Gambaran Umum Ilmu Bahasa (Linguistik)
Dalam banyak sekali kamus umum, linguistik didefinisikan selaku ‘ilmu bahasa’ atau ‘studi ilmiah mengenai bahasa’ (Matthews 1997). Dalam The New Oxford Dictionary of English (2003), linguistik didefinisikan sebagai berikut:
“The scientific study of language and its structure, including the study of grammar, syntax, and phonetics. Specific branches of linguistics include sociolinguistics, dialectology, psycholinguistics, computational linguistics, comparative linguistics, and structural linguistics.”
Program studi Ilmu Bahasa mulai jenjang S1 hingga S3, bahkan sampai post-doctoral acara telah banyak ditawarkan di universitas ternama, seperti University of California in Los Angeles (UCLA), Harvard University, Massachusett Institute of Technology (MIT), University of Edinburgh, dan Oxford University. Di Indonesia, paling tidak ada dua universitas yang membuka acara S1 hingga S3 untuk ilmu bahasa, yaitu Universitas Indonesia dan Universitas Nasrani Atma Jaya.
Sejarah Perkembangan Ilmu Bahasa
Ilmu bahasa yang dipelajari saat ini bermula dari penelitian ihwal bahasa sejak zaman Yunani (kurun 6 SM). Secara garis besar studi perihal bahasa dapat dibedakan antara (1) tata bahasa tradisional dan (2) linguistik terbaru.
Tata Bahasa Tradisional
Pada zaman Yunani para filsuf meneliti apa yang dimaksud dengan bahasa dan apa hakikat bahasa. Para filsuf tersebut sependapat bahwa bahasa yakni sistem tanda. Dikatakan bahwa manusia hidup dalam gejala yang meliputi segala sisi kehidupan manusia, contohnya bangunan, kedokteran, kesehatan, geografi, dan sebagainya. Tetapi tentang hakikat bahasa – apakah bahasa seperti realitas atau tidak – mereka belum sepakat. Dua filsuf besar yang pemikirannya terus kuat hingga ketika ini yaitu Plato dan Aristoteles.
Plato berpendapat bahwa bahasa yakni physei atau mirip realitas; sedangkan Aristoteles mempunyai usulan sebaliknya ialah bahwa bahasa yaitu thesei atau tidak mirip realitas kecuali onomatope dan lambang suara (sound symbolism). Pandangan Plato bahwa bahasa seperti dengan realitas atau non-arbitrer disertai oleh kaum naturalis; persepsi Aristoteles bahwa bahasa tidak seperti dengan realitas atau arbitrer disertai oleh kaum konvensionalis. Perbedaan pendapat ini juga merambah ke dilema keteraturan (regular) atau ketidakteraturan (irregular) dalam bahasa. Kelompok penganut pendapat adanya keteraturan bahasa yakni kaum analogis yang pandangannya tidak berbeda dengan kaum naturalis; sedangkan kaum anomalis yang beropini adanya ketidakteraturan dalam bahasa mewarisi pandangan kaum konvensionalis. Pandangan kaum anomalis mensugesti pengikut ajaran Stoic. Kaum Stoic lebih kepincut pada duduk perkara asal mula bahasa secara filosofis. Mereka membedakan adanya empat jenis kelas kata, adalah nomina, verba, konjungsi dan postingan.
Pada permulaan kurun 3 SM studi bahasa dikembangkan di kota Alexandria yang ialah koloni Yunani. Di kota itu dibangun perpustakaan besar yang menjadi pusat penelitian bahasa dan kesusastraan. Para mahir dari kota itu yang disebut kaum Alexandrian meneruskan pekerjaan kaum Stoic, walaupun mereka sebenarnya termasuk kaum analogis. Sebagai kaum analogis mereka mencari keteraturan dalam bahasa dan berhasil membangun pola infleksi bahasa Yunani. Apa yang sampaumur ini disebut “tata bahasa tradisional” atau ” tata bahasa Yunani” , penamaan itu tidak lain didasarkan pada hasil karya kaum Alexandrian ini.
Salah seorang ahli bahasa bemama Dionysius Thrax (final kurun 2 SM) merupakan orang pertama yang berhasil membuat hukum tata bahasa secara sistematis serta menyertakan kelas kata adverbia, partisipel, pronomina dan preposisi terhadap empat kelas kata yang sudah dibentuk oleh kaum Stoic. Di samping itu sarjana ini juga sukses mengklasifikasikan kata-kata bahasa Yunani menurut masalah, jender, jumlah, kala, diatesis (voice) dan modus.
Pengaruh tata bahasa Yunani sampai ke kerajaan Romawi. Para jago tata bahasa Latin mengadopsi tata bahasa Yunani dalam meneliti bahasa Latin dan cuma melakukan sedikit penyesuaian, alasannya adalah kedua bahasa itu seperti. Tata bahasa Latin dibuat atas dasar model tata bahasa Dionysius Thrax. Dua ahli bahasa lainnya, Donatus (tahun 400 M) dan Priscian (tahun 500 M) juga menciptakan buku tata bahasa klasik dari bahasa Latin yang kuat sampai ke abad pertengahan.
Selama periode 13-15 bahasa Latin memegang peranan penting dalam dunia pendidikan di samping dalam agama Katolik. Pada kurun itu gramatika tidak lain yakni teori tentang kelas kata. Pada kurun Renaisans bahasa Latin menjadi fasilitas untuk mengerti kesusastraan dan mengarang. Tahun 1513 Erasmus mengarang tata bahasa Latin atas dasar tata bahasa yang disusun oleh Donatus.
Minat meneliti bahasa-bahasa di Eropa bekerjsama telah dimulai sebelum zaman Renaisans, antara lain dengan ditulisnya tata bahasa Irlandia (era 7 M), tata bahasa Eslandia (era 12), dan sebagainya. Pada abad itu bahasa menjadi sarana dalam kesusastraan, dan jika menjadi objek observasi di universitas tetap dalam kerangka tradisional. Tata bahasa dianggap selaku seni mengatakan dan menulis dengan benar. Tugas utama tata bahasa ialah memberi isyarat ihwal pemakaian “bahasa yang bagus” , adalah bahasa kaum arif. Petunjuk pemakaian “bahasa yang baik” ini yaitu untuk menghindarkan terjadinya pemakaian unsur-komponen yang mampu “merusak” bahasa mirip kata serapan, ragam percakapan, dan sebagainya.
Tradisi tata bahasa Yunani-Latin berpengaruh ke bahasa-bahasa Eropa lainnya. Tata bahasa Dionysius Thrax pada masa 5 diterjemahkan ke dalam bahasa Armenia, lalu ke dalam bahasa Siria. Selanjutnya para andal tata bahasa Arab menyerap tata bahasa Siria.
Selain di Eropa dan Asia Barat, observasi bahasa di Asia Selatan yang perlu dikenali ialah di India dengan mahir gramatikanya yang bemama Panini (masa 4 SM). Tata bahasa Sanskrit yang disusun andal ini memiliki keunggulan di bidang fonetik. Keunggulan ini antara lain sebab adanya keharusan untuk melafalkan dengan benar dan sempurna doa dan nyanyian dalam kitab suci Weda.
Sampai menjelang zaman Renaisans, bahasa yang diteliti yaitu bahasa Yunani, dan Latin. Bahasa Latin mempunyai tugas penting pada masa itu karena dipakai selaku sarana dalam dunia pendidikan, administrasi dan diplomasi internasional di Eropa Barat. Pada zaman Renaisans penelitian bahasa mulai berkembang ke bahasa-bahasa Roman (bahasa Prancis, Spanyol, dan Italia) yang dianggap berindukkan bahasa Latin, juga terhadap bahasa-bahasa yang nonRoman seperti bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Swedia, dan Denmark.