Acuan Makalah Filsafat Aturan Tentang Peran Aturan Sebagai Pembaharuan Penduduk

PERAN HUKUM SEBAGAI PEMBAHARUAN MASYARAKAT
Kelompok VII

Kiky Rizkyanto. H               ( 04020130118 )
Sandy Alfiar Pattiwael          ( 04020130178 )
M. Adrian Khatami Amin      ( 04020130117 )
Nur Rahmah                        ( 04020130234 )
Annisa                                 ( 04020130208 )

Kelas : C2

FAKULTAS HUKUM
ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur aku panjatkan kedatangan Tuhan Yang Maha Esa, sebab berkat rahmat, dan hidayahNya, kami  mampu menyelesaikan Makalah Filsafat Hukum tentang “Peran Hukum Sebagai Pembaharuan Masyarakat”. Semoga dengan membaca makalah  ini,  para pembaca akan lebih mengetahui tugas hukum selaku pembaharuan masyarakat. Kritik dan anjuran demi perkembangan makalah ini sungguh dibutuhkan.  Semoga makalah ini dapat berguna.
    Penyusun

    Kelompok VII

DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………………………….     i
Daftar Isi …………………………………………………………………………………….     ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang………………………………………………………………………     1
B.    Rumusan Masalah…………………………………………………………………..     2
C.    Tujuan …………………………………………………………………………………     2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Peran Hukum Sebagai Pembaharuan Masyarakat ………………………….   3
BAB III PENUTUP
A.     Kesimpulan  ………………………………………………………………………….  18
B.    Saran …………………………………………………………………………………..   19
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Hukum senantiasa menjadi rujukan harapan rakyat Indonesia untuk merealisasikan keadilan. Keadilan yang menjadi salah satu dari tujuan hukum sebaiknya dapat di praktekan dalam upaya membangun penduduk , bukan mengadili masyarat dalam pembangunan dengan dalih bahwa kita yaitu negara hukum. Peranan aturan dalam membangun masyarakat, bermakna juga bahwa kedaulatan aturan berada di tangan rakyat sebagaimana pengertian kedaulatan rayat dalam berdemokrasi. Meskipun dalam penerapan serta penegakannya antar demokrasi dan hukum berlawanan.

Sebagai negara aturan, tentunya hukum menjadi salah satu instrumen penting dalam pembangunan Indonesia. Pembangunan yang dimaksudkan pastinya tidak pada fisik semata yang terbatas oleh ruang dan waktu tertentu. Melainkan pembangunan mutu segenap rakyat Indonesia dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang bersifat proyeksi jauh kedepan. Pada zaman reformasi kini ini, hukum di tuntut menjadi panglima bagi kemajuan bangsa, seiring dengan perkembangan demokrasi kita. Namun, cukup umur ini aturan condong terpasung oleh demokrasi itu sendiri. Demokrasi sebaiknya dapat berbanding lurus dengan kedaulatan hukum (Nomokrasi) dalam perjalananya membangun bangsa ini.

Berdemokrasi dalam membangun bangsa haruslah di landasi dengan kedaulatan aturan yang merupakan impian dari demokrasi itu sendiri. Sehingga barulah kita mampu membangun bangsa ini dari segala sektor, dan  lalu apa yang di sebut dengan mencerdaskan kehidupan bangsa mampu terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Kaprikornus peranan aturan dalam pembaharuan dan pembangunan penduduk yakni hal yang sangat penting sebagai negara aturan.

B.    Rumusan Masalah
1.    Bagaimana Peran Hukum Sebagai Pembaharuan Masyarakat ?

C.    Tujuan
1.    Untuk mengenali sejauh mana  peranan hukun selaku pembaharuan masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN


A.    Peran Hukum Sebagai Pembaharuan Masyarakat

Sebagai instrumen penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hukum tentunya tidak mampu dipisahkan dalam pembangunan penduduk kearah yang lebih baik. Maka dari itulah, hukum di inginkan mampu mengarahkan atau merekayasa kemana arah peradaban yang mau di tuju oleh negara. Tidak semata-mata berkembang dan meningkat sesuai dengan keadaan atau impian masyarakat tanpa ada kendali dari negara. Seiring dengan perkembangan zaman, kajian-kajian kritis wacana aturan nasional kitapun terus berkembang. Dan filsafat hukum menjadi salah satu objek kajian filosofis tentang aturan.
Kata “filsafat” berasal dari bahasa Yunani: philein (mengasihi) dan sophia (kecerdikan). Kaprikornus, secara etimologis filsafat bermakna cinta akan budi. Pythagoras, salah satu murid Plato, mengerti sophia selaku “pengetahuan hasil kontemplasi” untuk membedakannya dari keterampilan simpel hasil pembinaan teknis yang dimiliki dalam dunia bisnis dan para atlet. Dengan demikian, dalam berguru filsafat kita berupaya mencari pengetahuan atau kebenaran dan bukan wawasan dalam arti keahlian mudah.
Filsafat aturan bukan sesuatu yang merepotkan untuk di pahami, sebagaimana kita mengerti atau merenungkan wacana pengertian filsafat. Menurut Prof. Dr. D.H.M Meuwissen guru besar Universitas Gronigen Belanda. Filsafat hukum yaitu filsafat. Oleh karena itu, ia merenungkan semua persoalan mendasar dan duduk perkara yang termarginalkan yang berkaitan dengan tanda-tanda aturan. Sedangkan berdasarkan Dr. Soedjono Dirdjosisworo, S.H. (2000: 48) menunjukkan definisi filsafat hukum selaku ilmu pengetahuan yang mempelajari pertanyaan-pertanyaan mendasar dari aturan. Atau ilmu wawasan perihal hakikat aturan. Dikemukakan dalam ilmu ini wacana dasar-dasar kekuatan mengikat dari hukum.
Dari pengertian filsafat hukum di atas, jelaslah bahwa filsafat hukum  bukanlah sesuatu hal yang sulit untuk di kerjakan. Kita di tuntut cuma untuk merenungkan masalah-problem mendasar atau merginal dalam kehidupan sosial yang mengakibatkan gejala hukum. Maka ketika kita telah melakukan perenungan tersebut saat itu juga itu juga kita sudah mampu di katakan sedang berfilsafat aturan. 
Setelah mengetahui tentang esensi dari filsafat aturan, maka berfilsafat hukum tentulah dapat di katakan sungguh berhubungan dengan aturan sebagai sarana pembangunan dan pembaharuan masyarakat (Law As A Tool Of Social Engineering). Tentang bagaimana mewujudkan Social Engineering (Rekayasa Sosial), sudah di kemukakan oleh Recoe Pond (1870-1964).
Rescoe Poun menyatakan bahwa hukum adalah selaku alat untuk membangun masyarakat. Namun, dengan membuat penggolongan atas kepentingan yang mesti di lindungi, yakni kepentingan umum (Public Interest), kepentingan sosial (Social Interest), dan kepentingan penduduk (Privat Interst).
Apa yang telah di kemukakan oleh Rescoe Poun sudah semestinya menjadi solusi bagi pembangunan dan pembaharuan penduduk Indonesia ketika ini. Hukum yang Identik dengan kepentingan penguasa kerap kali mengabaikan kepentingan penduduk , baik secara biasa maupun pribadi. Kondisi hukum di Indonesia saat ini amatlah memprihatinkan, urusan hukum timbul dari sudut pandang manapun. Di lihat dari sudut pandang Teori dan Politik Hukum, produk aturan kita cenderung pada kepentingan kekuasaan. Produk hukum kita yang kadang kala di terpa berita hukum yaitu pertentangan norma, kekaburan norma dan kekosongan norma, membuat hukum kita tidak lagi mampu menjadi alat untuk membangun masyarakat. Belum lagi di lihat dari sisi penerapan serta penegakannya yang amburadul, dalam hal penegakan dan penerapan aturan seharusnya mampu menjadi acuan terwujudnya tujuan aturan yakni kepastian hukum yang bermuara pada keadilan dan ketertiban, bukan malah menjadi alat untuk mencidrai tujuan hukum itu sendiri. Sehingga kedaulatan aturan di pertaruhkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di alam demokrasi ini. 
Oleh alasannya adalah itu, menurut Satjipto Rahardjo (1986: 170-171), langkah yang diambil dalam social engineering bersifat sistematis, dimulai dari identifikasi dilema sampai kepada jalan pemecahannya, ialah :
1.      Mengenai problem yang dihadapi sebaik-baiknya. Termasuk di dalamnya mengenali dengan saksama masyarakat yang mau menjadi target dari penggarapan tersebut;
2.      Memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting dalam hal; social engineering itu hendak terapkan pada penduduk dengan sektor-sektor kehidupan beragam, seperti : tradisional, modern, dan pencernaan. Pada tahap ini diputuskan nilai-nilai dari sector mana yang diseleksi;
3.      Membuat hipotesis-hipotesis dan menentukan mana yang paling pantas untuk bisa dikerjakan.
Di Indonesia, konsep Pound ini dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, aturan di Indonesia tidak cukup berperan selaku alat, namun juga sebagai sarana pembaharuan penduduk . Pemikiran ini oleh sejumlah ahli aturan Indonesia disebut-sebut sebagai mahzab tersendiri dalam filsafat aturan, ialah Mahzab Filsafat Hukum Unpad.
 Pendekatan sosiologis yang diusulkan oleh Mochtar dimaksudkan untuk tujuan praktis, adalah dalam rangka menghadapi permasalahan pembangunan sosial-ekonomi. Ia juga melihat, urgensi penggunaan pendekatan sosialogis dengan mengambil versi berpikir Pound ini, lebih-lebih dinikmati oleh Negara-negara berkembang ketimbang Negara-negara maju. Hal itu tidak lain alasannya adalah mekanisme aturan di negara-negara berkembang belum semapan di Negara-negara maju.
Mengingat pembangunan social-ekonomi ini selalu menenteng pergantian-pergantian, maka sebaiknya aturan itu mengambil peran, sehingga pergantian-pergantian tersebut mampu diatur biar berlangsung tertib dan terstruktur. Dalam hal ini hukum tidak lagi bangun di belakang fakta (het recht hinkt achter de feiten aan), tetapi justru sebaliknya.
Hukum dalam desain Mochtar tidak diartikan selaku alat tetapi sebagai fasilitas pembaharuan penduduk . Pokok-pokok fikiran yang melandasi desain tersebut yaitu bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaruan memang diharapkan, bahkan dianggap dan  bahwa aturan dalam arti kaidah dibutuhkan dapat mengarahkan aktivitas manusia kearah yang diinginkan oleh pembangunan dan pembaharuan itu. Untuk itu diharapkan rekomendasi berbentukperaturan hukum yang berupa tertulis (baik perundang-seruan maupun yurisprudensi), dan aturan yang berupa tertulis itu mesti sesuai dengan hukum yang lain dalam masyarakat bergotong-royong, Konsep Mochtar ini tidak cuma dipengaruhi oleh Sociological Jurisprudence, tetapi juga oleh Pragmatic Legal Realism.
Lebih jauh lagi, Mochtar (1976:9-10) beropini bahwa pemahaman sarana lebih luas dari pada alat (tool). Alasannya di Indonesia peranan perundang-ajakan dalam proses pembaruan aturan lebih menonjol, contohnya kalau dibanding dengan Amerika Serikat, yang menempatkan yurisrudensi (khususnya putusan Supreme Court) pada kawasan lebih penting,  rancangan hukum sebagai alat akan menjadikan hasil yang tidak jauh berlawanan dari penerapan legisme sebagaimana pernah dirasakan pada zaman Hindia Belanda, dan di Indonesia ada sikap yang memberikan kepekaan masyarakat untuk menolak penerapan konsep mirip itu, dan kalau hukum di sini tergolong juga hukum internasional, maka desain aturan sebagai fasilitas pembaharuan penduduk telah dipraktekkan jauh sebelum desain ini diterima resmi selaku landasan kebijakan hukum nasional. 
Mochtar (1976:10), kemudian memastikan, dari uraian diatas kiranya terperinci bahwa walaupun secara teoritis konsepsi hukum yang melandasi budi aturan dan perundang-ajakan (reschts politik) sekarang ini dijelaskan menurut istilah atau konsepsi-konsepsi atau teori era sekarang yang berkembang di Eropa dan di Amerika Serikat, namun pada hakekatnya konsepsi tersebut lahir dari penduduk Indonesia sendiri berdasarkan kebutuhan yang mendesak dan dipengaruhi aspek-aspek yang berakar dalam sejarah penduduk dan bangsa kita.
Meskipun Mochtar menegaskan, bahwa gagasannya juga dipengaruhi oleh aspek-faktor yang berakar pada sejarah bangsa, berdasarkan Soetandyo Wignjosoebroto (1994:232-233), Mochtar tidak terlalu percaya bahwa budaya, tradisi, dan aturan asli rakyat pribumi harus dilestarikan seperti yang pernah dijalankan pada kurun-masa pemerintah kolonial. Kebijakan anti-acculturation yang tidak menghadirkan pertumbuhan apa-apa, sedangkan introduksi hukum Barat dengan tujuan-tujuan yang terbatas pun kenyataannya hanya mempunyai dampak kecil untuk proses modernisasi (Indonesia) secara keseluruhannya. Untuk itu, Mochtar menganjurkan semoga pembangunan aturan nasional di Indonesia hendaklah tidak secara tergesa-gesa dan terlalu pagi membuat keputusan : hendak hukum colonial berdasarkan acuan-pola anutan Barat, ataukah untuk secara a priori mengembangkan hukum budpekerti selaku aturan nasional.
Sebelum menetapkan apa yang akan dikembangkan selaku hukum nasional, Mochtar merekomendasikan supaya dikerjakan penelitian-penelitian terlebih dulu untuk memilih bidang aturan apa yang perlu diperbaharui, dan bidang (ranah) apa yang dibiarkan meningkat sendiri. Mochtar menyaksikan, bahwa untuk hukum-aturan yang tidak netral, pembangunannya diupayakan sedekat mungkin bekerjasama dengan budaya dan kehidupan spiritual bangsa. Di segi lain, untuk bidang hukum lain, mirip persetujuan, badan usaha, dan tata niaga, dapat diatur melalui aturan perundang-ajakan nasional. Untuk ihwal lain yang lebih netral seperti komunikasi, pelayaran, pos dan telekomunikasi versi yang sudah dikembangkan dalam system hukum gila pun dapat saja ditiru.
Soetandyo Wignjosoebroto mengatakan bahwa wangsit Mochtar ihwal kodifikasi dan unifikasi aturan nasional yang terbatas, yaitu kodifikasi yang terbatas secara pilih-pilih pada aturan yang tidak hendak menyentuh ranah kehidupan budaya dan spiritual  rakyat (setidak-tidaknya untuk sementara ini), sudah menjadi bagian dari acara kerja Badan Pembinaan Hukum Nasional beberapa tahun lamanya.
Ide law as a iool of social engineering ini rupanya gres ditujukan secara selektif untuk mengfungsikan aturan guna merekayasa kehidupan ekonomi nasional saja, dan tak berpretensi akan mampu merekayasa masyarakat dalam seluruh faktor kehidupannya. Ide mirip ini tentu saja bersesuaian dengan kepentingan pemerintah Orde Baru, alasannya adalah wangsit untuk mendahulukan pembangunan hukum yang gayut dengan netral yang juga aturan ekonomi, tanpa melupakan pastinya hukum tatanegara manakala sempat diatasi dengan hasil baik akan sungguh diharapkan dapat dengan cepat menolong penyiapan salah satu infrastruktur politik dan ekonomi.
Soetandyo lebih jauh mencatat, bahwa dalam perkembangannya tidak semua hebat hukum sependapat dengan pertumbuhan aturan nasional dengan cara menyebarkan aturan gres atas dasar prinsip-prinsip yang sudah diterima dalam kehidupan internasional, dengan maksud untuk mendapatkan fasilitas yang berdayaguna membangun infrastruktur politik dan ekonomi nasional dengan membiarkan untuk sementara infrastruktur social budaya yang tidak netral atau belum dapat dinetralkan. Pihak-pihak yang tidak setuju berpendapat, upaya demikian terlalu menyimpang dari tradisi.
Ada dua golongan yang tidak setuju. Pertama, mereka yang percaya harus ada kontinuitas pertumbuhan hukum dari yang lalu (colonial) ke yang kini (nasional). Golongan kedua yaitu mereka yang yakin bahwa aturan nasional harus berakar dan berangkat dari aturan rakyat yang ada, yakni aturan budpekerti. Dengan mengutip John Ball dalam bukunya berjudul Indonesian Law Commentary and Teaaching Materials (1985) dan The Struggle or National Law in Indonesia (1986), golongan pertama ini antara lain tokoh-tokoh Pengacara di Jakarta,seperti Adnan Buyung Nasution Sulistio, dan Thiam Hien. Golongan kedua, merupakan kelanjutan dari gerakan yang telah berumur bau tanah, telah kehilangan aktivis-penggerak ilham barunya yang bisa berkompetisi. Beberapa nama yang mampu disebut ialah (almarhum) Djojodigoeno dan M. Koesnoe.
Suatu tanggapan yang lain mengenai pemikiran Mochtar, tiba dari S. Tasrif. Ia mengingatkan semoga training aturan tidak diarahkan untuk menciptakan perundang-undangan gres belaka, tetapi sebaiknya juga menciptakan perundang-usul yang tidak menyampaikan hak asasi insan dan martabat insan, sehingga slogan Rule of law pada hakikatnya akan menjadi rule of just law (Kusumaatmadja,1975:22).   
Pendapat S. Tasrif ini perlu untuk digarisbawahi. Hal ini juga sebetulnya disadari sepenuhnya oleh Mochtar Kusumaatmadja, dengan mengatakan bahwa pelatihan aturan nasional secara menyeluruh menghadapi tiga kelompok masalah (duduk perkara areas), ialah: 1) Inventarisasi dan kepustakaan aturan, 2) Media dan personil (unsure insan), dan 3) kemajuan hukum nasional. Kelompok problem ketiga, kemajuan hukum nasional, dapat dibedakan dalam dua problem, yaitu 1) Masalah penyeleksian bidang hukum mana yang hendak dikembangkan, dan 2) Masalah penggunaan versi-versi asing.
Masalah pertama dapat diselesaikan dengan menggunakan banyak sekali ukuran (kriterium), adalah : 1) Ukuran kebutuhan yang mendesak (urgent need), 2) feasibility, dalam hal ini bidang hukum yang terlalu mengandung komplikasi-komplikasi cultural, keagamaan, dan sosiologis, akan ditundapengembangannya, 3) Perubahan yang pokok (fundamental change), yang tujuannya, perubahan (lewat perundangan-permintaan) di sini diperlukan sebab pertimbangan-usulanpolitis,ekonomis dan/atau sosial. Menurut Mochtar (1975:13), pergeseran hukum demikian sering diadakan oleh Negara-negara bekas jajahan dengan pemerintah yang mempunyai kesadaran politik yang tinggi. Bidang aturan yang biasanya dipilih yaitu hukum agraria, perburuhan, hukum-hukum perihal pertambangan dan industri. Di mana ada harapan untuk menawan penanaman modal aneh maka akan ada tarikan antara harapan demikian dengan keinginan untuk mengadakan perubahan dasar (mendasar change) dalam perundang-seruan yang ditinggalkan pemerintah kolonial yang menempatkan pemerintah yang bersangkutan dalam kedudukan yang tidak murah.
Masalah kedua adalah penggunaan versi-versi (hukum) asing. Walaupun ada kalanya menguntungkan untuk menggunakan versi-versi aturan abnormal, namun seperti disinggung di wajah, Mochtar menyadari bahwa penggunaan versi-model tersebut dapat mengalami kendala. Untuk itu mesti dipertimbangkan apakah pemakaian menggunakan wujud semua (adoption) atau dalam bentuk yang telah diubah (adoption).
Berdasarkan uraian dan pendapatyang sungguh logis mirip yang sudah dipaparkan, konsep aturan selaku sarana pembaharuan penduduk merupakan rancangan pembangunan (atau pelatihan) aturan yang paling sempurna dan relevan hingga ketika ini. Masalahnya terletak pada seberapa jauh pembentukan peraturan perundang-ajakan gres (dalam bidang-bidang hukum yang dianggap netral) telah diantisipasi dampaknya bagi penduduk secara keseluruhannya. Ada tiga catatan yang dapat diberikan selaku tambahan.
Pertama, harus disadari bahwa bagaimanapun hukum merupakan sebuah system, yang keseluruhannya tidak lepas dari nilai-nilai yang hidup dalam penduduk . Untuk itu, pengembangan satu bidang aturan juga akan besar lengan berkuasa pula ke bidang-bidang hukum lainnya. Sebagai acuan, peraturan perundang-seruan di bidang penanaman modal, mempunyai keterkaitan dengan duduk perkara aturan pertanahan, yang di Indonesia belum dapat disebutkan selaku bidang yang netral.
Kedua, penetapan tujuan hukum yang terlalu jauh dari realita sosial sering kali mengakibatkan pengaruh negatif yang perlu diperhitungkan. Sebagai teladan, pembentukan Undang-Undang No. 14 Tahun 1992 ihwal Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bahwasanya mampu dilihat dalam konteks ini. Produk aturan tersebut mampu dibilang selaku wujud social engineering untuk mengarahkan masyarakat Indonesia dari kebiasaan tidak disiplin berlalu lintas menjadi berdisiplin. Kendati demikian, keadaan yang ideal seperti yang dibutuhkan oleh undang-undang tersebut rupanya terlalu jauh dari kenyataan sosial yang ada. Masyarakat merasa belum siap untuk mengikuti instrument hukum itu. Akibatnya, stabilitas social (bahkan politik) terganggu. Sebagai pemecahannya, diberikan beberapa konsensi terhadap masyarakat dengan menerapkan isi undang-undang itu secara sedikit demi sedikit, yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan akan terjadi.
 Itulah sebabnya, saran Mochtar Kusumaatmadja untuk melaksanakan observasi secara mendalam apalagi dahulu sebelum membentuk peraturan perundang-ajakan yang baru, ialah langkah yang sangat bagus. Hal ini juga merupakan salah satu langkah penting mengikuti jalan anggapan social engineering, mirip diungkapkan Satjipto Rahardjo. Tanpa ada observasi yang terperinci, tidak akan pernah dimengerti pasti mirip apa living law yang ada, dan bagaimana penyusunan rencana itu mesti dibuat secara akurat.
Ketiga, konsep social engineering dihentikan berhenti pada penciptaan peraturan aturan tertulis karena aturan tertulis seperti itu selalu mengalami kekurangan . Konsep ini membutuhkan peranan pegawanegeri penegak hukum yang professional, untuk memberi jiwa pada kalimat-kalimat tertulis dalam peraturan perundang-permintaan. Aparat aturan, khususnya hakim, mesti mampu menggali nilai-nilai aturan yang hidup dalam penduduk , seperti diamanatkan dalam Pasal 27 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 perihal Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan kemudian memakai nilai-nilai yang baik dalam rangka menerjemahkan ketentuan aturan yang berlaku.
Sebagai negara aturan, aturan hendaknya di lihat sebagai satu kesatuan sistem yang terintergritas dan saling berafiliasi. Meskipun pemahaman negara aturan dalam UUD 1945 sungguh subyektif. Bila dalam berbangsa pengerjaan hukum condong lebih dominan dari pada penegakan hukum, maka aturan akan mengalami ketimpangan dalam membangun penduduk dan negara. 
Hukum selaku satu kesatuan metode, maka di dalamnya terdapat unsur kelembagaan, unsur kaidah, komponen sikap para subyek hukum yang menyandang hak dan keharusan yang di tentukan oleh norma/aturan. Ketiga komponen sistem aturan tersebut mencakup:
 1)  Kegiatan pengerjaan aturan;
 2)  Pelaksanaan atau penerapan hukum;
 3)  Kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum. Biasanya acara ini di sebut sebagai acara penegakan hukum. Selain itu ada pula acara yang sering di lupakan orang;
 4) Pemasyarakatan dan pendidikan aturan; dan
 5) Kegiatan pengelolaan info hukum sebagai acara penunjang.
Prof. Jimly menjelaskan bahwa keseluruhan dari aktivitas diatas di jalankan lewat tiga fungsi kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam keseluruhan bagian, komponen, hirarki dan aspek-aspek yang bersifat sistemik dan saling berkaitan satu sama lain itulah tercakup pengertian metode hukum yang mesti di kembangkan dalam kerangka Negara Hukum Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945. 
Jelaslah bahwa, ketiga fungsi lembaga kekuasaan tersebut diatas harus berperan aktif dan bertanggung jawab dalam menjadikaan aturan selaku alat pembangunan serta pembaharuan penduduk . Begitu juga dengan penduduk , budaya aturan yang bagus harus tumbuh dan berkembang di tengah kehidupan bermasyarakat. Sehingga negara hukum yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 dapat sungguh-sungguh terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Hukum sebagai alat pembaharuan penduduk (Law As A Tool Of Social Engineering) merupakan teori yang di kemukakan oleh Rescoe Pound. Oleh Rescoe Pound aturan di inginkan dapat merekayasa dan menghipnotis penduduk . Tidak hanya sekedar tumbuh dan meningkat secara alami  dalam kehidupan bermasyarakat. 
Namun, lain lagi dengan apa yang di kemukakan oleh Von Savigny yang menyampaikan bahwa “ hukum berubah jika masyarakatnya berganti”. Teori ini sepintas terkesan membiarkan aturan berkembang dan berkembang secara alami di tengah kehidupan masyarakat. Namun, sesungguhnya implisit di dalamnya bahwa aturan itu di pengaruhi oleh kekuatan-kekuatan di luarnya tergolong oleh sub tata cara politiknya.
Teori hukum ialah landasan teoristis dalam proses pengerjaan aturan. Kajian teori hukum lebih pada hukum sebagai proses, bukan hukum sebagai produk. Proses yang di maksudkan, bisa saja proses pengerjaan aturan yang ideal, dan proses penegakan aturan yang ideal. Pada proses pengerjaan hukum nasional kita,  teori hukum di interpretasikan  kedalam politik aturan kita yang mengandung rechts idea ihwal keadilan serta pinjaman kepada segenap rakyat Indonesia.
Sebagai bangsa yang multi etnik, pembentukan serta penegakan aturan nasional kita tentulah tidak mudah untuk di kerjakan. Banyak aspek yang mesti di fikirkan agar hukum mampu di terima oleh seluruh lapisan penduduk , misalnya faktor budaya, suku, ras, Agama dan lain-lain. Maka, dalam pembentukan aturan hendaknaya aturan yang di bentuk ialah pruduk aturan yang responsif, yakni hukum yang dapat menanggapi setiap kepentingan masyarakat. 
Dalam pembentukan hukum yang responsif ada empat syarat mutlak yang mesti tercukupi, ialah:
1.    Dalam pembentukan hukum mesti mengikut sertakan penduduk ;
2.    Pembentukannya haruslah aspiratif. Artinya, norma-norma yang di rumuskan haruslah norma yang merupakan aspirasi dari penduduk ;
3.    Pembentukannya haruslah bersifat komunikatif. Artinya, aturan haruslah dapat di pahami dalam bahasa yang dapat diketahui dalam interaksi antar warga negara dengan negara (penguasa);
4.   Pembentukannya haruslah bersifat antisipatik. Norma yang di rumuskan dalam hukum mesti dapat mengantisipasi hadirnya pertentangan di tengah penduduk .
Produk aturan yang responsiflah yang mampu di jadikan sarana untuk membangun masyarakat. Namun, dalam prakteknya produk aturan kita jauh dari produk aturan yang responsif. Kebanyakan produk hukum Indonesia bersifat represif. Banyak Undang-Undang yang di bentuk berpihak pada kepentingan penguasa dalam melanggengkan kekuasaannya. Contohnya UU wacana Partai Politik, UU Ormas, dan lain-lain.
Pembentukan hukum yang responsif tidaklah mudah untuk di lakukan di tengah keberagaman abjad penduduk Indonesia. Namun, Indonesia harus tetap optimis dalam hal menimbulkan hukum selaku fasilitas pembangunan dan pembaharuan masyarakat. Dengan ideologi Pancasila, dan amanat konstitusi  Undang-Undang Dasar 1945 seharusnya Indonesia sudah mampu menimbulkan hukum selaku fasilitas pembaharuan dan pembangunan penduduk . Namun, dalam prakteknya hukum kembali tunduk dengan penguasaan atas kepentingan politik penguasa. 
Persoalan dalam pembentukan hukum terang akan berimbas pada proses penegakan aturan. Kalau, menyaksikan penegakan hukum di Indonesia saat ini, Indonesia belum patut di katakan selaku negara yang berdaulat dalam hukum. Dalam hal penegakan aturan, bangsa ini senantiasa mengalami dilema diskriminatif kepada keadilan yang merupakan tujuan hukum. Seharusnya proses penegakan hukum merupakan instrumen penting dalam hal meraih tujuan hukum, yaitu kepastian aturan yang bermuara pada keadilan dan ketertiban. 
Dalam penegakan aturan  Friedman dalam teorinya “ Three Elements Of Legal System” mengemukakan bahwa ada tiga komponen yang sangat memilih dalam penegakan aturan, adalah :
1.      Legal Structure (Pranata Hukum)
2.      Legal Subtance (Subtansi Hukum)
3.      Legal Culture (Budaya Hukum)
Ketiga bagian yang di maksudkan oleh Friedman yakni saling ketergantungan dalam hal agar aturan dapat di tegakkan. Budaya hukum yang baik, subtansi hukum atau produk hukum yang bagus, serta pranata aturan yang baik menjadi syarat supaya aturan mampu di tegakkan dengan baik.
Namun, teori yang di kemukakan oleh Friedman ini sulit untuk di terapkan di Indonesia yang heterogen ini. Harapan supaya aturan tetap mampu di tegakkan dengan ideal di Indonesia masih tetap ada. Menurut Prof. Johni Najwan dari ketiga bagian yang di kemukakan oleh Friedman tersebut, Indonesia mampu konsentrasi pada pranata hukumnya, “jika pranata aturan Indonesia baik, maka Indonsia sudah bisa baik dalam hal penegakan aturan, meskipun subtansi dan budaya hukum Indonesia kurang mendukung”. Budaya aturan yang berkembang di tengah penduduk Indonesia sangat susah untuk di deteksi, yang kemudian untuk  dijadikan selaku sebuah kesatuan budaya aturan yang mesti dipatuhi. Begitu juga dengan subtansi hukumnya. Dengan keberagaman etnik, tentulah tidak gampang membuat produk hukum yang ideal atau responsif sebagai satu kesatuan kepentingan dalam aturan.
Banyaknya tata cara hukum yang menjadi sumber pembentukan hukum di Indonesia menandakan bahwa Indonesia kaya dengan khasanah ilmu hukum. Namun, kesemua metode yang ada haruslah mampu di terapkan sesuai dengan amanat konstitusi UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara hukum. Meskipun pemahaman negara aturan dalam Undang-Undang Dasar 1945 kita terkesan sangat subyektif. 
Dalam hal pembentukan hukum, produk hukum hendaknya dapat melindungi segala macam bentuk kepentingan, tergolong kepentingan eksklusif warga negaranya. Bila dibenturkan dengan kajian teologis ihwal manusia, bahwa insan di ciptakan sederajat dengan insan yang yang lain. Yang membedakan insan yang satu di hadapan Tuhannya adalah amalan selama perjalanan hidupnya di muka bumi, bukan pada saat kelahirannya di wajah bumi. Ketika kelahiran manusia di tampang bumi, mereka memiliki kesamaan status, ialah fitrah.  Sebagai makhluk yang sederajat, insan juga mempunyai hak dan kewajiban yang serupa antara insan satu dengan yang yang lain. Seiring dengan perjalan waktu, manusia tumbuh dan berkembang sebagai makhluk sosial. Di katakan selaku makhluk sosial tentulah bukan selaku makhluk individualistik. Namun , persolan persamaan derajat tetap berlaku dalam interaksi sosialnya selaku makhluk sosial. 
Dalam hal insan hidup di tengah komunitas sosial, ini memperlihatkan bahwa manusia tidak mampu hidup sendiri. Ketika sudah berbaur dalam suatu komunitas sosial, dilema persamaan derajat yang mulanya sangat individualistik saat manusia itu lahir (fitrah). Namun, saat sudah menjadi makhluk sosial yang selalu dalam interaksi sosial dalam komunitasnya, duduk perkara persamaan derajat dalam kapasitas sebagai makhluk sosial tentulah mesti di maknai sebagai hak untuk saling menghargai tanpa diskiminatif, atau di sebut dengan Hak Azasi Manusia.
Dalam komunitas sosial, insan secara individual tetap ingin menjaga hak kesederajatannya dalam menggapai tujuan hidup dengan insan lainnya. Namun, dalam prakteknya insan tetap saja tidak bisa mewujudkan apa yang di kehendaki dalam hidupnya secara individualistik. Akhirnya, munculah struktur sosial yang membutuhkan kekuasaan untuk menertibkan interaksi sosial insan.
Kekuasaan tersebut terperinci dalam bentuk sketsa yang terstruktur. Kekuasaan dalam bentuk organisasi dapat di dapatkan menurut legitimasi religius, legitimasi ideologis eliter, ataupun legitimasi pragmatis yang didasarkan pada sumber kekuasaan tertinggi atau kedaulatannya. Namun, berdasarkan Prof. Dr. Jimly Ashiddiqie, S.H “kekuasaan menurut legitimasi-legitimasi tersebut dengan sendirinya mengingkari kesamaan dan kesederajatan menusia, alasannya mengklaim kedudukan lebih tinggi sekelompok insan dari manusia lainnya. Selain itu, kekuasaan yang menurut pada ketida legitimasi tersebut akan menjadi kekuatan yang obsolut, alasannya perkiraan dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah sebagai pihak yang berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam hal melaksanakan kekuasaan negara. Kekuasaan yang diresmikan menurut ketiga legtimasi tersebut mampu ditentukan akan menjadi kekuasaan yang adikara”. 
Menurut Prof. Jimly, konsepsi demokrasilah yang menawarkan landasan dan prosedur kekuasaan menurut prinsip persamaan dan kesederajatan insan. Namun, dengan ketentuan bahwa demokrasi mesti sungguh-sungguh dapat menjadi wadah kedaulatan rakyat secara utuh.Tidak cuma sekedar berdemokrasi dalam politik, tetapi lebih dari itu, berdaulat dalam hukum selaku sebuah kesatuan sistem negara hukum . Sehingga, barulah  mampu menyebabkan hukum sebagai fasilitas untuk pembangunan dan pembaharuan masyarakat. 
Dalam berdemokrasi, kedaulatan pastinya berada tangan rakyat. Demokrasi hendaknya mampu di praktekkan dalam kedaulatan hukum, hukum sebagai panglima bagi rakyat. Karena berdemokrasi ialah wadah untuk menampung kegiatan dari interaksi sosial, dan demokrasi dapat di jadikan sarana untuk menentukan siapa yang akan menjadi pengurus dari struktur sosial yang ada (negara). Namun sungguh di sayangkan, sampaumur ini aturan tidak di beri ruang untuk mampu menertibkan interaksi sosial di atas norma-norma yang ada. Sehingga, demokrasi terkesan berlangsung sendiri tanpa arah. Yang terperinci, dalam rangka pembanguan dan pembaharuan penduduk . Dalam negara hukum, yang seharusnya memerintah ialah aturan, bukan insan. Maka dari itulah, negara aturan menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi merupakan konsekuansi  dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi alasannya adalah konstitusi yakni wujud dari kontraksosial tertinggi. Jadi, jelaslah bahwa antara demokrasi dan kedaulatan hukum (Nomokrasi) tidak dapat di pisahkan. Apa lagi sebagai negara hukum, hukum tentunya di harapkan mampu menjadi fasilitas untuk kemajuan demokrasi. Karena demokrasi ialah salah satu wadah bagi aturan untuk dapat berperan sebagai fasilitas pembaharuan dan pembangunan penduduk .

  Teori Konflik (Kriminologi)

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Dari uraian diatas, dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa kedudukan hukum kita dikala ini tidak sedang berada pada posisi idealnya, sesuai dengan idealnya landasan filosofis dan teoritis. Namun, selaku negara aturan yang berdaulat, dengan kemajemukan etnis, suku, dan ras yang kita miliki,  kedudukan aturan kita lebih di tunjukkan oleh suatu sistem hukum yang terintegrasi dan saling berhubungan dalam sebuah hirraki sebagai negara hukum.

Dalam prakteknya selaku negara aturan, Indonesia terkesan lebih serius dalam pembentukan aturan dari pada penegakan hukum. Hal ini tentulah di pengaruhi oleh banyaknya tata cara hukum yang mempengaruhi pembangunan aturan di Indonesia. Bangsa kita mengalami kesulitan dalam membentuk sebuah kesatuan budaya hukum yang sungguh-sungguh mampu melindungi segenap rakyatnya. Ini pastinya di pengaruhi oleh kemajemukan budaya yang berkembang dan meningkat di Indonesia. Sehingga dalam pembentukan aturan yang responsif serta aspiratif selalu memperoleh kendala, baik dalam pembentukannya ataupu dalam penegakannya.
Bangsa Indonesia memerlukan perhatian khusus dalam hal penegakan aturan dari produk aturan yang sudah di buat. Seperti apa yang di kemukakan oleh Friedman dalam  teorinya Three Elements Of Legal System bahwa dalam penegakan hukum hendaknya kita memiliki budaya, suntansi, serta pranata aturan yang baik. Namun, dalam prakteknya di Indonesia ini tentulah tidak gampang untuk di laksanan secara utuh. Menurut Prof. Johni Najwan bila pranata aturan kita telah baik, maka penegakan hukum kita telah bisa berlangsung dengan baik, meskitupn kita memiliki budaya dan subtansi aturan yang kurang mendukung. Bangsa Indonesia dikala ini memerlukan sopan santun para penegak hukum dalam menegakan aturan, khususnya dalam hal menjadikan hukum sebagai fasilitas pembaharuan dan pembangunan masyarakat.
Dalam hal menimbulkan aturan sebagai sarana untuk pembaharuan dan pembangunan penduduk . Hukum di inginkan dapat melindungi segenap kepentingan rakyatnya. Baik kepentingan biasa , sosial, dan eksklusif warga negaranya. Begitu juga dalam pembentukan hukumnya, hendaknya produk hukum yang responsif betul-betul mampu di wujudkan dalam satu tata cara negara aturan kita.

  Menambah Cahaya Muka

B.      Saran

Dalam upaya mewujudkan tatanan hukum yang baik sebagai negara hukum, dan menyebabkan aturan selaku fasilitas pembaharuan dan pembangunan penduduk . Sudah saatnya Indonesia mesti menimbang-nimbang wacana budaya hukumnya untuk periode yang mau datang. Suatu budaya hukum yang tumbuh dalam kesatuan tata cara negara aturan.
Untuk itulah pendidikan wacana ilmu hukum mesti di berikan sedini mungkin bagi warga negara. Pendidikan hukum secara khusus sudah harus di masukan dalam kurikulum pendidikan. Agar kedepannya dapat tumbuh budaya sadar hukum yang bagus dari penduduk kita.

DAFTAR PUSTAKA

Jimly Asshiddiqie. Menuju Negara Hukum Yang Demokkaratis. PT. Bhuana Ilmu Populer. Jakarta.2009.
Herman Bakhir.Filsafat Hukum.PT. Refika Aditama. Bandung.2009.
(diakses pada Selasa, 12 April 2016, 16.00 pm).
(diakses pada Selasa, 12 April 2016, 19:01 pm).