Dalam sejarah insan mendambakan dunia yang kondusif, tenang, dan makmur. Setiap berakhirnya perang besar, dijalankan usaha-perjuangan untuk mencegah terjadinya perang baru. Liga Bangsa-bangsa diresmikan sesudah Perang Dunia I, untuk menjaga perdamaian. Akan namun, situasi damai di Eropa cuma bertahan selama 20 tahun, lalu disusul oleh perang yang lebih dahsyat lagi yakni Perang Dunia II.
Di luar Eropa malahan sudah lebih dahulu terjadi pertempuran dan sengketa bersenjata lainnya. Setelah Perang Dunia II final didirikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun perang tidak pernah sukses dihapus. Selama dua dasawarsa terakhir saja lebih dari 80 negara terlibat dalam peperangan dan kekerasan militer lainnya, di antaranya 58 negara di dunia ketiga (negara sedang berkembang/miskin) dengan perincian 29 negara tersebut terlibat dalam perang saudara (Civil War) dan 24 negara dalam perang antarnegara (mirip Burkina Faso – Mali 1983; Etiopia – Somalia-1988; Equador – Peru 1981-1986; Iran – Irak 1980 1978; Irak – Kuwait 1990; Libya – Tunisia 1980; Syria – Libanon-1977 1991). Malahan pada saat ini masih-1976; Kampuchea – Vietnam 1979 berkecamuk perang di Kamboja, Konggo; Somali, Sudan, Bosnia. Belum lagi gerakan-gerakan terorisme Internasional dan bentuk-bentuk sengketa bersenjata dalam negeri lainnya, bahkan juga di negara industri maju, mirip di Irlandia Utara, daerah Basque.
Mengutip Ivan S. Block (The Future War) yang menulis bahwa antara tahun 1496 SM sampai tahun 1861 SM, sebuah kurun waktu selama 3357 tahun terdapat 227 tahun damai dan 3130 tahun perang. Dengan kata lain, untuk setiap 1 tahun hening terdapat 13 tahun perang. Melihat sejarah manusia itu dapat ditarik kesimpulan bahwa sejarah manusia yaitu sejarah kekerasan bersenjata. Bahwa perang adalah keadaan yang normal dan kondisi hening malah menjadi kondisi yang tidak normal. Situasi tenang hanya berjalan selama terdapat sebuah tata dunia yang cukup tegar dan efektif untuk menangkal perang, seperti misalnya kesanggupan menawarkan ganjaran setimpal atau lebih keras terhadap negara/ kekuatan yang melakukan perang/kekerasan militer.Menurut Quincy Wright (1941) dalam bukunya A Study of War Volume 1, menyatakan, penyebab perang (The Problem of War), yakni berikut ini.
1. Dunia yang mengerut (The Shrinking of the world)
Diakibatkan oleh perkembangan teknologi transportasi. Komunikasi antarmanusia menjadi lebih singkat dan manusia menjadi saling tergantung dalam bidang-bidang ekonomi, budaya serta politik. Orang menjadi lebih siaga menghadapi perang dan mudah terpengaruh akan adanya peperangan.
2. Percepatan jalannya sejarah (The acceleration of history)
Kemajuan ilmu wawasan teknologi telekomunikasi menjadikan pandangan baru dan pertimbangan umum/opini mempercepat pergantian sosial.
3. Pembaruan persenjataan angkatan perang (The progress of military invention)
Akibat perkembangan teknik persenjataan, perang menjadi total target penghancuran tidak hanya instalasi militer, tetapi semua yang ada di daerah negara.
4. Peningkatan demokrasi (The rise of democracy)
Peningkatan komunikasi, kecerdasan manusia, dan kriteria hidup menimbulkan kesadaran berbangsa dan bernegara meningkat.
Dalam kajian sejarah, pertentangan/peperangan banyak dipicu oleh masalah-dilema perekonomian dan klaim teritorial, yang berkembang ke persoalan-duduk perkara yang lebih luas. Henry E. Eccles membuat Spektrum konflik. Spektrum pertentangan yang bersifat dapat dikendalikan atau 14 bersifat tidak-10. Dari nomor 11-terkendali, yaitu dari nomor 1 11, dikatakan tenang secara teknis,-terkendali. Kedudukan/status antara 1 14,-14, dinamakan perang panas, 4-10 dinamakan perang dingin, 9-6 perang ekonomi.
8-5 tenang relatif, 6-2, dibilang damai adikara, 3-Kondisi umum 1 14 perang tak-11, perang terbatas, dan 12-peningkatan ketegangan, 9 terbatas.
A. BENTUK-BENTUK PERSENGKETAAN
Persengketaan mampu kita lihat dari dua sudut pandang, yakni persengketaan yang terjadi antarbangsa dari persengketaan yang terjadi di dalam negeri.
1. Persengketaan Antarbangsa
Tiap-tiap bangsa di dunia memiliki sebuah perangkat kepentingan nasional, kebudayaan, dan penangkapan/perasaan persepsi kepada problem yang dihadapi. 2. Persengketaan di Dalam Satu Bangsa/Negara
Di dalam interaksi sosial antara orang perorangan, perorangan dengan penduduk lingkungannya maupun antara golongan masyarakat itu sendiri bertemu beragam kepentingan, kebudayaan, persepsi atau usulan. Perbedaan atau pertentangan pendapat mampu menyebabkan persengketaan, kalau perbedaan atau kontradiksi tersebut menimbulkan pihak-pihak yang terlibat tidak mampu mendapatkan kondisi lingkungan tempat mereka berada.
Perbedaan atau pertentangan yang bersifat tidak mendasar dapat diatasi lewat obrolan, diskusi, pelatihan atau musyawarah untuk meraih mufakat atau setidak-tidaknya konsensus, sebagai usaha meniadakan atau menjinakkan maupun meredakan persengketaan. Apabila solusi perbedaan/pertentangan dengan cara ini menemui jalan buntu maka diadakan usaha-perjuangan penyelesaian lewat saluran hukum.
Perbedaan atau kontradiksi kepentingan yang bersifat lebih fundamental yang pada umumnya menyangkut dasar negara, bentuk negara, dan tujuan negara, umumnya sulit dipertemukan. Persengketaan tentang hal ini dapat berlangsung tanpa kekerasan, misalnya gerakan “swadeshi” almarhum Mahatma Gandhi di India. Namun, adakalanya persengketaan wacana dasar negara, bentuk negara, dan tujuan negara terpaksa mesti diatasi dengan kekerasan senjata, contohnya Gerakan PKI Muso, gerakan DI TII,
B. HAKIKAT PERANG DAN PERANG DEWASA INI
1. Hakikat Perang
Perang berdasarkan Clausewitz adalah suatu kelanjutan dari politik dengan cara-cara lain; pada hakikatnya perang ialah pertarungan antara dua kekuatan atau lebih yang saling berlawanan dengan memakai kekerasan bersenjata. Perang pada cukup umur ini tidak lagi ialah problem bagi pimpinan dan andal-hebat perang saja, namun sudah menjadi dilema seluruh rakyat, bahkan juga menyangkut kepentingan seluruh umat manusia. Adapun sebab-sebabnya yaitu berikut ini.
a. Perubahan dalam metode nilai dan watak.
b. Perkembangan teknologi perang dengan ditemukannya senjata-senjata canggih.
c. Tumbuhnya kesadaran nasional dan demokrasi.
d. Perkembangan teknologi dan ilmu wawasan yang pesat, mempererat korelasi antarbangsa tanpa batas.
e. Pengalaman-pengalaman pada periode lampau selaku balasan pertempuran.
Sejarah telah menerangkan bahwa kalau “sebuah negara ingin hidup hening maka ia mesti menyiapkan diri untuk berperang” (sivis pacem para bellum). Kesiapan untuk berperang mampu merupakan faktor pencegah (deterrent factor) terhadap usaha perang atau impian untuk berperang dari negara lain. Hal inilah yang mendorong adanya desain keseimbangan kekuasaan (balance of power). Konsep keseimbangan kekuasaan sering ialah dasar dari pembentukan aliansi-aliansi militer.
1. Masalah internal dan yurisdiksi dalam negeri: prinsip inti dalam hubungan internasional.
2. Prinsip “Masalah dalam Negeri” Mengalami Erosi
Sumber dan pola eskalasi bahaya
Ancaman yang dihadapi bangsa Indonesia:
1) Subversi dan Pemberontakan Dalam Negeri
2) Invasi dan subversi dari mancanegara
C. PERANG PEMBEBASAN NASIONAL
Perang pembebasan nasional ditimbulkan dan meningkat lewat kegiatan pemberontakan yang pada tingkatnya didahului oleh tindakan subversi.
Pengantar Sistem Pertahanan Keamanan Negara Indonesia
A. SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA, KHUSUSNYA DI BIDANG PERTAHANAN-KEAMANAN SEJAK TAHUN 1945
Penentuan tata cara Pertahanan-Keamanan suatu negara dikerjakan berdasarkan 3 kemungkinan/cara berikut ini.
1. Peniruan dari sistem pertahanan keselamatan bangsa lain. Cara ini lazimnya dilakukan oleh negara-negara yang menerima kemerdekaannya dari negara-negara yang telah menjajahnya dan hal ini mungkin kurang sesuai dengan suasana dan keadaan negara-negara yang bersangkutan
2. Pemilihan secara kebetulan dengan kemungkinan-kemungkinan kurang sesuai dengan kondisi bahwasanya dari negara dan bangsa yang memilihnya.
3. Usaha sebuah bangsa di bidang pertahanan keamanan menurut falsafah, identitas, kondisi lingkungan, dan kemungkinan-kemungkinan keadaan yang mengancam keselamatan dan kelancaran hidup bangsa tersebut. Penentuan tata cara ini yang mampu dikatakan yang paling sempurna sebab disesuaikan dengan situasi dan keadaan bangsa yang bersangkutan.
1. Pengalaman mengatasi bahaya dari luar atau yang lazim disebut dengan invasi, adalah ancaman dari pihak Belanda yang ingin menjajah Indonesia kembali. Pengalaman itu diperoleh dari dua abad waktu.
a. 1947-Kurun waktu 1945
Oktober 1945 berdasarkan Civil Affair Agreement,-Pada bulan September Tentara Pendudukan Sekutu (Inggris) mendaratkan pasukan-pasukannya di kota-kota besar di seluruh Indonesia (Banjarmasin, Ujung Pandang, Bandung, Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan).
Tugas pendudukan tentara sekutu tersebut adalah:
1) Melucuti bala serdadu Jepang yang telah kalah perang dan telah mengalah.
2) Mengurus pengembalian tawanan perang sekutu yang ditawan oleh serdadu Jepang (RAPWI = Repatriation Allied Prisoners of War and Interness).
3) Mengamankan pelaksanaan kedua peran tersebut.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda untuk menyelundupkan komponen-unsur alat penjajah Belanda (NICA: Netherland Indies Civiel Affrairs) dan karenanya mendapatkan perlawanan patriotis dari bangsa Indonesia.
b. 1949-Kurun waktu 1948
Dengan adanya persetujuan Renville maka sekali lagi pihak Belanda mendapat kesempatan untuk berkonsolidasi dan menyusun kembali kekuatannya. Berdasarkan pengalaman pada serangan Belanda yang kemudian maka Indonesia pun mengadakan antisipasi-persiapan menghadapi segala kemungkinan, antara lain disusun kesatuan-kesatuan mobil dan kesatuan-kesatuan teritorial. Di samping itu dikeluarkanlah Perintah Siasat No. 1 oleh Panglima Besar RI (Jenderal Sudirman) pada tanggal 9 November 1948, yang isinya seperti berikut.
1) Perlawanan tidak secara linier.
2) Adakan bumi hangus.
3) Pembentukan perlawanan dan pemerintahan gerilya.
Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda menyelenggarakan serangan terhadap ibu kota RI yang berikutnya kita kenal dengan Perang Kemerdekaan II. Belanda berhasil menduduki Yogyakarta dan menawan presiden, wakil presiden, dan beberapa menteri. Setelah itu dilaksanakan perlawananan melalui Serangan Umum. Sasaran-target yang telah dicapai di dalam Serangan Umum ini yaitu berikut ini.
1) Politik, memberi perlindungan yang berpengaruh terhadap diplomasi RI di Dewan Keamanan PBB/dunia internasional.
2) Militer, mengakibatkan kerugian/mematahkan budbahasa pasukan Belanda.
3) Psikologi, rakyat tempat-daerah lain yang berjuang merasa bahwa ibu kota RI masih tetap dipertahankan sehingga menunjukkan semangat yang lebih tinggi terhadap semua pasukan.
2. Pengalaman mengatasi bahaya dari dalam, yang dapat berwujud pemberontakan atau subversi.
Jenis ancaman ini diawali dengan pemberontakan PKI/Muso atau Peristiwa Madiun tanggal 18 September 1948 pada waktu Indonesia sedang menghadapi Belanda. Kemudian menyusul peristiwa Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada tahun 1949 di bawah pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat, Kahar Muzakar (1958) di Sulawesi Selatan dan Daud Beureuh di Aceh (1952), kejadian Andi Azis di Ujung Pandang, Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon/Seram. Selanjutnya, Pemerintah Revolusioner RI/Perjuangan Semesta (PRRI di Sumatera dan Permesta di Sulawesi tahun 1957), dan Pemberontakan G 30 S/PKI (1965).
3. Pelajaran-pelajaran yang mampu ditarik dari pengalaman-pengalaman usaha bersenjata.
a. Keteguhan hati rakyat untuk mempertahankan negara dan bangsa serta melawan lawan di mana-mana.
b. Kemampuan angkatan bersenjata untuk melaksanakan perang konvensional (sesuai dengan konvensi Jenewa) dan tidak kontroversial serta kemampuan memakai kondisi daerah selaku medan sebaik mungkin.
c. Persatuan dan kerja sama yang seerat-eratnya antara rakyat dan angkatan bersenjata yang sekarang kita kenal dengan manunggalnya ABRI dan rakyat.
d. Kepemimpinan yang ulet dan tahan uji di semua tingkatan, yang mahir memberi ide serta sekaligus ahli mengurus sumber-sumber kekuatan.
B. FAKTOR LINGKUNGAN YANG MEMPENGARUHI SISTEM PERTAHANAN-KEAMANAN
Faktor-faktor tetap yang mensugesti suatu tata cara pertahanan-keselamatan yaitu faktor lingkungan yang terdiri dari faktor geografi, sumber alam, dan demografi.
C. HAKIKAT, DASAR, TUJUAN, DAN FUNGSI PERTAHANAN NEGARA RI
Hakikat pertahanan negara yaitu segala upaya pertahanan bersifat semesta, yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta iktikad pada kekuatan sendiri.
Penyelenggaraan Pertahanan dan Keamanan Negara menurut prinsip-prinsip seperti berikut.
1. Bangsa Indonesia berhak dan wajib membela serta mempertahankan kemerdekaan negara.
2. Bahwa upaya pembelaan negara tersebut merupakan tanggung jawab dan kehormatan setiap warga negara yang dilandasi asas:
a. dogma akan kekuatan dan kemampuan sendiri;
b. kepercayaan akan kemenangan dan tidak kenal menyerah (keuletan);
c. tidak mengandalkan perlindungan atau perlindungan negara atau kekuatan aneh.
3. Pertentangan yang timbul antara Indonesia dengan bangsa lain akan senantiasa diusahakan dengan cara-cara tenang. Perang yakni jalan terakhir yang dikerjakan dalam kondisi terpaksa.
4. Pertahanan dan keselamatan keluar bersifat defensif-aktif yang mengandung pemahaman tidak garang dan tidak ekspansif. Ke dalam bersifat preventif-aktif yang mengandung pengertian sedini mungkin mengambil langkah dan tindakan guna menangkal dan mengatasi setiap kemungkinan timbulnya bahaya.
5. Bentuk perlawanan rakyat Indonesia dalam membela serta menjaga kemerdekaan bersifat kerakyatan dan kesemestaan.
Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata)
Sishankamrata yakni suatu metode pertahanan dan keamanan yang komponennya berisikan seluruh potensi, kemampuan, dan kekuatan nasional untuk merealisasikan kesanggupan dalam upaya pertahanan dan keselamatan negara (tujuan Hankamneg) dalam mencapai tujuan nasional.
Sishankamrata bersifat semesta dalam desain, semesta dalam ruang lingkup dan semesta dalam pelaksanaannya. Komponen kekuatannya terdiri dari berikut ini.
1. Komponen dasar, ialah rakyat terlatih.
2. Komponen utama, yaitu ABRI dan cadangan Tentara Nasional Indonesia.
3. Komponen Perlindungan Masyarakat (Linmas).
4. Komponen penunjang, ialah sumber daya dan prasarana nasional.
Pengalaman penyelenggaraan hankam menghasilkan berbagai dogma pertahanan dan keselamatan, yakni iman perang gerilya rakyat semesta, keyakinan perang wilayah, dogma perang rakyat semesta dan dogma pertahanan dan keselamatan rakyat semesta.
Sasaran operasi Hankamnas, yaitu menghalangi dan merusak serangan terbuka, menjamin penguasaan dan training kawasan nasional RI dan berpartisipasi memelihara kemampuan hankam Asia Tenggara bebas dari campur tangan asing.
Pola operasi Hankamrata, yaitu operasi pertahanan, operasi keselamatan dalam negeri, operasi intelijen strategis dan teladan operasi kerja sama pertahanan dan keamanan Asia Tenggara. Pola operasi pertahanan bertujuan untuk menggagalkan serangan dan ancaman aktual dari kekuatan perang lawan. Pola operasi keamanan dalam negeri bertujuan untuk memelihara atau mengembalikan kekuatan pemerintah/negara RI pada salah satu atau beberapa tempat (bab kawasan) negara yang terganggu keamanannya.
Pola operasi intelijen strategis (Intelstrat) bertujuan untuk memperoleh informasi yang diharapkan dalam pelaksanaan seni manajemen nasional dan operasi-operasi Hankam, menghancurkan sumber-sumber infiltrasi, subversi, dan spionase yang terdapat di kawasan lawan, dan menyelenggarakan perang urat syaraf dan aktivitas-acara tertutup lainnya untuk merealisasikan keadaan-kondisi strategis yang menguntungkan.
Pola operasi kolaborasi, yaitu perjuangan bareng kemungkinan gangguan keselamatan stabilitas nasional dan perdamaian terutama di Asia Tenggara.
Upaya Penyelenggaraan Bela Negara dalam Kerangka Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta
Kelangsungan hidup bangsa dan negara (national survival) merupakan tanggung jawab (hak, keharusan, dan kehormatan) setiap warga negara dan bangsa. Untuk itu, diperlukan pelatihan kesadaran, dan partisipasi setiap warga negara dalam upaya bela negara.
Persepsi perihal bela negara dihadapkan terhadap tantangan/bahaya yang dihadapi secara kontekstual dalam masa waktu tertentu. Pada abad 1949 bela negara dipersepsikan identik dengan perang-tahun 1945 kemerdekaan. Hal ini memiliki arti bahwa wujud partisipasi warga negara dalam pembelaan negara ialah keikutsertaan dalam perang kemerdekaan baik secara bersenjata maupun tidak bersenjata.
1965, bela negara dipersepsikan identik dengan upaya-Pada kurun 1950 pertahanan dan keselamatan yang dijalankan lewat bagian-bagian hankam, seperti ABRI, HANSIP, PERLA SUKWAN/ SUKWATI. Hal ini sejalan dengan kondisi tantangan dan ancaman yang kita hadapi pada kurun itu, yakni menghadapi pemberontakan di dalam negeri, pertempuran Trikora, membebaskan Irian Barat (kini Irian Jaya) dan Dwikora.
Pada kala Orde Baru ATHG yang dihadapi lebih kompleks dan lebih luas ketimbang kurun sebelumnya. ATHG tersebut mampu muncul dari segenap aspek kehidupan bangsa (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam). Oleh alasannya itu, dalam konteks ini bela negara mampu dilaksanakan dalam bidang-bidang kehidupan nasional tersebut dalam upaya meraih tujuan nasional. Untuk itu, dikembangkan konsepsi tannas. Dalam hal ini, bela negara dapat dibilang pula sebagai partisipasi warga negara dalam membuat dan membangun tannas di segenap aspek kehidupan bangsa.
Upaya bela negara sebagaimana dipersepsikan ialah pemahaman atau penafsiran yang cukup luas (segala faktor kehidupan bangsa). Dalam pengertian yang lebih sempit diartikan selaku upaya pertahanan dan keselamatan yang dilandasi oleh dasar negara Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 30 ayat (1) dan (2)) dan UU No. 20 Tahun 1982 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara disempurnakan dengan UU No. 3 Tahun 2000 ihwal Pertahanan Negara
Wujud upaya bela negara dikerjakan melalui pemberian kesadaran bela negara yang dikerjakan sejak dini di sekolah dasar dan berlanjut hingga perguruan tinggi tinggi dan di luar sekolah lewat kegiatan pramuka dan organisasi sosial kemasyarakatan.
Di sekolah dilakukan lewat Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN), yang diintegrasikan ke dalam kurikulum; Pendidikan dasar dan menengah, sedangkan di pendidikan tinggi diwujudkan dalam mata kuliah Kewiraan (kini Kewarganegaraan). Di luar Pendidikan Pendahuluan Bela Negara wujud bela negara dibakukan dalam bentuk Rakyat Terlatih, ABRI, Cadangan ABRI, dan Perlindungan Masyarakat (Linmas) yang ialah komponen khusus dalam Pertahanan dan Keamanan Negara.
Politik serta Strategi Pertahanan dan Keamanan
Dwi fungsi ABRI mengandung pengertian bahwa ABRI mengemban dua fungsi, yaitu fungsi selaku kekuatan Hankam dan fungsi selaku kekuatan sosial politik.
Fungsi selaku kekuatan sosial politik hakikatnya yaitu tekad dan semangat pengabdian ABRI untuk ikut secara aktif berperan serta bersama-sama dengan segenap kekuatan sosial politik yang lain memikul tugas dan tanggung jawab usaha bangsa Indonesia dalam mengisi kemerdekaan dan kedaulatannya.
Tujuannya yaitu untuk mewujudkan stabilitas nasional yang mantap dan dinamik di segenap faktor kehidupan bangsa dalam rangka memantapkan tannas untuk mewujudkan tujuan nasional berdasarkan Pancasila.
Lahirnya ABRI selaku kekuatan sosial politik di Indonesia berangkat dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia merebut kemerdekaan dan menjaga kemerdekaan RI. Pengalaman sejarah itu menimbulkan bagaimana ABRI memandang dirinya yaitu selaku alat revolusi dan alat negara, juga sebagai pejuang yang terpanggil untuk menunjukkan jasanya terhadap semua aspek kehidupan dan pembangunan bangsa. Keterlibatannya dalam memerankan fungsi sosial politik ini, didorong oleh keadaan internal (ABRI) dan keadaan eksternal tergolong lingkungan strategik internasional.
1949 (Agresi Militer Belanda II) pemimpin-pemimpin-Pada tahun 1948 politik ditangkap Belanda, peran ABRI menjadi meningkat. Pada tahun 1959 saat pemimpin politik sipil juga tidak mampu menanggulangi-1957 pemberontakan tempat, ABRI tampil menyelamatkan negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada dikala pemberontakan G 30 S/PKI di mana kepemimpinan sipil gagal menyelamatkan Pancasila dari rongrongan Partai Komunis, lagi-lagi ABRI tampil di depan menyelamatkan Republik ini. Secara historis dan budaya dwi fungsi ABRI mampu diterima oleh rakyat Indonesia kendatipun harus disesuaikan dengan pertumbuhan penduduk .
Peran serta politik tersebut semakin besar sehabis penumpasan G 30 S/PKI sehingga memungkinkan ABRI turut menentukan kecerdikan nasional dalam pembangunan. Hal itu ditunjukkan oleh masuknya para perwira ABRI ke dalam banyak sekali bidang; forum pemerintahan, forum legislatif, lembaga ekonomi kemasyarakatan. Meskipun demikian tidak bermakna militer mengambil alih peranan sipil. Perluasan peran lazimnya pada posisi-posisi kunci dengan cara penempatan (kekaryaan) dan yang diminta oleh lembaga instansi terkait, serta dengan mengamati pertumbuhan pembangunan dan kehidupan bangsa.
Luasnya penempatan personil militer tersebut pada instansi/forum pemerintahan dan lembaga penduduk menyebabkan silang usulan yang menuntut perlunya aktualisasi dwi fungsi ABRI (fungsi sospol) di abad depan.
Aktualisasi dwi fungsi ABRI di kala depan ini akan efektif apabila ada keseimbangan kepentingan, yakni keharmonisan antara kepentingan militer dan kepentingan sipil. Konsensus selalu mampu dibentuk atas dasar tidak satu pun pihak boleh mendominasi pihak yang lain. Kecurigaan kepada kelompok lain harus dikesampingkan, kearifan mesti ditumbuhkan biar pertentangan internal ihwal hal ini tidak merebak menjadi perpecahan yang mengganggu tannas.
Runtuhnya rezim orde baru diganti dengan orde reformasi mengeliminasi tugas Tentara Nasional Indonesia (militer) dalam negara secara bertahap. TNI dibutuhkan menjadi kekuatan, pertahanan yang profesional sebagaimana layaknya kekuatan pertahanan di negara-negara yang telah maju untuk itu segala keperluannya harus disokong oleh pemerintah dan pengelolaan yang profesional.