Ayat Perihal Kemenangan

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّـيْطٰنِ الرَّجِيْمِ
بسم الله الرحمن الرحيم
.
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ﴿١﴾وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا﴿٢﴾فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا﴿٣﴾
Artinya:
Apabila Telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
Dan kamu lihat insan masuk agama Allah dengan berbondong-bondong,
Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya dia yakni Maha Penerima taubat.‎
Surat an-Nashr, dikenal juga dengan istilah surat at-Taudi’ (perpisahan). Surat yang berjumlah tiga ayat ini disepakati oleh para ulama sebagai madaniyyah. Maksudnya, turun setelah insiden hijrah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah, dan tergolong surat yang terakhir diturunkan. 
Dalilnya ialah:
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ قَالَ قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ تَعْلَمُ ( وفي لفظ: تَدْرِي ) آخِرَ سُورَةٍ نَزَلَتْ مِنْ الْقُرْآنِ نَزَلَتْ جَمِيعًا قُلْتُ : نَعَمْ . إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ قَالَ صَدَقْتَ
Dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah, beliau berkata : Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma mengajukan pertanyaan kepadaku: “Engkau tahu surat terakhir dari al Qur`an yang turun secara keseluruhan?” Ia menjawab: “Ya, idza ja`a nashrullahi wal fath”. Beliau menjawab: “Engkau benar”.
Secara pasti, terdapat silang usulan di kelompok ulama tafsir. Ibnu Rajab rahimahullah menyimpulkan bahwa surat ini turun sebelum Fathu Makkah. Karena firman Allah :
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ
Menunjukkan dengan sangat terperinci bila penaklukan kota Mekkah belum terjadi.
PENJELASAN AYAT
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ
1. (Apabila sudah tiba bantuan Allah dan kemenangan).
Kata nashr, artinya al ‘aun (bantuan).
Yang dimaksud dengan nashrullah dalam ayat ini, berdasarkan Ibnu Rajab rahimahullah adalah pemberian-Nya bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berhadapan dengan musuh-musuhnya, sehingga berhasil dia menundukkan bangsa ‘Arab seluruhnya dan berkuasa atas mereka, tergolong atas suku Quraisy, Hawazin dan suku-suku lainnya. 
Secara eksplisit, surat ini memuat bisyarah (kabar besar hati) bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin. Syaikh ‘Abdur-Rahman as-Sa’di rahimahullah berkata,”Dalam surat ini terdapat bisyarah dan perintah terhadap Rasul-Nya n pada dikala kemunculannya. Kabar besar hati ini berupa bantuan Allah bagi Rasul-Nya dan kejadian penaklukan kota Mekkah dan masuknya orang-orang ke agama Allah lSubhanahu wa Ta’ala dengan berbondong-bondong.”
Dalam menjelaskan pemahaman ayat di atas, Syaikh Abu Bakr al Jazairi mengungkapkan: “Jika telah tiba pemberian Allah bagimu wahai Muhammad, hingga engkau berhasil mengalahkan para musuhmu di setiap peperangan yang engkau jalani, dan tiba anugerah penaklukkan, ialah penaklukan kota Mekkah, Allah membukanya bagi dirimu, sehingga menjadi kawasan Islam, yang sebelumnya merupakan tempat kekufuran”.
Adapun pengertian al fathu pada surat ini ialah fathu Makkah. Yakni penaklukan kota suci Mekkah. Ibnu Katsir rahimahullah berkata,”Yang dimaksud dengan al fathu yakni fathu Makkah. (Ini ialah) suatu usulan yang sudah lingkaran.” 
Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath Thabari rahimahullah, Imam Ibnul Jauzi rahimahullah dan Imam al Qurthubi rahimahullah juga menegaskan pertimbangan senada.
Yang dimaksud dengan Fath dalam ayat ini ialah Fathul Makkah (penaklukan kota Makkah, tahun 8 H), berdasarkan satu pendapat. Pembesar Arab mereka begitu besar hati dengan keislaman mereka saat Fathul Makkah. Mereka menyampaikan, “Jika seseorang meraih kemenangan ketika Fathul Makkah, maka mempunyai arti ia adalah seorang Nabi.” Lantas dikala itu pun banyak yang masuk Islam. Selama dua tahun, nyaris seluruh jazirah Arab beriman. Tidak tersisa di beberapa kabilah Arab kecuali mereka pun masuk Islam. Alhamdulillah atas anugerah yang besar ini.
وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا
2. (Dan kau lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong).
Disebutkan dalam Shahihul-Bukhari, dari ‘Amr bin Salimah, beliau berkata:
وَكَانَتْ الْعَرَبُ تَلَوَّمُ بِإِسْلَامِهِمْ الْفَتْحَ فَيَقُولُونَ اتْرُكُوهُ وَقَوْمَهُ فَإِنَّهُ إِنْ ظَهَرَ عَلَيْهِمْ فَهُوَ نَبِيٌّ صَادِقٌ فَلَمَّا كَانَتْ وَقْعَةُ أَهْلِ الْفَتْحِ بَادَرَ كُلُّ قَوْمٍ بِإِسْلَامِهِمْ وَبَدَرَ أَبِي قَوْمِي بِإِسْلَامِهِمْ
(Dahulu) bangsa Arab menanti-nunggu al Fathu (penaklukan kota Mekah) untuk memeluk Islam. Mereka berkata: “Biarkanlah dia (Rasulullah) dan kaumnya. Jika dia menang atas mereka, bermakna beliau memang seorang nabi yang jujur”. Ketika telah terjadi penaklukan kota Mekkah, setiap kaum bersegera memeluk Islam, dan ayahku menyegerakan keIslaman kaumnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Menurut Imam al Qurthubi, insiden tersebut terjadi saat kota Mekkah sukses dikuasi.
Bangsa Arab berkata: “Bila Muhammad sukses mengalahkan para masyarakatkota suci (Mekkah), padahal dulu mereka dilindungi oleh Allah dari pasukan Gajah, maka tidak ada kekuatan bagi kalian (untuk menahannya). Maka mereka pun memeluk Islam secara berbondong-bondong”.
Tidak berlawanan dengan keterangan itu, Ibnu Katsir rahimahullah juga memberi klarifikasi: “Saat terjadi kejadian penaklukan Mekkah, orang-orang memeluk agama Allah secara berbondong-bondong. Belum melalui dua tahun, Jazirah Arab telah tersirami oleh keimanan dan tidak ada simbol di seluruh suku Arab, kecuali simbol Islam. Walillahil-Hamdu wal minnah”.
Ayat ini juga pertanda, bahwa kemenangan akan terus berlangsung bagi agama ini dan akan semakin bertambah ketika dilantunkannya tasbih, tahmid dan istighfar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini ialah bentuk syukur. Faktanya yang kemudian mampu kita jumpai pada era khulafaur-rasyidin dan generasi sesudah mereka.
Pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala itu akan berjalan terus-menerus hingga Islam masuk ke daerah yang belum pernah dirambah oleh agama lainnya. Dan ada kaum yang masuk Islam, tanpa pernah ada yang masuk ke agama lainnya. Sampai jadinya dijumpai adanya pelanggaran pada umat ini kepada perintah Allah, sehingga mereka dilanda bencana, yakni berupa perpecahan dan terkoyaknya keutuhan mereka.
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
3. (Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia ialah Maha Menerima taubat).
Imam al Qurthubi rahimahullah menurutkan penafsirannya: “Jika engkau shalat, maka perbanyaklah dengan cara memuji-Nya atas limpahan kemenangan dan penaklukan kota Mekkah. Mintalah ampunan kepada Allah”. Inilah keterangan yang ia rajihkan.
.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ مَا صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةً بَعْدَ أَنْ نَزَلَتْ عَلَيْهِ إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ إِلَّا يَقُولُ فِيهَا سُبْحَانَكَ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: “Tidaklah Rasulullah n menjalankan shalat setelah turunnya surat ini, kecuali membaca Subhanaka Rabbana wa bihamdika Allahummaghfirli (Maha Suci Rabb kami dan pujian kepada-Mu, ya Allah ampunilah aku)”. 
Juga dari ayat ini disarankan dzikir “Subhanallah wa bi hamdihi astaghfirullah wa atuubu ilaih”. Dzikir ini sering dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum ia meninggal dunia. Terdapat riwayat,
عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُكْثِرُ مِنْ قَوْلِ « سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ ». قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَاكَ تُكْثِرُ مِنْ قَوْلِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ. فَقَالَ « خَبَّرَنِى رَبِّى أَنِّى سَأَرَى عَلاَمَةً فِى أُمَّتِى فَإِذَا رَأَيْتُهَا أَكْثَرْتُ مِنْ قَوْلِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ. فَقَدْ رَأَيْتُهَا (إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ) فَتْحُ مَكَّةَ ( وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِى دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا) ».
“Dari Masruq dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata, “Dahulu Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallammemperbanyak perkataan, ‘ Subhanallah wa bi hamdihi astaghfirullah wa atuubu ilaih (Mahasuci Allah dan dengan memujiNya, saya memohon ampunan kepada Allah dan aku bertaubat kepadaNya)’.” Aisyah berkata, “Lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya melihatmu memperbanyak perkataan,Subhanallah wa bi hamdihi astaghfirullah wa atuubu ilaih (Mahasuci Allah dan dengan memujiNya, saya memohon ampunan terhadap Allah dan bertaubat kepadaNya). Maka ia menjawab, ‘Rabbku telah mengabarkan kepadaku bahwa saya akan menyaksikan suatu tanda pada umatku, dikala aku melihatnya maka aku memperbanyak membaca,Subhanallah wa bi hamdihi astaghfirullah wa atuubu ilaih (Mahasuci Allah dan dengan memujiNya, saya memohon ampun terhadap Allah dan bertaubat kepadaNya)’. Maka sangat aku telah melihatnya, yakni (saat tunjangan Allah tiba dan pembukaanNya) yakni penaklukan kota Makkah, dan dan kamu telah melihat insan masuk ke dalam agama Allah secara berbondong-bondong, kemudian bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan memohon ampunlah, bahwasanya Dia Maha Pemberi taubat’.”” (HR. Muslim no. 484)
Sejumlah teman mengartikan ayat ini dengan berkata: “(Maksudnya) Allah menyuruh kami untuk memuji dan memohon ampunan terhadap-Nya, manakala perlindungan Allah telah tiba dan telah menaklukkan (daerah-kawasan) bagi kita”. Pernyataan ini muncul, saat ‘Umar bin al Khaththab Radhiyallahu ‘anhu mengarahkan pertanyaan kepada mereka perihal kandungan surat an-Nashr.
Ibnu Katsir rahimahullah mengomentari penjelasan ini dengan berkata: “Makna yang ditafsirkan oleh sebagian sobat yang duduk bersama Umar Radhiyallahu ‘anhum yaitu, bahwa kita diperintahkan untuk memuji Allah dan bersyukur terhadap-Nya ketika Dia sudah menaklukkan daerah Madain dan benteng-bentengnya, ialah dengan melaksanan shalat alasannya adalah-Nya dan memohon ampunan terhadap-Nya ialah pemahaman yang memikat lagi tepat. Terdapat bukti penguat, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalankan shalat delapan raka’at pada hari penaklukan kota Mekkah. Dalam Sunan Abu Daud termaktub bahwa dia mengucapkan salam pada setiap dua raka’at di hari penaklukan kota Mekkah. Demikianlah yang dikerjakan Sa’ad bin Abil Waqqash Radhiyallahu ‘anhu pada hari penaklukan kota Mada-in”.
إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
4. (Sesungguhnya Dia yaitu Maha Menerima taubat).
Maksudnya, Allah Maha menerima taubat orang-orang yang bertasbih dan memohon ampunan. Dia mengampuni, merahmati mereka dan menerima taubat mereka. Apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja yang telah ma’shum (terpelihara dari dosa-dosa) diperintahkan untuk beristighfar, maka bagaimanakah dengan orang lain?
ISYARAT LAIN DARI MAKNA KEMENANGAN
Selain makna yang sudah dikemukakan di atas, juga terdapat pemahaman lain yang terkandung dalam surat yang mulia ini.
Menurut Syaikh ‘Abdur-Rahman as-Sa’di rahimahullah, ayat ini menjadi instruksi mengenai (hadirnya) ajal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah erat dan nyaris tiba. Bahwa umur beliau adalah umur yang mulia, Allah bersumpah dengannya. Sudah menjadi kebiasaan pada perkara-perkara yang mulia ditutup dengan istighfar, contohnya shalat, haji dan ibadah yang lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Rasul-Nya untuk mengucapkan kebanggaan dan istighfar dalam keadaan mirip ini, sebagai isyarat tentang maut ia yang mau rampung. (Maksudnya), hendaknya dia bersiap-siap untuk menjumpai Rabbnya dan menutup usianya dengan amalan terbaik yang ada pada dia alaihis shalatu wassalam.
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah sendiri memberikan pandangannya perihal ayat ini. Beliau rahimahullah berkata, “Para ulama tafsir menyampaikan, telah disampaikan dan diberitahukan kabar wafat ia, dan sangat waktu akhir hayat dia telah akrab. Maka ditugaskan untuk bertasbih dan istighfar guna menutup usia dengan perhiasan amalan shalih.” 
Begitu pula yang disampaikan oleh Syaikh Abu Bakr al Jazairi: “Ayat ini menjinjing tanda dekatnya kematian bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” 
Imam al Bukhari rahimahullah dan lainnya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, beliau bercerita:
Dahulu ‘Umar memasukkan diriku bareng orang-orang renta yang ikut serta dalam perang Badar. Sepertinya sebagian mereka kurang menyukai kehadiranku. Ada yang berkata: “Kenapa (anak) ini masuk bersama kita. Padahal kita juga punya anak-anak seperti dia?”
‘Umar menjawab,”Sungguh, kalian mengetahui (siapa beliau),” maka sebuah hari ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu memanggilku dan memasukkanku bareng mereka. Tidaklah aku berpikir alasan dia mengundangku, selain ingin memperlihatkan kapasitasku terhadap mereka.
Beliau berkata (kepada orang-orang): “Apakah pendapat kalian wacana firman Allah:”idza ja`a nashrullahi wal fath”.
Mereka menjawab,”Allah memerintahkan kami untuk memuji dan memohon ampunan kepada-Nya manakala sumbangan Allah sudah datang dan sudah menaklukkan (daerah-kawasan) bagi kita.” Sebagian orang termangu (tidak menjawab). Kemudian ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu beralih kepadaku: “Apakah demikian pendapatmu, wahai Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma?”
Aku (Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma ) menjawab,”Tidak!”
‘Umar mengajukan pertanyaan,”Apa pendapatmu?”
Aku (Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma) menjawab,”Itu yakni (kabar perihal) maut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukannya kepada beliau. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “”idza ja`a nashrullahi wal fath”. Dalam kondisi seperti itu terdapat tanda ajalmu, maka bertasbihlah dan mintalah ampunan terhadap-Nya, bahu-membahu Dia Maha Menerima taubat.”
‘Umar Radhiyallahu ‘anhu berkomentar: “Tidaklah yang kuketahui darinya (surat itu), kecuali apa yang engkau sampaikan”.
Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Aisyah, ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ قَبْلَ أَنْ يَمُوتَ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هَذِهِ الْكَلِمَاتُ الَّتِي أَرَاكَ أَحْدَثْتَهَا تَقُولُهَا قَالَ جُعِلَتْ لِي عَلَامَةٌ فِي أُمَّتِي إِذَا رَأَيْتُهَا قُلْتُهَا إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ إِلَى آخِرِ السُّورَةِ
Sebelum wafat, Rasulullah memperbanyak ucapan Subhanaka wa bihamdika astaghfiruka wa atubu ilaik. Aisyah bertanya,”Wahai Rasulullah untuk apakah kata-kata yang aku menyaksikan engkau tidak biasa engkau ucapkan?” Beliau menjawab,”Telah ditetapkan bagiku suatu tanda pada umatku. Bila saya telah menyaksikannya, aku akan mengucapkannya (kata-kata tadi) : idza ja`a nashrullahi wal fath …dst.” 
Dalam riwayat lain:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ مِنْ قَوْلِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَاكَ تُكْثِرُ مِنْ قَوْلِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فَقَالَ خَبَّرَنِي رَبِّي أَنِّي سَأَرَى عَلَامَةً فِي أُمَّتِي فَإِذَا رَأَيْتُهَا أَكْثَرْتُ مِنْ قَوْلِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فَقَدْ رَأَيْتُهَا إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ فَتْحُ مَكَّةَ …
Rasulullah memperbanyak ucapan Subhanaka wa bihamdika astaghfiruka wa atubu ilaik. Maka saya bertanya: “Aku melihatmu memperbanyak ucapan Subhanaka wa bihamdika astaghfiruka wa atubu ilaik,” Beliau menjawab,”Rabbku sudah menginformasikan kepadaku, bergotong-royong aku akan menyaksikan tanda pada umatku. Jika aku melihatnya, saya akan memperbanyak ucapan Subhanaka wa bihamdika astaghfiruka wa atubu ilaik. Sungguh saya sudah menyaksikannya idza ja`a nashrullahi wal fath.” Al fathu, maksudnya penaklukan kota Mekkah…dst.
Imam an-Nasa-i meriwayatkan dalam kitab Tafsirnya, bahwa Ibnu ‘Abbas menyampaikan perihal surat an-Nashr ini: “Ketika diturunkan, ia (surat an-Nashr) mengabarkan wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ia lebih memajukan keteguhan dalam urusan darul baka”.
APA YANG DIAMPUNI DARI DIRI RASULULLAH SAW YANG MULIA?
Mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih tetap memanjatkan permohonan ampunan, padahal dosa-dosa dia sudah terampuni, baik yang telah berlalu maupun yang akan datang?
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kiranya mengangkat persepsi Ibnu Katsir yang menggambarkan kesempurnaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Katsir berkata: “Pada seluruh urusannya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam ketaatan, kebaikan, istiqamah yang tidak terdapat pada insan lainnya, baik dari golongan orang-orang terdahulu, maupun generasi kemudian. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia paling tepat secara mutlak, dan pemimpin insan di dunia dan darul baka”. 
Al Qadhi Ibnul ‘Arabi mengungkapkan karena, para ulama hadits meriwayatkan, jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, dia memanjatkan doa yang berbunyi:
رَبِّ اغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي وَجَهْلِي وَإِسْرَافِي فِي أَمْرِي كُلِّهِ وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي خَطَايَايَ وَعَمْدِي وَجَهْلِي وَهَزْلِي وَكُلُّ ذَلِكَ عِنْدِي اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Ya Allah, ampunilah kesalahanku, tindak kebodohanku, sikap berlebihanku dalam seluruh urusanku, dan yang Engkau lebih mengetahuinya. Ya Allah, ampunilah kesalahan-kesalahanku, kesengajaanku dan kebodohanku, gurauanku, semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah apa yang sudah saya lakukan dan apa yang belum saya lakukan, apa yang aku sembunyikan dan apa yang saya tampakkan. Engkaulah Dzat Yang mendahulukan (dan menempatkannya pada tempatnya), dan Engkau Dzat yang mengundurkan (dan menempatkannya pada tempatnya) dan Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Selanjutnya, Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata: “Semua itu ada pada diriku terlalu banyak. Adapun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (ia) terbebas darinya. Hanya saja, dia Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap (amalan) pribadinya sedikit, karena begitu besarnya curahan lezat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan terhadap ia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menatap “kekurangan” dalam mengerjakan hak kenikmatan tersebut (dengan beribadah) sebagai dosa-dosa. Sementara dosa-dosaku, saya kerjakan dengan sarat kesengajaan, tak hirau, dan merupakan pelanggaran yang aktual. Semoga Allah l masih sudi membuka pintu taubat dan menganugerahkan sumbangan dengan karunia, kemurahan dan rahmat-Nya, tiada Rabb selain-Nya”. 
Al Imam al Qurthubi, selain mengemukakan alasan senada di atas, ia juga membawakan beberapa informasi lain. Bahwa maksud permintaan ampunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni: 
(1) Memintakan ampunan bagi umatmu. 
(2) Istighfar merupakan ibadah yang harus dikerjakan, bukan untuk memohon ampunan, akan tetapi untuk ta’abbud (ibadah). 
(3) Untuk mengingatkan umat ia, biar jangan merasa aman (dari dosa) sehingga meninggalkan istighfar. 
Al Qadhi ‘Iyadh berpendapat, permintaan ampunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut merupakan cermin ketawadhuan, ketaataan dan ketundukan, serta perumpamaan syukur ia terhadap Rabbnya, karena mengetahui dosa-dosanya telah diampuni.
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengutip informasi Imam ath-Thabari rahimahullah wacana duduk perkara ini, yang menyampaikan argumentasi, sesungguhnya dia Shallallahu ‘alaihi wa sallam beristighfar adalah untuk melaksanakan perintah Allah yang ditujukan kepada ia, yaitu agar bertasbih dan memohon ampunan, jikalau tiba derma dari Allah dan penaklukan (kota Mekah). Selain itu, al Hafizh juga menukil penjelasan al Qurthubi (penulis al Mufhim), bahwasannya terjadinya dosa dari para nabi yaitu mungkin, alasannya mereka juga orang-orang mukallaf, sampai cemas bila itu terjadi pada diri mereka, dan akhirnya tersiksa kesannya. Pendapat yang lain, yaitu agar umatnya meneladani ia Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
SEBAB-SEBAB DITURUNKAN AMPUNAN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA‎
Mengenai faktor-faktor yang dapat menghadirkan turunnya maghfirah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, Syaikh ‘Abdur Rahman as Sa’di rahimahullah menghitungnya berjumlah empat.
Pertama : Taubat. Yaitu kembali kepada Allah dari kondisi yang tidak disenangi-Nya, baik zhahir maupun batin, menuju keadaan yang dicintai oleh-Nya zhahir dan batin. Taubat ini akan meniadakan dosa-dosa, besar kecil sebelumnya.
Kedua : Keimanan. Yaitu pengukuhan dan pembenaran yang mantap lagi menyeluruh terhadap semua yang diberitakan Allah dan Rasul-Nya yang mengharuskan pelaksanaan amalan-amalan hati, yang disertai dengan amalan-amalan jawarih (anggota tubuh). Tidak diragukan, kadar keimanan mampu meniadakan dosa-dosa yang telah terjadi dan dapat menghalanginya dari terjerumus ke dalam dosa. Sesungguhnya seorang mukmin, dengan keimanan dan pancaran keimanan yang tertancap besar lengan berkuasa di dadanya, ia tidak sudi menyatu dengan kemaksiatan-kemaksiatan.
Ketiga : Amalan Shalih. Ini meliputi seluruh amalan, amalan hati, amalan jawarih, ucapan-ucapan lisan. Sebab kebaikan akan menghapuskan kesalahan-kesalahan.
Keempat : Istiqamah di atas keimanan dan hidayah serta berupaya mendulang tambahannya.
Siapa saja yang berhasil menempuh empat langkah ini, bergembiralah dengan mendapatkan ampunan dari Allah yang menyeluruh. Pijakan yang digunakan selaku landasan Syaikh ‘Abdur-Rahman as-Sa’di rahimahullah atas keterangan tersebut, yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَىٰ 
“Dan bekerjsama Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, bersedekah shalih, kemudian tetap di jalan yang benar” [Thaha/20:82]
PELAJARAN DARI SURAT AN-NASHR‎
– Banyaknya anugerah Allah yang dikaruniakan terhadap umat Islam.
– Kewajiban bersyukur manakala kenikmatan tercurahkan. Di antaranya dengan sujud syukur.
– Kewajiban untuk senantiasa beristighfar setiap saat.
Wallohu A’lam Bishshowab