Faedah Dan Aplikasi Model Penerimaan Teknologi Pada Keputusan Outsourcing Ti

Manfaat dan Aplikasi Model Penerimaan Teknologi Pada Keputusan Outsourcing TI 
Perkembangan outsourcing dikala ini meningkat dengan cepat, baik sifat maupun fokusnya. Secara historis outsourcing banyak dijalankan pada industri manufaktur, dan sekarang kegiatan outsourcing telah mulai berkembang pesat pada industri jasa. Baik pada industri manufaktur maupun jasa, outsourcing sudah berkembangmelalui batas nasional dan global. Sifat outsourcing juga bermacam-macam. Beberapa perusahaan sekarang melaksanakan outsourcing pada aktifitas bikinan inti secara ekstensif sehingga mereka tidak lagi terlibat dalam bikinan (Globerman dan Vining, 2004). Inbound dan outbound logistic juga mulai di-outsource secara luas. Perusahaan lain melakukan outsourcing secara luas terhadap aktifitas rantai nilai kedua mirip teknologi gosip, sistem akuntansi, distribusi, faktor-faktor administrasi sumber daya insan dan R&D (Johnson dan Schneider, 1995).
Outsourcing teknologi berita bukanlah fenomena gres, dimulai dengan jasa profesional dan jasa administrasi kemudahan di bidang keuangan dan operasi pada tahun 1960-an dan 1970 (Lee, 2003). Fokus outsourcing teknologi gosip sudah berkembang mulai dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, standarisasi perangkat keras dan perangkat lunak, hingga pada solusi total yang mengacu pada administrasi aktiva (Xue et al., 2005).
Meskipun kepentingan kepada outsourcing meningkat, namun masih banyak perusahaan belum memiliki pengertian yang terang tentang manfaat dan ongkos dari aktivitas outsourcing. Sasaran strategik dari pengerjaan keputusan outsourcing mesti bisa memaksimumkan manfaat higienis dari outsourcing tersebut pada aktifitas rantai nilai dalam perusahaan. Dalam prakteknya menurut Globerman dan Vining (2004) hal ini diwujudkan dalam bentuk meminimumkan ongkos total pada mutu dan kuantitas tertentu dari aktifitas atau barang-barang yang di-outsource.

Artikel ini secara umum menjajal menguraikan beberapa aspek penting terkait dengan pengambilan keputusan outsourcing teknologi berita, dilihat dari sudut pandang manfaat, resiko dan ongkos outsourcing. Analisis kepada faedah, resiko dan biaya outsourcing akan memilih keputusan perusahaan untuk melakukan outsourcing. Pada akhir goresan pena ini penulis merekomendasikan sebuah proposisi dengan mengadopsi teori penerimaan teknologi (Technology Acceptance Model) dalam penentuan keputusan outsourcing.

DEFENISI DAN JENIS OUTSOURCING
Outsourcing teknologi isu (TI) merupakan pemindahan seluruh atau sebagian fungsi atau proses TI perusahaan pada pihak luar (Benamati dan Rajkumar, 2002). Sementara Aalders (2002) menyatakan outsourcing ialah mengontrak/menyewa pihak ketiga untuk mengurus suatu proses bisnis lebih efisien dan efektif daripada yang mampu dilakukan di dalam perusahaan sendiri. Dari pengertian tersebut menunjukkan bahwa outsourcing menimbulkan terciptanya relasi bisnis antara perusahaan dan suplier dari luar. Penggunaan suplier luar untuk melakukan aktifitas bisnis dimaksudkan untuk meraih efisiensi dan manfaat-faedah lainnya. Sebuah rencana outsourcing dibutuhkan akan menghasilkan produktifitas yang lebih tinggi dengan membiarkan setiap kalangan lebih memfokuskan perjuangan dan modalnya pada kompetensi inti.
Teknologi berita ketika ini berperan penting dalam taktik organisasi sehingga banyak organisasi yang menggantungkan kesuksesannya pada teknologi berita yang dimiliki. Perkembangan dan perubahan teknologi yang sungguh cepat telah menjadikan kesusahan dalam mengorganisir sumber daya vital tersebut. Dengan outsourcing seluruh atau beberapa fungsi teknologi informasi, memberikan alternatif untuk mengelola bidang organisasi yang sungguh kompleks ini. Menurut Benamati dan Rajkumar (2002), outsourcing teknologi berita melibatkan pelepasan kendali atas sumber daya organisasi yang penting pada pihak ekternal. Oleh alasannya itu penyeleksian fungsi teknologi informasi yang paling tepat dan kalangan ketiga yang terbaik akan menjadi sangat kompleks. Lebih lanjut McFarlan dan Norlan, (1995) menyebutkan banyak sekali fungsi teknologi gosip yang sering di-outsource mirip operasi sentra data, manajemen network, pemeliharaan/akuisisi hardware, technical support, pelatihan/pendidikan dan pengembangan aplikasi. Outsourcing bisa dilakukan di dalam perusahaan (onshore), tetapi sering juga dilakukan di luar perusahaan (offshore).
ALASAN/MOTIVASI OUTSOURCING
Pada dasa warsa terakhir ini kemajuan teknologi isu demikian pesatnya dan menjadi faktor penentu dalam meraih keberhasilan. Ketepatan dan kecepatan informasi menjadi aspek penting bagi organisasi dalam mengungguli persaingan. Kebutuhan organisasi akan teknologi isu sudah tidak disangsikan lagi, dan outsourcing bisa menjadi alat yang efektif dan efisien untuk menyanggupi ajakan kepada teknologi informasi tersebut. 
Keputusan perusahaan untuk melaksanakan outsourcing dipengaruhi oleh banyak faktor. Lee et al. (2000) dalam Benamati dan Rajkumar (2002) mengemukakan bahwa sejumlah besar keputusan outsourcing didorong oleh masalah fundamental seperti ekonomi, seni manajemen dan teknis. Selanjutnya Lee (2004) mendapatkan beberapa perusahaan melaksanakan outsource untuk meraih fleksibilitas buatan yang lebih tinggi, untuk membuatkan kapasitas, atau agar lebih fokus pada kompetensi inti. Namun lebih banyak didominasi perusahaan melakukan outsource kepada aktifitas buatan untuk menghemat biaya atau memajukan mutu produk dengan memakai kemampuan dari supplier mereka. Microsoft adalah salah satu perusahaan yang memakai outsourcing untuk memungkinkan teknologi informasinya bisa mengembangkan kapabilitas supply chain mereka (Bardhan et al., 2006). Melalui outsourcing Microsoft bisa menghasilkan 360 game video dan sistem hiburan di akhir tahun 2005 dengan mempercayakan pada jaringan kontraktor dan supplier untuk memberikan komponen-bagian dan layanan-layanan utama yang penting bagi produk mereka. 
Banyak yang beropini bahwa biaya yakni motivasi utama dalam melaksanakan outsourcing (Hurley dan Schaumann, 1997). Permintaan kepada keahlian teknologi berita sangat tinggi dan mahal. Seringkali dianggap lebih murah menyewa seorang tenaga jago dibandingkan dengan mengembangkannya sendiri. Selain itu sumber daya eksternal juga lebih siap untuk ditambah atau dikurangi dibanding staf tetap. Namun menurut Aalders (2002), generasi pertama yang melaksanakan outsourcing semata-mata karena dorongan ongkos sering kali menemui kegagalan. 
Faktor motivator lain menurut Hurley dan Schaumann (1997) adalah memperbaharui konsentrasi pada kompetensi inti bagi organisasi atau bagi staf teknologi gosip di dalam perusahaan. Tidak semua organisasi memiliki sumber daya untuk mengembangkan teknologi info yang berkualitas tinggi. Usaha mereka lebih baik dipergunakan untuk konsentrasi secara strategik pada sisi bersaingnya. Selain itu organisasi teknologi info yang tidak efisien juga mampu memotivasi penggunaan outsourcing. Banyak perusahaan yang menggunakan outsourcing untuk menanggulangi masalah seperti tidak tersedianya kemampuan di dalam perusahaan, kualitas yang jelek atau produktifitas yang rendah, usul yang sifatnya sementara atas keterampilan tertentu, atau siklus hidup pengembangan produk yang panjang. Namun dibalik semua motivasi tersebut, keputusan untuk meng-outsource mesti dibuat menurut perspektif yang strategis dan memiliki tujuan dan target yang terang supaya perusahaan benar-benar menerima manfaat dari keputusan yang diambil.
MANFAAT OUTSOURCING
Pertumbuhan yang sangat besar dalam outsourcing sistem informasi dibuktikan oleh banyaknya outsourcing yang dikerjakan oleh perusahaan-perusahaan besar seperti Boeing, Bank One dan Xerox (Kim dan Chung, 2003). Tren outsourcing ini masih terus berlanjut hingga dikala ini. International Data Corporation (IDC) memprediksi bahwa pasar outsourcing diseluruh dunia tumbuh dari $100 milyar di tahun 1998 menjadi $151 milyar pada tahun 2003 (Kim dan Chung, 2003). Alasan yang mendasari fenomena ini bermacam-macam, namun banyak yang percaya bahwa outsourcing metode atau teknologi gosip akan menghasilkan banyak faedah mencakup pengurangan biaya, meningkatnya mutu layanan, kanal kepada teknologi yang up-to-date, fleksibilitas operasi dan fokus pada kompetensi inti (Slaughter dan Ang, 1996; Smith et al., 1998 dalam Kim dan Chung, 2003). 
Manfaat lain yang diperoleh dari outsourcing yakni kenaikan terhadap nilai perusahaan (Hayes et al., 2000). Peningkatan terhadap nilai perusahaan ini disebabkan oleh empat aspek. Pertama, skala irit (economic of scale and scope). Penyedia jasa outsourcing sering kali memiliki tingkat keterampilan dan pengetahuan metode gosip yang lebih tinggi dalam aneka macam persoalan dan pengalaman, serta mereka mencurahkan seluruh kesanggupan untuk menawarkan layanan tata cara informasi (Grover et al., 1996; Huff 1991; Loh dan Venkatraman, 1992; Poppo dan Zenger, 1998; Quinn et al., 1990, dalam Hayes et al., 2000). Kombinasi kedua hal tersebut menimbulkan provider layanan mampu memperlihatkan skala irit dan ruang lingkup operasi yang lebih besar yang mampu didapat oleh perusahaan.
Faktor kedua adalah kepentingan kompetensi inti (importance of core competency). Peningkatan nilai perusahaan didapat melalui transfer sumber daya dari fungsi staf yang tidak memiliki nilai tambah menjadi fungsi kompetensi inti yang memiliki nilai tambah. Bettis et al. (1992) dalam Hayes et al. (2000) mengindikasikan bahwa outsourcing seharusnya dipandang selaku sebuah strategi bisnis yang proaktif, dan outsourcing kepada fungsi-fungsi bisnis yang bukan inti mampu mengurangi sumber daya sehingga perusahaan mampu mengembangkan taktik bisnis jangka panjang. Hal yang serupa diungkapkan oleh Pandey dan Bansal (2003), outsourcing teknologi gosip menimbulkan perusahaan bisa lebih memajukan konsentrasi pada kompetensi inti, sehingga perusahaan mempunyai kesempatan untuk menerima nilai tambah dari kompetensi intinya tersebut.
Ketiga, fleksibilitas (flexibility). Menurut Hayes et al. (2000) perusahaan yang melaksanakan outsourcing bisa terhindar dari keusangan teknologi yang selalu berganti cepat, alasannya mereka tidak perlu menginvestasikan modal dan sumber daya insan yang besar dalam teknologi. Perusahaan mampu meningkatkan fleksibilitasnya dengan mengarahkan persetujuan teknologi gosip secara terus menerus untuk memenuhi perubahan kebutuhan konsumen info mereka. Faktor keempat ialah penghematan biaya (cost reduction). Peningkatan nilai perusahaan bisa didapat dengan memasukkan program pengurangan ongkos yang didisain untuk memelihara atau meningkatkan posisi besaing perusahaan (Bettis et al., 1992; Huff 1991; Loh dan Venkatraman, 1992, dalam Hayes et al., 2000). 
Perusahaan mampu menurunkan harga pembelian beberapa input dengan mengambil keuntungan dari ongkos supplier yang lebih rendah, atau meningkatkan kualitas input dengan pembelian beberapa kapabilitas superior dari supplier luar (Globerman dan Vining, 2004). Penghematan biaya juga mampu dihasilkan dari perubahan keharusan yang dihadapi oleh perusahaan dibawah aturan pemerintah dan peraturan atau akad dengan serikat buruh, contohnya keharusan membayar ongkos kesehatan bagi pekerja full-time (Abraham dan Taylor, 1996 dalam Globerman dan Vining, 2004). Aktifitas outsourcing memungkinkan perusahaan untuk menerima pekerja yang sama dari supplier luar selaku karyawan sementara.
Menurut Hayes et al. (2000) dorongan untuk memotong ongkos menimbulkan perusahaan secara asal pilih menentukan fungsi teknologi atau metode isu yang akan di-outsource, yang berarti perusahaan tidak memisahkan fungsi tata cara info yang tidak memiliki nilai tambah dari fungsi kompetensi inti tata cara berita yang memiliki nilai tambah. Oleh sebab itu, keputusan untuk melakukan outsource sebaiknya tidak hanya didorong semata-mata oleh cita-cita untuk meminimalkan biaya, namun juga dimotivasi oleh faedah strategis jangka panjang yang didapat dari outsourcing (Quinn et al.,1990 dalam Hayes et al., 2000)
Kapabilitas tertentu yang dimiliki perusahaan merupakan faktor penggerak bagi suksesnya persaingan. Kapabilitas yang merepotkan untuk ditiru ialah kunci keunggulan bersaing yang terus menerus (Barney, 1991 dalam Globerman dan Vining, 2004). Untuk kapabilitas yang sulit ditiru, perusahaan bisa mendapatkannya lewat outsourcing. Bukti memberikan bahwa pengurangan biaya untuk menerima kapabilitas yang sulit ditiru merupakan salah satu faedah yang diperlukan dari kegiatan outsourcing disamping meningkatkan keleluasaan, kualitas dan kendali.
KESULITAN DALAM MELAKUKAN OUTSOURCING
Meskipun banyak perusahaan yang merasa puas dengan outsourcing, namun banyak perangkap yang bila tidak dipersiapkan dengan baik akan membuat perusahaan yang melakukan outsourcing terjatuh ke dalamnya. Menurut Barthelemy (2001), dari survey terhadap 50 perusahaan, sekitar 14% operasi outsourcing mengalami kegagalan. Selama proses transisi, perusahaan bergerak dari lingkungan in-sourced menuju lingkungan outsouced, perusahaan mesti berhadapan dengan banyak sekali perubahan proses dan pergantian budaya (Aalder, 2001; Lanser, 2003). Perubahan ini, khususnya pergantian budaya, bukanlah hal yang gampang alasannya adalah terdapat sebuah pergeseran dalam budaya perusahaan yang menjadi dasar bagi seluruh proses kerja dan kebiasaan karyawan. Untuk menangani duduk perkara yang berkaitan dengan outsourcing teknologi gosip, banyak penelitian yang dilaksanakan untuk memperlihatkan pengertian tentang topik tersebut. 
Teirlynck (1998) menyatakan pengembangan seni manajemen outsourcing mampu dibagi ke dalam empat tahap. Pertama, tahap antisipasi. Pada tahap ini perusahaan harus menentukan keterampilan inti dan bukan inti yang dimilikinya, menilai kinerja dikala ini, menganalisa potensi outsourcing untuk yang bukan keterampilan inti, menguraikan implikasi outsourcing bagi organisasi, dan menentukan model kekerabatan untuk membangun relasi dengan penyedia (provider) outsourcing. Kedua, melaksanakan seleksi. Tahap ini ialah penentuan tolok ukur evaluasi bagi provider, menyaring provider, dan menganalisa proposal dari provider. Ketiga adalah tahap negosiasi, mencakup audit terhadap calon yang terdaftar, pemilihan prioritas kandidat, penentuan ruang lingkup dan struktur kontrak, dan transfer rincian perencanaan pada provider. Sedangkan tahap keempat ialah tahap implementasi, meliputi re-engineering perantara, pembiasaan internal organisasi, dan penetapan metode pengukuran provider. Xue et al. (2005) menyatakan bahwa keberhasilan outsourcing teknologi berita terutama yang dijalankan diluar perusahaan (offshore), bekerjasama erat dengan kinerja virtual team. Oleh alasannya perusahaan yang melakukan outsourcing dan provider outsourcing bekerja sama dalam jarak yang jauh, diperlukan kerja sama dari seluruh anggota virtual team yang terdistribusi secara geografis.
RESIKO DAN BIAYA OUTSOURCING
Resiko diidentifikasi selaku salah satu aspek penting dalam keputusan outsourcing, yang mana bila diabaikan akan meningkatkan kemungkinan gagalnya proyek yang di-outsource (Benamati dan Rajkumar, 2002). Manajer sistem informasi mungkin mempercayai bahwa outsourcing akan mengurangi timbulnya resiko alasannya adalah ia mampu menyediakan personel atau kemampuan yang diharapkan oleh organisasi, tetapi outsourcing juga mampu menimbulkan resiko-resiko gres seperti ongkos yang tersembunyi, persoalan penurunan akhlak staff, dan kehilangan kontrol atas posisi/sumber daya tertentu. O’Keeffe dan Vanlandingham (2007) menyebutkan, taktik outsourcing telah terbukti efektif, tapi dibarengi oleh resiko yang harus disadari dan dikontrol dengan baik. Dalam outsourcing, perusahaan mempercayakan orang lain untuk menjalankan fungsi bisnis tertentu. Jika tidak diatur secara baik, mungkin akan besar lengan berkuasa negatif pada operasi dan pelanggan perusahaan. Produk dan jasa bisa di-outsource, namun resiko tidak.
Aubert et al. (1998) menyatakan ungkapan resiko mengacu pada dua konsep yang berlawanan. Pertama, resiko kadang-kadang dipakai sebagai suatu istilah biasa yang mengacu pada hasil negatif, contohnya ongkos yang tersembunyi (hidden cost), penurunan dalam kinerja metode, atau hilangnya kesanggupan inovatif. Kedua, perumpamaan resiko mengacu pada faktor-aspek yang menjadikan hasil negatif, seperti kurangnya akad dari manajemen tingkat atas, staf yang tidak terlatih, atau ketidakpastian bisnis ketika mendiskusikan outsourcing teknologi informasi (Earl, 1996).
Jenis resiko pertama berupa hasil negatif, merupakan konsekuensi yang tidak diinginkan dari outsourcing dan bekerjasama dengan ongkos yang tersembunyi, yang mana kadang-kadang dikatakan selaku persoalan outsourcing teknologi berita yang terbesar (Lacity et al., 1995). Biaya tersebut mencakup biaya transisi (seperti biaya set up, ongkos relokasi dsb) dan biaya administrasi sumber daya manusia yang mesti ditempatkan untuk mengurus kesepakatan outsourcing. Dalam mendiskusikan faktor ongkos-faedah keputusan akuisisi software, Nelson et al. (1996) mengidentifikasi jenis ongkos lain yang mampu dimasukkan ke dalam ongkos transisi dan biaya administrasi, adalah biaya perjanjian yang mencakup ongkos-biaya yang bekerjasama dengan penelusuran dan evaluasi vendor yang sesuai, benchmark layanan yang disediakan, penentuan kontrak secara hukum, menegosiasikan kontrak dan solusi pertikaian.
Disamping konsekuensi di atas, outsourcing juga mengakibatkan banyak sekali dilema yang berhubungan dengan staf. Menurut Grover et al.(1994) seringkali staf menatap outsourcing selaku bahaya bagi posisi kerja mereka mirip pemecatan atau dipindahkan ke bab lain perusahaan. Situasi yang tidak pasti ini membuat kekhawatiran dan perasaan tidak aman yang mungkin akan menimbulkan menurunnya produktifitas karyawan selama kala menuju penandatanganan perjanjian atau bahkan setelah kesepakatan ditandatangani. 
Konsekuensi yang tidak diinginkan dari outsourcing intinya disebabkan oleh faktor-faktor resiko yang bisa dilihat dari tiga perspektif ialah distributor (provider), principal, dan transaksi outsourcing itu sendiri. Menurut Aubert et al. (1998), aspek resiko yang ditinjau dari ketiga perspektif tersebut antara lain: sikap opportunis agen (provider), kurangnya pengalaman dan keterampilan dengan aktifitas yang di-outsource, kurangnya pengalaman dan keahlian dalam mengorganisir persetujuan outsourcing, jumlah supplier/vendor outsourcing yang terbatas/sedikit, ketidakpastian keperluan di waktu yang mau tiba, tingkat ketergantungan aktifitas yang di-outsource, serta kedekatan dengan kompetensi inti. 
Meskipun motivasi utama melaksanakan outsourcing ialah untuk memangkas ongkos, tetapi bila tidak diantisipasi dengan baik outsourcing mampu menimbulkan biaya-biaya baru seperti ongkos administrasi, ongkos perubahan kontrak, dan meningkatnya biaya layanan terhadap pelanggan. Outsourcing juga bisa menimbulkan hilangnya kompetensi perusahaan kalau penyeleksian fungsi tata cara info yang mau di-outsource dilaksanakan secara sembarang pilih. Upaya untuk meminimalkan resiko outsourcing dapat dilakukan dengan mengontrol aspek yang menjadi penyebab timbulnya konsekuensi yang tidak diharapkan tersebut. Berikut ini akan diuraikan beberapa alternatif mengurus resiko outsourcing.
MENGELOLA RESIKO OUTSOURCING
Aktifitas outsourcing menjinjing sejumlah resiko yang signifikan. Resiko akan lebih besar jika perusahaan menentukan untuk melaksanakan outsourcing total. Banyak perusahaan yang menyadari resiko ini dan menyikapi dengan mengadopsi proses analisis resiko secara menyeluruh yang digabungkan dengan melakukan administrasi resiko biar bisa menghemat resiko outsourcing secara efektif. Manajer sistem info juga harus menimbang-nimbang alternatif-altenatif lain seperti melakukan outsourcing lewat banyak penawaran (multiple bidders)(Yost dan Harmon, 2002; Currie, 1998). Dengan outsourcing yang pilih-pilih, perusahaan dapat mempertahankan wawasan internal yang dibutuhkan untuk mengatasi outsourcing provider. Dengan pilihan multiple bidders, perusahaan mampu menegosiasikan persetujuan outsourcing dengan banyak vendor yang berlainan kompetensi, pengalaman dan posisi pasarnya. Namun taktik ini juga mempunyai resiko, Cross (1995) menyatakan susah untuk mengelola dan mengkoordinasikan kerja dari beberapa provider. Sementara Loh dan Venkatraman (1992) menyebutkan bahwa tidak gampang memilih tanggung jawab masing-masing provider utamanya bila aktifitas yang di-outsource saling tergantung satu sama lain.
Pandey dan Bansal (2003) menyatakan untuk meminimalisir resiko maka perusahaan mesti memikirkan aktifitas-aktifitas perusahaan yang dipandang paling kritis dalam memutuskan apakah akan melakukan outsourcing teknologi berita atau tidak. Ada empat aktifitas yang dipandang paling kritis, yakni perencanaan keperluan materi (MRP/Material Requirement Planning), keuangan, manajemen sumber daya insan (mirip pembayaran honor), serta pengembangan dan pemeliharaan website. Disamping itu perusahaan semestinya juga menyewa seorang konsultan untuk menciptakan keputusan outsourcing, serta ikut mempertimbangkan animo yang sedang berlaku di pasar.
O’Keeffe dari forum konsultan resiko independen Protiviti menjelaskan untuk mengatasi resiko dalam perjanjian outsourcing perusahaan semestinya berbagi suatu rencana perjanjian dan mendokumentasikan semua faktor-faktor akad yang meliputi komitmen tentang tingkat pelayanan (service level), spesifikasi produk, persyaratan pergantian, tugas dan tanggung jawab serta hal-hal yang dikecualikan. Pengelolaan kepada resiko outsourcing sudah harus dimulai pada saat perencanaan persetujuan dikerjakan, tahap perundingan dan tahap sehabis kontrak disepakati. Mekanisme umpan balik kinerja yang efektif mesti dibarengi dengan pengawasan kepada perjanjian dan kinerja secara terjadwal. Disamping itu kejelasan tentang tugas dan tanggung jawab masing-masing pihak akan mendukung pencapaian efisiensi dan tujuan pengendalian dari suplier dan persetujuan menajemen. Dengan prosedur pengawasan yang bagus dan kejelasan mengenai janji persetujuan akan mampu meminimalkan resiko sehubungan dengan aktifitas outsourcing. 
Untuk menanggulangi resiko hilangnya kompetensi perusahaan berdasarkan Hayes et al. (2000), perusahaan harus memisahkan fungsi metode gosip yang tidak mempunyai nilai tambah dari fungsi kompetensi inti sistem informasi yang memiliki nilai tambah. Dengan demikian outsourcing sistem informasi akan menghasilkan manfaat strategis jangka panjang.
MODEL PENERIMAAN TEKNOLOGI DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN OUTSOURCING
Model penerimaan teknologi atau technology acceptance model (TAM) merupakan model yang mampu menjelaskan secara akurat penerimaan sistim gosip oleh pemakainya. TAM sendiri diadopsi dari teori tindakan yang diperhitungkan (theory of reasoned action) yang dikemukakan oleh Ajzen dan Fishbein pada tahun 1980, dan diperkenalkan pertama kali oleh Davis pada tahun 1989 (Lee et al., 2004). TAM menghipotesiskan bahwa perilaku pengguna kepada teknologi ditentukan oleh pandangan mereka mengenai kegunaan yang dirasakan atau perceived of usefulness (PU) dan akomodasi yang dirasakan dalam penggunaan atau perceived ease of use (PEOU) pada teknologi dan perilaku ini akan mensugesti niat mereka untuk memakai teknologi tersebut (Intention to use). TAM juga menyatakan bahwa perceived ease of use (PEOU) mensugesti perceived of usefulness (PU), sebab sesuatu yang lebih mudah digunakan dipersepsikan akan lebih memiliki kegunaan. Niat untuk menggunakan teknologi dipengaruhi oleh banyak variabel eksternal. Persepsi tentang kegunaan dan kemudahan teknologi memediasi dampak variabel eksternal tersebut pada sikap dan niat untuk memakai teknologi.
Hubungan antara perceived ease of use, perceived usefulness dan penerimaan individu mampu dilihat pada gambar berikut: 

Gambar Technology Acceptance Model (Davis, et al. 1989)
TAM ialah versi yang mendapat banyak perhatian pada observasi di bidang teknologi informasi. Hal ini disebabkan sebab penerimaan teknologi oleh pemakai teknologi isu sangat penting dalam pengembangan teknologi berita. Oleh alasannya itu TAM banyak dirujuk dalam penelitian yang terkait dengan penerimaan teknologi gosip oleh pemakainya. 
Keputusan perusahaan untuk melaksanakan outsourcing teknologi berita dapat ditinjau dengan menggunakan model penerimaan teknologi tersebut. Benamati dan Rajkumar (2002) memakai TAM untuk mengetahui faktor yang mensugesti pengambilan keputusan outsourcing pada pengembangan aplikasi. Dengan memakai metode kualitatif, hasil observasi tersebut menyarankan bahwa keputusan outsourcing dipengaruhi oleh variabel eksternal seperti lingkungan luar, relasi outsourcing terdahulu, dan resiko dari outsourcing. Variabel eksternal ini selanjutnya mempengaruhi kegunaan yang dirasakan dari keputusan outsourcing dan fasilitas yang dirasakan dalam penggunaan.
Artikel ini menganjurkan model penerimaan teknologi TAM dalam pengambilan keputusan outsourcing ditinjau dari pandangan pengambil keputusan tentang manfaat, resiko dan biaya yang ditimbulkan dari aktifitas outsourcing. Seperti dijelaskan sebelumnya, outsourcing tidak hanya mendatangkan manfaat, namun juga menimbulkan resiko-resiko gres mirip biaya tersembunyi, dilema susila staf, dan hilangnya kendali atas aktifitas tertentu. Resiko-resiko tersebut jikalau diabaikan akan meningkatkan kemungkinan kegagalan proyek. Hal ini mempunyai implikasi bahwa faedah dari outsourcing dipengaruhi oleh pandangan resiko tentang outsourcing tersebut. Persepsi terhadap resiko akan mempengaruhi perilaku para pengambil keputusan kepada outsourcing dan berikutnya akan menghipnotis niatnya untuk melakukan outsourcing. 
Menurut Keil et al (1998), pengambil keputusan akan mempersepsikan resiko menjadi sesuatu yang lebih penting kalau mereka tidak mempunyai kontrol terhadap resiko-resiko tersebut. Makin besar resiko outsourcing, maka kian besar pula biaya yang ditimbulkan, dengan demikian terdapat korelasi positif antara resiko dengan ongkos outsourcing. Sebaliknya, persepsi mengenai manfaat outsourcing akan kuat aktual kepada keputusan outsourcing teknologi informasi. Analisis kepada manfaat yang diperoleh dan biaya yang ditimbulkan dari outsourcing, serta pertimbangan tentang resiko yang akan dihadapi akan menghipnotis niat pengambil keputusan untuk melaksanakan outsourcing teknologi berita. Dari uraian tersebut penulis mengajukan proposisi selaku berikut: 
Proposisi 1: Persepsi perihal manfaat yang dicicipi dari outsourcing memiliki relasi konkret dengan sikap kepada outsourcing dan selanjutnya akan menghipnotis niat untuk melaksanakan outsourcing.
Proposisi 2: Persepsi perihal resiko yang dinikmati dari outsourcing memiliki kekerabatan negatif dengan sikap terhadap outsourcing dan berikutnya akan mempengaruhi niat untuk melaksanakan outsourcing.
Proposisi 3: Persepsi perihal resiko yang dicicipi dari outsourcing memiliki hubungan negatiff dengan pandangan mengenai manfaat yang dinikmati dari kegiatan outsourcing, dan seterusnya akan bekerjasama aktual dengan sikap terhadap outsourcing.
Proposisi 4: Persepsi mengenai resiko yang dinikmati dari outsourcing memiliki hubungan kasatmata dengan pandangan tentang ongkos yang dirasakan dari aktivitas outsourcing, dan seterusnya akan bekerjasama negatif dengan sikap terhadap outsourcing.
Proposisi 5: Persepsi tentang ongkos yang dirasakan dari outsourcing akan berhubungan negatif dengan sikap kepada outsourcing dan seterusnya akan mempengaruhi niat untuk melakukan outsourcing.
Dari kelima proposisi tersebut dapat digambarkan versi penerimaan keputusan outsourcing sebagai berikut:
Gambar Model penerimaan keputusan outsourcing