasal 137-144 KUHAP):
1. Tahap Pra Penuntutan, yang meliputi :
a. Penelitian kelengkapan berkas hasil penyidikan;
b. Bila hasil observasi belum lengkap, berkas dikembalikan kepada penyidik dengan memberikan petunjuk untuk menyempurnakan hasil penyidikan;
c. Menerima kembali penyerahan berkas tahap kedua dari penyidik untuk dilengkapi, tergolong tersangka dan barang bukti serta penyerahan tanggungjawaba;
d. Melakukan investigasi embel-embel (bila diperlukan) kepada saksi-saksi, saksi ahli, dan barang bukti termasuk gelar perkara atau expose.
2. Tahap Penuntutan, mencakup :
a. Jika hasil penyidikan telah lengkap, maka segera membuat surat dakwaan (Pasal 140 KUHAP);
b. Pelimpahan kasus dari JPU ke Pengadilan Negeri (PN).
Khusus untuk delik perikanan ada syarat tambahan untuk menjadi JPU sebagaimana dikontrol dalam UU Perikanan, yakni sudah berpengalaman menjadi JPU selama 5 tahun dan sudah mengikuti pendidikan dan pembinaan teknis di bidang perikanan serta cakap dan memiliki integritas akhlak selama melakukan peran.
c. Pemeriksaan di Pengadilan, Putusan Hakim dan Upaya Hukum
Setelah kasus dilimpahkan ke pengadilan, maka tahapan selanjutnya adalah pemeriksaan di siding pengadilan dan putusan hakim, khusus di bidang perikanan investigasi perkara dilakukan oleh hakim pengadilan pengadilan perikanan yang dibuat menurut UU No. 31 Tahun 2004 jo. UU No. 45 Tahun 2009 ihwal Perikanan. Selain tunduk terhadap KUHAP, dalam hal tertentu juga dikelola tersendiri misalnya hakim pengadilan berisikan hakim karir dan hakim ad hoc, penahanan oleh hakim paling lama 30 hari dan dalam rentang waktu 30 hari sejak penerimaan pelimpahan kasus dari PU, hakim sudah harus menjatuhkan putusan.
Selain ketentuan di atas secara lazim investigasi masalah lingkungan di peradilan mencakup tahapan-tahapan berikut :
-
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan, mencakup pembacaan surat dakwaan, eksepsi terdakwa/penasihat hukumnya, investigasi ala-alat bukti, keterang saksi, informasi hebat, surat-surat, petunjuk (mirip foto-foto), dan keterangan terdakwa; pengajuan surat permintaan oleh JPU, pledoi terdakwa, replik JPU, dan terakhir duplik dari terdakwa/penasihat hukumnya (Pasal 145-190 KUHAP).
-
Putusan, dapat berupa putusan bebas (Pasal 190 (1) KUHAP), lepas dari segala permintaan hukum (Pasal 190 (2) KUHAP), dijatuhi pidana (Pasal 193 (1) KUHAP).
-
Upaya Hukum, berbentukbading (Pasal 233 KUHAP) dan kasasi yang ialah upaya aturan biasa (Pasal 244 KUHAP), dan terhadap mempunyai kekuatan aturan yang tetap mampu diajukan upaya hukum hebat demi kepentingan aturan oleh JPU (Pasal 259 (1) KUHAP), serta Peninjauan Kembali (Pasal 263 (1) KUHAP).
2. Asas Subsidaritas dalam Penanganan Tindak Pidana Lingkungan
Dalam kamus aturan, asas subsidaritas yang berasal dari kata subside yang artinya aksesori. Dengan demikian penerapan hukum pidana digunakan sebagai komplemen jika hukum lain telah tidak berfungsi. Dengan kata lain aturan pidana sebagai ultimum remedium (upaya terakhir). Makna ini dianut pula dalam UUPPLH 2009 sebagaimana dalam Penjelasan Umum angka 6 bahwa :
Penegakan aturan pidana lingkungan tetap mengamati asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana selaku upaya terakhir setelah penerapan penegakan aturan manajemen dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini cuma berlaku bagi tindak kriminal formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan
Ketentuan pidana tetap memperhatikan asas subsidaritas tanpa membedakan kualifikasi tindak pidananya, asas subsidaritas adalah hukum pidana didayagunakan bila hukuman di bidang hukum lain, seperti sanksi admnistratif dan sanksi perdata, dan alternative solusi sengketa lingkungan hidup tidak efektif. Dengan demikian dalam UUPPLH 2009 secara acontrario asas subsidaritas tidak berlaku bagi tindak kriminal lainnya, baik yang tergolong delik formil maupun delik materil.
Jika disimak konstruksi hukum aturan di dalam rumusan pasal-pasal UU PPLH 2009 ataupun undang-undang lingkungan sector lainnya, tidak diketemukan ketentutan yang melarang penggunaan hukum pidana selaku premium remidium (upaya utama). Jika memang hal itu diharapkan. Dalam hal tertentu contohnya jelas-terperinci terjadi pencemaran dan perusakan lingkungan maka hukum pidana boleh dipakai tanpa menanti sanksi hukum lainnya apalagi dulu.
Dalam UUPPLH 2009 tidak mewajibkan sanksi pidana sebagai hukuman alternative dan juga tidak melarang penerapan sanksi kumulatif (penerapan sanksi pidana disamping hukuman yang lain), penerapan asas ultimum remidium ini hanya berlaku bagi tindak kriminal formil tertentu diluar itu maka berlaku premium remidium.
3. Penyidikan Tindak Pidana di Bidag Lingkungan
Selaras dengan ketentuan KUHAP, dalam Pasal 94 (1) UUPPLH 209 dikelola bahwa penyidik tindak kriminal di bidang lingkungan selain Penyidik Pejabat Polri, juga Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan instasi pemerintah yang bidang tugas dan tanggungjawabnya di bidang bantuan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Perlu juga dipahami bahwa tidak semua delik lingkungan hidup dijalankan oleh PPNS dari Kemetrian LIngkungan Hidup dan Badan atau Kantor Lingkungan Hidup Daerah, penyidikan tindak kriminal lingkungan hidup yang terjadi di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dilakukan oleh Penyidik Perwira TNI AL, di bidang perikanan dilakukan oleh PPNS Perikanan, Perwira Tentara Nasional Indonesia AL, Penyidik Polri dan di bidang kehutanan oleh PPNS di bidang kehutanan.
Jika ketentuan Pasal 94 UUPPLH dicermati , ternyata bila dibandingkan dengan KUHAP, PPNS telah diberi wewenang untuk menghentikan penyidikan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan. Selain itu dalam hal penyidikan sudah tamat oleh PPNS maka disampaikan langsung kepada PU tanpa melalui penyidik Polri sebagiamana ditentukan dalam Pasal 107 KUHAP. PPNS cuma diwajibkan berkoordinasi dengan penyidik Polisi Republik Indonesia pada saat melakukan penangkapan dan pehananan, koordinasinya yakni tindakan berkonsultasi guna mendapatkan dukungan personil, sarana dan prasarana yang diperlukan dalam penyidikan dan juga dalam hal PPNS melakukan penyidikan untuk memberitahukan dimulainya penyidikan terhadap penyidik Polri serta dalam hal pelimpaha kasus kepada PU (Pasal 94 UU PPLH 2009).
4. Pembuktian dan Hubungan Kausalitas
Salah satu kesulitan dalam penegakan aturan lingkungan kepidanaan pada umumnya sehingga menjadikan gagalnya perkara di pengadilan adalah perihal penyajian ala-alat bukti dan penetuan hubungan kausalitas antara perbuatan dengan akibat dari tindakan (cause and effect). Apakah mesti dibuktikan ialah perbuatannya semata, atau tergolong relasi kausalitas antara tindakan dengan akhir dari perbuatan sangat tergantung pada rumusan delik lingkungan yang dilanggar dan dijadikan dasar penuntutan.
Jika yang masuk kualifikasi delik formil, maka dibuktikan hanyalah benar atau tidak sudah terjadi perbuatan yang tidak boleh. Sebaliknya kalau terjadi delik materil maka yang mesti dibuktikan selain tindakan pidana juga balasan dari perbuatan (relasi kausalitas). Ketentuan Pasal 100-111 dan 113-115 ialah delik formil, sedangkan ketentuan dalam Pasal 98, 99 dan 112 ialah delik materil. Jika yang ingin dibuktikan adalah delik materil, komponen balasan dalam pasal-pasal tersebut mampu berupa dilampauinya baku mutu air, criteria baku kerusakan lingkungan hidup, atau terjadinya pencemaran/perusakan lingkungan hidup yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain.
Pembuktian kasus lingkungan hidup lazimnya mengalami kesulitan dalam penghidangan dan penentuan kekerabatan kausalitas. Pembuktian kasus lingkungan kadang kala terbentur pada penyajian fakta dan alat-alat bukti yang terkadang bersifat ilmiah (scientific proof) dan menyangkut belakang layar perusahaan. Apalgai jika perusahaan yang disangka melakukan delik lingkungan yang jumlahnya lebih dari satu dan membuang limbah yang mengandung komponen-unsur yang sama, khususnya yang bersifat kimia. Apalagi bila hal ini dihubungkan dengan Pasal 183 KUHAP yang memastikan putusan mesti dengan dibuktikan dengan dua alat bukti yang sah.
Dalam Pasal 96 UUPPLH terdapat perluasan alat bukti adalah alat bukti yang belum dikontrol dalam KUHAP, antara lain info yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronikm magnetic, optik, dan/atau alat bukti rekaman, data, atau gosip yang mampu dibaca, dilihat dan didengar yang mampu dikeluarkan dengan dan/atau tanpa derma suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas atau yang terekam secara elektro, tidak terbatas pada goresan pena, suara atau gambar, peta rancangan foto atau sejenisnya, karakter, tanda, angka, symbol atau perporasi yang mempunyai makna atau yang mampu dipahami atau dibaca.
Untuk menangani kesusahan pembuktian dalam tindakan melawan hukum lingkungan hidup sebaiknya mencotohi Jepang yang memberlakukan asas dugaan hubungan kausal (presumption of causation) dalam hal menyebabkan bahaya saat itu juga terhadap jiwa dan kesehatan masyarakat.
S. Maronie
sebagai materi kuliah Hukum Lingkungan