Kami tak merencanakannya, kami cuma menginginkannya untuk melihat panorama lautan yang mulai samar dari penglihatanku. Berjalan sampai bersahabat dermaga, dari kejauhan saya mampu mencicipi hawa kehadirannya.
Entah jauuh dari pandanganku, aku terus melihatnya meski ia membalikkan badannya, mungkin ia juga merasakan saya ada disana. Sekilas melihatnya membuat rasa rindu itu datang kembali. Lama kami tak bercengkrama lagi, bercanda dan saling bertengkar. “aahhhh….” ingatan yang sebaiknya ku lupakan sekarang terbayang kembali.
Masa kemudian yang membekas yah pikirku dalam hati ini, aku merindu lagi… tak ada tenaga lagi jikalau harus terus mirip ini. Cara untuk meluapkannya hanya satu yakni ku luapkan dalam selembar kertas bekas, ku tuliskan semuanya kembali sambil menguatkan diri bahwa ini tak sebaiknya terjadi.
Aku dilanda kerinduan, bukankah itu menyakitkan? Tanyaku dalam hati. Sudah menjadi kebiasaanku untuk selalu bercengkrama dengan diriku sendiri. Terkadang mereka yang melihatku akan merasa asing, namun telah seringkali aku jelaskan bahwa itulah hal paling aku sukai, yaah… berbicara pada diriku sendiri.
2 hari berturut-turut saya ingin melihatnya lagi, perasaan merindu yang bergejolak membuatku mulai lemah kembali. Ku katakan berulang kali hingga saya merasakan letih dalam kesendirianku kali ini. “Sudahlah”… kataku sambil tersenyum. “Kuatkan dirimu, jangan menanggung beban kerinduan itu sendiri. Ingat kenangan itu dan teruslah melangkah untuk sesuatu yang menguatkan perasaanmu, dirimu berhak untuk dirindukan juga” kataku dalam keheningan.
Akan ku tarik sebuah kesimpulan kali ini, bila saya melihatnya lagi ku ingin tersenyum dan menyapanya, jika ia tetap menentukan untuk tidak melihatku maka, mesti ku teruskan langkahku tanpa menoleh melihatnya lagi. Itulah ingatan yang kerap kali menawan rasa rindu datang kembali, tetapi aku salah bila masih merindukan seseorang yang tak menginginkanku, seseorang yang tak melihat rasa rinduku.