Permulaan Mediasi antara Visi Ideal dan Realitas Pragmatis
Seperti yang sudah aku ungkapkan, alasannya model Nabi di Madinah terlalu unik untuk direplikasi, saya akan memfokuskan pembahasan ini dengan mengklarifikasi signifikansi kurun Khulafaurrasyidin (bubuk Bakar, Ustman, Umar dan Ali) pada tahun 632-661, dan kurun Umayah (661-750). Saya akan memikirkan sejarah abad awal ini dalam keterkaitannya dengan dua model penyatuan dan perundingan relasi antara Islam dan negara maupun antara Islam dan politik. Dalam bagian kedua aku akan menguji secara singkat beberapa peristiwa dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh peristiwa mihnah yang dimulai pada era Khalifah al-Ma’mun di tahun 833 dan dilanjutkan oleh penguasa setelahnya dalam hubungannya dengan pertanyaan yang kita bahas dalam bagian ini. Karena insiden-peristiwa itu menekankan pentingnya membedakan Islam dan negara, bagian ketiga akan menyoroti pentingnya wakaf selaku kekuataan kelembagaan dan keuangan institusi keagamaan dan otonomi ulama dalam menegosiasikan hubungan Islam dengan negara dan politik.
Sebagaimana muslim lainnya, sukar bagi saya untuk memberikan refleksi analitis terhadap fase permulaan sejarah Islam tersebut alasannya tingginya penghormatan yang diberikan terhadap para sobat yang terlibat dalam insiden-kejadian yang terjadi pada kala itu. Bagaimana aku mampu melakukan evaluasi salah atau benar terhadap Abu Bakar, seorang teman Nabi yang paling dihormati di golongan muslim sunni, saat beliau menetapkan untuk kepada orang murtad atau yang lebih diketahui sebagai hurub al-rida, atau menganggap bagaimana beliau menangani problem Khalid bin al-Walid sebab perilakunya selama periode penaklukan? Bagaimana saya bisa mengkritik Muawiyah, seorang teman lain yang mendirikan dinasti Umayyah? Namun, sebagai seorang muslim aku juga mesti merefleksikan sosok-sosok tersebut dan sikap mereka alasannya aku yakin pentingnya menuntaskan duduk perkara yang dihadapi oleh ummat Islam kini dan nanti. Karena selaku Muslim saya tidak mau menghindar dari tanggung jawab dengan cuma menjauhi informasi seperti ini. Saya malah merasa terhormat untuk mengungkapkan persepsi seperti itu dan alasannya adalah aku melakukannya untuk kemasalahatann bareng bukan demi keuntungan pribadi.
Lagipula, keterlibatan aku dalam melaksanakan refleksi kritis terhadap agresi politik sosok-sosok religius itu merupakan bagian dari argumentasi aku untuk tetap menekankan pentingnya netralitas negara terhadap agama, seperti yang berkali-kali saya usikan dalam buku ini. Pemisahan antara agama dan negara dibutuhkan supaya ummat Islam mampu memegang teguh keyakinan agamanya dan hidup sesuai dengan keyakinan itu tanpa mengabaikan tanggung jawab mereka untuk berpartisipasi dalam urusan-persoalan publik masyarakatnya. Sejarah menawarkan bahwa pemuka agama rentan terhadap rayuan dan paksaan untuk mendukung acara politik penguasa, bahkan mereka rentan terhadap konsekuensi yang berat mirip yang terlihat dalam kasus mihnah berikut ini. Untuk menghindari duduk perkara ini, beberapa pemimpin agama condong menghindari keterlibatan serius dalam persoalan publik. Daripada menghadapi kesusahan yang serupa, saya menyarankan agar ummat Islam dikala ini sebaiknya menempuh upaya pemisahan antara Islam dengan negara, yang mempunyai arti bahwa mereka yang mengontrol negara tidak mampu memakai kekuasaan kursifnya memaksakan atau menerapkan kepercayaannya.
Orang-Orang Murtad dan Watak Negara
Suksesi Nabi ialah topik yang tetap hangat diperdebatkan sepanjang sejarah penduduk Islam alasannya adalah implikasinya yang besar terhadap tabiat negara dan relevansinya dengan Islam. Urutan peristiwa yang biasa diterima yaitu bahwa klaim golongan Muhajirun lebih besar lengan berkuasa daripada klaim kelompok anshar. Riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa golongan anshar menuntut adanya pemimpin (amir) dari dua kalangan yang berlainan ini, menawarkan bahwa mereka cemas mengenai resiko adanya pemerintahan yang terkonsolidasikan, ketimbang sekedar reaksi penolakan terhadap Abu Bakar atau semacamnya. Fakta ini akan relevan untuk mengerti argumentasi pemberontakan suku-suku Arab lain yang ditumpas melalui riddah yang akan kita diskusikan berikut ini. Ketika info pertama ini terselesaikan, Abu bakar memiliki pengaruh yang lebih besar lengan berkuasa di golongan muslim Mekah ketika itu ketimbang calon lainnya, sampai Umar menyebutnya “kebetulan yang tak terrencanakan” (falta). Hal penting yang selalu menjadi kontroversi dalam proses ini yakni sebagian ummat Islam ketika itu, yang lalu dikenal sebagai kelompok penunjang Ali (shi’at) terus menentang validitas kemenangan Abu Bakar atas Ali. Hal yang lebih signifikan kita bahas dalam perbicangan kita saat ini yakni bahwa perbedaan argumentasi pemilihan pengganti Nabi dan standar penyeleksian mempunyai konsekuensi yang luar biasa terhadap akhlak negara sebagai institusi politik. Masalah yang berhubungan dengan posisi khalifah dan keterkaitannya dengan era Nabi terus memiliki konsekuensi yang besar bagi moral negara itu sendiri. Sekarang aku akan membicarakan masalah ini lewat analisis kepada orang-orang murtad dan pentingnya tugas kejadian ini dalam pembentukan sopan santun negara selaku institusi politik.
Saat itu, Abu Bakar mesti memperlihatkan otoritas negara kepada sejumlah suku Arab yang terang-terang menolak otoritas tersebut. Ummat Islam umumnya yakin bahwa Abu Bakar melakukan itu karena suku-suku itu sudah murtad dengan mengikuti Nabi Palsu atau sebab menolak mengeluarkan uang zakat. Namun kedua jenis resistensi ini ditumpas dengan memakai kekuatan atas nama negara. Fase ini lazimnya sangat dibanggakan oleh kalangan sunni sebagai prestasi paling besar Abu Bakar yang pertanda keabsahan pemilihannya selaku khalifah pertama. Setelah konsolidasi kekuasaan politik di seluruh semenanjung Arab tercapai, barulah perluasan ke Kerajaan Byzantium dan Sasanid dimulai.
Saya tidak kepincut dengan persepsi mayoritas itu, ataupun untuk menilai apakah langkah-langkah Abu bakar untuk menyulut itu salah atau benar. Saya malah tertarik untuk melihat makna atau signifikansi episode itu dalam membentuk adab negara pada dikala itu. Keputusan Abu Bakar untuk memerangi suku-suku itu supaya mereka taat pada otoritasnya selaku khalifah diperlihatkan dalam pernyataannya perihal zakat yang sangat terkenal: “saya bersumpah demi Tuhan, jikalau mereka menolak untuk memperlihatkan meski hanya sekerat daging unta yang dahulu pernah diberikan kepada Nabi, aku akan bertandingdengan mereka balasannya.” Apa sesungguhnya alasan perilaku ini? mengapa langkah-langkah ini diinterpretasi selaku suatu bukti bahwa dialah khalifah pengganti Rasulullah? Apakah cara keputusan untuk memerangi suku-suku Arab itu dibuat, alasan yang melatarbelakanginya, maupun kejadian yang berhubungan dengan insiden itu mengindikasikan adanya versi penyatuan antara kepemimpinan agama dan politik dalam Islam atau tidak? Jika ya, apa yang sejarah katakan pada kita tentang kesusahan dan kontradiski yang terdapat dalam persepsi semacam itu?
Sebagai pola, pembedaan bisa dibuat antara dua kalangan besar oleh Abu Bakar yaitu mereka yang menolak untuk membayar zakat kepada Khalifah dan mereka yang mengabaikan Islam karena mengikuti Nabi Palsu. Bisa juga kita berargumen bahwa Abu Bakar menganggap penolakan untuk membayar zakat ke kas negara sama dengan murtad, sehingga pelakunya bisa dihukum mati. Namun, kita mampu juga menyaksikan penolakan itu sebagai pemberontakan kepada otoritas negara sebagai institusi politik yang keberadaannya mampu dijaga dengan kekuatan militer. Dengan mengatakan demikian, aku tidak berniat untuk bisa menyelesaikan kontroversi yang berlarut-larut, kompleks dan terus menjadikan kemarahan bahkan sampai periode kedua dalam sejarah Islam ini. Saya hanya ingin merefleksikan implikasi kontroversi itu pada sopan santun negara pada periode permulaan Islam tersebut, terlepas dari apa yang orang pikirkan ihwal apa yang sudah dijalankan oleh Abu Bakar. Sebagai teladan, aku ingin bertanya: apakah usaha yang dilakukan Abu Bakar untuk menerapkan kewajiban zakat atau memerangi orang murtad ialah caranya untuk menawarkan otoritas politiknya sebagai khalifah? apakah beliau menjadi khalifah karena otoritas keagamaan yang dimilikinya di kelompok ummat Islam dikala itu?
Beberapa pertanyaan menyangkut peristiwa itu masih tak terjawab hingga saat ini. Misalnya, apakah zakat itu dibayarkan secara sukarela pada abad Nabi dan apakah zakat itu diserahkan ke Madinah atau digunakan untuk kepentingan masyarakat setempat? Pertanyaan-pertanyaan itu cuma sebagian dari pertanyaan yang terus dihindari oleh sejarawan. Ada satu bukti yang memberikan bahwa pada masa Nabi, zakat bukanlah tolok ukur yang universal dan mesti dipenuhi untuk menjadi seorang Muslim, dan bahwa Nabi menerima perpindahan seseorang dari agama lain tanpa syarat-syarat pembayaran. Disebutkan pula bahwa nisab zakat belum dikodifikasi hingga era Khalifah Abu Bakar. Bukti yang ada memberikan bahwa Nabi tidak menggunakan kekerasan dalam menghimpun zakat. Beberapa sahabat terkemuka seperti Umar dan Abu Ubaidah memperingatkan Abu Bakar supaya “menghapuskan pajak untuk tahun tersebut dan memperlakukan suku-suku yang loyal terhadap Islam dengan lunak biar mereka menawarkan sumbangan kepadanya dalam melaksanakan tindakan terhadap mereka yang mengabaikan Islam”. Sahabat lain seperti Ali bahkan tidak ikut serta. Adanya ketidaksepakatan teman kepada masalah tersebut ialah hal yang penting bagi kita untuk mengetahui dasar keputusan Abu Bakar dan implikasinya terhadap budbahasa negara pada ketika itu.
Hal kontroversial lain yang terjadi pada saat itu yakni keputusan Abu Bakar untuk menunjuk golongan bangsawan Mekah selaku komandan dalam riddah, padahal mereka baru masuk Islam setelah bertahun-tahun memusuhi dan menolak pesan-pesan kenabian. Keputusan itu menunjukkan sisi politis yang dilaksanakan Abu Bakar karena “penyerahan zakat bisa memiliki arti tanda penyerahan otonomi kesukuan, penerimaan terhadap pajak resmi sekaligus legalisasi terhadap hak negara untuk memaksa pihak-pihak yang membangkang serta ketundukkan suku tersebut kepada penguasa atau pemerintah. Hal-hal tersebut, justru yang selama ini senantiasa ditentang oleh mereka. Apreasiasi terhadap ketegangan dan ketakutan suku-suku Arab yang menghadapi transformasi drastis dalam forum dan kekerabatan sosial dan politiknya lah yang barangkali menimbulkan Nabi tidak pernah terpesona untuk menggunakan kekuatan. “Ketika pemimpin pemberontakan suku itu tertangkap lalu dihadapkan terhadap Bakar dan didakwa dengan vonis murtad, mereka membela diri dengan mengatakan bahwa dengan melaksanakan langkah-langkah perlawanan itu mereka tidak berencana menjadi orang kafir, melainkan karena mereka tidak mau menyerahkan kekayaan mereka.”
Peristiwa lain yang menimbulkan kontroversi adalah perintah Abu Bakar kepada Khalid bin al-Walid untuk membunuh Malik bin Nuwayra dari Bani Yarbu, suku Arab yang menjadi anggota federasi Bani Tamim. Perintah ini timbul karena Malik bin Nuwayra menolak untuk menyerahkan sejumlah unta yang pernah dia kumpulkan untuk diberikan selaku zakat kaumnya terhadap Nabi. Walaupun Malik menyatakan kesetiannya kembali kepada Islam, beliau gotong royong dengan anggota suku yang lain tetap dibunuh oleh Khalid.
Para sobat terkemuka mengecam tindakan Khalid. Bahkan Umar menuntut khalifah memecatnya dan Ali memutuskan eksekusi had terhadapnya alasannya Khalid dianggap telah melaksanakan zina (dengan mengambil paksa istri Malik), Namun Abu bakar sebagai Khalifah tidak mengabulkan kedua usul itu. Tuntutan-permintaan itu akan nampak tidak masuk logika kalau kita mengetahui keputusan Abu Bakar selaku bagian dari otoritas keagamaan yang dimilikinya dari Nabi karena para Sahabat ternama, pasti, tidak akan bertikai dengannya, alasannya mereka mengetahui bahwa keputusan Abu Bakar itu bersifat mengikat dan ialah bagian dari ajaran Islam. Tetapi sebaliknya, meskipun para sahabat tidak setuju dengan Abu Bakar, mereka tidak berbuat sekehendak hatinya untuk mewujudkan apa yang mereka anggap benar, mungkin alasannya adalah mereka menghormati otoritas politik Abu Bakar sebagai khalifah. Ulama-ulama zaman berikutnya mirip al-Syafi’i, al-Khttabi, Ahmad bin Handal dan Ibnu Rajab merespon suasana itu secara berlainan-beda, baik dengan memberikan analisis tekstual kepada hadits maupun sekedar berapologi. Barulah lalu pada kurun-masa selanjutnya Ibnu Arabi menjustifikasi keputusan Abu Bakar dengan menunjukkan argumentasi biasa bahwa Abu Bakar memang mesti melakukan hal tersebut. Karena jikalau tidak, suku-suku pemberontak itu akan mendapatkan kekuasaan dan terus memberontak. Penjelasan terakhir inilah yang kemudian menjadi pemahaman kepada sejarah Islam yang paling terkenal di kelompok sunni.
Karena saya tidak berniat untuk menilai salah atau benarnya fakta sejarah tersebut, saya ingin kita menyaksikan ketidakjelasan dan resiko penggunaan kekuasaan kursif negara untuk mengimplementasikan pendapat seseorang perihal agama. Ketidakjelasan ini bisa diklarifikasi jikalau kita mengerti info tersebut dalam konteks peran Abu Bakar selaku pemimpin politik dan bukan sebagai pemimpin agama. Cara pembacaan ini mungkin tidak konsisten dengan motivasi Abu bakar yang mungkin saja religius, alasannya beliau percaya bahwa beliau sedang mempertahankan Islam pada dikala itu, dan bukan sekedar mempertahankan integritas negara sebagai institusi politik. Bahkan mungkin beliau belum mengetahui apa yang dimaksud negara dalam konteks obrolan kita. Di samping itu, kerelaan para sahabat untuk tunduk pada keputusan Abu Bakar walaupun mereka percaya bahwa keputusan itu keliru mungkin juga dimotivasi oleh oleh aspek-aspek politik, utamanya keperluan untuk mengkonsolidasi dan mengamankan komunitas selama kurun-abad kritis itu. Namun argumentasi religius juga bisa dikemukakan untuk memperkuat aspek-faktor tersebut seperti Qs, 4: 59 yang biasa dipakai untuk menuntut ketaatan ummat Islam terhadap Allah, Rasul-Nya dan penguasa. Dengan kata lain, seorang muslim memiliki keharusan untuk menaati khalifah, meskipun ia berpikir bahwa khalifah itu keliru. Namun kemudian keharusan ini bisa berbenturan dengan keharusan muslim untuk menegakkan keadilan dan melawan kemunkaran (al-amr bil ma’ruf wa l-nahy an al-munkar). Dikatakan juga dalam sunnah bahwa tidak ada seorang manusia pun yang harus taat pada perintah untuk melaksanakan maksiat terhadap Allah (la ta’ata li makhluq fi ma’siyat al-khaliq).
Kesimpulannya bagi kita ialah membedakan antara persepsi keagamaan Abu Bakar dengan keputusan dan tindakan politiknya sebagai khalifah mungkin bisa membnatu. Pembedaan ini pub mampu berguna dalam mengerti beberapa sahabat besar yang tidak baiklah dengan Abu Bakar sebab mereka juga mampu memiliki alasan keagamaan dan politis. Pembedaan ini perlu dipertahankan tanpa melihat motivasi keagamaan Abu Bakar atau teman lain, alasannya langkah-langkah seseorang tidak bisa ditentukan oleh motivasinya. Pembedaan mirip itu mungkin masih susah diterapkan oleh ummat Islam untuk membaca sejarah abad Madinah karena, pada dikala itu, sifat otoritas politiknya yang masih personal dan negara masih belum dianggap selaku sebuah institusi politik. Kesulitan itu juga mampu sebab banyak sekali aspek termasuk masih barunya pola yang ditinggalkan Nabi, kekurangan pendirian negara di kawasan Arab pada saat itu dan cara keempat khalifah itu terpilih dan mengerjakan kekuasaannya. Intinya, apapun persepsi terhadap peristiwa-kejadian itu, ketidakjelasan mirip itu tidak mampu mampu dijustifikasi maupun diterima dalam konteks negara post kolonial versi Eropa ketika ini.
Ketidakjelasan otoritas politik dan agama seorang khalifah memang sudah tidak bisa lagi dipertahankan setelah pembunuhan Ali dan awal berdirinya negara Umayah. Walaupun Umayah berupa monarki, namun dia masih berusaha untuk mempertahankan kesan bahwa otoritas khalifah merupakan perpanjangan dari otoritas Nabi. Gelar-gelar yang digunakan oleh khalifah-khalifah dinasti Umayyah mirip khalifat allah, amin allah, na’ib allah memperlihatkan besar dan agungnya otoritas keagamaan yang dimiliki khalifah. Gelar-gelar tanda otoritas ini senantiasa diumumkan menjelang pelaksanaan khutbah jum’at di semua daerah yang mereka kuasai. Namun, legitimasi keagamaan kepada Muawiyah, pendiri dinasti ini, tidak hanya diperlemah oleh konfrontasinya dengan Ali yang berakhir dengan terbunuhnya keponakan Nabi itu, tetapi juga oleh upaya-upaya lunak dan keras yang dilakukannya untuk memuluskan pemilihan Yazid selaku penerusnya, padahal Yazid tidak memiliki kualifikasi untuk menjadi khalifah. Karena Yazid menghadapi ancaman semakin tingginya tingkat pemberontakan dan kesemrawutan yang ditujukan untuk menggoyang otoritas dan legitimasinya sebagai penguasa muslim, beliau pun terpaksa menggunakan kekerasan untuk menekan pihak-pihak yang membangkang. Sayangnya, tindakan ini malah kian meminimalkan kualifikasinya yang tidak elok. Dalam upayanya menekan pemberontakan-pemberontakan yang terjadi, beliau menyuruh untuk membunuh Husain bin Ali, cucu Nabi, keluarga dan kelompok pendukungnya di Karbala. Pada ketika yang serupa, sekitar tahun 681 M, Abdullah bin Zubair, cucu Abu Bakar dan anak seorang sahabat terkemuka yang lain, dan pendukungnya timbul dengan pemberontakan lain dan beliau mengklaim dirinya sebagai khalifah di Mekah dan Madinah. Pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh serdadu dinasti Umayah selama 10 tahun. Mekah dan Madinah, bahkan Ka’bah, hancur karena proses penumpasan itu. Krisis ini terus berlanjut selama delapan dekade pemerintahan dinasti Umayah dan setelahnya.
Paradoks permanen yang dihadapi oleh dinasti Umayah dan rezim sesudahnya yaitu sebab mereka berusaha untuk menyanggupi kebutuhan mereka untuk menerima legitimasi keagamaan dengan berusaha mereflikasi versi pemerintahan Nabi atau pemerintahan Khulafa al-Rasyidun di Madinah. Ironisnya, problem ini diperparah oleh keinginan penguasa untuk mengkonsolidasikan kekuatannya kepada masyarakat, yang justru malah melemahkan legitimasi keagamaan yang mereka miliki. Revolusi Abbasiyah berhasil menentang dinasti Umayah alasannya adalah mereka menyatakan bahwa dinasti itu tidak memiliki legitimasi keagamaan dan mereka mengklaim bisa mendirikan tata cara yang ideal bagi ummat Islam. Namun, terang kemudian bahwa kekhalifahan sudah terlembagakan menjadi dinasti kerajaan yang penguasanya dipilih menurut garis keturunan, yang tidak lebih ialah penyesuaian dari model monarkinya dinasti Sasanid dan Byzantium.
Kerajaan-kerajaan Arab yang bermunculan, keberadaannya relatif tidak terlampau pelik, karena aparatur negara dan penerusnya lazimnya mengadopsi struktur dinasti Sasanid dan Byzantium dan sering terus memberdayakan pejabat yang sama dengan rezim yang sebelumnya. Untuk menjaga legitimasi keagamaannya, khalifah-khalifah dinasti Abbasiyah, utamanya yang berkuasa pada masa-kurun permulaan, sering memposisikan diri mereka sebagai kurator ilmu-ilmu agama dan menjadi partisipan dalam upaya interpretasinya. Ironisnya, mereka membuat atau memunculkan ekspektasi itu dengan mendasarkan klaim kekuasaan mereka pada relasi kekerabatannya dengan Nabi, sehingga mereka dianggap layak untuk mempraktikkan kembali modelnya. Khalifah-khalifah masa permulaan dinasti Abbasiyah berupaya untuk menjaga kesatuan kepemimpinan agama dan politik dengan menunjuk hakim (qadi), menguasai forum dan ilmu agama, sekaligus memerankan diri sebagai pertahanan militer kerajaan Islam. Namun usaha-usaha untuk menegakkan model penyatuan antara otoritas politik dan negara menjadi tidak memiliki kegunaan, alasannya adalah adanya beberapa kejadian tragis yang kemudian diketahui selaku mihnah.
Implikasi Mihnah kepada Otoritas dan Institusi Politik dan Agama
Ketidaksesuaian antara cita ideal Islam untuk menyatukan kepemimpinan agama dan politik dengan realitas empiris sejarah ummat Islam mulai terperinci, bahkan sebelum pemberontakan Khawarij dan Syi’ah. Masalah-duduk perkara politik yang dihadapi oleh Khulafaurrasyidun di Madinah ialah bukti yang terperinci bahwa struktur ideal yang diperintahkan oleh Nabi tidak cocok untuk direplikasi. “Secara implisit, keberadaan para pemberontak ialah tanda kemunculan golongan ummat Islam yang memisahkan diri dari otoritas dan kepemimpinan khalifah.”[2] Tumbuhnya sejumlah sekte mirip Qadiriyah, Murjiah, dan lainnya menentang mitos ihwal kesatuan Islam. Apalagi, bila mempertimbangkan kemunculan insiden drastis yang lebih dikenal selaku mihnah lewat perspektif sejarah sosial. Konflik antara otoritas khalifah dan ulama mesti dilihat dalam konteks hubungan sosial antara 3 kalangan ialah: elite Bangsa Arab yang mewakili Istana Khalifah dan pegawapemerintah administratifnya, para pemimpin agama, serta keturunan pemberontak Bangsa Khurasan yang memulai keberhasilan revolusi Abbasiyah.
Penting juga untuk membedakan antara kekhalifahan ideal dengan realitasnya pada kala Abbasiyah. Ia merupakan suatu pencampuran hibrid antara Kerajaan Timur Tengah (Sasanid dan Byzantium) Pra Islam dan universalisme Islam. Para khalifah berupaya untuk mengkombinasikan otoritas keagamaan sebagai penerus Nabi dengan bentuk kerajaan dan otoritas kelembagaan serta budaya ala Kerajaan Timur Tengah. Kecendrungan ini terlihat terperinci dalam patronase dinasti Umayyah kepada artistik, arsitektur dan peringatan ala Byzantium di Istana kerajaan” dan dalam proyek kerajaan lainnya, serta gaya perluasan mereka yang berangasan. Sementara itu, dinasti Abasiyyah menggandakan model Persia dengan berpatron pada khazanah literature dinasti Pahlavi dan filsafat Hellenistik.” Sebagai respon, para ulama era awal memperlihatkan adanya keterputusan antara cita ideal dan realitas, dan mewaspadai klaim otoritas para khalifah untuk menginterpretasikan atau mengelaborasi syariah. Klaim ini mencerminkan fakta bahwa ulama mempunyai dampak yang lebih besar di kalangan ummat Islam dibandingkan dengan para khalifah. “Dengan demikian, independensi otoritas keagamaan dari kekuasaan khalifah meningkat bersamaan dengan munculnya golongan-golongan sektarian dalam ummat Islam. Dari sudut pandang komunal keagamaan, kekhalifahan dan Islam tidak lagi terintegrasikan.” Kemunculan otoritas keagamaan yang independen dari khalifah dan pegawanegeri negara inilah, yang disebut Lapidus selaku pembedaan antara otoritas politik dan agama dalam sejarah masyarakat Islam.
Apa yang disebut mihnah yakni inkuisisi teologis yang bermaksud untuk membuat anggota kalangan ulama, yang pada ketika itu ialah sebuah kalangan yang bersatu tanpa tujuan tertentu, menyepakati perilaku yang diambil oleh kelompok Mu’tazilah bahwa al-Qur’an yaitu ciptaan Allah dan dengan demikian beliau adalah atribut dan bukan kata-kata yang tidak diciptakan oleh-Nya. Isu ini merupakan bagian dari debat yang berkelanjutan antara kelompok yang lebih menyukai pendekatan yang lebih alegoris dan rasional kepada sumber-sumber Islam (Mu’tazilah) dengan kelompok lain (ahl-alhadits dan Asy’ariah) yang menganut pendekatan tekstual terhadap teks. Dalam konteks itulah, Khalifah al-Ma’mun melakukan inkuisisi pada tahun 833 M (218 H) untuk memaksa ulama tertentu semoga mengadopasi persepsi mu’tazilah. Walaupun setelah al-Ma’mun wafat, inkuisisi masih berlanjut sampai era tiga khalifah setelahnya selama 16 tahun. Khalifah al-Mutawakkil menuntaskan eksekusi itu dengan melepaskan para ulama yang tidak tunduk pada kebijakan khalifah sebelumnya dari penjara dan menempatkan beberapa orang diantaranya dalam pemerintahannya.
Baik al-Ma’mun maupun al-Amin merupakan anak dari Khalifah Harun al-Rasyid. Secara mengagetkan, al-Ma’mun menunjuk Imam al-Rida, Imam kedelapan dalam rangkaian imamah syi’ah dua belas, selaku penggantinya. Ini merupakan upayanya untuk menenangkan pemberontakan Syi’ah yang terus berlanjut pada dikala itu, atau untuk mengembalikan kekhalifahan pada formulasi orisinalnya selaku lembaga keagamaan dan politik. Ia juga mengadopsi warna hijau Syi’ah untuk atribut pasukannya. Namun dua keputusan itu dibatalkan segera sehabis al-Rida wafat secara misterius. Saat al-Ma’mun kembali ke Baghdad yang saat itu sedang dilanda kesemrawutan, ia berupaya untuk memaksakan teologi tertentu kepada penduduk , yang balasannya bukan memperbesar kekuatannya, malah menciptakan habis otoritas kekhalifahahannya. Kekacauan parah yang terjadi di Baghdad diakibatkan oleh adanya kompetisi sejumlah kelompok untuk menerima kekuasaan dan juga serdadu yang marah dan tidak puas. Situasi ini diperparah dengan adanya geng kriminal dan penjahat. Kekacauan ini selsai dengan hadirnya sejumlah gerakan yang makin mengukuhkan fakta bahwa penyatuan kepemimpinan agama dan politik tidak lagi berhubungan untuk dipraktikkan.
Sebagai teladan, Sahl bin Salama al-Ansari, masyarakatBaghdad “yang menggunakan salinan al-Qur’an di lehernya dan menyeru orang-orang untuk melakukan ‘amar ma’ruf nahyi munkar’, berhasil mempesona sejumlah pengikut dari seluruh penjuru kota yang berasal dari latar belakang yang berlainan. Ia juga menyeru pengikutnya untuk tidak hanya menjaga lingkungannya dengan menawarkan keselamatan dan stabilitas bagi daerah tinggal mereka, namun juga mengimplementasikan pemikiran al-Qur’an dan Sunnah yang dibawa oleh Nabi. Sahl menggambarkan kepatuhan pada prinsip yang lebih tinggi yang memperlihatkan justifikasi untuk melawan khalifah dan otoritas negara yang gagal untuk menegakkan Islam. Ia menyeru bahwa kepatuhan terhadap al-Qur’an dan Sunnah harus mengalahkan ketaatan terhadap otoritas yang gagal menegakkan Islam.” Ia mengadopsi slogan ‘tidak ada ketaatan terhadap makhluk kalau untuk melaksanakan ma’siat terhadap Allah’ (la ta’ata li makhluq fi ma’siat al-khaliq). Pengikutnya di banyak sekali penjuru kota membangun menara di depan rumah mereka yang berfungsi membentengi mereka dalam kota.” Dengan demikian, organisasi berbasis komunitas yang dibangun Sahl mewakili kemunculan spontan sebuah pemerintahan bersifat keagamaan yang militan dan menolak otoritas khalifah secara terbuka.
Dengan menggunakan bahasa-bahasa keagamaan, gerakan tersebut berhasil “menawan sentimen yang berada di luar batasan pemerintahan khalifah menjadi konsepsi komunal perihal Islam. Dalam konteks inilah, gerakan-gerakan di luar tata cara mirip ini merepresentasikan konsepsi yang revolusioner mengenai struktur penduduk Islam.” Kewajiban untuk melakukan ‘amar ma’ruf nahyi munkar’ intinya merupakan kewajiban khalifah, namun gerakan Sahl yang didukung oleh banyak ulama yang yakin bahwa kewajiban itu juga ialah keharusan semua muslim. Gerakan ini, dengan demikian, menggunakan simbol otoritas religius yang kuat dan alasan bahwa kewajiban itu dibiarkan kosong oleh penguasa yang tidak kompeten. Salah satu ulama ternama yang terlibat dalam gerakan itu ialah Ahmad bin Hanbal yang secara kebetulan ialah masyarakatdi salah satu sudut kota Baghdad yang menawarkan keselamatan dan stabilitasnya sendiri.[8] Dengan demikian, kekuatan sosial yang diwakili oleh Sahl dan lainnya timbul bersama-sama dengan kemerdekaan teologis para ulama seperti Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya seperti Ahmad bin Nasr bin Malik (keduanya yakni penduduk kota Baghdad yang diwakili oleh Sahl dan penentang khalifah yang lain)[jd1] .
Ahmad bin Nasr lah yang memimpin gerakan oposisi kepada kebijakan mihnah selama kurun pemerintahan al-Watsiq dan yang menghidupkan kembali gerakan Sahl yang meredup setelah al-Ma’mun memasuki Baghdad lagi. Pada abad selanjutnya, slogan yang serupa, yang memproklamirkan oposisi otoritas keagamaan terhadap khalifah, terus muncul dan meningkat dengan mengorganisasi perekrutan masa untuk gerakan pemberontakan. Namun perjuangan-usaha seperti itu terhenti karena buruknya perencanaan yang dilaksanakan oleh pengikut Ahmad bin Nasr dan alasannya adalah beliau sendiri alhasil ditangkap bareng sejumlah pengikutnya. Penting untuk dicatat bahwa Ahmad bin Nasr dimejahijaukan sebab persepsi keagamaannya dan bukan alasannya tuduhan menghasut. Ia lalu dieksekusi dan kepalanya dipajang di hadapan publik untuk memperingatkan yang lain ihwal eksekusi yang akan diterima jikalau membangkang kepada khalifah.
Inkuisisi yang berlarut-larut memberikan adanya konfrontasi antara ulama dan khalifah dalam mengklaim otoritas keagamaan. Penolakan Ahmad bin Hanbal untuk menerima klaim keagamaan khalifah yang lalu menjadikannya dipenjara sampai simpulan hayatnya, membenarkan penolakan terhadap penyatuan otoritas negara dan agama. mirip yang Lapidus ungkapkan:
“perdebatan tentang status makhluk al-Qur’an memastikan adanya pemisahan kelembagaan khalifah dan komunitas, pemisahan otoritas di antara keduanya sekaligus memperlihatkan peran yang berlainan kepada masing-masing yang sebelumnya dimiliki oleh Nabi. Dengan demikian, berlainan dengan bayangan ideal ummat Islam, kekhalifahan berkembang menjadi institusi kerajaan dan militer yang disahkan dengan cara Byzantium dan Sasanid, sementara para pemuka agama berbagi otoritas yang lebih lengkap kepada aspek komunal, personal, keagamaan dan kepercayaan dalam Islam.”
Isu yang akan kita bicarakan dan sesuai dengan tujuan diskusi kita ialah tentang hubungan antara komunitas muslim dengan negara muslim. Bagaimana kekerabatan itu dibentuk dalam rezim dan lokasi yang berbeda? Bagaimana beliau berubah sepanjang waktu? Seberapa besar imbas ulama kepada pertumbuhan negara? Seberapa besar kontrol negara terhadap ulama dan komunitas keagamaan? Namun penting pula untuk menekankan bahwa pembedaan antara lembaga keagamaan dan politik belum diketahui oleh secara umum dikuasai ummat Islam ketika itu. Meskipun, pemisahan kelembagaan ini ternyata menerima pemberian dari sejumlah ulama mirip al-Baqullani, al-Mawardi dan Ibnu Taimiah. “Hasil terorisasi mereka yaitu, negara bukanlah mulut langsung Islam. Ia adalah institusi sekuler yang bertugas untuk menegakkan Islam; komunitas ummat Islam yang bekerjsama yaitu komunitas ulama dan orang suci yang melakukan sunnah rasul dalam kehidupannya.” Pandangan ini selaras dengan nasehat aku untuk menerapkan sekularisme selaku suatu prinsip yang mempertahankan netralitas negara terhadap agama dengan tetap menjaga keterhubungan antara Islam dan politik.
Nampaknya kita perlu mempertimbangkan kembali dinamika sosial dan implikasi mihnah dalam kerangka teori Habermas ihwal “ruang publik” tempat ilham-wangsit diperdebatkan dalam ruang publik sehingga orang yang berlainan mampu mengakses dan ikut serta di dalamnya. Dengan berpihak pada Mu’tazilah, al-Makmun telah mencabut legitimasi atas kekuasaannya dengan menentang arus massa yang diwakili oleh Ahmad bin Hanbal dan yang yang lain. Dari perspektif ini, jelas bahwa khalifah dan ulama mendapatkan ruang dampak yang berlainan dan kedua pihak mengetahui bahwa artikulasi keyakinan keagamaan yaitu daerah ulama…mihnah dengan demikian merupakan akibat perseteruan antar tren pemikiran ulama sekaligus konsekuensi keinginankhalifah yang ingin membentuk keyakinan.” Relevansi pandangan ini untuk anjuran kita yakni bahwa inkuisisi menandai pentingnya otonomi “public reason” dari otoritas negara, mirip yang nanti akan kita bahas dalam buku ini.
Pembedaan antara Islam dan negara terkonsolidasikan dengan baik lewat kehadiran kendali militer kepada kekhalifahan pada ketika yang bersama-sama. Kesulitan para khalifah Abbasiyah dalam mengorganisir problem internal kekhalifahannya berakhir dengan menurunnya loyalitas dan kesetiaan terhadap lembaga kekhalifahan di Baghdad. Untuk merespon pemberontakan Syi’ah dan Khawarij di hampir seluruh daerah kerajaan, khalifah Abbasiyah mempekerjakan serdadu budak untuk memperkuat kekuasaannya. Ketergantungan terhadap Mamluk selaku tentara dimulai pada masa pemerintahan al-Mu’tasim (833-42), era sesudah pecahnya kekacauan pada kurun al-Ma’mun berkuasa sebagai khalifah. Tentara non Arab dan para komandan militer cuma mempunyai sedikit kesetiaan terhadap kekhalifahan selaku sebuah institusi, dan condong menilai jabatannya selaku sumber kekuatan politik dan keuntungan ekonomi. Karena dibutuhkan menjadi mesin militer yang efektif, Mamluk memang didorong untuk tidak berinteraksi dengan masyarakatsipil dan tetap diposisikan selaku kekuatan gila.
Sebagai teladan, para komandan dari suku Buwaihi yang berasal dari tempat Kaspia di Iran memasuki Baghdad pada tahun 945. Walaupun Syi’ah, mereka mendukung dan berpihak kepada khalifah al-Mustakfi. Suku Buwaihi berusaha mengorganisir perbedaan tren keagamaan di Baghdad dengan melindungi minoritas Syi’ah. Mereka juga menggunakan otoritas negara untuk mendukung prosesi peringatan syahidnya Imam Husain dan membuat perayaan idul ghadir secara resmi, peristiwa kontroversial dalam sejarah Islam yang dipercara syi’ah sebagai hari ditunjuknya Ali selaku pewaris kepemimpinan Nabi. Namun, suku ini juga menjaga toleransi yang penuh kepada kelompok Sunni dengan mendukung lembaga-forum khususnya, tidak mencampuri masalah-urusan ritualnya dan berusaha untuk tampil sebagai pemimpin yang netral dalam suasana perpecahan. Yang paling penting yakni institusi kekhalifahan tetap dipertahankan hingga aksara sunni yang menempel pada kerajaan dan rezim pun tetap ada. Namun kurang dari satu kala kemudian, sesudah pertentangan internal di golongan Buywaihi mengusik kesanggupan mereka untuk memerintah, pasukan Seljuk dengan ambisi mendirikan dinasti, menduduki Baghdad dan mendukung massa sunni dan ulamanya untuk mengklaim diri sebagai penjaga ortodoksi.
Sejak saat itu, ulama menyerahkan otoritas politik atau militer kepada rezim militer luar. Apakah itu Saljuk, Ayyubiyah, Mamluk maupun Ottoman, namun tetap mempertahankan otoritasnya terhadap institusi, keyakinan dan praktik keagamaan. Yang aku sebut dengan model perundingan lalu menguat dengan dua institusi besar yang melakukan pekerjaan dalam kekerabatan yang saling menguntungkan; ulama mendukung negara militer sedangkan negara melindungi tempat-tempat muslim. Pembesar-pembesar militer dan pejabat sipil terkemuka mengamankan koordinasi mereka dengan komunitas keagamaan lewat wakaf sekolah-sekolah agama, masjid, dan forum-lembaga komunitas muslim yang lain. Model ini terus berlanjut hingga kurun pra kolonial, dan sisa-sisanya masih tetap ada sampai dikala ini mirip tampakdalam dominannya kultur militer di negeri-negeri Muslim.
Sementara versi mirip tadi berlaku di Baghdad dan kawasan-tempat sekitarnya, model pemerintahan lain berlaku di Afrika Utara. Dinasti Fatimiah mengawali kekuasaannya pada tahun 909 di Tunisia saat Ubaidillah al-Mahdi, seorang penganut Syi’ah Ismailiyah, mengklaim diri selaku satu-satunya pewaris sah Nabi dari keturunan Ali dan Fatimah (ahl al-bayt). Gerakan itu, sebagaimana yang nanti akan kita bahas, berupaya untuk menegakkan kembali penyatuan kepemimpinan agama dan politik. Namun dinasti Fatimiah hanyalah salah satu teladan kecendrungan yang berlaku biasa di tempat Afrika Utara saat itu alasannya kawasan ini sudah didominasi dengan model kepemimpinan mirip itu semenjak jatuhnya dinasti Umayyah. Penguasa muslim dari aneka macam rezim di Afrika Utara seperti dinasti Idrisiyah, Fatimiyah, al-Murabithun, dan al-Muwahhidun mengklaim otoritas ketuhanan untuk berkuasa menurut kualifikasi individu dan keturunan Nabi. Dinasti Idrisiyah dan Fatimiyah yakni penganut syi’ah dan sangat sewenang-wenang. Bahkan dinasti Fatimiyah mengklaim dirinya bebas dari dosa. Di sisi lain, pemimpin gerakan al-Murabithun dan al-Muwahhidun, Syaikh Abdullah Yasin dan Abdullah bin Tumart, hanya berusaha untuk menjalankan bentuk rigid dari Islam.
Namun dalam perkara Afrika Selatan itu, perjuangan untuk menegakkan versi penyatuan antara otoritas politik dan agama berakhir dengan kekerasan, ketidaktoleranan dalam beragama, dan hilangnya stabilitas. Sebagai pola, sarjana Yahudi terkemuka, Maimonades, meninggalkan Afrika menuju Spanyol pada kala al-Muwahhidun berkuasa. Masyarakat Islam di timur Iran dan Asia mengambil bentuk yang berbeda sesuai dengan kondisi geografis dan demografis negerinya, dimana keluarga dan suku merupakan aspek penting untuk organisasi sosial di tingkat lokal. Selain itu, koalisi bersama yang disatukan oleh peninggalan sejarah dan budaya yang sama kelihatannya menjadi unsur yang fundamental bagi pegawanegeri negara di tempat-daerah tersebut. Tetapi, mereka juga melindungi kalangan-kelompok persaudaraan Sufi dan Syeikh dibandingkan dengan ulama profesional yang ada di sentra kekuasaan Islam. Pola ini terus berlanjut sejak periode invasi Mongol hingga abad pra-terbaru.
Sebagai kesimpulan bagian ini, terang bahwa versi relasi antara otoritas agama dan negara beragam baik dari tingginya kendali negara terhadap institusi-institusi sentral keagamaan hingga relasi yang lebih independen tetapi kooperatif, dan otonomi sarat bahkan oposisi terbuka terhadap kebijakan negara”. Saya akan berusaha mengklarifikasi dan mengilustrasikan pandangan ini dengan merujuk pada pengalaman historis Mesir dari kala sembilan sampai empat belas masehi.