Disintegrasi, Pemerintahan Setempat Dan Dana Perimbangan Pusat

Disintegrasi, Pemerintahan Lokal Dan Dana Perimbangan Pusat 
Indonesia, selain dituntut biar secepatnya keluar dari krisis ekonomi ketika ini menghadapi beragam permintaan dari tempat baik yang menyangkut permintaan otonomi luas, otonomi khusus sampai terhadap permintaan pembagian keuangan yang lebih adil, permintaan federalisasi sampai terdapat juga tuntutan kemerdekaan. Kebijakan pemerintah sentra yang dianggap tidak adil oleh masyarakatnya di kawasan pada waktu tertentu dianggap duduk perkara yang memunculkan kritik tersendiri alasannya adalah selain hasil pembangunannya dianggap tidak memuaskan penduduk juga dampak dari pembangunannya mampu memperparah kesenjangan sosial. Keadaan ini dalam pelaksanaannya baik berdasarkan perspektif teknologi, perkembangan, dan perkembangan tidak melahirkan kesejahteraan penduduk , sehingga situasi ini memberi kesempatan besar bagi hadirnya bahaya yang melemahkan eksistensi negara dan bangsa Indonesia selaku negara kesatuan dalam ideologi, politik, sosial, budaya, pertahanan serta keamanan dan mampu bermetamorfosis gerakan disintegrasi negara dan bangsa. Ancaman terbesar bagi integrasi nasional condong tiba dari akumulasi kekecewaan kawasan terhadap pusat, atau konflik yang bersifat vertikal. Munculnya bibit-bibit disintegrasi bangsa terjadi antara lain dikala pemerintah pusat dinilai menjaga perimbangan keuangan sentra-kawasan secara tidak adil dan menimbulkan ketergantungan. 
Pemberlakuan otonomi kawasan yang dapat menjadikan distorsi dan high cost ekonomi pada pasca reformasi perlu segera diselesaikan sejalan dengan transisi demokrasi setempat yang saat ini sedang melaksanakan konsolidasi politik supaya proses desentralisasi menjinjing pergeseran pada tatanan ekonomi tempat untuk mengembangkan dan memobilisasi PADnya. Setelah pilkada dikerjakan, maka pelaksanaan demokrasi dan otonomi suatu pemerintah kawasan sudah memperlihatkan kewenangan menciptakan keputusan maupun kewenangan keuangan yang kian besar melalui proses politik khas setempat di daerahnya. Dalam keadaan tersebut proses demokratisasi dan politik setempat muncul di tempat disertai dengan peran elitnya yang secara intensif meningkat dengan dinamika sosial politiknya. 
Seharusnya sesuai konteks undang-undang, menurut UU No. 22/1999 dan UU No.25/1999 yaitu untuk memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian kawasan (Hardjosoekarto, 2002:9) yang kini dirubah dengan UU No.32 dan 33 Tahun 2004, namun pada dasarnya misi yang dikandung belum bergeser dari undang-undang sebelumnya. Padahal mengontrol mobilisasi pemasukan daerah tidak sekedar berorientasi pada kepentingan mengoptimalkan pendapatan daerah, namun lebih terhadap kepentingan mendukung pemberdayaan dan penciptaan ruang yang lebih besar bagi peran serta masyarakat dan stakeholder dalam pengembangan ekonomi tempat.
Berdasarkan realitas tersebut persoalan penting untuk dikaji adalah bagaimana sikap politik (Pemerintah Pusat) dapat menghargai aspirasi kawasan atau bagaimana biar kebijakan dana perimbangan pusat dapat dipadukan (matching) dengan penguatan demokrasi setempat. 
Tulisan ini mencoba mengungkapkan beberapa prespektif dan alasan dengan pendekatan pengulasan dan telaahan kritis (review article) kepada masalah yang dihadapi menurut tinjauan teori manajemen publik, sehingga pembahasan yang diungkapkannya mampu menerangkan dan membandingkan beberapa penafsiran dan solusi yang sesuai dengan kondisi dan masalah yang dihadapi. Secara lazim sasaran penulisan pada intinya berusaha untuk mengeloborasi dilema atau berita yang meningkat dari tiga sudut pandang antara disintegrasi, pemerintahan setempat kebijakan dana perimbangan sentra yang bermaksud berbagi demokrasi di aras lokal, sehingga kesanggupan dan pemberdayaan ekonomi daerah mampu secepatnya diwujudkan untuk mempercepat kemakmuran masyarakatnya. 
Disintegrasi
Proses demokratisasi yang bertumpu pada otonomi daerah ternyata tidak senantiasa berjalan mulus dan menyisakan sejumlah masalah-problem gres. Selain hadirnya raja-raja kecil di tempat, proliferasi korupsi di daerah, perebutan sumber daya, sentimen putra kawasan dan non putra tempat dalam kontelasi politik lokal, timbul aneka macam organisasi kurun (ormas) yang mengusung sentimen identitas setempat. 
Hingga kini masih adanya simpul yang menterminologi putra kawasan kerap diintrepretasikan secara longgar dan tidak bijak serta tidak hanya mengacu kepada aspek etnisitas, melainkan juga kepada domisili dan tempat kelahiran untuk memberikan ruang bagi tampilnya elit nasional yang mengincar posisi strategis di daerah. 
Identitas kolektif akan menguat secara drastis manakala kelompok tersebut mengalami diskriminasi dan ketidakadilan. Sebaliknya, identitas kolektif suatu golongan akan melemah ketika terjadi proses asimilasi atau keanggotaan yang berlapis dari anggota suatu golongan dengan golongan-kalangan lain di masyarakat. Namun demikian, pada perkara negara – negara demokrasi gres, kerapkali para pemimpin kelompoklah yang memanipulasi pasang surut identitas kelompoknya. Para pemimpin tersebut mengeksploitasi faktor sejarah clan simbol-simbol kultural untuk memobilisasi dukungan politik.
Menariknya, Samuel Huntington menyatakan bahwa krisis identitas ini bukan saja monopoli negara-negara demokrasi baru, melainkan telah menjadi fenomena global dan melanda negara-negara demokrasi mapan. Merosotnya otoritas negara selaku penjamin keamanan rakyatnya sudah menunjukkan insentif bagi rakyat untuk menolak mengidentifikasikan diri dengan negara dan mempromosikan identitas golongan yang bersifat sub nasional maupun trans nasional (Huntington 2004). Di berbagai belahan dunia berkembang gerakan – gerakan yang besar lengan berkuasa yang berupaya untuk melaksanakan proses redefinisi identitas negara dalam terminologi keagamaan sebagai upaya pembiasaan dengan pergantian pada tataran global dan membangun rasa aman dan tenteram. Menurut Huntington, jika pada kurun ke 19 dan 20 para elit politik dan intelektual memobilisasi kebangkitan identitas nasional dan memelopori gerakan-gerakan nasionalisme, saat ini justru kita melihat manuver para elit yang tengah melaksanakan proses denasionalisasi di banyak negara.
Dalam konteks di Indonesia, manuver elit untuk memanipulasi identitas kultural ialah gerakan pemekaran daerah yang marak dilakukan semenjak lahirnya Undang-undang nomor 22 tahun 1999 perihal Pemerintahan Daerah. Elit politik lokal, birokrat lokal dan pebisnis setempat memainkan tugas penting dalam mengolah emosi abad untuk menciptakan kesadaran kolektif perihal urgensi dari pembentukan daerah adminsitratif gres di kawasan kelahiran mereka sejak masa waktu 1999 sampai 2004.
Pemerintahan Lokal
Politik setempat menurut Surbakti (1992) ialah: (a) Usaha yang di tempuh warga negara untuk mengatasi dilema yang dihadapi masyarakatnya di daerah tertentu; (b) Segala hal yang berhubungan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan; (c) Segala aktivitas yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat; (d) Kegiatan yang berkaiatan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan lazim; (e) Sebagai pertentangan dalam rangka mencari atau menjaga sumber yang dinilai penting. Selain itu ada yang didefinisikan Heinelt dan Wollmann (1991) menyatakannya sebagai suatu sense dalam pembagunan dan penghargaan secara sosial yang berupa keputusan-kepurusan dalam sistem interaksi menurut fisik dan ruang sosial.
Memahami bagaimana itu politik lokal pastinya akan terkait dengan kekuasaan yang digunakan untuk memimpin suatu masyarakat tertentu. Artinya, kekuasaan itu tidak hanya menurut pada kesanggupan namun juga ditentukan oleh aspek lain yang mempunyai kekerabatan dengan kondisi tempat bersangkutan. Sebab itu, ada dua faktor yang akan mempengaruhi kehidupan politik setempat dalam penduduk Indonesia ialah 1) metode kultural dan 2) iman (Sjamsudin, 1989).
Namun yang perlu diperhatikan dalam konteks politik lokal ini ialah bagaimana menggabungkan antara harapan sentra dan aspirasi setempat yang timbul di tempat yang tidak lepas dari peran birokrasi pada aras setempat. Sebab dinamika kehidupan pemerintahan lokal yang hendak dibangun tersebut, kondisinya akan terus berganti oleh imbas perubahan konteks ekonomi dan sosial, selain oleh konfliks ideologi dan politik lokal yang terjadi disekitar pemerintahan setempat (John and Gerry, 1989). 
Perlu juga dimengerti bahwa aras pemerintahan lokal tersebut mempunyai karateristik yang berbeda di setiap kawasan sehingga diharapkan pembiasaan dengan pemerintah pusat. Di samping itu, diperlukan pula pergantian struktur pemerintahan setempat yang mau memiliki efek pada perubahan perluasan program ekonomi, sosial, dan pembaharuan ideologi. 
Boleh jadi, upaya yang perlu dijalankan yakni menghadapi tantangan yang ditekankan pada keuangan untuk kemudian diperluas perhatiannya pada peran, organisasi, kelembagaan, dan manajemen. Oleh alasannya itu, dalam pemerintahan lokal penataan kehidupan bernegara untuk melakukan interaksi dengan pemerintah sentra secara maksimal perlu dijalankan. Untuk itu, ada tiga hal yang mesti dikaji dalam status pemerintahan setempat adalah: fungsi, struktur, dan keuangan (Martin, 1986). 
Semua itu, dibutuhkan guna menawarkan arti bernegara bahwa kehidupan tradisional sudah mulai disinergiskan dengan kegiatan yang mengarah terhadap kepentingan nasional di abad globalisasi, sehingga mau tak ingin, suka atau tak suka telah masuk ke dalam arena globalisasi, berhenti sedikit saja akan tergerus arus tersebut. Artinya, dalam program pembangunan setempat maupun nasional mesti diintegrasikan, kemudian harus memiliki efek pada stabilitas internal. Hal ini, tentunya membutuhkan tugas dari pemerintah sentra, dan pada saat yang sama tugas pemerintah tempat (propinsi ataupun kabupaten dan kota) sungguh diperlukan. Karena kurangnya sumber yang tersedia ditingkat setempat, maka pemerintah lokal pada dikala ini mendapat peran penting dan terusan dari struktur pemerintah pusat. 
Semua itu, mampu diwujudakan melalui kebijakan pemerintah pusat yang akan didesentralisasikan pada pemerintah setempat yang merupakan otoritas tempat untuk menyatukan berbagai kepentingan, tujuan dan kesanggupan dalam pembangunan tempat melalui acara pembangunan. Sehingga dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi tempat dibutuhkan mampu mengembangkan kesadaran pemerintah setempat akan alokasi sumber-sumber daya dan tidak bergantung terhadap pemerintah sentra semata.
Dampak dari itu semua tentunya memiliki arti penting bagi pembangunan memandirian pemerintahan setempat, meski yang timbul berbagai acara pemekaran daerah namun itu semua merupakan ekses dari demokrasi yang tengah dibangun bangsa ini. Sangat kontras, ketika hegemoni negara yang dipraktikkan era Orde Baru yang memarginalkan masyarakat lokal. Dengan demikian, diperlukan revitalisasi (diberi penguatan kembali) sehingga mampu diakomodasi dan diakses dalam pelaksanaan pembangunan. 
Penguatan politik lokal atau identitas setempat harus dimengerti sebagai salah satu kekuatan perekat integrasi nasional dan kekuatan yang memperlancar pembangunan. Revitalisasi identitas lokal dilakukan dalam tataran institusi, status, dan peran mirip Krama adab, lembaga dapat yang ditopang oleh hukum-hukum adab secara cendekia dan bijaksana. Kaprikornus mampu dipahami bahwa dengan hadirnya agenda pemekaran daerah atas dasar asumsi-asumsi etnisitas yang lebih spesifik salah satu indikasi penguatan identitas kepada wacana demokrasi lokal. Masyarakat Indonesia kaya akan identitas golongan etnis, memerlukan pemahaman yang serius dalam membangun kerangka interaksi politik yang toleran, yang dalam potensinya bisa memperkuat pluralisme (Abdilah, 2002). Sementara Giddens (2000) menerangkan bahwa heterogenitas itu sendiri bukan merupakan suatu halangan. Dia ialah bab terpenting yang tak mampu dipisahkan dari arti “berbangsa dan bernegara” yang bantu-membantu.
Secara politik, bagaimana mempergunakan pintu pertolongan otonomi tempat tersebut sehingga menjadi sebuah kanal bagi demokratisasi dan partisipasi rakyat, agar sejajar antara pemerintahan setempat dengan kemajuan otoritas pemerintah pusat yang melaksanakan stabilitas ekonomi, sosal dan politik serta memajukan partisipasi dalam acara pembangunan (Mac Andrew, 1986). Oleh sebab itu sebagaimana dibilang Morfit, (1995) bahwa usaha yang dikerjakan pemerintah sentra dalam menangani duduk perkara yang ada di tempat yaitu memperkuat posisi pemerintah daerah, ini semua terkait dengan desentralisasi yang dikerjakan. Dengan demikian, akan menawarkan betapa pentingnya peran pemerintah di aras setempat/kawasan dalam melakukan pembangunan di daerahnya masing-masing.
Ketika konteks demokrasi setempat diwujudkan, maka semakin besar otonomi sebuah pemerintah kawasan, baik dalam arti kewenangan menciptakan keputusan maupun kewenangan keuangan, akan semakin besar pula derajat proses politik yang khas setempat (local politics). Maka dengan keadaan tersebut, dapat disimpulkan adalah; Pertama, kian besar otonomi lokal yang diberikan, maka semakin besar pula proses demokratisasi dan politik setempat yang muncul di daerah. Kedua, makin intesif tugas elit masyarakat, maka kian berkembang pula dinamika sosial politik di tempat yang bersangkutan. Ketiga, semakin dinamis proses demokratisasi maka makin dinamis pula perkembangan politik setempat di daerah. 
Kebijakan Dana Perimbangan 
Davey (1988) menyampaikan korelasi antara keuangan pusat dan tempat, prinsipnya lebih pada problem perihal pembagian kue kekuasaan. Terutama hak mengambil keputusan mengenai anggaran, yakni bagaimana memperoleh dan membelanjakannya. Semua itu bertujuan untuk menggapai kesesuaian dengan peranan yang dimainkan pemerintah daerah (Devas, 1989:179). Dia juga mengidentifikasikan dua bentuk utama peranan pemerintah setempat/kawasan yang masing-masing membutuhkan perlindungan format kebijakan keuangan yang berbeda. Kedua peranan dan format kebijakan keuangan yang tepat dengan masing-masing peranan tersebut yaitu: Pertama, pandangan yang menekankan peranan pemerintah selaku istilah kemauan dan indentitas penduduk setempat. Pemerintah setempat/kawasan merupakan wadah bagi masyarakatsetempat untuk mengemukakan aspirasinya sesuai dengan impian dan prioritas mereka. Kedua, persepsi yang menekankan peranan pemerintah lokal/daerah sebagai forum yang mengadakan layanan-layanan publik dan sebagai alat untuk menebus ongkos menawarkan layanan yang bermanfaat untuk kawasan. 
Apa yang diungkapkan Davey dan Devas, intinya yaitu menekankan pentingnya keseimbangan antara beban permasalahan yang menjadi tanggungjawab pemerintah lokal/tempat dan kewenangan finansialnya. Semakin luas problem yang menjadi tanggungjawab pemerintah lokal/daerah, makin besar pula kewenangan finansial yang dibutuhkannya. Sebagai konsekuensinya, seperti ditegaskan Hun Cho dan Meinardus (1996) “If decentralizacion of power is the aim, then logically decentralization public finances must go with it (Hun Cho dan Meinardus, 1996:175). Argumen tersebut, tentunya berdasar pada mendorong munculnya prinsip baru dalam politik pembiayaan desentralisasi. Prinsip gres ini tercemin pada adagium no mandate wihtout funding atau money follow functions mengambil alih prinsip kuno yang dikemukan Wayong (1956) yakni functions follow money yang dinilai tidak realistik (Gaffar,dkk, 2002:189).
Undang-undang No. 32 Tahun 2004) ihwal Pemerintahan Daerah intinya mengendalikan perihal pelaksanaan desentralisasi yang berlandaskan pada prinsip keseimbangan. Ditegaskan bahwa kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi, harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut, meski dalam tataran implementasinya masih banyak memanggil kontroversi. 
Gaffar, dkk (2002) menilai bahwa peraturan tentang masalah keuangan kawasan yang ada masih bersifat setengah hati, alasannya adalah titik beratnya masih tetap pada pembagian proporsi, bukan kepada sumbangan kewenangan yang luas sebagaimana yang dinyatakan dalam UU No.22/1999 yang lalu direvisi menjadi UU No.32/2004 (Gaffar, dkk, 2002:203). Uang memang ialah sesuatu yang mutlak, tetapi uang bukan satu-satunya alat menggerakkan roda pemerintahan. Otonomi yaitu kewenangan, dengan kewenangan, maka uang akan mampu dicari (Gaffar, dkk, 2002: 213). 
Menyikapi dilema dana perimbangan, mampu gali dari segi kebijakan bagi hasil, teladan bagi hasil masih dijalankan basis per basis pajak dan belum meliputi setiap sumber pemasukan sentra yang ada di daerah. Penekanan lebih besar pada bagi hasil sumberdaya alam (SDA), dinilai lebih menguntungkan tempat yang kaya SDA dan tidak menguntungkan kawasan yang bukan penghasil kekayaan alam tersebut (Pratikno, 2002:66). Sementara sumber dana alokasi lazim, walaupun didasarkan formula yang lebih objektif dan transparan, tetapi cenderung lebih memprioritaskan pemerataan dan kurang mengamati sisi keadilan. Bahkan cenderung bersifat disinsentif karena tidak memperhitungkan bantuan tempat kepada pemasukan pusat. Demikian pula pendekatan 25 persen dari pendapatan dalam negeri, belum dikembangkan untuk mencapai sufficiency pembiayaan daerah.
Jadi secara umum, transfer keuangan intra-pemerintahan hendaknya bisa mendorong kenaikan administrasi fiskal yang baik dan menghidari parktek yang tidak efisien (Shah, 1994:71). Bahkan mampu meminimalisir beban perpajakan setempat yang relatif tinggi (Bailey, 1999:207). Upaya mirip ini akan mampu dijalankan pemerintah lokal/tempat, kalau pemerintah lokal/kawasan mempunyai kewenangan memadai di bidang pengelolaan sumberdaya ekonomi. Terutama kewenangan pemerintahan lokal/daerah dalam mengendalikan tarif pajak kawasan (local tax power) (Bird dan Vaillancourt, 2000:49). Pemerintah lokal/kawasan perlu memiliki dana mencukupi, sehingga memiliki keleluasaan untuk lebih menekankan pada intensifikasi. Bahkan kemungkinan menawarkan tax holiday demi merangsang investasi di wilayahnya (Mardiasmo, 2002:153). 
Melihat hasil studi de Mello dan Berenstein (2002) yang menunjukkan kian besar bab dana yang dibelanjakan daerah, semakin besar keterkaitan faktual antara desentralisasi dan perwujudan governance (Abed and Gupta, 2002:360). Agar tidak terjadi pelemahan upaya fiskal daerah, setiap rancangan perimbangan keuangan harus bersendikan komponen peluangkapasitas penerimaan daerah (Bird dan Vaillancourt, 2000:45). Misalnya di Spanyol, 25 persen dana perimbangan tempat dialokasikan menurut penerimaan pajak tempat dan 70 persen berdasarkan jumlah penduduk. Sebagai perbandingan Denmark dan Swedia, Kanada dan Australia, secara eksplisit menjumlah dana perimbangan dengan mengasumsikan penerapan tarif pajak kawasan berdasarkan rata-rata nasional. Daerah yang menetapkan tarif pajak di atas rata-rata tarif pajak tempat, tidak diberi sanksi dengan pengurangan dana perimbangan. Sementara yang menerapkan tarif di bawah rata-rata, diberi insentif kenaikan dana perimbangan yang diterimanya. 
Demikian pula, keuangan intra pemerintahan tidak seharusnya mengandung kompleksitas yang tidak perlu. Di semua negara, kompleksitas hunbungan fiskal antar pemerintahan tidak dapat dihindari dan biasanya tidak membuat puas bagi pihak-pihak yang terkait. Jika apa yang dilaksanakan sentra yakni mesukseskan suatu tujuan khusus, dilaksanakan tanpa memperbesar kerumitan atas keuangan intra-pemerintahan. Bilamana mungkin, transfer eksklusif ke kalangan masyarakat miskin lebih baik daripada transfer tidak langsung melalui kawasan.
Kebijakan keuangan intra pemerintah, jadinya perlu dirancang lebih cermat. Devas (1988) mengemukakan tujuh patokan dasar yang perlu diperhitungkan ialah: simplicity (kesederhanaan, formula alokasi gampang dikenali), adequacy (cukup untuk membiayai keperluan dasar tempat), elasticity (beradaptasi terhadap inflasi, dll), stability and predictability (jumlah alokasi relatif stabil dan gampang diprediksi), equity (bagian pemerataan daerah), economic efficiency (menjamin efisiensi penggunaan dana), serta decentralization and local accountability (menjamin otonomi kawasan dan akuntabilitas lokal) (Pratikno, 2002:61). Kriteria serupa ditegaskan oleh Shah (1994) yang mengemukakan sejumlah kriteri dasar yang perlu dipertimbangkan dalam merancang transfer keuangan intra-pemerintahan adalah: autonomy, revenue adequacy, equity, predictability, efficiency (neutrality), simplicity, incentive, and safeguard of grantor’s objectives (Shah, 1994:30).
Disamping PAD dan DAU/DAK dari Pemerintah Pusat, sumber dana pemerintah setempat/daerah lainnya yang potensial yakni “sumbangan kawasan” (local borrowing). Berdasarkan undang-undang, tempat diberikan kewenangan melaksanakan perlindungan. Baik itu pinjaman pada sentra, bank komersial, dan institusi keuangan yang lain. Termasuk melaksanakan perlindungan ke luar negeri. Akan namun lewat peraturan No.107/2000, kewenangan ini oleh pusat dikelola sangat ketat sekali yang pada kesudahannya justru mempersulit kemungkinan pemerintah setempat/daerah untuk melaksanakan pertolongan. 
Larangan pemerintah setempat/tempat untuk melakukan dukungan ini, mampu menjadikan keadaan kurang mendukung bagi percepatan perbaikan kinerja pemerintah lokal/tempat. Bahkan ialah bentuk patronase usang untuk melindungi kinerja pemerintah lokal/tempat yang tidak efektif. Seperti dikemukakan Bird dan Vaillancourt (2000): “Pemberlakuan batasan utang untuk mencegah kesalahan fiskal pada pemda mampu berakibat buruk. Karena dapat membendung terjadinya bimbang pasar secara alamiah. Kreditur memiliki peluang pemerintah, dapat memiliki kesanggupan dan motivasi untuk menciptakan evaluasi kemungkinan risiko pada uangnya. 
Dari perspektif ini, kekalutan atas keteledoran pemerintah lokal/tempat yang dapat menyebabkan mereka terjebak dalam posisi sukar, merupakan acuan lain dari paternalisme yang tidak sempurna atau keliru, yang biasa terjadi pada pemerintah sentra dalam menghadapi kemungkinan tidak enaknya kehilangan kontrol akhir desentralisasi. Pemerintah setempat/kawasan sukar berkinerja dengan baik jikalau mereka senantiasa diamankan dari kemungkinan berbuat salah dengan memberlakukan batasan yang sembarang atau jika mereka percaya bahwa pusat selalu siap menunjukkan perlindungan. Jika sentra ingin menghidari permasalahan, dapat dijalankan dengan tidak memberikan subsidi atas utang pemerintah lokal/kawasan dan merelakannya dililit utang terlalu banyak dan bangkrut seperti terjadi di Maroko” (Bird dan Vaillancourt, 2000:10).
Ilustrasi di atas tersebut, mengambarkan adanya sejumlah duduk perkara krusial yang ditengarai telah menjadi faktor penting guna mendorong otonomi seolah-olah identik dengan automoney. Meningkatkan PAD dengan cara memperbesar jenis dan mengembangkan tarif pajak/retribusi. Munculnya banyak sekali konflik perebutan sumber pendapatan antar pemerintahan. Seperti kengototan sejumlah Pemkab/Pemkot untuk menerima bagi hasil lebih besar dari pajak kendaraan bermotor.