Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ
“Mukmin yang paling tepat imannya ialah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian yakni yang paling baik kepada istri-istrinya.” (HR. At Tirmidzi no. 1162. Lihat Ash Shahihah no. 284)
Di dalam lafazh lainnya dia Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ
“Sebaik-baik kalian yaitu yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan saya ialah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)-ku.”
Kedua hadits ini mengisyaratkan hendaknya kita meneladani Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam. Dalil umum untuk mengikuti Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dalam segala hal sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya sudah ada pada (diri) Rasulullah itu suri pola yang bagus bagimu (adalah) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan ia banyak menyebut Allah.” (Al Ahzab: 21)
Di antara tujuan iblis yakni memecah belah rumah tangga
Banyak rumah tangga yang tidak harmonis disebabkan karena kurangnya ilmu pada pemiliknya. Dampak dari itu sangat besar lengan berkuasa terhadap psikologi anak sehingga kita lihat tidak sedikit kenakalan dewasa (broken home) di antara faktornya yakni tidak serasi rumah tangga orangtuanya.
Ingat bahwa hancurnya rumah tangga yaitu target ibllis dan balatentaranya. Iblis sungguh bergembira jikalau suami berpisah dari istrinya dan sungguh senang kalau anak terpisah dari orangtuanya. Sebagaimana hadits nabi Shallallahu’alaihi wasallam,
إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً، يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ: فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا. فَيَقُولُ: مَا صَنَعْتَ شَيْئًا. قَالَ: ثُمَّ يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ: مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ. قَالَ: فَيُدْنِيهِ مِنْهُ وَيَقُولُ: نِعْمَ أَنْتَ. قَالَ اْلأَعْمَشُ: أُرَاهُ قَالَ: فَيَلْتَزِمُهُ
“Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air, lalu ia mewakilkan bala tentaranya. Yang paling bersahabat kedudukannya dengan Iblis yakni yang terbesar fitnahnya. Datang kepadanya seorang tentaranya kemudian berkata: ‘Aku telah berbuat demikian-demikian.’ Iblis berkata: ‘Engkau belum berbuat sesuatu.’ Dan kemudian salah seorang dari mereka tiba kemudian berkata: ‘Aku tidak meninggalkan orang tersebut bareng istrinya melainkan aku pecah belah keduanya.’
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Lalu iblis mendekatkan serdadu itu kepadanya dan berkata: ‘Sebaik-baik pasukan adalah kamu.’
Al A’masy berkata: ‘Aku kira, (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata: ‘Lalu iblis memeluknya.” (HR. Muslim no. 5302)
Bahkan dalam al Quran, Allah Subhanahu wata’ala menyebutkan syaithan dari kelompok jin sampai berafiliasi dengan syaithan dari kelompok insan untuk mampu memisahkan suami dengan istrinya.
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu lawan, yakni setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin,” (al An’aam: 112)
Dan salah satu cara mereka, adalah kerjasamanya antara iblis dengan dukun memisahkan antara suami dengan istrinya dengan pengaruh sihir sebagaimana firman Allah Tabaroka wata’ala,
فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ
“Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka mampu menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya” (al Baqarah: 102)
Problema dalam rumah tangga
Permasalah rumah tangga memang sebuah kemestian, setiap rumah tangga pasti pernah menghadapi problema, bahkan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam saja tidak luput dari dilema rumah tangga yang sampai menggoncang rumah tangganya.
Sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam memisahkan diri dari istri-istrinya selama satu bulan. Demikian pula pertengkaran rumah tangga terjadi pada putri dia, yakni Fathimah dan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhum, dan problema rumah tangga juga menimpa orang-orang shalih.
Pertengkaran dalam rumah tangga, hampir pernah terjadi dalam semua keluarga. Tak terkecuali keluarga yang anggotanya orang baik sekalipun. Dulu keluarga Ali bin Abi Thalib dan Fatimah radhiyallahu ‘anhuma, juga pernah mengalami seperti ini.
Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, dia menceritakan,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjungi rumah Fatimah radhiyallahu ‘anha, dan dia tidak menyaksikan Ali di rumah. Spontan dia bertanya: “Di mana anak pamanmu?” ‘Tadi ada problem dengan aku, terus dia marah kepadaku, lalu keluar. Siang ini ia tidak tidur di sampingku.’
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajukan pertanyaan kepada para sobat perihal keberadaan Ali. ‘Ya Rasulullah, beliau di masjid, sedang tidur.’ Datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke masjid, dan saat itu Ali sedang tidur, sementara baju atasannya jatuh di sampingnya, dan ia terkena debu. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bubuk itu, sambil mengatakan,
قُمْ أَبَا تُرَابٍ، قُمْ أَبَا تُرَابٍ
“Bangun, wahai Abu Thurab… bangun, wahai Abu Thurab…” (HR. Bukhari 441 dan Muslim 2409)
Tentu tidak ada apa-apanya saat keluarga kita ketimbang keluarga Ali dan Fatimah radhiyallahu ‘anhuma. Meskipun demikian, pertengkaranpun kadang terjadi diantara mereka. Sebagaimana semacam ini juga terjadi di keluarga kita. Hanya saja, pertengkaran yang terjadi di keluarga yang bagus sangat berlawanan dengan perkelahian yang terjadi di keluarga yang tidak baik.
Keluarga yang tidak baik, mereka berkelahi tanpa aturan. Satu sama lain saling menguasi dan saling mendzalimi. Setitikpun tidak ada upaya untuk mencari penyelesaian. Yang penting aku menang, yang penting saya mendapat hakku. Tak jarang perkelahian seperti ini sampai menui caci-maki, KDRT, atau bahkan pembunuhan.
Berbeda dengan keluarga yang bagus, sekalipun mereka berkelahi, pertengkaran mereka dikerjakan tanpa melanggar aturan. Sekalipun mereka saling sakit hati, mereka tetap menjaga jangan hingga mendzalimi pasangannya. Dan mereka berusaha untuk memperoleh solusinya dari perkelahian ini. Umumnya sifat seperti ini ada pada keluarga yang lemah lembut, mengerti hukum syariat dalam fikih keluarga, dan sadar akan hak dan kewajiban masing-masing.
Pertikaian rumah tangga merupakan musibah, dan petaka tidak akan turun melainkan alasannya adalah kemaksiatan yang dikerjakan oleh seorang hamba. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa bencana alam yang menimpa kamu maka yaitu disebabkan oleh tindakan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (asy syura: 30)
Allah Subhanahu wata’ala juga berfirman,
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
“Apa saja nikmat yang kau dapatkan yaitu dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (an Nisa: 79)
Apapun kesedihan yang sedang kita alami, perlu kita ketahui bahwa itu sejatinya bagian dari cobaan hidup. Sebagai orang beriman, jadikan itu potensi untuk mendulang pahala.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidak ada satu bencana alam yang menimpa setiap muslim, baik rasa kecapekan, sakit, bingung, murung, gangguan orang lain, galau yang mendalam, hingga duri yang menancap di badannya, kecuali Allah jadikan hal itu sebagai alasannya adalah pengampunan dosa-dosanya.” (HR. Bukhari 5641).
Pahami bahwa mampu jadi pertengkaran ini disebabkan dosa yang pernah kita kerjakan. Kemudian Allah menawarkan eksekusi batin dalam bentuk duduk perkara keluarga. Di ketika itu, hadirkan perasaan bahwa Allah akan menggugurkan dosa-dosa anda dengan kesedian yang anda alami…lanjutkan dengan bertaubat dan memohon ampun terhadap-Nya.
Umar bin Abdul Aziz mengatakan,
مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إلَّا بِذَنْبِ وَلَا رُفِعَ إلَّا بِتَوْبَةِ
“Musibah turun disebabkan dosa dan musibah diangkat dengan alasannya taubat.” (Majmu’ Fatawa, 8/163)
Selanjutnya, ada 3 hal yang wajib dihindari dikala terjadi pertengakaran. Semoga dengan menghindari hal ini, perkelahian dalam keluarga muslim tidak berujung pada problem yang lebih parah. Secara lazim, hukum ini sudah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam hadis dari Hakim bin Muawiyah Al-Qusyairi, dari ayahnya, bahwa beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ihwal keharusan suami terhadap istrinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، أَوِ اكْتَسَبْتَ، وَلَا تَضْرِبِ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحْ، وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْت
“Kamu mesti memberi makan kepadanya sesuai yang kamu makan, kau harus memberi pakaian kepadanya sesuai kemampuanmu memberi pakaian, jangan memukul wajah, jangan kamu menjelekannya, dan jangan kamu melaksanakan boikot kecuali di rumah.” (HR. Ahmad 20011, Abu Daud 2142 dan dishahihkan Al-Albani).
Hadis ini ialah anjuran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para suami. Meskipun demikian, beberapa larangan yang disebutkan dalam hadis ini juga berlaku bagi wanita. Dari hadis mulia ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan untuk menghindari 3 hal:
Pertama, hindari KDRT
Dalam Al-Alquran Allah mengijinkan seorang suami untuk memukul istrinya saat sang istri membangkang. Sebagaimana firman Allah di surat An-Nisa:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
Wanita-perempuan yang kamu khawatirkan tidak tunduk, nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di kawasan tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kau mencari-cari jalan untuk menyusahkannya..(QS. An-Nisa: 34)
Namun ini izin ini tidak berlaku secara mutlak. Sehingga suami bebas melampiaskan kemarahannya dengan menganiaya istrinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan batasan lain wacana izin memukul,
1. Tidak boleh di daerah kepala, sebagaimana sabda beliau, “jangan memukul paras .” Mencakup kata paras yaitu semua kepala. Karena kepala insan yakni hal yang paling penting. Ada banyak organ vital yang menjadi sentra indera manusia.
2. Tidak boleh menyakitkan
Batasan ini disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam khutbah ia dikala di Arafah.
إِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ
“Jika istri kalian melakukan pelanggaran itu, maka pukullah dia dengan pukulan yang tidak menyakitkan.” (HR. Muslim 1218)
Keterangan ini juga disebutkan Al-Bukhari dalam shahihnya, ketika ia menerangkan firman Allah di surat An-Nisa: 34 di atas.
Atha’ bin Abi Rabah pernah mengajukan pertanyaan terhadap Ibnu Abbas,
قلت لابن عباس : ما الضرب غير المبرح ؟ قال : السواك وشبهه يضربها به
Saya pernah mengajukan pertanyaan terhadap Ibnu Abbas, ‘Apa maksud pukulan yang tidak menyakititkan?’ Beliau menjawab, “Pukulan dengan kayu siwak (sikat gigi) atau semacamnya.” (HR. At-Thabari dalam tafsirnya, 8/314).
Termasuk makna pukulan yang tidak menyakitkan ialah pukulan yang tidak meninggalkan bekas, mirip memar, atau bahkan menyebabkan luka dan mengeluarkan darah. Karena sejatinya, pukulan itu tidak bermaksud untuk menyakiti, tetapi pukulan itu dalam rangka mendidik istri.
Namun, walaupun ada izin untuk menghantam ringan, tidak memukul pasti jauh lebih baik. Karena wanita yang lemah bukanlah musuh yang sepadan bagi lelaki yang gagah. Anda bisa bayangkan, saat ada orang yang sungguh besar lengan berkuasa, mendapatkan musuh yang lemah. Tentu bukan suatu kehormatan bagi beliau untuk meladeninya. Karena itu, lawan bagi suami yang sesunguhnya yakni emosinya. Suami yang bisa menahan emosi, sehingga tidak menyikiti istrinya, itulah laki-laki mahir yang sejatinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغَضَبِ
“Orang yang andal bukahlah orang yang sering menang dalam pertengkaran. Namun orang ahli ialah orang yang bisa menahan emosi dikala murka.” (HR. Bukhari 6114 dan Muslim 2609).
Seperti itulah yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. A’isyah menceritakan,
مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ، وَلَا امْرَأَةً، وَلَا خَادِمًا، إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللهِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memukul perempuan maupun budak dengan tangan dia sedikitpun. Padahal beliau berjihad di jalan Allah. (HR. Muslim 2328).
Maksud pernyataan A’isyah, “Padahal dia berjihad di jalan Allah” untuk menunjukan bahwa sejatinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni sosok yang pemberani. Beliau pemberani di hadapan musuh, bukan pemberani di hadapan orang lemah. Beliau tidak menghantam perempuan atau orang lemah di sekitarnya. Karena memukul orang lemah bukan bagian dari sifat ‘pemberani’.
Kedua, Hindari Caci-maki
Siapapun kita, tidak akan bersedia saat dicaci maki. Karena itulah, syariat hanya mengizinkan hal ini dalam satu keadaan, yakni ketika seseorang didzalimi. Syariat mengizinkan orang yang didzalimi itu untuk membalas kedzalimannya dalam bentuk cacian atau makian. Allah berfirman,
لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ
Allah tidak menyukai Ucapan buruk (hujatan), (yang diucapkan) dengan terus jelas kecuali oleh orang yang dianiaya. (An-Nisa: 148)
Setidaknya, dikala beliau tidak mampu memberi akibat secara fisik, beliau mampu membalas dengan melukai hati orang yang mendzaliminya.
Dalam ikatan rumah tangga, syariat memotivasi kaum muslimin untuk menciptakan suasana harmonis. Sehingga sampaipun terjadi persoalan, akibat dalam bentuk caci maki mesti dihindarkan. Karena kalimat cacian dan makian akan menancap dalam hati, dan bisa jadi akan sungguh membekas. Sehingga akan sungguh susah untuk bisa mengobatinya. Jika semacam ini terjadi, susah untuk membangun keluarga yang sakinah.
Karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan jangan hingga seseorang mencaci pasangannya. Apalagi menenteng-bawa nama keluarga atau orang renta, yang umumnya bukan bagian dari duduk perkara.
Beliau bersabda, “jangan kamu menjelekannya”
Dalam Syarh Sunan Abu Daud dinyatakan,
لَا تَقُلْ لَهَا قَوْلًا قَبِيحًا وَلَا تَشْتُمْهَا وَلَا قَبَّحَكِ اللَّهُ
“Jangan kamu ucapkan kalimat yang menjelekkan ia, jangan mencacinya, dan jangan doakan keburukan untuknya..” (Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud, 6/127).
Perlu kita ingat bahwa cacian dan makian terhadap pasangan yang dilontarkan tanpa alasannya, tergolong menyakiti orang mukmin atau mukminah yang dikecam dalam Al-Qur’an. Allah berfirman,
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
Orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka sudah memikul kebohongan dan dosa yang konkret. (QS. Al-Ahzab: 58)
Marah kepada suami atau marah terhadap istri, bukan alasan pembenar untuk mencaci orang tuanya. Terlebih ketika mereka sama sekali tidak bersalah. Allah sebut tindakan semacam ini sebagai dosa yang nyata.
Ketiga, Jaga Rahasia Keluarga
Bagian ini penting untuk kita amati. Hal yang perlu disadari bagi orang yang sudah keluarganya, jadikan persoalan keluarga selaku belakang layar anda berdua. Karena dikala duduk perkara itu tidak melibatkan banyak pihak, akan lebih gampang untuk dituntaskan. Terkait tujuan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan,
وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْت
“jangan kau boikot istrimu kecuali di rumah”
Ketika suami mesti mengambil langkah memboikot istri karena persoalan tertentu, jangan sampai boikot ini tersebar keluar sehingga diketahui banyak orang. Sekalipun suami istri sedang panas emosinya, tetapi saat di luar, harus menampakkan seolah tidak ada persoalan. Kecuali jika anda melaporkan kepada pihak yang berwenang, dalam rangka dilakukan perbaikan.
Agar tidak salah paham, berikut keterangan lebih rinci;
Ketika suami melakukan kesalahan, tidak sepantasnya sang istri melaporkan kesalahan suami ini terhadap orang renta istri. Tapi hendaknya dilaporkan terhadap orang yang mampu mengendalikan suami, misalnya tokoh agama yang disegani suami atau orang tua suami. Demikian pula saat sumber masalah adalah istri. Hendaknya suami tidak melaporkannya terhadap orang tuanya, tapi dia laporkan ke mertuanya (ortu istri).
Solusi ini baru diambil dikala duduk perkara itu tidak memungkinkan untuk diselesaikan sendiri antara suami-istri.
Hindari Pemicu Adu Domba
Bagian ini perlu kita hati-hati. Ketika seorang istri memiliki problem dengan suaminya, lalu beliau ceritakan terhadap orang renta istri, muncullah rasa kasihan dari orang tuanya. Namun tidak sampai di sini, orang tua istri dan suami hasilnya menjadi berselisih. Orang renta istri merasa harga dirinya dilecehkan alasannya putrinya didzalimi anak orang lain, sementara suami menganggap mertuanya terlalu ikut campur problem keluarganya. Bukannya solusi yang ia peroleh, namun persoalan gres yang justru lebih parah dibandingkan sebelumnya.
Selanjutnya, jadilah keluarga yang bijak, yang terbuka dengan pasangannya dengan rasa cinta yang mendalam, alasannya ini akan memperkecil timbulnya prasangka jelek (suudzan) antar-sesama. Jika anda tidak memungkinkan memberikan secara eksklusif, sampaikan dalam bentuk email, atau sms.
Rasa cinta dan ketenangan dalam rumah tangga
Dan di antara kebaikan dari Allah Subhanahu wata’ala, yakni membuat ketenangan dalam pasangan hidup, sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya yaitu Dia membuat untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu condong dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (ar Ruum: 21)
Rasa cinta yang tumbuh antara suami istri adalah anugerah dari Allah Ta’ala, dan cinta ini yakni sesuatu yg mubah dan naluri dan ini diperbolehkan alasannya cinta asmara terhadap pasangan hidupnya yang sah, dan ini terpuji bahkan kesempurnaan yang mesti dimiliki setiap suami istri.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling mulia dan sosok yang paling sempurna, dianugerahi rasa cinta terhadap para istrinya. Beliau nyatakan dalam sabdanya:
حُبِّبَ إِلَيَّ مِنَ الدُنْيَا النِّسَاءُ وَ الطِّيْبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِيْ فِي الصَّلاَةِ
“Dicintakan kepadaku dari dunia kalian, para perempuan (istri) dan minyak amis, dan dijadikan penyejuk mataku di dalam shalat.” (HR. Ahmad 3/128, 199, 285, An-Nasa`i no. 3939 kitab ‘Isyratun Nisa’ bagian Hubbun Nisa`. Dihasankan Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i Rahimahullahu dalam Ash Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain (1/82))
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh shahabatnya yang mulia, ‘Amr ibnul ‘Ash Radhiallahu’anhu:
أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ: عَائِشَةُ. فَقُلْتُ: مِنَ الرِّجَالِ؟ قَالَ : أَبُوْهَا
“Siapakah insan yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab: “Aisyah.” Aku (‘Amr ibnul Ash) berkata: “Dari kelompok laki-laki?” “Ayahnya (Abu Bakar),” jawab ia. (HR. Al Bukhari no. 3662, kitab Fadha`il Ashabun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagian Qaulin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Lau Kuntu Muttakhidzan Khalilan” dan Muslim no. 6127 kitab Fadha`ilush Shahabah, bagian Min Fadha`il Abi Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah ingin menjadi perantara dan penolong seorang suami yang sungguh mengasihi istrinya untuk tetap mempertahankan istri yang dicintainya dalam ikatan akad nikah dengannya. Namun si perempuan enggan dan tetap memilih untuk berpisah, sebagaimana kisah Mughits dan Barirah. Barirah adalah seorang sahaya milik salah seorang dari Bani Hilal. Sedangkan suaminya Mughits yakni seorang budak berkulit hitam milik Bani Al Mughirah. Barirah pada karenanya merdeka, sementara suaminya masih berstatus budak. Ia pun menentukan berpisah dengan suaminya diiringi kesedihan Mughits atas perpisahan itu. Hingga terlihat Mughits berlangsung di belakang Barirah sembari berlinangan air mata sampai membasahi jenggotnya, memohon kerelaan Barirah untuk tetap hidup bersamanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata terhadap paman beliau, Al ’Abbas Radhiallahu ‘anhu:
يَا عَبَّاسُ, أَلاَ تَعْجَبُ مِنْ حُبِّ مُغِيْثٍ بَرِيْرَةَ، وَمِنْ بُغْضِ بَرِيْرَةَ مُغِيْثًا؟ فَقاَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ رَاجَعْتِهِ. قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ تَأْمُرُنِي؟ قَالَ: إِنَّمَا أَنَا أَشْفَعُ. قَالَتْ: لاَ حَاجَةَ لِي فِيْهِ
“Wahai paman, tidakkah engkau merasa kagum dengan rasa cinta Mughits pada Barirah dan rasa benci Barirah kepada Mughits?”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata terhadap Barirah: “Seandainya engkau kembali kepada Mughits.” Barirah bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah engkau menyuruh aku?” “Tidak,” kata Rasulullah, “Akan namun saya hanya ingin menolongnya.” “Aku tidak membutuhkannya,” jawab Barirah (Lihat hadits dalam Shahih Al Bukhari no. 5280-5282, kitab Ath Thalaq, bab Khiyarul Amati Tahtal ‘Abd dan no. 5283, bab Syafa’atun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam fi Zauji Barirah.)
Tiga macam cinta berdasarkan al Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah Rahimahulloh
Perlu dikenali oleh sepasang suami istri, menurut al Imam al ’Allamah Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakar yang lebih diketahui dengan Ibnu Qayyim al Jauziyyah Rahimahullahu, ada tiga macam cinta dari seorang manusia kepada insan yang lain:
Pertama: Cinta asmara yang terpuji bahkan ialah amal ketaatan.
Yaitu cinta seorang suami terhadap istrinya, demikian pula sebaliknya. Ini yakni cinta yang berguna. Karena akan mengantarkan kepada tujuan yang disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam pernikahan, akan menahan pandangan dari yang haram dan menghalangi jiwa/hati dari menyaksikan kepada selain istrinya. Karena itulah, cinta seperti ini dipuji di segi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan di segi insan.
Perlu diamati: Tentu cinta antara suami istri yang seperti ini jangan hingga menyebabkan lalainya ia dzikir terhadap ar Rahman sebagaimana firman Allah Azza wajalla,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melewatkan kau dari mengenang Allah. Barang siapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (al Munaafiquun: 9)
Jangan hingga alasannya adalah saking cintanya beliau kepada istri, menciptakan dia memutuskan relasi dengan orangtua, beliau rela mencuri, ia rela korupsi demi memadai keperluan istri tersayang, wal ‘iyadzubillah.
Allah Azza wajalla berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, sebetulnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu kepada mereka” (at Taghaabuun: 14)
Dan yang lebih berhaya lagi kalau kecintaan beliau kepada istinya melampaui cintanya terhadap Allah dan rasul-nya. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, bawah umur, kerabat-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kau usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kau senangi, yakni lebih kamu cintai ketimbang Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah hingga Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk terhadap orang-orang fasik.” (at Taubah: 24)
Oleh alasannya adalah itu, hendaknya dia menyayangi istrinya karena Allah Ta’ala, bukan karena syahwat dan birahi semata. Tetapi karena ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ثَلاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ اْلإِيْماَنِ مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُماَ وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَماَ يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِيْ النَّارِ
“Tiga hal yang jika ada pada seseorang, niscaya dia akan merasakan manisnya akidah. (Yaitu) seseorang yang Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dibandingkan dengan selain keduanya. Dia mengasihi seseorang dan tidaklah dia mencintainya melainkan alasannya adalah Allah. Dan ia benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran itu, sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam api.” (Shahih, HR. Al Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu)
Kedua: Cinta asmara yang dibenci Allah Subhanahu wa Ta’ala, dimurkai, bahkan dilaknat dan akan menjauhkan dari rahmat-Nya.
Yaitu cinta kepada sesama jenis, seorang laki-laki mencintai lelaki lain (homo) atau seorang wanita menyayangi sesama perempuan (lesbian). Tidak ada yang ditimpa bala dengan penyakit ini kecuali orang yang dijatuhkan dari pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sampai ia terusir dari pintu-Nya dan jauh hatinya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Penyakit ini ialah penghalang terbesar yang menetapkan seorang hamba dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Cinta yang ialah petaka ini merupakan tabiat kaum nabi Luth ‘alaihissalam hingga mereka lebih cenderung terhadap sesama jenis dibandingkan dengan pasangan hidup yang Allah Subhanahu wa Ta’ala memutuskan untuk mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan:
لَعَمْرُكَ إِنَّهُمْ لَفِي سَكْرَتِهِمْ يَعْمَهُونَ. فَأَخَذَتْهُمُ الصَّيْحَةُ مُشْرِقِينَ. فَجَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ
“Demi umurmu (ya Muhammad), bekerjsama mereka terombang-ambing di dalam kemabukan. Maka mereka dibinasakan oleh bunyi keras yang mengguntur, dikala matahari akan terbit. Maka Kami jadikan bab atas kota itu terbalik ke bawah dan Kami hujani mereka dengan watu dari tanah yang keras.” (al Hijr: 71-74)
Obat dari penyakit ini adalah minta tolong terhadap Dzat Yang Maha membolak-balikkan hati, berlindung kepada-Nya dengan sebenar-benarnya, merepotkan diri dengan berdzikir/mengenang-Nya, mengubah rasa itu dengan cinta kepada-Nya dan mendekati-Nya, mempertimbangkan pedihnya akhir yang diterima alasannya adalah cinta musibah itu dan hilangnya kelezatan karena cinta itu. Bila seseorang membiarkan jiwanya tenggelam dalam cinta ini, maka silahkan beliau bertakbir mirip takbir dalam shalat jenazah. Dan hendaklah ia mengetahui bahwa musibah dan bencana alam telah menyelimuti dan menyelubunginya.
Ketiga: Cinta yang mubah yang tiba tanpa mampu dikuasai.
Seperti dikala seorang laki-laki diceritakan ihwal sosok wanita yang jelita kemudian tumbuh rasa suka di hatinya. Atau ia melihat wanita manis secara tidak sengaja sampai hatinya terpikat. Namun rasa suka/ cinta itu tidak mengantarnya untuk berbuat maksiat. Datangnya begitu saja tanpa disengaja, sehingga dia tidak diberi hukuman karena perasaannya itu. Tindakan yang paling berguna untuk dilakukan adalah menolak perasaan itu dan merepotkan diri dengan masalah yang lebih bermanfaat. Ia wajib menyembunyikan perasaan tersebut, mempertahankan kehormatan dirinya (mempertahankan ‘iffah) dan bersabar. Bila dia berbuat demikian, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberinya pahala dan mengubahnya dengan kasus yang lebih baik alasannya adalah dia bersabar alasannya Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mempertahankan ‘iffah-nya. Juga sebab dia meninggalkan untuk menaati hawa nafsunya dengan lebih memprioritaskan keridlaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ganjaran yang ada di segi-Nya. (ad Da`u wad Dawa`, hal. 370-371)
Berikut ialah di antara tips-kiat menjaga keserasian rumah tangga dan tentu selain ini ada banyak tips-tips yang lainnya.
Kiat-kiat untuk mempererat cinta kasih suami istri dan mempertahankan keselarasan di antara keduanya
1. Hendaknya saling memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing.
Jika masing-masing mengerjakan kewajibannya niscaya keharmonisan akan terjalin, sebagaimana panduan dalam hadits yang mulia:
فَأَعْطِ كُلَّ ذِيْ حَقٍّ حَقَّهُ
“Berikanlah hak dari setiap pemilik hak.”
Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menawarkan panduan kepada shahabatnya, Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash Radhiyallahu ‘anhuma, untuk menjaga keseimbangan di antara hak-hak yang ada termasuk hak istri. Abdullah sendiri mengisahkannya untuk kita:
أَنْكَحَنِي أَبِي امْرَأَةً ذَاتَ حَسَبٍ، فَكَانَ يَتَعَاهَدُ كَنَّتَهُ، فَيَسْأَلُهَا عَنْ بَعْلِهَا. فَتَقُوْلُ: نِعْمَ الرَّجُلُ مِنْ رَجُلٍ لَمْ يَطَأْ لَنَا فِرَاشًا وَلَمْ يُفَتِّشْ لَنَا كَنَفًا مُنْذُ أَتَيْنَاهُ. فَلَمَّا طَالَ ذلِكَ عَلَيْهِ ذَكَرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: أَلْقِنِي بِهِ. فَلَقِيْتُهُ بَعْدُ
“Ayahku menikahkan saya dengan seorang wanita dari keturunan orang mulia. Beliau pernah mendatangi menantunya ini kemudian mengajukan pertanyaan wacana kondisi suaminya. Maka si menantu (istri Abdullah) berkata: “Dia adalah sebaik-baik lelaki, cuma saja dia tidak pernah menginjak kawasan tidur kami dan tidak pernah menyelidiki pakaian yang menutupi kami semenjak kami mendatanginya.” Ketika hal ini berjalan usang, sang ayah mengadukannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pun menyuruh: “Pertemukan aku dengannya.” Abdullah pun menemui dia sesudah itu.
قَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا عَبْدَ اللهِ! أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُوْمُ النَّهَارَ وَتَقُوْمُ الليْلَ؟ فَقُلْتُ: بَلَى، يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: فَلاَ تَفْعَلْ، صُمْ وَأَفْطِرْ، وَقُمْ وَنَمْ، فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepadaku: “Wahai Abdullah, bukankah telah dikabarkan kepadaku bahwa engkau lazimpuasa di (setiap) siang hari dan shalat di (sepanjang) malam hari?” “Iya, wahai Rasulullah,” jawabku. Beliau kemudian memperlihatkan nasihat: “Jangan engkau kerjakan lagi. Puasalah dan berbukalah. Bangunlah untuk shalat dan tidurlah. Karena tubuhmu mempunyai hak terhadapmu. Matamu pun punya hak terhadapmu. Demikian pula istrimu memiliki hak terhadapmu….” (HR. Al Bukhari no. 1975 dan Muslim no. 2722)
Di antara hak-hak istri yang musti ditunaikan suami:
(a) Mendapatkan nafkah, sebagaimana Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“…dan kewajiban bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah dan busana kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (al Baqarah: 233)
Demikian pula hadits ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia mengabarkan bahwa Hindun bintu ‘Utbah Radhiallahu‘anha, istri Abu Sufyan Radhiyallahu ‘anhu tiba mengadu kepada Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَلَيْسَ يُعْطِيْنِي مَا يَكْفِيْنِي وَوَلَدِي إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ. فَقَالَ: خُذِي مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ
“Wahai Rasulullah, sangat Abu Sufyan seorang yang pelit. Ia tidak memberiku nafkah yang mampu mencukupiku dan anakku terkecuali jikalau aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya.” Bersabdalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ambillah dari harta suamimu sekadar yang mampu mencukupimu dan mencukupi anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. al Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 4452)
(b) Seorang suami mesti bergaul dengan istrinya secara pantas (ma’ruf) dan dengan budbahasa mulia
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا
“Bergaullah kalian dengan para istri secara pantas. Bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah alasannya adalah mungkin kalian tidak menggemari sesuatu padahal Allah menyebabkan padanya kebaikan yang banyak.” (An Nisa`: 19)
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ .لَنْ تَسْتَقِيْمَ لَكَ عَلَى طَرِيقَةٍ . فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَ بِهَا عِوَجٌ. وَ إِن ْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهَا كَسَرْتَهَا . وَ كَسْرُهَا طَلاقُهَا
“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Dia tidak akan lurus untukmu di atas satu jalan. Jika engkau bersenang-senang dengannya, maka engkau mampu melakukannya namun padanya ada kebengkokan. Bila engkau paksakan untuk meluruskannya maka engkau akan mematahkannya, dan patahnya itu adalah menceraikannya.” (HR. Al Bukhari no. 5184 Muslim no. 1468)
al Imam an Nawawi Rahimahullahu berkata:
“Dalam hadits ini (ada usulan untuk) bersikap lembut terhadap para istri, berbuat baik kepada mereka, bersabar atas kebengkokan budbahasa/perangai mereka serta bersabar dengan kekurangan logika mereka. Hadits ini juga memperlihatkan tidak disukainya menceraikan mereka tanpa karena dan dihentikan terlalu bersemangat/ berlebihan untuk meluruskan mereka, wallahu a’lam.” (Syarah Shahih Muslim, 10/57)
2. Hendaklah suami mampu mempertahankan keselarasan di rumah tangganya
Di antara beberapa hal yang dapat dikerjakan suami untuk mempertahankan keharmonisan di daam rumah tangga dan juga untuk memperkuat ikatan cinta adalah:
(a) Pada saat tiba dari safar jangan mengagetkan istrinya masuk ke rumah tanpa pemberitahuan apalagi dulu (kabarkan bila engkau ingin pulang). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuntunkan terhadap para suami yang sekian usang berada di rantau atau safar keluar kota agar tidak secara tiba-tiba pulang ke keluarga mereka tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, terlebih tiba datang-tiba di waktu malam. Shahabat yang mulia Jabir bin ‘Abdillah Radhiallahu ‘anhuma berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكْرَهُ أَنْ يَأْتِيَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ طُرُوْقًالَيْلاً
“Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka bila seorang laki-laki/suami mendatangi keluarga/istrinya (dari safar yang dilakukannya) pada waktu malam.” (HR. Al Bukhari no. 5243)
Larangan ini dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
إِذَا أَطَالَ أَحَدُكُمُ الْغَيْبَةَ فَلاَ يَطْرُقْ أَهْلَهُ لَيْلاً
“Apabila salah seorang kalian sekian lama pergi meninggalkan rumah (safar) maka janganlah ia pulang (kembali) kepada keluarganya pada waktu malam.” (HR. Al-Bukhari no. 5244)
Bila orang yang pergi sekian usang ini datang tiba-tiba tanpa pemberitahuan terlebih dulu, dikhawatirkan dia akan mendapatkan kasus yang tidak disukainya. Bisa jadi ia dapatkan istrinya tidak bersiap menyambut kedatangannya, belum membersihkan diri dan berhias/berdandan sebagaimana yang dituntut dari seorang istri. Sehingga hal ini akan menjadikan menjauhnya hati keduanya. Bisa jadi pula ia peroleh istrinya dalam keadaan yang tidak disukainya.
3. Sang suami dan juga istri hendaknya menawarkan tampang yg berseri-seri (bermuka bagus)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوْفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِقٍ
“Jangan sekali-kali engkau meremehkan perbuatan baik sedikitpun, walaupun cuma berupa menawarkan muka yang bagus saat bertemudengan saudaramu.” (HR. Muslim)
Ini dalil biasa , apalagi berjumpa dengan pasangan hidup kita.
4. Di antara mempertahankan keselarasan rumah tangga yakni Saling memberi hadiah terhadap pasangan hidupnya
Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
تَهَادُوْا تَحَابُّوْا
“Saling menghadiahilah kalian pasti kalian akan saling mencintai.” (HR. al Bukhari dalam al Adabul Mufrad no. 594, dihasankan al Imam al Albani Rahimahullahu dalam Irwa`ul Ghalil no. 1601)
5. Panggil istrimu dengan nama yang ia senangi
Sebagaimana Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam memanggil istrinya ialah Aisyah Radhiallahu’anha dengan Humairo (si merah delima). Maka bertanyalah kepada istrimu dengan nama apa yang dia senangi untuk diundang, demikain pula sebaliknya mengundang suami dengan nama panggilan yang dia sukai.
6. Jangan sering keluar rumah (sering bepergian meninggalkan rumah)
Luangkan waktu untuk berduaan dengan istri di rumah. Demikian pula istri berupaya bagaimana caranya semoga suami betah di rumah. Keberadaan suami di rumah yaitu zhahir dan bathin, artinya jangan cuma fisiknya di rumah namun ia tetap melakukan pekerjaan di rumah, sibuk dengan bisnis di rumah, ini juga tercela. Dengan demikian eksistensi suami di rumah ialah untuk bercengkerama dengan keluarga dan bermain-main bersama mereka.
7. Saling menunjukkan kebanggaan
Terkadang manusia itu senangnya disanjung dan ini termasuk kebutuhan (etika). Hendaknya suami sering memuji istri demikian pula sebalilknya. Demikian pula hendaknya memuji pasangannya di hadapan orangtuanya, kerabatnya dan semisalnya dengan kebaikan-kebaikan yang dimilikinya. Misanya memuji masakannya yang yummy, dan semacamnya. Dan belum dewasa juga perlu diberikan pujian semoga anak-anak senang terhadap keluarganya.
8. Janganlah membanding-bandingkan pasangan hidupmu dengan orang lain
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ
“Lihatlah orang yang di bawah kalian dan jangan melihat orang yang di atas kalian alasannya adalah dengan (menyaksikan ke bawah) lebih layak untuk kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang dilimpahkan-Nya kepada kalian.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
9. Hendaknya saling menolong dalam pekerjaan rumah tangga
Untuk mempertahankan keselarasan suami istri hendaknya saling ada pemahaman, dan saling membantu dalam pekerjaan rumah tangga, sebagaimana persaksian Aisyah Radhiyallahu ‘anha dikala ditanya tentang apa yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam rumah? Aisyah Radhiyallahu ‘anha mengatakan:
كاَنَ يَكُوْنُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ – تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ – فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ
“Beliau biasa menolong istrinya. Bila tiba waktu shalat dia pun keluar untuk menunaikan shalat.” (HR. Al Bukhari no. 676)
Nabi Shallallahu’alaihi wasallam ikut turun tangan mengendorkan pekerjaan yang ada mirip kata istri beliau, Aisyah Radhiyallahu ‘anha:
كَانَ بَشَرًا مِنَ الْبَشَرِ، يَفْلِي ثَوْبَهُ وَيَحْلُبُ شَاتَهُ وَيَخْدُمُ نَفْسَهُ
“Beliau manusia sebagaimana insan yang lain. Beliau membersihkan pakaiannya, memerah susu kambingnya, dan melayani dirinya sendiri.” (HR. Ahmad, 6/256. Lihat Ash Shahihah no. 671)
Sekiranya ada yang mampu dikerjakan sendiri oleh suami maka lakukan saja sendiri, mirip mengambil gelas, piring, dan sebagaimana apalagi saat menyaksikan istrinya sedang sibuk mengelola anak.
10. Sekali-kali ajak istri jalan-jalan, liburan, atau wisata
Tentu pergi ke tempat-tempat yang dihalalkan, pergi berdua dan bersenang-bahagia berduaan. Terkadang berdua butuh untuk rihlah, kasihan istri sumpek di rumah terus.
11. Hendaklah saling memiliki empati (perhatian)
Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى سَائِرُ الْجَسَدِ بِالْحُمَّى وَالسَّهَرِ
“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam cinta dan berkasih sayang, mereka bagaikan satu jasad yang jika salah satu anggota badannya sakit, seluruh jasadnya merasakan sakit panas dan berjaga.” (HR. Al Imam Al Bukhari dan Muslim no. 2586 dari teman An Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhuma)
Dari hadits umum ini, apalagi dengan pasangan hidup kita, mesti lebih merasa satu badan dan pemahaman dan saling memperhatikan.
12. Saling menutup aib keluarga
Jangan menceritakan kekurangan pasangan hidup kita terhadap orang lain, ini sangat tercela. Sebagaimana sabda nabi Shallallahu’alaihi wasallam,
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فيِ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ …
“Siapa yang melepaskan dari seorang mukmin satu kesusahan yang sangat dari kesusahan dunia niscaya Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan dari kesusahan di hari akhir zaman. Siapa yang mempermudah orang yang sedang kesusahan niscaya Allah akan memudahkannya di dunia dan nanti di darul baka. Siapa yang menutup aib seorang muslim niscaya Allah akan menutup aibnya di dunia dan kelak di darul baka. Dan Allah senantiasa membantu hamba-Nya selama hamba-Nya itu membantu saudaranya….” (HR. Muslim no. 2699)
Dari hadits lazim ini, terlebih dengan pasangan hidup kita, mesti lebih menutup aib dan lebih mempertahankan kehormatan mereka.
13. Saling menawarkan wasiat dan nasihat antara keduanya
Ketika suami hendak pergi kerja atau bepergian hendaknya saling mengingatkan dengan membaca doa naik kendaraan, membaca doa akan keluar rumah, dan berbagai bentuk pesan yang tersirat dan wasiat yang lain antara suami istri.
14. Hendaknya suami berhias di hadapan istrinya sebagaimana dia menggemari istrinya berhias untuk dirinya.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan para wanita memiliki hak yang sepadan dengan kewajibannya.” (al Baqarah: 228)
Kata Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu, “Aku ingin sekali berhias untuk istriku sebagaimana saya menuntut istriku berhias untuk diriku.”
Ini di antara kiat-tips menjaga keharmonisan rumah tangga dan tentu selain ini ada banyak kiat-tips yang yang lain.
Wallohul Muwaffiq Ila Aqwamith Thoriq