Pertikaian Kekerabatan Industrial

A. Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial

Hubungan industrial pada dasarnya merupakan suatu kekerabatan hukum yang dilakukan antara usahawan dengan pekerja. Adakalanya kekerabatan itu mengalami suatu pertikaian. Perselisihan itu dapat terjadi pada siapapun yang sedang melakukan kekerabatan hukum.
Perselisihan dibidang kekerabatan industrial yang selama ini diketahui dpaat terjadi tentang hak yang sudah ditetapkan, atau mengenai keadaan ketenagakerjaan yang belum ditetapkan, baik dalam kontrakkerja, peraturan perushaan, persetujuankerja bareng , maupun peraturan perundang-undangan.
Perselisihan hubungan industrial mampu pula disebabkan oleh pemutusan korelasi kerja. Hal ini terjadi alasannya kekerabatan pekerja/buruh dan usahawan ialah relasi yang didasari oleh kesepakatan para pihak untuk mengikat diri dalam suatu kekerabatan kerja. Apabila salah satu pihak tidak menghendaki lagi untuk tetap mempertahankan relasi yang serasi. Oleh sebab itu, perlu dicari jalan keluar yang terbaik bagi kedua belah pihak untuk menentukan bentuk solusi, sehingga Pengadilan Hubungan Industrial yang diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 akan dapat menuntaskan masalah-masalah pemutusan korelasi kerja yang tidak diterima oleh salah satu pihak.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undnag-Undang No. 2 Tahun 2004 perihal Pengadilan Hubungan Industrial, yang dimaksud dengan Perselisihan Hubungan Industrial yakni perbedaan pertimbangan yang mengakibatkan pertentangan antara pebisnis atau adonan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/ serikat buruh alasannya adalah adanya perselisihan tentang hak, pertikaian kepentingan, pertikaian pemutusan korelasi kerja, dan perselisihan antarserikat/serikat buruh dalam satu perusahaan.
B. Jenis Perselisihan Hubungan Industrial
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 undang-Undang No. 2 Tahun 2004, jenis Perselisihan Hubungan Industrial mencakup :
a. Perselisihan hak;
b. Perselisihan kepentngan;
c. Perselisihan pemutusan relasi kerja; dan
d. Perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Dalam ketentuan tersebut, mampu dimengerti bahwa bentuk Perselisihan Hubungan Industrial ada empat, yaitu :
1. Perselisihan Hak ialah pertikaian yang muncul karena tidak dipenuhinya hak, balasan adanya perbedaam pelaksanaan atau penafsiaran kepada ketentuan perundang-permintaan, kesepakatankerja, peraturan perushaan, atau perjanjian kerja bersama.
2.Perselisihan kepentingan yakni perselisihan yang muncul dalam hubunga kerja karena tidak adanya kesesuaian pertimbangan mengenai pengerjaan, dan/atau peraturan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam persetujuankerja,atau peraturan perusahaan, atau kesepakatankerja bersama.
3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja yaitu perselisihan yang timbul sebab tidak adanya kesesuaian usulan mengenai pengakhiran relasi kerja yang dilaksanakan oleh salah satu pihak.
 
4. Perselisiahan antarseriakt pekerja/serikat buruh yakni pertengkaran antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain cuma dalam satu perushaan, alasannya adalah tidak adanya persesuaian paham tentang keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatpekerjaan.
Dalam pertimbangan- usulandiatas, undang-undnag ini menertibkan penyelesaian pertengkaran relasi industrial yang disebabkan oleh :
1. Perbedaan usulan atau kepentingan tentang kondisi ketenagakerjaan yang belum dikelola dalam persetujuankerja,peraturan perusahaan, kesepakatankerja bersama, atau peraturan perundang-seruan .
2. Kelalaian atau ketidakpatuhan salah satu atau para pihak dalam melakukan ketentuan normatif yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perushaan, persetujuankerja bareng , atau peraturan perundang-permintaan;
3. Pangakhiran korelasi kerja;
4. Perbedaan usulan anatarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perushaan perihal pelaksanaan hak dan keharusan keserikatpekerja.
C. Beberapa Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan
Sejalan dengan kemajuan zama era globalisasi telah barang pasti tuntutan perkembangan solusi sengketa perburuhan juga memerlukan payung dalam aneka macam produk perundang-seruan yang dapat mengantisifasinya.
Sebelum Reformasi dalam pembaharuan perundang-ajakan perburuhan dan ketenaga kerjaan persoalan solusi sengketa buruh masih memakai undang-undang lama antara lain :
1.    Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 lembaran Negara No.42 Tahun 1957 perihal penyelesaian perselisihan perburuhan.
2.    Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 Lembaga Negara No.93 Tahun 1964 perihal pemutusan korelasi kerja di perusahaan swasta.
Didalam kedua produk Perundang-ajakan ini menunjukkan jalan penyelesaian sengketa buruh lebih di titik beratkan pada musyawarah mufakat antara buruh dan majikan lewat Lembaga Bepartie, dan bila tidak terselesaikan dapat dilanjutkan ke Lembaga Tripartie, dan seterusnya mampu dilanjutkan ke Pengadilan P4D dan P4P.
Akan tetapi pada zaman sekarang ini dimana semakin kompleksnya permasalahan perburuhan Undang-undang lama tersebut tidak mampu lagi memperlihatkan jalan keluar dalam menuntaskan sengketa perburuhan, sehingga di undangkanlah Undang-undang lain mirip Undang-undang Hak Azasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999, Undang-undang Serikat Pekerja Nomor 21 Tahun 2000, dan Undang-undang penyelesaian pertikaian Industrial Nomor 2 Tahun 2004.
Penyelesaian Sengketa Buruh Melalui Komisi Nasional Hak Azasi Manusia 
Undang-undang Hak Azasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999 memberi kesempatan bagi Buruh dan Tenaga Kerja dalam menyelesaikan sengketa buruh. Walaupun banyak kaum awam belum paham wacana tata cara penyelesaian sengketa Buruh melalui Komisi Nasional Hak Azasi Manusia, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 memberi potensi sengketa buruh dapat teratasi melalui Komisi Hak Azasi Manusia. Pada pasal 89 ayat 3 sub h, dikemukakan Komnas HAM mampu menyelesaikan dan memberi pendapat atas sengketa publik, baik terhadap kasus buruh yang telah disidangkan maupun yang belum disidangkan. Penjelasan Undang-undang tersebut menyampaikan sengketa publik yang dimaksud di dalam Undang-undang Hak Azasi Manusia tersebut termasuk 3 (tiga) kelompok sengketa besar, antara lain sengketa pertanahan, sengketa ketenaga kerjaan dan sengketa lingkungan hidup.
Sengketa ketenaga kerjaan termasuk sengketa publik dapat mengusik ketertiban umum dan stabilitas Nasional, maka kesempatan pengaduan pelanggaran Hak-hak Buruh tersebut dapat disalurkan ke Komisi Nasional Hak Azasi Manusia sesuai dengan isi Pasal 90 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 yang berbunyi pada ayat 1 “ Setiap orang atau kelompok orang yang mempunyai argumentasi kuat bahwa Hak Azasinya telah dilanggar dapat mengembangkan laporan dan pengaduan mulut atau tertulis pada Komisi Nasional Hak Azasi Manusia”. Kemudian dikuatkan lagi dalam Bab VIII Pasal 101 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tersebut Lembaga Komnas HAM mampu menampung seluruh laporan masyarakat wacana terjadinya pelanggaran Hak Azasi Manusia.\
Penyelesaian Sengketa Buruh Di Luar Pengadilan 
Penyelesaian pertikaian Hubungan Industrial dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 perihal Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial memungkinkan solusi sengketa buruh/Tenaga Kerja diluar pengadilan.

1.    Penyelesaian Melalui Bipartie
Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 ihwal Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial memberi jalan penyelesaian sengketa Buruh dan Tenaga Kerja berdasarkan musyawarah mufakat dengan mengadakan azas kekeluargaan antara buruh dan majikan. Bila terdapat komitmen antara buruh dan majikan atau antara serikat pekerja dengan majikan, maka dapat dituangkan dalam perjanjian komitmen kedua belah pihak yang disebut dengan perjanjian bersama.
Dalam perjanjian bareng atau kesepakatan tersebut harus ditandatagani kedua belah pihak sebagai dokumen bersama dan merupakan kesepakatanperdamaian.
2.    Penyelesaian Melalui Mediasi
Pemerintah dapat mengangkat seorang Mediator yang bertugas melakukan Mediasi atau Juru Damai yang dapat menjadi penengah dalam menyelesaikan sengketa antara Buruh dan Majikan. Seorang Mediator yang diangkat tersebut memiliki syarat-syarat sebagaimana dituangkan dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 wacana Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan minimal berpendidikan S-1. Dalam waktu 7 (tujuh) hari setiap mendapatkan pengaduan si Buruh, Mediator telah menyelenggarakan masalah sengketa yang mau diadakan dalam konferensi Mediasi antara para pihak tersebut.
Pengangkatan dan fasilitas perantara ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Bila sudah tercapai akad penyelesaian perselisihan melalui Mediator tersebut dibuatkan perjanjian bareng yang ditandatangani para pihak dan mediator tersebut, kemudian kesepakatantersebut didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri lokal.
3.    Penyelesaian Melalui Konsiliasi
Penyelesaian lewat Konsiliator ialah pejabat Konsiliasi yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Tenaga Kerja berdasarkan saran organisasi serikat pekerja atau Serikat Buruh. Segala patokan menjadi pejabat Konsiliator tersebut didalam pasal 19 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 perihal Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dimana peran paling penting dari Kosiliator yaitu memangil para saksi atau para pihak terkait dalam tempo selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak mendapatkan solusi Konsiliator tersebut.
Pejabat Konsiliator mampu mengundang para pihak yang bersengketa dan membuat perjanjian bersama apabila kesepakatan telah tercapai. Pendaftaran perjanjian bareng yang diprakarsai oleh Konsiliator tersebut dapat didaftarkan didepan pengadilan Negeri lokal. Demikian juga eksekusinya mampu dijalankan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri lokal tesebut.
4.    Penyelesaian Melalui Arbitrase
Undang-undang mampu menuntaskan pertengkaran melalui arbitrase mencakup perselisihan kepentingan dan pertikaian antar Serikat Pekerja dan Majikan didalam sebuah perusahaan. Untuk ditetapkan sebagai seorang Arbiter sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) berbunyi :
1.    Beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa
2.    Cakap melakukan tindakan aturan
3.    Warga negara Indonesia
4.    Berumur sedikitnya 45 (empat puluh lima) tahun
5.    Pendidikan sekurang-kurangnya Starata Satu (S-1)
6.    Berbadan sehat sesuai dengan surat keterangan dokter
7.    Menguasai peraturan perundang-seruan dibidang ketenaga kerjaan yang dibuktikan dengan akta atau bukti kelulusan telah mengikuti ujian arbitrase dan
8.    Memiliki pengalaman dibidang hubungan industrial sedikitnya 5 (lima) tahun.
Pengangkatan arbiter berdasarkan keputusan Menteri Ketenagakerjaan. Para pihak yang bersengketa dapat menentukan Arbiter yang mereka senangi mirip yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Putusan Arbiter yang menjadikan keraguan dapat dimajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan Negeri setempat dengan mencantumkan argumentasi-alasan sahih yang mengakibatkan keraguan tersebut. Putusan Pengadilan Negeri dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 wacana Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dapat menciptakan putusan tentang argumentasi ingkar dan dimana tidak mampu diajukan perlawanan lagi. Bila tercapai perdamaian, maka menurut isi Pasal 44 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 wacana Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, seorang arbiter mesti membuat Akte Perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan disaksikan seorang Arbiter atau Majelis Arbiter.
Penetapan Akte Perdamaian tersebut didaftarkan dimuka pengadilan, dan dapat pula di exekusi oleh Pengadilan atau putusan tersebut, sebagaimana lazimnya. Putusan Kesepakatan Arbiter tersebut dibentuk rangkap 3 (tiga) dan diberikan terhadap masing-masing pihak satu rangkap, serta didaftarkan didepan Pengadilan Hubungan Industrial kepada putusan tersebut yang sudah berkekuatan hukum tidak dapat dimajukan lagi atau sengketa yang serupa tersebut tidak mampu dimajukan lagi ke Pengadilan Hubungan Industrial.

Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan 
Sebelum keluarnya Undang-undang Hubungan Industrial penyelesaian sengketa perburuhan diatur didalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1957 melalui peradilan P4D dan P4P.
Untuk mengantisipasi solusi dan penyaluran sengketa Buruh dan Tenaga Kerja sejalan dengan permintaan perkembangan zaman dibentuk dan di undangkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial selaku wadah peradilan Hubungan Industrial disamping peradilan umum.
Dalam Pasal 56 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 perihal Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengatakan Pengadilan kekerabatan industrial bertugas dan berwenang mengusut dan menetapkan :
1.    Di tingkat pertama tentang perselisihan hak
2.    Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan
3.    Di tingkat pertama mengenai pertikaian pemutusan kekerabatan kerja
4.    Di tingkat pertama dan terakhir tentang pertikaian antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Adapun susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri berisikan :
1.    Hakim
2.    Hakim ad Hoc
3.    Panitera Muda, dan
4.    Panitera Pengganti.
Untuk Pengadilan Kasasi di Mahkamah Agung terdiri dari :
1.    Hakim Agung
2.    Hakim ad Hoc pada Mahkamah Agung ; dan
3.    Panitera
Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung RI harus memiliki syarat-syarat selaku berikut :

  Cara Memperoleh Dan Ciri-Ciri Hak Milik

1.    Warga negara Indonesia;
2.    Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3.    Setia kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
4.    Berumur terendah 30 (tiga puluh) tahun;
5.    Berbadan sehat sesuai dengan informasi dokter;
6.    Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
7.    Berpendidikan serendah-rendahnya Starata Satu (S-1) kecuali bagi Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung, syarat pendidikan Sarjana Hukum, dan
8.    Berpengalaman dibidang relasi industrial minimal 5 (lima) tahun.

Pengangkatan dan penunjukan Hakim Ad Hoc tersebut pad pengadilan Hubungan Industrial menurut SK. Presiden atas undangan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Sebelum memangku jabatan Hakim Ad Hoc wajib disumpah atau menunjukkan kesepakatan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing serta Hakim Ad Hoc tersebut tidak boleh merangkap Jabatan sebagaimana dituangkan dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 ihwal Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Hukum program yang dipakai untuk mengadili sengketa perburuan tersebut adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku dilingkungan Pengadilan Umum, kecuali di atur secara khusus oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 wacana Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial serta menuggu keputusan Presiden untuk menentukan Tata Cara pengangkatan Hakim Ad Hoc Ketenaga Kerjaan. Sebelum Undang-Undang ini berlaku secara effektif didalam masyarakat dalam solusi pemutusan Hubungan Kerja masih menggunakan KEP/MEN/150 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, tentang Undang-Undang Ketenagakerjaan .

Daftar Pustaka 

 Buku :
 “Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi” oleh : Asri Wijayanti, SH.,MH (halaman 178-184)

Blog :
https://wonkdermayu.wordpress.com/postingan/beberapa-cara-solusi-sengketa-perburuhan/.
( diakses pada Senin, 04 April 2016)