Teori Perkembangan Bahasa Part Ii


A.    TEORI KOGNITIF
Kajian wacana teori kognitif bertitik tolak pada usulan bahwa anak dilahirkan dengan kecenderungan untuk berperan aktif kepada lingkungannya, dalam memproses sebuah gosip, dan dalam menyimpulkan perihal struktur bahasa.
Menurut Piaget (Hergenhahn, 1982), berpikir sebagai prasyarat berbahasa, terus berkembang sebagai hasil dari pengalaman dan akal budi. Perkembangan bahasa bersifat progresif dan terjadi pada setiap tahap pertumbuhan. Perkembangan anak secara lazim dan kemajuan bahasa permulaan anak berkaitan bersahabat dengan aneka macam kegiatan anak, objek, dan kejadian yang mereka alami dengan menjamah, mendengar, menyaksikan, merasa, dan membau.
Vygotsky (1986) mengemukakan bahwa perkembangan kognitif dan bahasa anak berkaitan akrab dengan kebudayaan dan penduduk tempat anak dibesarkan. Vygotsky memakai perumpamaan Zona kemajuan proximal (ZPD) untuk tugas-peran yang merepotkan untuk dimengerti sendiri oleh anak, namun dengan bimbingan dan santunan dari orang akil balig cukup akal, anak akan memiliki keahlian untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut. Menurut vygotsky, ZPD mempunyai dua batas ialah batas yang lebih rendah dan batasa yang lebih tinggi. Batas yang lebih rendah merupakan tingkat dilema yang mampu dipecahkan anak dengan memakai keterampilannya sendiri tanpa pinjaman dari orang lain. Batas yang lebih tinggi ialah tingkat tanggung jawab ekstra yang mampu diterima anak dengan bantuan orang dewasa. ZPD dikonseptualisasi selaku sebuah ukuran potensi pembelajaran (santrock, 1995) mirip halnya Intellectual Quotient (IQ). Perbedaannya ialah, ZPD memandang pembelajaran sebagai sebuah proses sosial yang bersifat internal dan dinamis yang dipengaruhi oleh wawasan dan pengalaman yang diperoleh anak. Berbeda halnya dengan IQ yang menekankan bahwa inteligensi yakni milik anak.
Vygotsky memiliki pandangan yang berlainan dengan piaget dalam beberapa hal. Vygotsky menyampaikan bahwa bentuk  bahasa intinya bersifat sosial, sedangkan piaget mempunyai kecenderungan pendapat bahwa perkembangan bahasa pada anak bersifat egosentris dan nonsosial.
Para mahir kognitif meyakini adanya tugas korelasi antara anak, orang remaja dan lingkungan bahasa anak. Teori kognitif memandang bahwa pertumbuhan aspek bahasa tidak terlepas dari konteks sosial dan pertumbuhan kognitif anak. Perkembangan kognitif  berafiliasi erat dengan kemajuan bahasa sebab awal kemajuan bahasa berada pada stadium sensori motorik yaitu ketika anak berusia sekitar 18 bulan. Pada tahap ini anak sudah mempunyai pengertian kepada obyek-obyek tertentu. Walaupun anak belum mempunyai kemampuan untuk mengatakan, ia sudah mampu memanipulasi obyek-obyek tersebut.
Anak mengkomunikasikan kebutuhan, asumsi, dan perasaannya melalui bahasa dengan kata-kata yang mempunyai arti unik. Kemampuan anak memahami bahasa sebagian besar terbatas pada pandangannya sendiri. Dengan kata lain,  anak mempunyai kekurangan dalam mengerti bahasa dari sudut pandang orang lain. Meningkatnya perkembangan bahasa anak terjadi sebagai hasil pertumbuhan fungsi simbolis. Perkembangan simbol bahasa pada anak sungguh berpengaruh kepada kesanggupan anak untuk berguru mengetahui bahasa dari pandangan orang lain dan mengembangkan kemampuannya untuk memecahkan persoalan.
Perkembangan bahasa tidak terlepas dari konteks sosial dan perkembanmgan kognitif anak. Perkembangan kognitif bekerjasama akrab dengan perkembangan bahasa sebab awal perkembangan bahasa berada pada stadium sensori motorik adalah saat anak berusia sekitar 18 bulan. Pada tahap ini anak sudah mempunyai pemahaman terhadap obyek-obyek tertentu.
Para mahir kognitif beropini bahwa mencar ilmu sungguh dipengaruhi oleh beberapa faktor mirip peran aktif anak kepada lingkungan, cara anak memproses sebuah gosip, dan menyimpulkan struktur bahasa.
Menurut Piaget (Hergenhahn, 1982), berpikir selaku prasyarat berbahasa, terus meningkat secara progresif dan terjadi pada setiap tahap pertumbuhan selaku hasil dari pengalaman dan akal budi. Perkembangan anak secara biasa dan perkembangan bahasa awal anak berkaitan bersahabat dengan banyak sekali  kegiatan anak , objek, dan insiden yang mereka alami dan menjamah, mendengar, melihat, merasa, dan membau.
Vygotsky (1986), mengemukakan bahwa kemajuan kognitif dan bahasa anak berhubungan dekat dengan kebudayaan dan penduduk tempat anak dibesarkan. Vygotsky menggunakan perumpamaan zona perkembangan proximal (ZPD) untuk peran-tugas yang merepotkan untuk diketahui sendiri oleh anak. ZPD juga memiliki batas yang lebih rendah merupakan tingkat problem yang dipecahkan anak dan batas yang lebih tinggi ialah tingkat tanggung jawab ekstra yang dapatditerima anak dengan santunan orang cukup umur.
Teori kognitif dikritik berkenaan dengan persepsi bahwa bahasa mempunyai efek yang kecil terhadap kemajuan kognisi . usulan ini berlawanan dengan penelitian yang menandakan bahwa pengetahuan baru dapat diperoleh seseorang lewat mengatakan dan menulis.
Teori perkembangan kognitif yang dipelopori oleh Piaget mempunyai pandangan bahwa anak dilahirkan dengan kecenderungan menjadi baik. Teori Jean Piaget sangat perhatian sekali kepada perkembangan kognitif atau intelektual. Piaget merekomendasikan bahwa kesuksesan pertumbuhan kognitif mengikuti proses yang urut meliputi empat fase. Pada masing-masing fase perkembangan, seseorang menggunakan tiga metode primer, ialah asimilasi, fasilitas dan penyesuaian.
Asimilasi yakni keseluruhan proses yang di jalani seseorang dalam menerima dan bereaksi kepada suasana baru dengan memakai mekanisme yang telah siap dan telah mereka miliki.
Akomodasi yaitu proses berubah lewat proses pematangan kognitif, sehingga ia bisa memecahkan masalah yang mana sebelumnya ia tidak bisa memecahkan duduk perkara tersebut.
Adaptasi ialah kemampuan untuk menanggulangi permintaan dari lingkungan.
Perkembangan kognitif yang sedang menuju terhadap kedewasaan menimbulkan mereka mapu berpikir kritis dan berani mengecek diri. Kemampuan daya pikir yang semakin membaik membuat mereka mampu menggunakan alternatif dan mengantisipasi aneka macam kemungkinan konsekuensi atas keputusan mereka.
B.     TEORI PRAGMATIK
Para penganut teori pragmatik berpandangan bahwa anak mencar ilmu bahasa dalam rangka sosialisasi dan mengarahkan perilaku orang lain semoga sesuai dengan keinginanya. Teori ini berasumsi bahwa anak selain mencar ilmu bentuk dan arti bahasa, juga termotivasi oleh fungsi bahasa yang bermanfaat bagi mereka. Dengan demikian anak mencar ilmu bahasa disebabkan oleh berbagai tujuan dan fungsi bahasa yang dapat mereka dapatkan.
Halliday (dalam Bromley, 1995), mengevaluasi cara anak membuatkan bahasa awal lewat interaksi dengan orang lain sebagai berikut.
1.      Bahasa Instrmental  (Instrumental Language),acuan: saya ingin….
2.      Bahasa dogmatis (Regulatory Language),contoh: berikan pada saya….
3.      Bahasa Interaksi (Interactional Language),pola: ajaklah saya….
4.      Bahasa Personal (Personal Language), acuan: saya senang ini….
5.      Bahasa heuristic (Heuristic Language),acuan: mengapa? Bagaimana?
6.      Bahasa imajinatif (Imajinative Language), teladan:  seandainya aku….
7.      Bahasa Informatif (Informative Language), pola: ada hal yang ingin aku sampaikan….
Ketika aku mengharapkan sesuatu dengan mengatakan ‘minum’ dan memegang gelasnya yang kosong, anak tersebut menyadari bahwa bahasa dapat dipakai untuk meminta dan mendapatkan sesuatu.
Para penganut teori pragmatik mempelajari ihwal aneka macam aktivitas berbahasa, yang meliputi konteks kalimat dan kecenderungan pembicara,namun tidak mampu memberi penjelasan tentang cara anak belajar sintaksis.
Aliran filsafat ini disebut juga instrumentalisme atau eksperimentalisme. Disebut instrumentalisme sebab memandang bahwa tujuan indonesia bukanlah terminal, akan tetapi alat atau unstrumen untuk mencapai tujuan selanjutnya. Dan dikatakan eksperimental sebab untuk menunjukan kebenaran digunakan sistem eksperimen.
Tokoh pedoman ini antara lain yakni John Dewey dan Williams James. Pragmatisme ialah salah satu ajaran filsafat yang anti metafisika. Kenyataan yang bahwasanya adalah realita fisik. Dewey dalam bukunya, Democracy and Education, menekankan pentingnya pendidikan sebab berdasarkan tiga pokok ajaran, yakni (1) pendidikan merupakan kebutuhan untuk hidup, (2) pendidikan selaku kemajuan, dan (3) pendidikan selaku fungsi sosial.
Oleh sebab itu, dalam hal ini pendidikan mesti bisa memfasilitasi anak dalam melaksanakan proses sosialisasi sehingga mampu menjadi warga masyarakat yang dibutuhkan.
Beberapa persepsi Dewey wacana pendidikan dapat dirangkum sebagai berikut :
1.      Insting dan potensi-potensi anak menjadi titik tolak untuk semua pendidikan.
2.      Pendidikan yakni proses hidup itu sendiri dan bukan persiapan untuk hidup.
3.      Sebagai forum sosial, sekolah mesti menyuguhkan kehidupan faktual dan penting bagi anak sebagaimana terdapat di dalam rumah, di lingkungan sekitar, atau di lingkungan penduduk luas.
Peranan pendidik berdasarkan pragmatisme bukanlah sebai instruktur yang mendominasi kegiatan pembelajaran, akan tetapi selaku fasilitator. Secara rinci peranan pendidik menurut pragmatisme yaitu selaku berikut :
1.      Pendidik dilarang memaksakan sebuah inspirasi atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan minatdan kebutuhan akseptor bimbing.
2.      Pendidik hendaknya menciptakan suatu suasana, sehingga anak mencicipi adanya suatu duduk perkara yang ia hadapi, sehingga timbul minat untuk memecahkan duduk perkara tersebut.
3.      Untuk menghidupkan minat anak, hendaknya guru mengenal kesanggupan serta minat masing-masing atau akseptor bimbing.
C.    TEORI INTERAKSIONIS
Kajian tentang teori interaksionis bertitik tolak dari persepsi bahwa bahasa ialah perpaduan aspek genetik dan lingkungan. Kemampuan kognitif dan berbahasa diasumsikan terjadi secara serentak. Seorang anak dilahirkan dengan kemampuan untuk mempelajari dan mengemukakan bahasa, dan kemampuan berinteraksi dengan lingkungannya yang mencakup palsu, reinforcement, reward, dan tugas sosial. Para ahli interaksionis menjelaskan bahwa aneka macam aspek mirip sosial, linguistik, kematangan, biologis, dan kognitif, saling menghipnotis, berinteraksi, dan memodifikasi satu sama lain sehingga besar lengan berkuasa kepada kemajuan bahasa individu.
Pemahaman kita terhadap cara berpikir manusia dan memproses gosip memperbesar pengetahuan kita terhadap kesanggupan berbahasa seseorang. Pandangan teori yang bersifat menyeluruh ini sepertinya mampu menerangkan tentang kemajuan kesanggupan berbahasa anak.
Teori Interaksionalisme simbolik (symbolic interactionism) adalah pendekatan teoritis dalam memahami kekerabatan antara manusia dan masyarakat. Ide dasar teori interaksionisme simbolik ialah bahwa tindakan dan interaksi manusia hanya dapat dimengerti melalui pertukaran symbol atau komunikasi yang sarat makna.

  Ilmu Pendidikan Dan Konsep Pendidikan

Teori interaksionisme simbolik mulai meningkat pada pertengahan kurun ke-20. interaksionisme simbolik berakar dari dua kata yang bermakna berbeda, adalah interaksi dan simbol. Simbolik mengandung pengertian pada makna yang terdapat pada situasi sosial tertentu di mana pelaku berada di dalamnya, sedangkan interaksionis mengandung arti makna tersebut dibuat oleh interaksi di antara pelaku.

Gagasan mengenai teori tersebut muncul dari George Herbert Mead (1863-1931) seorang filsuf Universitas Chicago dan tokoh psikologi sosial. Setelah Mead meninggal, Herbert Blumer, yang juga ialah salah satu sosiolog di Universitas Chicago, mengambil alih seluruh karyanya serta membereskan teori sosialnya dan menamai gagasan Mead tersebut: interaksionisme simbolik. Blumer sendiri juga terpengaruh oleh fatwa Herbert Mead perihal interaksionisme simbolik. Karya Blumer yang terkenal dalam perspektif teori ini ialah kumpulan esainya yang berjudul Symbolic Interactionism: Perspective and Method.


Tiga prinsip utama interaksionisme simbolik menurut Blumer adalah:
1.       Manusia bertindak lewat hal-hal pada makna yang ada di dalamnya.
2.      Makna-makna tersebut muncul dari interaksi sosial.
3.      Tindakan sosial ialah hasil dari tindakan-tindakan individu.
Teori interaksionisme simbolik berpendapat bahwa penduduk (insan) yakni produk sosial. Teori ini mempunyai metodologi yang khusus, alasannya adalah interaksionisme simbolik menyaksikan makna selaku bab mendasar dalam interaksi penduduk . Dalam observasi mengenai interaksi dalam penduduk tersebut, teori interaksionisme simbolik cenderung menggunakan sistem kualitatif dibanding tata cara kuantitatif.
BAB III
KESIMPULAN
Teori kognitif bertitik tolak pada pertimbangan bahwa anak dilahirkan dengan kecenderungan untuk berperan aktif kepada lingkungannya, dalam memproses suatu info, dan dalam menyimpulkan tentang struktur bahasa.
Teori pragmatik berpandangan bahwa anak mencar ilmu bahasa dalam rangka sosialisasi dan mengarahkan perilaku orang lain agar sesuai dengan keinginanya. Teori ini berasumsi bahwa anak selain mencar ilmu bentuk dan arti bahasa, juga termotivasi oleh fungsi bahasa yang berguna bagi mereka. Dengan demikian anak berguru bahasa disebabkan oleh aneka macam tujuan dan fungsi bahasa yang dapat mereka dapatkan
Teori interaksionalisme simbolik (symbolic interactionism) ialah pendekatan teoritis dalam memahami kekerabatan antara manusia dan masyarakat. Ide dasar teori interaksionisme simbolik yakni bahwa tindakan dan interaksi manusia hanya dapat dipahami lewat pertukaran symbol atau komunikasi yang penuhmakna.
DAFTAR PUSTAKA
Dhieni, Nurbiana, dkk. Metode Pengembangan Bahasa.: Penerbit Universitas Terbuka
Sujiono, Yuliani Nurani. 2009. Konsep Dasar Anak Usia Dini.  Jakarta : PT INDEKS