Pembangunan Kelautan Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
Sudah menjadi sebuah mitos yang meningkat ditengah-tengah masyarakat bahwa Indonesia memiliki kekayaan laut yang berlimpah, baik sumber hayatinya maupun non hayatinya, walaupun mitos mirip itu perlu dibuktikan dengan penelitian yang lebih mendalam dan komprehensif. Terlepas dari mitos tersebut, kenyataannya Indonesia yakni negara bahari dengan 70% wilayahnya ialah maritim, namun sangatlah ironis semenjak 32 tahun yang lalu kebijakan pembangunan perikanan tidak pernah mendapat perhatian yang serius dari pemerintah.
Implikasi dari tidak adanya prioritas kebijakan pembangunan perikanan tersebut, mengakibatkan sangat minimnya prasarana perikanan di kawasan pesisir, terjadinya erosi wilayah pesisir dan pantai, pengrusakan ekosistim laut dan terumbuh karang, serta belum teroptimalkannya pemanfaatan sumber daya perikanan dan kelautan.
Persoalan Pembangunan Perikanan
Implikasi pribadi kepada kenaikan kemajuan penduduk adalah semakin meningkatnya permintaan keperluan hidup, sementara peluangsumber daya alam di darat yang kita miliki sangatlah terbatas. Hal tersebut mendorong kita untuk mengalihkan alternatif peluangsumber daya alam lain yang kita miliki yaitu kesempatankelautan. Ada lima kesempatankelautan yang dapat kita andalkan, ialah: potensi perikanan, potensi daerah pesisir, peluangsumber daya mineral, minyak dan gas bumi bawah bahari, potensi pariwisata, dan potensi transportasi maritim.
Kebijakan pembangunan kelautan, selama ini, cendrung lebih mengarah terhadap kebijakan “produktivitas” dengan mengoptimalkan hasil eksploitasi sumber daya maritim tanpa ada kebijakan memadai yang mengendalikannya. Akibat dari kebijakan tersebut sudah mengakibatkan beberapa kecendrungan yang tidak menguntungkan dalam aspek kehidupan, seperti:
a) Aspek Ekologi, overfishing penggunaan fasilitas dan prasarana penangkapan ikan sudah cendrung merusak ekologi bahari dan pantai (trawl, bom, potas, pukat harimau, dll) balasannya menyempitnya wilayah dan sumber daya tangkapan, sehingga sering menyebabkan pertentangan secara terbuka baik bersifat vertikal dan horisontal (antara sesama nelayan, nelayan dengan penduduk sekitar dan antara nelayan dengan pemerintah).
b) Aspek Sosial Ekonomi, akhir kesenjangan penggunaan teknologi antara usahawan besar dan nelayan tradisional sudah mengakibatkan kesenjangan dan kemiskinan bagi nelayan tradisional. Akibat dari kesenjangan tersebut menyebabkan sebagian besar nelayan tradisional mengganti profesinya menjadi buruh nelayan pada usahawan perikanan besar.
c) Aspek Sosio Kultural, dengan adanya kesenjangan dan kemiskinan tersebut menimbulkan ketergantungan antara penduduk nelayan kecil/ tradisional kepada pemodal besar/modern, antara nelayan dan pedagang, antara pherphery terdapat center, antara penduduk dengan pemerintah. Hal ini menjadikan penguatan terhadap adanya komunitas juragan dan buruh nelayan
Arah modernisasi di sektor perikanan yang dikerjakan selama ini, hanya memberi laba kepada sekelompok kecil yang punya kemampuan ekonomi dan politis, sehingga diperlukan alternatif paradigma dan strategis pembangunan yang holistik dan terintegrasi serta mampu mempertahankan keseimbangan antara acara buatan, pengelolahan dan distribusi.
Konsep Pembangunan Alternatif Paradigma pembangunan holistik, yakni pembangunan yang dilaksanakan secara menyeluruh dan terintegrasi yang sungguh memperhatikan aspek spasial, adalah pembangunan berwawasan lingkungan, pembangunan berbasis komunitas, pembangunan berpusat pada rakyat, pembangunan berkesinambungan dan pembangunan berbasis kelembagaan.
Untuk mewujudkan pembangunan yang holistik tersebut dibutuhkan alternatif srategi, yaitu strategi yang berorientasi pada sumber daya atau Resource Base Strategy (RBS), yang mencakup ketersedian sumber daya, faktor kesuksesan serta proses mencar ilmu.
Pendekatan dalam RBS adalah taktik pengelolaan sumber daya lokal/pesisir dan kelautan yang berorientasi pada: kualitas, proses, kinerja, pengembangan, budaya, lingkungan (management by process) yang berdasarkan pada pembelajaran, kompetensi, keunggulan, berpikir sistematik, dan pengetahuan (knowledge based management).
Memberdayakan Masyarakat Pesisir
Saat ini banyak acara pemberdayaan yang menklaim sebagai program yang berdasar terhadap keinginan dan keperluan penduduk (bottom up), tetapi ironisnya penduduk tetap saja tidak merasa memiliki akan program-program tersebut sehingga tidak abnormal banyak program yang cuma seumur kala proyek dan selsai tanpa dampak memiliki arti bagi kehidupan masyarakat.
Pertanyaan lalu muncul apakah konsep pemberdayaan yang salah atau pemberdayaan dijadikan alat untuk meraih tujuan tertentu dari segolongan orang?
Memberdayakan masyarakat pesisir bermakna menciptakan kesempatan bagi penduduk pesisir untuk memilih kebutuhannya, mempersiapkan dan melaksanakan kegiatannya, yang kesannya menciptakan kemandirian permanen dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.
Memberdayakan penduduk pesisir tidaklah seperti memberdayakan kalangan-kalangan penduduk lainnya, alasannya didalam habitat pesisir terdapat banyak kalangan kehidupan masayarakat diantaranya:
a) Masyarakat nelayan tangkap, yakni golongan penduduk pesisir yang mata pencaharian khususnya ialah menangkap ikan dilaut. Kelompok ini dibagi lagi dalam dua golongan besar, adalah nelayan tangkap terbaru dan nelayan tangkap tradisional. Keduanya kelompok ini dapat dibedakan dari jenis kapal/peralatan yang digunakan dan jangkauan wilayah tangkapannya.
b) Masyarakat nelayan pengumpul/bakul, adalah kalangan masyarakt pesisir yang bekerja disekitar daerah pendaratan dan pelelangan ikan. Mereka akan mengumpulkan ikan-ikan hasil tangkapan baik melalui pelelangan maupun dari sisa ikan yang tidak terlelang yang berikutnya dijual ke masyarakat sekitarnya atau dibawah ke pasar-pasar lokal. Umumnya yang menjadi pengumpul ini yakni kalangan masyarakat pesisir wanita.
c) Masayarakat nelayan buruh, yakni kelompok masyarakat nelayan yang paling banyak ditemui dalam kehidupan masyarakat pesisir. Ciri dari mereka dapat terlihat dari kemiskinan yang selalu membelenggu kehidupan mereka, mereka tidak mempunyai modal atau perlengkapan yang mencukupi untuk usaha produktif. Umumnya mereka melakukan pekerjaan sebagai buruh/anak buah kapal (ABK) pada kapal-kapal juragan dengan penghasilan yang minim.
d) Masyarakat nelayan tambak, masyarakat nelayan pengolah, dan kelompok masyarakat nelayan buruh.
Setiap kelompok masyarakat tersebut haruslah mendapat penanganan dan perlakuan khusus sesuai dengan kalangan, perjuangan, dan aktivitas ekonomi mereka. Pemberdayaan masyarakat tangkap minsalnya, mereka membutukan sarana penangkapan dan kepastian wilayah tangkap. Berbeda dengan kelompok masyarakat tambak, yang mereka perlukan adalah modal kerja dan modal investasi, begitu pula untuk kelompok masyarakat pengolah dan buruh. Kebutuhan setiap golongan yang berbeda tersebut, menawarkan keragaman teladan pemberdayaan yang akan dipraktekkan untuk setiap kalangan tersebut
Dengan demikian program pemberdayaan untuk masyarakat pesisir haruslah dirancang dengan sedemikian rupa dengan tidak menyamaratakan antara satu kelompk dengan golongan lainnya terlebih antara satu daerah dengan kawasan pesisir yang lain. Pemberdayaan penduduk pesisir haruslah bersifat bottom updan open menu, namun yang terpenting ialah pemberdayaan itu sendiri yang harus langsung menjamah golongan masyarakat target. Persoalan yang mungkin mesti dijawab yaitu: Bagaimana memberdayakannya?
Banyak telah acara pemberdayaan yang dijalankan pemerintah, salah satunya adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP). Pada pada dasarnya program ini dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu:
(a) Kelembagaan. Bahwa untuk memperkuat posisi tawar masyarakat, mereka haruslah terhimpun dalam suatu kelembagaan yang kuat, sehingga segala aspirasi dan tuntutan mereka mampu disalurkan secara baik. Kelembagaan ini juga dapat menjadi penghubung (intermediate) antara pemerintah dan swasta. Selain itu kelembagaan ini juga dapat menjadi sebuah lembaga untuk menjamin terjadinya perguliran dana produktif diantara kalangan lainnya.
(b) Pendampingan. Keberadaan pendamping memang dicicipi sungguh diharapkan dalam setiap acara pemberdayaan. Masyarakat belum mampu berjalan sendiri mungkin alasannya kekurangtauan, tingkat penguasaan ilmu pengetahuan yang rendah, atau mungkin masih kuatnya tingkat ketergantungan mereka sebab belum pulihnya rasa yakin diri mereka akhir paradigma-paradigma pembangunan kurun kemudian. Terlepas dari itu semua, peran pendamping sangatlah vital khususnya mendapingi masyarakat mengerjakan aktivitas usahanya. Namun yang paling penting dari pendampingan ini adalah menempatkan orang yang tepat pada golongan yang sempurna pula.
(c) Dana Usaha Produktif Bergulir. Pada acara PEMP juga disediakan dana untuk menyebarkan usaha-perjuangan produktif yang menjadi opsi dari masyarakat itu sendiri. Setelah kelompok pemanfaat dana tersebut berhasil, mereka harus menyisakan manfaatnya untuk digulirkan kepada kelompok penduduk lain yang membutuhkannya. Pengaturan pergulirannya akan disepakati di dalam forum atau forum yang dibuat oleh masyarakat sendiri dengan fasilitasi pemerintah lokal dan tenaga pendamping