Filologi Dan Cara Kerja Penelitian Filologi

Filologi Dan Cara Kerja Penelitian Filologi 
Filologi ialah suatu ilmu yang obyek penelitiannya naskah-naskah lama. Sebelum kita membicarakan pokok-pokok pengertian perihal filologi ini lebih lanjut, oke kita jelaskan terlebih dulu, apa yang dimaksud dengan naskah ini. Yang dimaksudkan dengan naskah di sini, yaitu semua peninggalan tertulis nenek moyang kita pada kertas, lontar, kulit kayu, dan rotan. Tulisan tangan pada kertas itu lazimnya digunakan pada naskah-naskah yang berbahasa Melayu dan yang berbahasa Jawa; lontar bnyak digunakan pada naskah-naskah berbahasa Jawa dan Bali dan kulit kayu dan rotan biasa dipakai pada naskah-naskah berbahasa Batak. Dalam bahasa Inggris naskah-naskah ini disebut “manuscript” dan dalam bahasa Belanda disebut dengan perumpamaan “handschrift”. Hal ini perlu dijeaskan untuk membedakan peninggalan tertulis pada watu. Batu yang mempunyai goresan pena itu umumdisebut piagam, batu bersurat, atau inskripsi. Dan ilmu dalam bidang goresan pena kerikil itu disebut epigrafi.
Mengingat bahan naskah mirip tersebut di atas, jelaslah, bahwa naskah it tidak dapat bertahan beratus-ratus tahun tanpa pemeliharaan yang cermat dan perawatan yang khusus, sebagaimana dapat kita jumpai di luar negeri. Pemeliharaan naskah biar tidak cepat rusak, antara lain : mengontrol suhu udara tempat naskah itu disimpan, sehingga tidak cepat lapuk; melapisi kertas-kertas yang telah lapuk dengan kertas yang khusus untuk itu, sehingga besar lengan berkuasa kembali; dan menyemprot naskah-naskah itu dalam rentang waktu tertentu dengan materi kimia yang mampu membunuh abu-debu yang memakan kertas itu. Demikian antara lain pemeliharaan khusus kepada naskah-naskah itu, namun tinta yang memecah dan kertas yang cepat menguning atau dengan kata lain mutu tinta dan kertas yang kurang baik susah tertuntaskan.
Dapatlah dibayangkan, bahwa jika naskah-naskah tidak dirawat dengan cermat akan cepat sekali hancur dan tidak bernilai lagi sebagai warisan budaya nenek moyang. Naskah bukanlah pemanis yang bisa dibanggakan dengan mempertontonkannya saja. Naskah itu baru berhar, jika masih mampu dibaca dan dimengerti.
Semua naskah itu dianggap sebagai hasil sastra usang dan isi naskah itu bermacam-macam. Ada yang bahwasanya tidak mampu digolongkan dalam karya sastra, seperti undang-undang, etika-istiadat, cara-cara membuat obat, dan cara menciptakan rumah. Sebagian besar mampu digolongkan dalam karya sastra, dalam pemahaman khusus, mirip dongeng-dongeng dongeng, hikayat, dongeng hewan, pantun, syair, gurindam, dsb. Ituah sebabnya pengertian filologi diidentikkan dengan sastra lama.
Sebagai acuan keragaman isi naskah itu dapat kita lihat padanaskah-naskah Melayu yang tersimpan di Museum Pusat Jakarta, menurut Katalogus Koleksi Naskah Melayu. Dalam katalogus itu naskah dapat digolongkan dalam beberapa golongan yaitu :
I. Hikayat : 243 judul
II. Cerita kenabian : 138 judul
III. Cerita sejarah : 58 judul
IV. Hukum dan adab : 50 judul
V. Puisi : 99 judul
VI. Pustaka agama Islam : 273 judul
VII. Aneka ragam : 92 judul
Demikianlah sala satu teladan keanekaragaman isi naskah itu.
Hasil sastra pada naskah ini mampu dibilang selaku era atau tahap kedua dalam kehidupan sastra pada umumnya. Tahap pertama kehidupan sastra itu timbul secara mulut, sebelum orang mengenal goresan pena. Sebagaimana dimengerti sastra mulut tidak merupakan obyek observasi filologi. Hasil sastra pada naskah ini dapat pula dianggap selaku periode pertama kehidupan sastra sesudah orang mengenal tulisan.
Sekarang kita kembali membahas apa yang dimaksud dengan filologi itu. Filologi berasal dari bahasa Latin yang terdiri dari dua kata philos dan logos. Philos artinya cinta dan logos artinya kata (logos bermakna juga ilmu). Makara filologi itu secara harfiah memiliki arti cinta pada kata-kata. Itulah sebabnya filologi selalu asyik dengan kata-kata. Kata-kata diperhitungkan, dibetulkan, diperbandingkan, dijelaskan asal-usulnya dan sebagainya, sehingga terperinci bentuk dan artinya.
Pengertian filologi ini lalu meningkat ; dari pemahaman cinta pada kata-kata menjadi cinta pada ilmu. Filologi tidak cuma sibuk dengan kritik teks, serta komentar penjelasannya, namun juga ilmu yang memeriksa kebudayaan sebuah bangsa berdasarkan naskah. Obyeknya tetap sama, yaitu naskah. Dari observasi filologi, kita dapat mengenali latar belakang kebudayaan yang menciptakan karya sastra itu, mirip doktrin, budpekerti-istiadat dan pandangan hidup suatu bangsa.
Memang pekerjaan utama dalam penelitian filologi itu, sebagaimana dibilang oleh Dr. Haryati Soebadio, yakni menerima kembali naskah yang higienis dari kesalahan, yang memiliki arti memberikan pengertian yang sebaik mungkin dan yang bisa dipertanggungjawabkan, sehingga kita dapat mengenali naskah yang paling erat pada aslinya, alasannya adalah naskah itu sebelumnya mengalami penyalinan untuk kesekian kalinya; serta cocok pula dengan kebudayaan yang melahirkannya, sehingga perlu dibersihkan dari suplemen yang diterakan dalam zaman kemudian yang dilaksanakan waktu penyalinannya. Hal ini penting, biar isi naskah tidak diinterpretasikan secara salah.
Jelaslah, sebuah naskah harus terlebih dulu diteliti secara cermat, diperbandingkan, sehabis itu barulah dapat dipergunakan untuk penelitian lain, seperti sejarah, undang-undang, agama dan sosiologi. Hal ini perlu dijalankan untuk mengetahui, apakah isi naskah itu tidak salah atau disadur orang lain; apakah isinya tidak berlawanan antara satu naskah dengan naskah lain. Kalau terdapat perbedaan, apakah perbedaan itu disebabkan salah tulis, salah baca, kelupaan, terlampaui menulisnya, sehingga akan mengakibatkan salah tafsir. Suatu naskah gres boleh dibahas isinya, jika naskah yang bersangkutan telah diteliti sedalam-dalamnya secara filologi, mirip tersebut di atas. Sebelum studi filologi dilaksanakan, balasannya belum bisa dipastikan. Boleh dikatakan akhirnya baru bersifat sementara, alasannya adalah tidak bisa ditutup kemungkinan, bahwa teks yang dipakai disalahartikan oleh mahir sejarah, hebat sosiologi, jago aturan, dsb. 
Suatu kisah tertulis dalam satu atau lebih naskah dan kebanyakan lebih dari satu naskah; ada yang lebih dari 40 buah naskah mirip Tambo Minangkabau. Suatu naskah diperbanyak dengan jalan menyalin yang mampu dikerjakan oleh siapa saja, sebab cerita dianggap milik bersama. Tetapi mesti pula dikenang, bahwa orang yang terpelajar menulis pada waktu itu juga sungguh sedikit, sehingga tidak heran bila orang yang memiliki naskah itu merasa bangga sekali dan menganggapnya selaku benda keramat. Kalau ada orang yang hendak membacakan isi naskah itu diharuskan pula mengadakan upacara tertentu pula.
Semakin banyak naskah untuk suatu dongeng, sesungguhnya makin baik, sehingga kita mendapatkan citra yang jelas kepada dongeng itu; akan tetapi penelitian itu makin rumit, alasannya akan memakan waktu dan meminta kecermatan untuk membaca semua naskah itu dan memperbandingkannya.
Sekarang timbul pertanyaan, mengapa naskah itu disalin. Jawabnya ada beberapa kemungkinan. Naskah itu disalin, sebab harapan memiliki kisah itu, atau mungkin naskah asli sudah rusak, sehingga terpaksa dibuatkan salinannya yang gres. Berdasarkan hal itu muncul beberapa buah naskah yang sejenis. Mungkin juga sebuah dongeng lisan yang sudah tersebar di kelompok masyarakat, kemudian muncul impian hendak menyalinnya. Naskah-naskah jenis inilah biasanya yang banyak kita jumpai perbedaan-perbedaannya.
Berdasarkan observasi kepada naskah-naskah yang ada, dapatlah diperkirakan cara menyalin naskah tersebut sebagai berikut. Penyalin menyalin sebuah naskah secara ototis, tidak cermat dan tidak mengamati isi kalimat naskah yang disalinnya itu, sehingga kadang kala terdapat salah tulis. Ada juga penyalin mengamati isi kalimat, sehingga dengan sengaja mengubah kata, memperbesar atau mengurangi kata-kata atau susunan kalimat yang dianggap salah itu, sehingga terdapat beberpa naskah yang gaya bahasanya berbeda. Dan kemungkinan lain seperti sudah disebutkan di atas, cerita disalin dari cerita mulut. Sudah barang tentu dalam menuliskan ada bagian yang lupa atau susunan cerita yang berlawanan.
Hal-hal itulah yang perlu dijelaskan oleh filolog. Filolog yang cermat harus mampu menerangkan, apa sebabnya penyalinan naskah menuliskan kata-kata salah atau kurang jelas atau sembrono. Apakah hal itu disebabkan penulisannya tidak teliti, atau penulisnya tidak tahu kata-kata yang dituliskannya, alasannya kurangnya pengetahuannya kepada kata-kata dan isi dongeng naskah yang disalinnya itu, sehingga tidak memahami maksud penulis naskah yang naskahnya digunakan sebagai sumber itu.
Cara Kerja Penelitian Filologi
Sekarang sampailah kita membicarakan cara kerja penelitian filologi itu. Ada beberapa persoalan pokok yang perlu dikerjakan dalam observasi filologi itu, diantaranya, adalah :
1. Inventarisasi naskah;
2. Deskripsi naskah;
3. Perbandingan naskah;
4. Dasar-dasar penentuan naskah yang akan ditransliterasi;
5. Singkatan naskah; dan
6. Transliterasi naskah.
Baiklah masalah-persoalan tersebut di atas kita jelaskan satu-persatu, dan apa perlunya pokok-pokok observasi itu dilakukan.
1. Inventarisasi Naskah
Apabila kita ingin meneliti sebuah kisah bedasarkan naskah menurut cara kerja filologi, pertama-tama hendaklah didaftarkan semua naskah yang terdapat di banyak sekali perpustakaan universitas atau museum yang umum menyimpan naskah. Daftar naskah dapat dilihat menurut katalogus naskah yang tersedia. Sebagai acuan untuk naskah-naskah yang berbahasa Melayu sudah ada sebuah daftar naskah yang disusun oleh Joseph H. Howard dalam sebuah buku yang berjudul Malay Manuscripts. Dalam buku ini sudah didaftar naskah-naskah Melayu yang terdapat di aneka macam universitas dan museum di alam dan di mancanegara menurut katalogus yang ada, di samping daftar salinan naskah-naskah Melayu yang terdapat di perpustakaan Universiti Malaya.
Dalam buku Malay Manuscripts itu didaftar naskah-naskah Melayu yang terdapat di Muenchen, Brussel London, Leiden, Berlin, Hamburg dan Jakarta. Bagi yang ingin memperdalam penelitian mengenai naskah-naskah Melayu ini, nanti pada tamat pembicaraan ini, akan dicantumkan daftar katalogus naskah Melayu.
Naskah-naskah yang diharapkan dapat diperoleh dengan memesan didaftar untuk mengetahui jumlah naskah dan di mana naskah itu disimpan, serta penjelasan perihal nomor naskah, ukuran naskah, goresan pena naskah, daerah dan tanggal penyalinan naskah. Keterangan-informasi ini mampu dilihat dalam katalogus.
Sebagai acuan, saya kutip daftar naskah Tambo Minangkabau.
A. Jakarta
I. Van Ronkel (1909)
1. Bat. Gen 40 : 19 x 30 cm, 52 hal., 34 br., Arab-Melayu, terang. Sungai Batang, Ahad, Rajab 1263.
2. Bat. Gen 280 : 17 x 20 cm, 92 hal., 18 br., Arab-Melayu, terperinci. Air Haji, 1812.
II. KKNM (1972)
1. MI. 428 : 17 x 21,5 cm, 55 hal., 41 br., Arab-Melayu, jelas. Kolofon tidak ada.
2. MI. 490 : 21 x 33 cm, 156 hal., 38 br., Latin, kurang terperinci. Kolofon tidak ada.
B. Leiden
I. Juynboll (1899)
1. Cod Or. 1745/CCLVI : 13 x 20 cm, 70 hal., 19 br., Arab-Melayu, jelas, 13 Syafar 1240, Kitab Baginda Tanalam Sikaturi.
2. Deskripsi Naskah
Langkah kedua, sesudah simpulan menyusun daftar naskah yang mau kita teliti, dan naskah pun telah tersedia untuk dibaca, barulah kita menciptakan uraian atau deskripsi tiap-tiap naskah secara jelas. Dalam uraian itu, di samping apa yang telah disebutkan dalam daftar naskah, juga dijelaskan keadaan naskah, kertas, watermark jika ada, catatan lain mengenai isi naskah, serta pokok-pokok isi naskah itu. Hal ini penting sekali untuk mengenali keadaan naskah, dan sejauh mana isi naskah itu. Penelitian ini sangat menolong kita untuk memilih naskah mana yang paling baik dipakai untuk perbandingan naskah itu.
Contoh yang amat sederhana dalam hal ini saya kutip dari deskripsi naskah Hikayat Nur Muhammad, sebagai berikut :
Nomor naskah : Bat. Gen. 96/MI. 96
Ukuran naskah : 13 x 20 cm, 
Tulisan naskah : Arab-Melayu, kurang jelas.
Keadaan naskah : Kertas agak lapuk, beberapa halaman dilapisi dengan kertas minyak, alasannya adalah sobek.
Kolofon : tidak ada
Catatan lain : Naskah ini tercatat pada katalogus Van Ronkel (1909), hal. 222, dan pada KKNM (1972), hal. 172. Cerita dimulai pada halaman 2; isinya kurang lengkap. Naskah ini terdiri dari dua dongeng, yaitu :
1. Hikayat Nur Muhammad
2. Nasehat untuk wanita (judul ini tidak tertera dalam naskah), hal. 9-18.
Pokok-pokok isi dongeng Hikayat Nur Muhammad ini selaku berikut :
1-3 : Dimulai dengan basmallah dan pujian kepada kebesaran Allah dalam bahasa Arab, tanpa terjemahannya. Kemudian diterangkan, bahwa Nur Muhammad itu telah diciptakan Allah sebelum adanya segala sesuatu di dunia ini. Itulah permulaan kejadian.
3-6 : Tuhan membuat tujuh bahari, yakni bahari ilmu, maritim latif, laut tabah, bahari logika, maritim pikir, bahari rahmat dan bahari cahaya. Nur Muhammad diperintahkan Allah berenang ke tujuh maritim itu. Nur Muhammad pun berenang ke sana.
6-8 : Tuhan menciptakan segala sesuatu dari empat bagian, adalah angin, air, api, dan tanah. Nur Muhammad diperintahkan Tuhan pergi kepada tiap unsur itu. Semuanya menyombongkan dirinya lebih tinggi dari yang lain, kecuali tanah, dikala Nur Muhammad itu datang.
Setelah semuanya diberi pelajaran oleh Nur Muhammad, barulah masing-masing sadar akan kekurangannya dan bertobat kepada Tuhan.
Dari deskripsi naskah tersebut di atas itu jelaslah, bahwa naskah tersebut isinya sangat sederhana, tidak lengkap, tulisannya juga tidak terang dan naskah telah agak rusak. Keterangan-informasi mirip tersebut di atas itulah yang dapat nanti digunakan sebagai bahan pertimbangan menentukan naskah yang bagus untuk diteliti lebih lanjut.
Sebagaimana sudah disebutkan di atas, deskripsi tersebut masih sangat sederhana. Apabila kita ingin informasi yang lebih jelas, hendaklah pula diterangkan berapa halaman naskah itu yang terpakai dan berapa halaman yang kosong. Bagaimanakualitas kertasnya, bergaris atau polos, ukurannya kuarto atau folio, warnanya putih atau telah menguning? Kalau ada juga sebutkan ciri-ciri watermark kertas itu. Apa warna tinta yang digunakan, hitam, merah, atau biru? Keterangan mengenai tulisan naskah juga mampu diperjelas, contohnya besar, kecil, rapi, sembono, manis, atau jelek. Susunan baris naskah teratur atau tidak, diikuti garis pinggir, dihiasi atau tidak? Apakah juga ada catatan pada pinggir naskah atau tidak? Dan informasi-keterangan atau ciri-ciri khusus yang lain kalau ada perlu disebutkan
3. Perbandingan Naskah
Satu tahaplagi observasi filologi yang memerlukan ketabahan dan menyantap banyak waktu, yaitu perbandingan naskah. Perbandingan naskah perlu dilaksanakan, jika sebuah kisah ditulis dalam dua naskah atau lebih untuk membetulkan kata-kata yang salah atau tidak terbaca; untuk menentukan sisilah naskah; untuk menerima naskah yang terbaik; dan untuk tujuan-tujuan lain. Perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam naskah-naskah itu muncul, alasannya naskah itu diperbanyak dengan menyalin. Dalam menyalin kembali itu terdapat banyak kesalahan dan penambahan gres, alasannya adalah cara yang dilakukan dalam menyalin naskah itu bermacam-macam sesuai dengan kepandaian dan keinginan si penyalin.
Dari observasi sementara, mampu ditarik kesimpulan di sini cara yang dilaksanakan dalam menyalin naskah itu sebagai berikut :
a. Menyalin dengan membetulkan;
b. Menyalin dengan menggunakan bahasa sendiri;
c. Menyalin dengan memperbesar bagian atau bagian kisah baru, alasannya adalah adanya dampak abnormal; dan
d. Menyalin ceritera dari ceritera mulut atau sumber yang berbeda.
Hal-hal inilah yang menyebabkan perlunya naskah itu diperbandingkan. Sudah menjadi ciri sastra lama, bahwa pengarang atau penyalin kisah bebas menambah, mengganti atau memperbaiki ceritera yang diperolehnya. Meskipun demkian, pasti ada batas-batasnya juga, sepanjang isi atau pokok ceritanya tidak berganti, alasannya mengubah sebuah tradisi tabu bagi penduduk usang. Masyarakat lama menilai naskah itu selaku warisan atau pusaka yang tinggi nilainya. Hal inilah yang memberi jaminan pada kita, bahwa isinya dapat dipercayai, benar-benarhidup dalam penduduk sesuai dengan kepercayaannya dan tidak dikarang sesuka penulisnya.
Perbandingan naskah itu mampu mencakup :
a. Perbandingan kata demi kata, untuk membetulkan kata-kata yang tidak terbaca atau salah;
b. Perbandingan susunan kalimat atau gaya bahasa, untuk menggolongkan cerita dalam beberapa model dan untuk menerima dongeng yang bahasanya tanpa hambatan dan terperinci; dan
c. Perbandingan isi cerita, untuk mendapatkan naskah yang isinya lengkap dan tidak menyimpang dan untuk mengenali adanya komponen baru dalam naskah itu.
Hal ini perlu dilaksanakan untuk mendapatkan kisah yang bebas dari kesalahan; isi dongeng tidak diinterpretasikan secara salah; penggolongan dongeng sesuai dengan penyajiannya; dan untuk menentukan sisilah naskah itu.
Dari perbandingan kedua naskah itu, dapatlah kita lihat banyaknya perbedaan kata-kata pada kedua naskah itu. Dan dari perbandingan itu dapat pulalah kita menentukan kata-kata mana yang lebih tepat dan betul pada kedua naskah itu. Misalnya, pada naskah MI. 439 terdapat kata ‘Adam alaihi s-salam’, sedang pada naskah MI.489 tertulis ‘ Nabi Allah Adam’. Sebaiknya ditulis ‘ Nabi Adam Alaihi s-salam’, masing-masing saling melengkapi. Demikian pula kata-kata ‘ribut dan kaca-kaca’ pada naskah MI. 489, sedang pada naskah MI. 439 tertulis ‘nobat dan kecapi’. Dalam hal ini yang betul adalah ‘nobat dan kecapi’ (sejenis alat musik). Naskah MI.439 mampu membetulkan kesalahan yang erdapat pada naskah MI. 489 itu.
Perbandingan isi cerita hanya dapat dilaksanakan berdasarkan garis besar atas pokok-pokok isi dongeng yang dapat dilihat pada deskripsi naskah. 
4. Dasar-dasar Penentuan Naskah yang Akan Ditransliterasi
Teori yang dipakai untuk memilih naskah yang hendak ditransliterasikan tentulah dihubungkan dengan tujuan penlitian. Salah satu tujuan observasi filologi, ialah untuk mendapatkan suatu naskah yang paling lengkap dan paling baik atau yang paling representatif dari naskah-naskah yang ada. Dengan demikian perlu perbandingan naskah. Semua naskah yang ada diteliti dan dibandingkan isinya, tulisannya, keadaannya, bahasanya, dan umur naskah itu.
Berdasarkan hal itu dapatlah kita gunakan kerangka teori untuk menentukan naskah yang paling baik dan paling komplet itu sebagai berikut :
1. Isinya lengkap dan tidak menyimpang dari kebanyakan naskah lain;
2. Tulisannya terperinci dan mudah dibaca dan diutamakan naskah yang ditulis dengan huruf Arab-Melayu;
3. Keadaan naskah baik dan utuh;
4. Bahasanya lancar dan mudah diketahui; dan
5. Umur naskah lebih bau tanah.
Hal-hal tersebut di atas pasti gres mampu diketahu sesudah adanya daftar naskah, deskripsi naskah yang cermat, dan perbandingan naskah.
Naskah yang memenuhi syarat-syarat tersebut di atas itulah yang kita pilih untuk ditransliterasikan sebagai dasar dan naskah lainnya kita gunakan yang terdapat pada naskah yang kita pakai selaku dasar itu. Dengan demikian terpenuhilah tujuan penelitian untuk mendapatkan suatu naskah yang lengkap isinya dan baik bahasanya.
5. Singkatan Naskah
Membuat abreviasi naskah secara jelas mampu dibilang sebagai langkah kelima observasi filologi. Salah satu maksudnya, yakni untuk mempermudah pengenalan isi naskah. Naskah-naskah yang mau dibuat singkatannya itu hndaklah dipilih naskah yang terbaik dari naskah yang ada, sebagaimana sudah kita bicarakan pada ad. 4 tersebut di atas.
Dalam menyusun abreviasi naskah itu hendaklah dicantumkan halaman-halaman naskah secara cermat, sehingga dengan gampang mampu diketahui dari halaman berapa sampai halaman berapa suatu episode atau bab dongeng itu dimulai dan selesai diikhtisarkan. 
Singkatan naskah secara terperinci dapat pula dianggap selaku usaha pertama memperkenalkan hasil-hasil sastra lama yang masih berupa goresan pena tangan dan pada umumnya ditulis dengan aksara Arab-Melayu itu, agar dengan mudah dapat dibaca dan dikenali garis besar jalan ceritanya. Sebagai contoh dalam hal ini adalah suatu kumpulan abreviasi naskah yang berjudul : “Singkatan Naskah Sastra Indonesia Lama Pengaruh Islam”.
Bahasa dan Kesusastraan, Seri Khusus no. 18, th. 1973, Lembaga Bahasa Nasional, Jakarta.
6. Transliterasi/Transkripsi Naskah
Yang dimaksud dengan transliterasi, ialah penggantian atau pengalihan huruf demi abjad dari karakter yang satu ke aksara lainnya. Misalnya dari abjad Arab-Melayu ke huru Latin. Dapat juga dari karakter Jawa atau Sansekerta ke abjad Latin atau sebaliknya. Sedang transkripsi yakni gubahan teks dari satu ejaan ke ejaan lain. Misalnya, naskah-naskah yang ditulis dengan karakter Latin yang sudah barang tentu ditulis dengan ejaan usang diubah dalam ejaan yang berlaku sekarang. Akan tetapi tugas yang dijalankan dalam transliterasi atau transkripsi itu tidak hanya sampai di situ saja. Naskah-naskah yang ditulis dengan huruf Arab-Melayu itu tidak dibarengi tanda-tanda baca, mirip titik, koma, tanda kutip, abjad besar dsb. Sehingga susah menyusun kalimat; juga tak ada pembagian dalam alinea dan bagian, sehingga susah memilih kesatuan-kesatuan bagian cerita dan menyukarkan membaca. Sebagian besar naskah-naskah yang berbahasa Melayu ditulis dengan abjad Arab-Melayu ini.
Semuanya itu perlu dijelaskan oleh filolog, agar tidak terdapat lagi kekeliruan dan salah tafsir. Filolog hendaklah sedapat-dapatnya menghidangkan materi transliterasi atau transkripsi itu selengkap-lengkapnya dan sebaik-baiknya, sehingga mudah dibaca dan dipahami, dengan jalan menyusun kalimat yang terang disertai tanda-tanda baca yang teliti, pembagian alinea dan bab untuk mempermudah konsentrasi asumsi. Di samping itu juga disajikan perbedaan-perbedaan kata pada naskah-naskah lain, perbaikan-perbaikan serta komentar dan penjelasannya; sehingga mampu ditetapkan bagaimana suara teks itu sebaiknya.
Transliterasi kata-kata atau kalimat-kalimat dalam bahasa Arab memerlukan metode yang khusus, alasannya fonem-fonem bahasa Indonesia. Dalam hal ini perlu ditentukan terlebih dahulu tata cara ejaan khusus yang digunakan untuk transliterasi bahasa Arab itu.