Menjadi Warganegara Yang Baik Cita-Cita Dan Tujuan Abad Depan Bangsa

MENJADI WARGANEGARA YANG BAIK HARAPAN DAN TUJUAN MASA DEPAN BANGSA
Abstrak: Keberhasilan pendidikan lazim akan berjalan dengan baik jikalau pembelajaran yang dilakukan dipersekolahan melibatkan banyak sekali ilmu wawasan. Pendidikan membutuhkan bantuan ilmu-ilmu lain sebagai bagian dari upaya keberhasilan pendidikan secara interdispliner. Untuk menghasilkan Good Citizen selaku sebuah keinginan dan tujuan dibutuhkan pada the future war, dibutuhkan taktik-strategi berikut ini: (1) Pengembangan dan pembinaan “logika” penerima ajar  secara komprehensif lewat pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya. (2) Pemberdayaan “Nilai-nilai Standar” dalam membina dan membuatkan SDM Indonesia terbaru yang ideal; (3) Proses pengembangan SDM secara bertahap-berkelanjutan lewat pendidikan informal, nonformal, dan formal dalam upaya “menciptakan” good citizen Indonesia; (4) Pengembangan strategi pendidikan sesuai dengan keadaan-kesempatankewilayahan nusantara Indonesia; (5) Penerapan pendekatan sistem dalam pengembangan pendidikan “membuat SDM Indonesia yang berkualitas menghadapi “the future war”; (6) Strategi pendidikan menanggulangi “krisis identitas” yang sedang dialami Indonesia remaja ini; (7) Strategi pendidikan yang efektif, efisien, dan produktif dalam mengganti gambaran “budak di rumah sendiri” menjadi “tuan di rumah sendiri”; (8) Strategi training dan pemanfaatan  SDM yang berkualitas berkaitan dengan “pelaksanaan otonomi tempat”
Kata Kunci: Warganegara yang Baik, dan Masa Depan Bangsa
A.   Pendahuluan
Pendidikan tidak terlepas dari keterkaitan dengan aneka macam disiplin ilmu lain. Pendidikan tidak mampu melakukan pekerjaan sendiri tanpa kontribusi dari  ilmu-ilmu lain. Ketidak mampuan pendidikan tersebut disebabkan karena proses pendidikan yang dikerjakan adalah dalam rangka memberdayakan seluruh peluangyang ada pada pembelajar untuk memahami berbagai dilema. Disamping itu pendidikan merupakan fasilitas untuk mendekatkan peserta didik kepada realitas lingkungannya, dan untuk memahami realitas lingkungan itu, aneka macam disiplin ilmu harus diajarkan terhadap pembelajar.
Realitas sosial yang dihadapi pembelajar dalam lingkungan pembelajaran cenderung bersifat normatif, namun ketika pembelajar dihadapkan dengan banyak sekali kondisi lingkungannya melaksanakan adaptasi diri. Itulah sebabnya kesuksesan pendidikan akan tercapai secara optimal dan optimal jika interdisipliner dipraktekkan secara utuh. Pembelajaran yang dikerjakan dalam ruang persekolahan relatif hanya mengenalkan pembelajar terhadap nilai-nilai yang bersifat tekstual dan konseptual, sedangkan yang bersifat kontekstual dan substansial relatif sulit dicerna pembelajar. Pembelajar cuma bisa melaksanakan komparasi kepada nilai yang diberikan di persekolahan dengan realitas lingkungannya.
Dalam proses pendidikan yang dijalankan secara klasikal, pembelajaran condong dilaksanakan secara massal dengan karakteristik yang berlawanan antara satu pembelajar dengan pembelajar yang lain. Dengan metode klasikal tersebut terjadinya perkumpulan yang berlawanan dalam berbagai hal, seperti berbedanya status sosial, tingkat kecerdasan, emosional, acuan adaptasi diri, dan lain sebagainya. Perbedaan yang terjadi ini mengakibatkan diperlukannya disiplin ilmu lain agar perbedaan tersebut bukan merupakan halangan dalam proses pembelajaran yang dijalankan oleh guru/ dosen dengan pembelajar. Dalam hal ini diperlukan ilmu psikologi supaya guru/ dosen dapat menyelami dan mendalami setiap sikap yang ditampilkan pembelajar. Ketika guru/ dosen bisa melaksanakan penetrasi terhadap sikap yang ditampilkan pembelajar, bukan berarti duduk perkara simpulan sampai disitu, masih banyak berbagai masalah lain yang dihadapi oleh guru/ dosen  biar pembelajar sukses dalam meraih tujuan pembelajaran secara proporsional.
Seperti dikenali bahwa setiap proses pembelajaran dilakukan dalam pendidikan di persekolahan, biar pembejalar mampu meningkatkan kemampuannya memahami realitas dengan didasari oleh nilai dan norma yang baku atau berlaku dalam komunitas dan masyarakatnya. Dan sasaran final dari pembelajaran dalam konteks kekinian adalah biar pembelajar mampu hidup dalam masyarakatnya  melalui sebuah profesi yang diinginkannya. Dalam kerangka itulah maka pendidikan sebagai faktor budaya yang bersifat multi dimensional tidak bisa secara an-sich berdiri sendiri.
Sebagai teladan dapat dikemukakan bahwa keberhasilan pendidikan mengharuskan lulusannya untuk mampu menemukan pekerjaan, terlalu sukar untuk menerima pendapat lain yang menilai bahwa pendidikan tidak terkait dengan pekerjaan. Seperti yang dikemukakan oleh Philip H. Phenix (1964) bahwa kesuksesan pendidikan, khususnya pendidikan biasa akan berjalan dengan baik jika pembelajaran yang dilakukan dipersekolahan melibatkan berbagai ilmu wawasan. Konsep pendidikan ini umumdisebut dengan pendidikan biasa yang didalamnya mencakup enam tempat makna. Keenam tempat makna yang meliputi berbagai ilmu tersebut meliputi :
1.    Symbolics (bahasa, matematika, dan nondiscursive forms)
2.    Empirics (ilmu-ilmu fisika, biologi, psikologi, ilmu wawasan sosial)
3.    Esthetics (sastra, musik, seni rupa, serta seni gerak)
4.    Synnoetics (wawasan perihal diri sendiri, perihal orang lain, dan juga pengetahuan tentang intersubjective relationship)
5.    Ethics (wawasan wacana moralitas), serta
6.    Synoptics (sejarah, filsafat, dan agama)
Dengan adanya enam daerah makna yang dikuasai oleh pembelajar tersebut, pembelajar sehabis menyelesaikan pendidikannya akan mampu menghadapi realitas sosial. Mereka akan memiliki kemampuan menangkap makna sosial yang berafiliasi dengan lingkungan sekitarnya, secara normatif mereka akan mampu mengikuti keadaan dan mampu memanfaatkan kompetensi yang dimilikinya sesuai dengan keinginannya. Dengan demikian mampu disimpulkan bahwa pendidikan membutuhkan kontribusi ilmu-ilmu lain selaku bagian dari upaya keberhasilan pendidikan secara interdispliner.
B.   Pengembangan dan pembinaan “nalar” penerima ajar  secara komprehensif melalui pendidikan.
Dilihat secara makro, isu wacana tujuan pendidikan sekolah pada dasarnya berkisar pada tiga macam faktor selaku berikut: (a) pendidikan untuk membina kehidupan bareng atau untuk transformasi sosial, (b) pendidikan untuk membina kehidupan bareng atau untuk mendorong pertumbuhan individu secara optimal, (c) pendidikan untuk meningkatkan banyak sekali kemampuan mental (mental faculties) atau untuk menguasai aneka isi wawasan/ kemampuan yang siap pakai (Supraktiknya, 2001:196). Jika merujuk apa yang dikemukakan tersebut, akseptor latih sebagai subjek pendidikan menghadapi dilema yang besar, dan mau tidak mau pendidikan harus menawarkan jalan yang sempurna semoga penerima latih tidak terjebak dalam dikotomi tersebut. Dikotomi masalah pendidikan yang terjadi semestinya menjadi sarana enrichment terhadap perkembangan pelatihan “nalar” akseptor bimbing, karena dengan dikotomi tersebut, dinamika pendidikan menjadi kian berpengaruh untuk menjembatani  kala pembelajaran akseptor bimbing dengan kesispannya menghadapi realitas sosial kelak.
Pengembangan dan pelatihan akal peserta didik dimaksudkan untuk mempertajam daya pikirnya sehingga ia mampu mempergunakan kesempatanintelegensi atau kecerdasannya secara optimal dan proporsional. Namun demikian pengembangan dan pelatihan logika bukan ialah tujuan utama pembelajaran, tujuan utama pembelajaran tersebut ialah untuk mengenalkan akseptor asuh dengan identitasnya sendiri sehingga beliau memahami tugas apa yang mesti dimainkannya di masyarakatnya. Pengenalan identitas itulah yang dapat memecahkan ketegangan apakah pendidikan dapat menimbulkan dirinya selaku transmisi sosial atau transformasi sosial. Jika pertanyaan ini muncul, maka keduanya (tranmisi dan transformasi sosial) merupakan keharusan dalam pendidikan agar pengembangan dan training nalar terhadap penerima didik tidak monoton dalam mengemukakan realitas sosial.
Apakah pendidikan cuma untuk membina kehidupan bersama atau untuk mendorong pertumbuhan perorangan? Secara aksiomatik bahwasanya pendidikan berperan besar supaya anak bisa hidup bareng (life together) sekaligus mampu menyebarkan dirinya secara optimal. Keduanya mesti terjadi secara simultan. Persoalannya kini secara kasat mata mampu dilihat bahwa proses proses pendidikan yang berjalan di persekolahan mengalami stagnasi dalam pelatihan nalar anak secara simultan. Produk pendidikan terbelenggu untuk mengejar secara sepihak, sehingga terjadi pertanyaan dikotomi seperti diatas. Hal ini terjadi sebab tuntutan kehidupan condong lebih bersifat material, yang diburudan diharapkan dari forum pendidikan yaitu supaya setiap lulusannya berhasil memburu pencapaian materi semata.
Situasi yang tidak menguntungkan ini mengakibatkan pengembangan dan pelatihan logika peserta latih yang seharusnya dikerjakan secara komprehensif melalui pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya tidak berlangsung dengan sebagaimana mestinya. Apa yang harus dijalankan lembaga pendidikan selaku bagian dari bentuk pelayanan negara terhadap warganya, yakni dengan memberi kesempatan yang sebesar-besarnya dan seluas-luasnya bagi pengembangan dan pelatihan nalar peserta asuh.
Pembelajaran di perkuliahan, untuk membuatkan dan training nalar akseptor didik dikerjakan dengan melalui adaptasi, akal peserta ajar tidak akan meningkat dengan baik tanpa adanya penyesuaian. Pendidikan dipersekolahan perlu melakukan banyak sekali kenali kepada penyesuaian untuk membina akal tersebut. Setidak-tidaknya kebiasaan yang perlu dikerjakan di persekolahan untuk berbagi kesanggupan dasar peserta didik berdasarkan Suparno, dkk (2002:43) adalah melalui :
Kemampuan mengajukan pertanyaan. Kemampuan ini tidak lain adalah kemampuan siswa untuk mempersoalkan (problem posing). Dimulai dengan masalah dalam wujud pertanyaan, maka dalam diri siswa terdapat impian untuk mengetahui melalui proses belajarnya,
Kemampuan pemecahan problem (masalah solving). Permasalahan yang timbul di dalam  pembelajaran harus terselesaikan (dicari jawabannya) oleh siswa selama proses belajarnya. Tidak cukup bila siswa ahli mempersoalkan sesuatu tetapi miskin dalam pencarian pemecahannya. Penyelesaian duduk perkara  sendiri dapat dilaksanakan secara mampu berdiri diatas kaki sendiri (self indefendence learning) maupun secara kalangan (group learning).
Kemampuan berkomunikasi. Dalam konteks pengertian, kemampuan berkomunikasi baik lisan maupun nonverbal merupakan fasilitas agar terjadi pengertian yang benar (yang bagus dan punya kadar keilmuan), dari hasil proses berpikir dan berbuat, terhadap ide siswa yang didapatkan dan ingin dikembangkan.
Lembaga pendidikan dalam hal ini mempunyai tugas untuk meraih tujuan pengembangan dan daypikir akseptor didik, karena tujuan pencapaian pendidikan ialah amanah yang mesti dilaksanakan oleh negara kepada warganya, karena tujuan atau amanah tersebut yakni untuk mencerdasakan kehidupan bangsa. “Seorang pemikir dan pendidikan Perancis, Condorcet (1743-1794), dengan lantang menyatakan bahwa tujuan pendidikan oleh negara yaitu mengajarkan kepada semua individu cara-cara untuk memenuhi kebutuhan mereka, menjamin kesejahteraan mereka, memahami dan melaksanakan hak-hak mereka, serta memahami dan menyanggupi kewajiban-kewajiban mereka. Ringkas kata, negara disubordinasikan di bawah individu” (Supratiknya, 2001:202).
C.   “Nilai-nilai Standar” dalam membina dan menyebarkan SDM Indonesia modern yang ideal
Mungkin tepat apa yang dikemukakan oleh Bastian (2002:xxiii) bahwa: “Penyelesaian dari duduk perkara-masalah pendidikan tidaklah mampu di atasi dengan cara bab perbagian. Persoalan-duduk perkara pendidikan berkaitan bersahabat dengan antara satu dengan yang lainnya. Artinya bahwa satu duduk perkara adalah penyebab atau disebabkan oleh sebab-karena yang lain. Sebagai pola, problem jeleknya kualitas pengajaran guru/ dosen di dalam kelas, ternyata berkorelasi kasatmata dengan rendahnya gaji yang mereka terima. Rendahnya honor yang mereka terima ternyata berkolerasi konkret dengan rendahnya budget pendidikan nasional. Rendahnya  anggaran  pendidikan nasional ternyata berkolerasi aktual dengan kurangnya kesadaran masyarakat kepada arti penting suatu proses pendidikan bagi pertumbuhan kehidupan sebuah bangsa. Kurangnya kesadaran akan arti penting pendidikan sebuah bangsa ternyata berkorelasi konkret dengan niat politik para elite untuk memperjuangkan kenaikan anggaran pendidikan. Ketiadaan niat politik ternyata berkorelasi konkret pula dengan definisi budget pendidikan yang tidak pernah seragam dan begitulah seterusnya “.
Rangkaian dilema pendidikan tersebut merupakan bundar problem dalam pendidikan nasional. Semua duduk perkara yang ada di dalamnya seperti sebuah bulat utuh yang tidak di ketahui dimana titik lemah yang memungkinkan bisa di masuki sekaligus diperbaiki sebagai langkah pertama pembaruan pendidikan. Berbagai duduk perkara yang mengitari pendidikan nasional, menggambarkan realita bahwa kebijakan yang selama ini di ambil sudah mencederai amanah mengapa bangsa ini mesti merdeka dari penjajahan. Kemerdekaan bangsa ini direbut dengan semangat perjuangan yang mengorbankan segala aspek dan dimensi kehidupan indonesia. Setelah merdeka,harapan kita yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, melindungi segenap tanah tumpah darah indonesia. Namun kemerdekaan yang sudah terproklamirkan tersebut tidak melakukan amanah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Yang terjadi justru adalah pengingkaran kepada kemerdekaan tersebut sehingga nilai-nilai tolok ukur dalam upaya pelatihan akseptor ajar biar menjadi SDM yang di dambakan seluruh penduduk , tidak tercukupi sebagaimana mestinya, sehingga kita gagal menyebabkan insan Indonesia selaku makhluk spiritual.
Nilai-nilai tolok ukur merupakan nilai teladan dan kebiasaan yang sudah baku dalam lingkungan pergaulan budaya nasional Indonesia. Nilai-nilai patokan menjadi bab dari kebudayaan nasional sehingga beliau menjadi indentitas dan jati diri manusia indonesia. Nilai-nilai tolok ukur tersebut intinya secara nasional memiliki kesamaan tetapi bila di telaah secara kewilayahan akan memiliki perbedaan, hal ini terjadi alasannya adanya perbedaan etnis yang di sebabkan oleh alasannya adalah adanya perbedaan daerah tersebut.
Perbedaan yang fundamental antara satu budaya dengan budaya lain alasannya adalah perbedaannya etnis dan kewilayahan tersebut, tidak menjadi penghalang dalam upaya mempekerjakan peserta latih untuk menjadikannya sebagai subjek dalam pendidikan. Oleh sebab itu pendidikan yang di kerjakan tetap berpusat pada insan sebagai “makhluk spiritual”. Pembinaan SDM sebagai makhluk spiritual dalam pendidikan secara nyata memang merupakan bab dalam proses pembelajaran, hal ini ialah realisasi dari salah satu tujuan pendidikan nasional supaya terciptanya manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa.
Dalam melaksanakan proses penciptaan “makhluk spiritual” yang berlandaskan terhadap norma atau “nilai-nilai patokan”  tersebut, proses pendidikan dalam pelaksanaannya juga harus melakukan spiritualisasi, atau katakankah dengan perumpamaan spiritualisasi pendidikan. Perlunya spiritalisasi pendidikan ini di kerjakan karena bangunan epistemolgisnya berlandaskan kepada dasar filsafat, tujuan pendidikan, serta nilai dan orientasi pendidikan.
Menurut Sukidi (2002:448-449) dasr tersebut mampu dijelaskan sebagai berikut: Pertama, dasar filsafat. Jika pendidikan sekuler mendasarkan diri pada filsafat untrosentrisme, maka spiritualisasi pendidikan tentu saja mengedepankan filsafat teosentrisme. Perbedaan titik pijak ini, jelas menjadikan visi, watak dan tata cara pendidikan yang berbeda. Kedua, tujuan pendidikan. Jika pendidikan sekuler bertujuan untuk membangun kehidupan duniawi semata,mirip berhasil, adil, sejahtera, sejahtera, yang seluruhnya itu serba fisikal dan material, maka spiritualisasi pendidikan diarahkan untuk membangun kehidupan duniawi melalui pendidikan selaku wujud pengabdian kepada-Nya. Ini bermakna bahwa membangun kehidupan duniawi bukanlah menjadi tujuan akhir,melainkan sekedar gerbong menuju kehidupan spritual-ukhrowi yang infinit dan awet sebagai tujuan akhir dari perjalanan hidup ini. Ketiga, nilai dan orientasi pendidikan. Jika pendidikan sekuler di dasarkan pada nilai dan orientasi pengembangan iptek sebagai nilai dan orientasi ilmu, maka spritualisasi pendidikan juga mengembangkan iptek dengan segi penambahan pada iman dan taqwa (Imtak)sebagai ruh-spiritual dari pendidikan itu sendiri.maksudnya, segi imtak menjiwai seluruh proses pendidikan, termasuk penguasaan iptek.
Perlunya melaksanakan spiritualisasi tersebut sebab kekhawatiran kita terhadap fakta terjadinya  tanda-tanda dan juga dikotomi sistem pendidikan ketika ini. Pertama, sekularisme pendidikan. Ini terlihat , misalnya, dari sistem dan orientasi belajar siswa di sekolah yang sepenuhnya diarahkan untuk memburu keberhasilan secara fisikal dan material, mirip karier, jabatan, kekuasaan, dan duit. State of mind generasi kita di set-up dalam kerangka itu sehingga output generasinya pun menjadi serba materialistik, konsumeristik, dan bahkan tak jarang menjurus ke arah hedonistik. Kedua, dikotomisasi pendidikan. Ini tampak contohnya dari adanya persepsi pendidikan yang begitu dikotomis: satu segi, ada “pendidikan lazim” di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional; sementara pada sisi lainnya ada “pendidikan agama” di bawah Departemen Agama (Sukidi, 2002:446-447).
Telaah terhadap sekularisasi dan dikotomisasi pendidikan yang terjadi di Indonesia dikala ini menjadi aktual, sebab adanya tuntutan yang terus menerus semoga pelatihan peserta ajar menjadi SDM yang didambakan harus berpusat pada insan sebagai “makhluk spiritual”. Munculnya tanda-tanda kepada menurunnya makhluk spiritual dalam produk pendidikan bukan merupakan sekedar tanda-tanda, tetapi sudah merupakan bahaya bagi kelangsungan sistem pelatihan insan Indonesia. Pendidikan tidak dapat hanya diartikan sekedar meningkatkan ketajaman berpikir atau mengembangkan kecerdasan penerima ajar, namun ia juga merupakan penjaga nilai-nilai supaya manusia lestari tanpa kehilangan fitrah dan kodratnya selaku khalifah di tampang bumi.
D.   Proses pengembangan SDM secara sedikit demi sedikit-berkesinambungan melalui pendidikan informal, nonformal, dan formal dalam upaya “membuat” good citizen Indonesia.
Good citizen adalah sebuah harapan dan tujuan, selaku harapan dan tujuan ia tidak bisa terealisasi bila tidak di pahami secara fundamental apa sebenarnya maksud good citizen tersebut. Setidak-tidaknya, ia mampu diartikan selaku suatu masyarakat yang hidup dalam kondisi tenang, sejahtera, tentram, aman dan memiliki apresiasi yang besar terhadap adanya perbedaan. Good citizen ini mampu juga di artikan selaku penduduk madani atau civil society (mudah-mudahan tidak salah), yang menurut Anwar Ibrahim (mantan Deputi Perdana Mentri Malaysia ) dalam forum ilmiah ekspo istiqlal yaitu sistem sosial yang subur yang diazaskan terhadap prinsip akhlak yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya perjuangan serta inisiatif individu baik dari sisi anutan, seni pelaksanaan pemerintahan mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu mengakibatkan keterdugaan atau predictability serta ketulusan atau tranparency. Dengan pengertian yang demikian maka secara normatif apa yang dimaksudkan good citizen itu tidak jauh berlawanan dengan apa yang dimaksud dengan masyarakat madani, sebab corak kedua penduduk tersebut ialah pencerminan dari metode pemerintahan yang bagus pula. Itulah sebabnya keberhasilan pendidikan untuk menciptakan masyarakat yang diperlukan tersebut, terpulang kembali bagaimana pemerintah mengadakan pendidikan. Namun dikala ini kita banyak menghadapi persoalan, baik yang berupa ancaman, tantangan, kendala maupun gangguan. Berbagai krisis yang dialami dikala ini memaksa kita untuk bersusah payah mengatasinya, hal ini dikerjakan sejalan dengan tuntutan biar pendidikan di semua sektor baik formal, informal dan non-formal dapat berjalan dengan baik.
Tingkat kesanggupan dan upaya yang dikembangkan oleh manusia menangani ATHG yang dihadapi, sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, pemahaman, kesadaran, penghayatan, dan keahlian yang dimilikinya masing-masing. Secara impulsif dari waktu ke waktu, kemampuan tadi terus meningkat , namun belum tentu cocok dan sesuai dengan permintaan yang melaju amat cepat. Oleh alasannya adalah itu, kesanggupan tersebut wajib dikembangkan secara sengaja lewat pendidikan yang bersiklus dan terarah lewat pengembangan sumber daya manusia (human resources development) dalam arti yang seluar-luasnya, dalam hal ini meliputi pendidikan keluarga (informal), di penduduk (non-formal), dan di sekolah (formal) (Sumaatmadja, 2000:3).
Menurut Emil Salim (1991:30-31) jikalau kita bertolak dari tujuan jangka panjang pembangunan insan Indonesia maka jelaslah bahwa beberapa segi mutu manusia perlu mendapatkan penekanan, seperti kualitas spiritual, menyangkut ciri manusia dalam hubungannya dengan Tuhan. Dalam korelasi ini, perlu ditumbuhkan kesadaran menyebarkan segi-sisi kehidupan spiritual yang benar dan menghindari subjektivisme intuisi yang tidak terkontrol oleh dimensi sosial yang memiliki kecenderungan terhadap kultus. Penekanan kedua yakni pada mutu bermasyarakat dan kualitas berbangsa. Masyarakat Indonesia bersifat majemuk, sehingga memerlukan keterikatan lintas bangsa. Penekanan ketiga adalah pada mutu kekayaan yang dipengaruhi oleh tiga aspek, yaitu aspek eksklusif (mirip kecerdasan, pengetahuan, ketermpilan, dan pengalaman, perilaku, kerja), aspek lingkungan dalam organisasi (seperti situasi kerja, kepemimpinan, dan yang serupa), serta aspek lingkungan luar organisasi (mirip nilai sosial ekonomi, keadaan tekanan ekonomi, dan yang sama).
Pemikiran tersebut mencerminkan kekhawatiran sejak permulaan terhadap kondisi yang dinikmati Indonesia pada kala yang mau datang. Sebab untuk menciptakan good citizen atau masyarakat madani tersebut tidak tercapai dengan baik, malahan hingga saat ini kita menghadapi krisis multi dimensi yang belum juga diperoleh bagaimana biar keluar dari krisis tersebut. Krisis multi dimensi ini disebabkan oleh alasannya adalah kecurangan dan keculasan penyelenggaran negara yang tidak amanah terhadap tugasnya. Oleh sebab itu pendidikan atau tata cara pendidikan yang kita terapkan di abad kemudian mesti direformasi secara total, dengan memperhatikan fungsi dasar pendidikan dalam upaya menciptakan masyarakat madani, yang menurut Syarif (2002:52-54) mampu dirinci sebagai berikut :
1.    Pendidikan ialah investasi manusia (human invesment) yang mempunyai pengaruh pada perkembangan ekonomi. Dalam pemahaman ini, sumber daya insan diposisikan sebagai salah satu dari faktor produksi, yang mampu memperlihatkan bantuan kepada kemajuan ekonomi
2.    Pendidikan mempunyai dampak kenaikan derajat kesejahteraan masyarakat. Ada korelasi kasatmata antara tingkat kesejahteraan sebuah masyarakat dengan status pendidikan yang dimilikinya. Masyarakat yang berpendidikan memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan (alternatif) dan memiliki keberdayaan untuk mengembangkan derajat kehidupan.
3.    Pendidikan ialah wahana untuk membangun dan memajukan martabat bangsa. Pendidikan yang berkualitas akan menciptakan insan yang pintar dan inovatif, penduduk yang bermutu dan bangsa yang unggul dengan aneka macam kemampuan.
4.    Pendidikan akan memperbesar potensi terjadinya mobilitas vertikal. Pendidikan melahirkan lapisan elite sosial di dalam penduduk yang bisa menjadi motor penggagas pembangunan dan penggagas ke arah perkembangan.
5.    Sejalan dengan butir keempat, pendidikan dapat memperkuat forum-forum sosial serta mampu memberi bantuan yang memiliki arti dalam proses pembentukan masyarakat madani.
Dengan menyadari aneka macam hal yang berkaitan dengan pendidikan tersebut, mampu diketahui bahwa pendidikan formal, informal dan non-formal harus mengacu terhadap prinsip-prinsip pendidikan diatas. Sebab prinsip-prisip yang dikemukakannya tidak cuma sepihak saja, namun sudah mengcu terhadap penyadaran dari penyelenggaraan negara, utamanya departemen pendidikan untuk menunjukkan klarifikasi dan penerangan, bagaimana sebaiknya pendidikan dikerjakan secara simultan tersebut.
Pendidikan formal dilakukan hanya sebatas di persekolahan, anak bimbing dikembangkan secara proporsional sehingga peluangyang dimilikinya berkembang dengan kapasitas yang ada. Pendidikan sangat strategis, alasannya adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan anak berada dalam keluarga. Keluargalah yang mau memberikan penyaringan terhadap kekeliruan yang terjadi di luar rumah tangga. Itulah sebabnya anak akan menjadi apa sungguh ditentukan oleh keluarga. Sedangkan pendidikan non-formal yang berlangsung di penduduk akan memberikan pengayaan kepada pengalaman hidup anak, tetapi demikian pendidikan nonformal kerap menyebabkan anak mengalami benturan dengan prinsip-prinsip yang diajarkan padanya baik di rumah tangga maupun di persekolahan. Secara sepihak mampu dikatakan bahwa pendidikan nonformal mempengaruhi perilaku dan pengalaman hidup anak, alasannya adalah memang disitulah realitas sosial manusia. Oleh sebab itu pendidikan formal dan informal berperan menawarkan penerang kepada tanda-tanda-gejala sosial yang dapat menghambat anak untuk menjadi bagian dari upaya pendidikan biar tercipta good citizen Indonesia.
E.   Pengembangan strategi pendidikan sesuai dengan kondisi-peluangkewilayahan nusantara Indonesia.
Wilayah nusantara yang sungguh luas dengan berbagai pulau, etnis dan bahasa yang berlawanan membutuhkan suatu strategi yang tepat untuk melaksanakan pembangunan yang menyeluruh dan berkeadilan. Hal ini perlu dikerjakan untuk menghadapi banyak sekali problem yang sedang dihadapi. Permasalahan tersebut jikalau ditelaah mencakup beberapa hal yang berkaitan pribadi dengan keadaan kontemporer dan kedinian yang sedang dialami.
Khusus duduk perkara pendidikan, selaku salah satu persoalan krusial dalam krisis yang sedang dihadapi dikala ini, ternyata melibatkan bergai dimensi atau aspek lain dalam penyelenggaraannya. Hal ini menggambarkan bahwa sektor pendidikan menghipnotis acuan pembangunan dan contoh pembangunan yang dipraktekkan selama ini juga mensugesti pendidikan. Dengan demikian terdapat relasi antara pelaksanaan pembangunan dengan sistem penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan selama ini.
Pada dikala ini pendidikan nasional juga masih dihadapkan pada beberapa permasalahan yang menonjol yakni: (1) masih rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan, (2) masih rendahnya mutu dan relevansi pendidikan, dan (3) masih lemahnya manajemen pendidikan, disamping belum terwujudnya kemandirian dan kelebihan ilmu wawasan dan teknologi di kalangan akademis (Propenas, 2000-2004:165).
Salah satu arah kebijakan Propenas mirip tertera pada butir 5 (berisikan 8 butir) menyebutkan “melakukan pembaruan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan, dan administrasi”. Persoalan yang di hadapi dengan luasnya kawasan nasional nusantara ini, mengharuskan kebijakan pendidikan dilaksanakan sesuai dengan abjad setiap tempat, sebab perlakuan yang bersipat uniformitas mirip  yang dijalankan selama ini sudah menghancurkan nilai-nilai tradisi kewilayahan. Padahal nilai-nilai ini kalau di kebangkan sesuai dengan karakternya akan mampu menjadi kekuatan dahsyat.
Dalam kerangka menunjukkan apresiasi yang bersifat holistik terhadap luasnya daerah nusantara ini diharapkan suatu kebijakan yang dapat menentramkan kegelisahan uniformitas yang dijalankan selama ini. Oleh karena itu desentralisasi atau otonomi penyelenggaraan negara, khususnya penyelenggaraan sistem pendidikan perlu dilaksanakan secepatnya. Jika selama ini sentraliasi telah menciptakan penderitaan kepada pendidikan, dibutuhkan dengan adanya otonomi dari setiap wilayah, akan mencabut penderitaan itu sehingga timbul keinginan baru bagi pengembangan potensi ke wilayahan.
Studi-studi perkara wacana upaya desentralisasi dari aneka macam penjuru dunia menujukan bahwa desentralisasi  dilaksanakan dengan beragam alasan baik yang tersurat maupun yang tersirat, alasan politik, pendidikan, manajemen, dan keuangan. Alasan-argumentasi ini dapat dikelompokan dan berada adalam sebuah spektrum yang luas (Fiske, 1996:24). Dalam konsteks kekinian Indonesia semua hal tersebut dapat dijadikan alasan mengapa kita mesti melakukan desentralisasi. Sampai ketika ini jalan itulah yang memungkinkan kita mampu melepaskan diri dari penderitaan pendidikan. Pendekatan sentralisasi yang dikerjakan selama ini mengakibatkan lemahnya institusi pendidikan melaksanakan kebijakan, alasannya semua kebijakan diputuskan secara netral, pemerintah sentra tidak dapat mengerti apa yang menjadi permintaan dan keperluan tempat.
Untuk mengatasi berbagai kendala karena adanya kekurangan institutional tersebut, mirip desentralisasi merupakan jalan keluar yang terbaik. Oleh kaena itu untuk menanggulangi kekurangan institusional tersebut adalah dengan: “(a) pemberdayaan setempat, (b) memutuskan kembali tanggung jawab atas penyusunan rencana jangka panjang daerah tingkat II selaku titik berat pengelolaan merupakan planning panjang dengan desentralisasi, (c) pembangunan kesanggupan kelembagaan, (d) memberikan otonomi yang lebih besar dengan administrasi sekolah yang bertanggung jawab, (e) metode pendanaan yang menjamin pemerataan dan efisiensi” (Jiyono, dalam Supriadi dan Jalal, 2001:156-157).
Desentralisasi diperlukan dapat menyaksikan dengan jernih keadaan Indonesia selaku suatu realita alamiah, negara-negara (nation-state) di Indonesia beraspek beragam, baik dari faktor etnik-religius, sosial-budaya, dan sosial-ekonomi, maupun fisikal-alamiah kewilayahan. Kondisi yang dikehendaki ialah keadaan yang mampu membangun bangsa menjadi lebih baik lewat pendidikan. Sebab pendidikan akan menawarkan kesadaran dan sekaligus penyadaran terhadap tanggung jawab individu dan juga tanggung jawab kebangsaan.
F.    Pendekatan metode dalam pengembangan pendidikan
Pendekatan tata cara merupakan sebuah pendekatan yang menyeluruh yang mampu mengarahkan apa yang dipikirkan dan direncanakan terealisir dengan baik. The system approach is away of thinking toward a more precise understanding of the relevant concepts and their applications (Jhonson, et-al, 1973:xi). Pendekatan metode memiliki prinsip fundamental dalam menuntaskan planning yang sudah ditetapkan, oleh alasannya adalah itu untuk melakukan suatu rencana diperlukan pendekatan sistem.
Dalam pendidikan dan organisasi pendidikan, pendekatan tata cara ialah sebuah kewajiban yang dan tidak mampu diabaikan sama sekali. Kekeliruan pengembangan SDM Indonesia selama ini yakni alasannya adalah mengabaikan pendidikan selaku sebuah tata cara sehingga pendekatan sistem yang dipakai tidak tepat sasaran dan tepat guna.
Berbagai tanda-tanda tersebut pastinya mengakibatkan kita tidak siap menghadapi “the future war” yang condong harus memiliki SDM yang hebat. Apalagi kecenderungan “the future war” tersebut tidak lagi mengandalkan kekuatan personil militer dalam jumlah besar, namun cenderung lebih mengandalkan kekuatan teknologi, ilmu pengetahuan, ekonomi dan juga politik. Kakuatan teknologi dan ilmu pengetahuan akan mengembangkan kemampuan sebuah bangsa dalam hal ekonomi dan politik. Kekuatan iptek cuma mampu diperoleh dengan baik jika pendidikan mempunyai tata cara yang sempurna dan sesuai dalam menghadapi tantangan zaman ke depan.
Pendidikan yang dapat melaksanakan tranformasi, dengan transformasi tersebut dibutuhkan seluruh unsur transformasi, sepreti globalisasi, struktur ekonomi, politik ideologi, kebudayaan nasional, insan dan penduduk , iptek dan isu mampu didekati dengan metode yang tepat kebutuhan. Sekali lagi pendekatan metode dibutuhkan alasannya: the system approach is way of thinking about the job of managing. It provide a framework for visualizing internal and external factor as an integral whole (Jhonson, et-al, 1973:3). Menghadapi masa depan yang lebih kompleks dan sarat dengan chaos seperti yang terjadi saat ini, telah menjadikan keputusasaan dikalangan sebagian masyarakat. Hal ini terjadi sebab tidak jelasnya tata cara yang dikonstruk dalam melakukan pembangunan secara menyeluruh sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Hal ini dikemukakan sesudah menyaksikan berbagai kebijakan yang dilaksanakan oleh beberapa kepemimpinan nasional. Seluruhnya mengecewakan, alasannya adalah tidak satupun mereka memakai pendekatan sistem yang sesuai dengan keperluan pembangunan, kecuali hanya keperluan kelanggengan atau kelestarian kekuasaannya saja. Jika ditelaan dari perjalanan kepemimpinan tersebut, maka dapat dilihat bahwa sebenarnya mereka lengser karena tidak “dekat” dengan ekonomi. Dari sini dapat dikatakan bahwa pembangunan ekonomi akan menghipnotis tingkat dapat dipercaya kepemimpinan bangsa. Indikasi bahwa ekonomi ialah sebuah kekuatan kian jelas setelah msuknya abad globalisasi saat ini. Oleh alasannya itu metode pendidikan yang baik akan mampu memajukan harapan yang baik bagi suatu bangsa untuk menghadapi kala depan yang diindikasikan selaku era “the future war”. Sistem pendidikan yang disediakan sifatnya bermacam-macam, hal ini terjadi alasannya berbagai golongan ingin menyebabkan pendidikan selaku leading sector dalam pembangunan. Kesamaan visi antara satu orang dengan orang yang lain adalah semoga pendidikan dijadikan leading sector. Sedangkan polanya bervariasi sesuai dengan paradigma dan pengalaman yang diperoleh selama ini. Namun semua proposal yang dikemukakan tersebut ialah dalam rangka memperbaiki metode yang dikontruksi selama ini. Tinggal lagi bagaimana penanggung jawab pendidikan dapat melakukan sebuah seni manajemen sehingga tawaran-proposal yang dikemukakan tidak berantakan secara tidak berguna. Upaya yang dikerjakan untuk menangkap banyak sekali pesan dari banyak sekali kelompok tersebut harus ditampung dalam suatu sistem dengan memakai pendekatan sistem yang mahir.
G.   Strategi pendidikan menanggulangi “krisis identitas” bangsa
Krisis identitas yang terjadi dikala ini ialah bab dari krisis multi dimensi, adalah krisis yang sudah menghancurkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Akibat krisis multi dimensi tersebut, tingkat iman diri dan iman tehadap orang lain atau sesama menjadi terpengaruh. Krisis ini bukan terjadi begitu saja, dia terjadi alasannya ketidak-mampuan pemegang amanah negara dalam menyelenggarakan sistem pemerintahan, terutama sistem pendidikan. Pendidikan yang diselenggarakan cenderung hanya untuk mengejar bahan semata, sehingga melahirkan insan-insan yang materialistik dan cenderung hedonistik.
Pendidikan semestinya tidak cuma memproduksi penduduk sekarang (menjaga status qua), namun diarahkan untuk membuat penduduk gres dengan kualitas lebih tinggi. Dalam kaitan ini ada aspek-faktor seleksi yang mesti diubah dengan rekayasa, sehingga kualitas yang oke yang terseleksi positif. Dengan demikian, pendidikan menyiapkan manusia menjadi lebih berkualitas, tidak hanya menjadi pekerja perusahaan yang mampu diperjualbelikan (salable) namun juga lebih manusiawi dan tidak menjadi sumber peristiwa bagi sesamanya dan lingkungannya (Jacob, 1993:32-33). Kualitas SDM yang diharapkan ialah yang cocok dengan rumusan tujuan pendidikan nasional, ialah untuk memajukan mutu insan Indoesia, adalah manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdikari, bertangung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani. Rumusan tujuan belum tercapai dengna baik sehingga memunculkan krisis identitas sebagai akhir multi krisis ketika ini. Multi krisis yang berlarut ini telah menjadi beban dan berimplikasi luas kepada kesiapan insan Indonesia mengadapi masa depan yang semakin kompleks. Jika suasana ini terus tidak terpecahkan maka krisis ini tidak hanya sampai disini saja, namun dia akan menjinjing bahaya yang lebih besar yaitu adanya ancaman disintegrasi. Sebuah contoh yang cukup menawan dapat dikemukakan, bahwa Amerika Serikat meskipun dikala ini telah mengukuhkan dirinya sebagai satu-satunya negara super power dalam segala hal (ekonomi, iptek, militer, politik, budaya dan sebagainya) masih tetap memprioritaskan pendidikan selaku bagian dari strategi pengembangan dan pembangunan bangsanya supaya identitasnya tetap terjaga dan terpelihara dengan baik. Program baru pendidikan mereka tersebut disebut oleh Presiden George W Bush selaku No Child Left Behind yang digulirkan tahun 2002. Program ini berorientasi pada duduk perkara global yang mereka hadapi. Inti dari acara ini adalah melibatkan secara menyeluruh semua pihak dalam kebijakan dan praktisi pendidikan ditingkat federal, negara bab, dan distrik untuk memakai persyaratan, penilaian, akuntabilitas, fleksibilitas, dan berbagai bentuk opsi dalam setiap upaya untuk memajukan kualitas pendidikan. Program ini berupaya melakukan beberapa hal, dinataranya: pertama, upaya untuk menetralisir kesenjangan prestasi berguru antara anak yang beruntung dan anak yang kurang dan bahkan tidak mujur dalam arti sosial-ekonomi, dan kultur; kedua, pemberdayaan keluarga dengan cara menawarkan aneka macam pilihan dalam memilih pendidikan bagi anak-anaknya, pemerintah menawarkan akomodasi bagi keluarga dalam menemukan dana pendidikan yang bebas pajak untuk membiayai anak-anak mereka semenjak tamn kanak-kanak sampai perguru/ dosenan tinggi; ketiga, memajukan kelonggaran dan menghemat birokrasi dalam dunia pendidikan. Regulasi kian dikurangi di berbagai jenjang pendidikan semoga acara pendidikan lebih mengutamakan kreativitas masyarkat dalam memecahkan banyak sekali dilema yang dihadapinya; keempat, mendorong kenaikan dalam bidang-bidang yang memilih kualitas pendidikan, hal ini dilakukan dengan memajukan kemampuan membaca, matematika, sains, peningkatan kualitas guru/ dosen, kenaikan keselamatan lingkungan sekolah, dan penggunaan teknologi (Suyoto, 2002:105-106). Dalam kerangka yang demikian itu maka diperlukan banyak sekali seni manajemen pendidikan supaya krisis identitas yang terjadi dikala ini dpat teratasi. Salah satu jalan terbaik untuk menanggulangi krisis tersebut adlah dengan melakukan desentralisasi pendidikan. Sebab desentralisasi akan menunjukkan potensi yang besar bagi setiap aksara kewilayahan membangun dirinya sendiri, dengan demikian uniformitas akan mampu dilihangkan. Desentralisasi mampu membebaskan pendidikan dari ketertindasan, selama ini penindasan dijalankan secara sistematis sehingga seluruh proses pendidikan dan pembelajaran dipersekolahan tidak dapat memerdekakan diri sesuai dengan tujuan atau tuntutan pendidikan. Desentralisasi yang diterapkan sudah menghancurkan tatanan budaya kewilayahan sehingga identitas diri kewilayahan musnah secara perlahan. Dengan desentralisasi pergeseran paradigma akan terjadi, alasannya adalah paradigma baru dengan desentralisasi tersebut memperlihatkan ruang yang cukup luas bagi stakholder pendidikan menyebarkan aspirasi dan inspirasinya. Jika paradigma lama cenderung bersifat birokratis hirarkis dalam penyelenggaraan pendidikan, dengan paradigma baru tersebut maka pendidikan akan dilakukan secara demokratis. Paradigma gres pendidikan inilah yang diperlukan akan menjadi instrumen dalam upaya menangani “krisis identitas” yang terjadi saat ini.
H.   Strategi pendidikan yang efektif, efisien, dan produktif guna mengubah gambaran “perbudakan”
Give people a handout or a tool, and they will live a little better. Give them an education, and they will change the world (the world bank, 1999). Stateman yang sangat menawan ini menggambarkan betapa pentingnya pendidikan bagi kehidupan insan. Dengan menyadari pentingnya pendidikan tersebut diharapkan setiap negara akan mampu memutuskan seni manajemen yang fundamental dalam penyelenggaraan pendidikan.
Pada dasarnya pendidikan yang efektif atau efisien serta produktif itu secara ideal sukar untuk didapatkan. Sebab pendidikan condong mengalami  pergantian disebabkan pergantian terjadi setiap dikala dan susah untuk diprediksi secara pasti apa yang hendak terjadi sesudah hari ini. Prediksi hanya bisa dijalankan bila tanda-tanda-tanda-tanda atau fenomena yang terjadi saat ini dapat di pahami secara utuh. Oleh alasannya adalah itu dalam upaya menjadikan pendidikan mempunyai strategi agar produk pendidikan mampu berperan dirumah sendiri dan tidak menjadi budak dirumah sendiri, ialah dengan mengerti arti penting dan seni manajemen pendidikan. Menurut Bank Dunia seni manajemen sektor pendidikan diharapkan semoga produk pendidikan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan siap menghadapi tantangan kedepan.
Pendidikan yang tepat dengan kepentingan sebuah bangsa, seperti Indonesia, memerlukan suatu seni manajemen yang sempurna biar produk pendidikan tidak menjadi budak di negri sendiri, tetapi mesti menjadi tuan rumah di negri sendiri. Oleh alasannya adalah itu pendidikan yang mempunyai visi global harus dipersiapkan dengan mempertimbangkan: (1) tujuan pendidikan dimasa datang perlu memenuhi cita-cita, keinginandan keperluan era globalisasi, (2) tujuan global pendidikan di Indonesia perlu diarahkan terhadap kenaikan penguasaan teknologi dan isu, (3) tujuan global pendidikan Indonesia mesti diarahkan terhadap pemahaman masalah ekonomi, politik, bahasan dan budaya yang mendunia, (4) tujuan pendidikan global sudah sepatutnya diarahkan kepada adanya kompetisi ketat tetapi sehat dalam segala bidang antar bangsa-bangsa, (5) tujuan pendidikan global indonesia harus juga diarahkan terhadap penguasaan bahasa-bahasa dunia, seperti bahasa inggris dengan tujuan supaya mampu untuk berkiprah dikehidupan internasional,(6) tujuan pendidikan global utamanya di bidang perekonomian, jual beli dan moneter perlu diarahkan kepada pencapaian efektivitas dan efisiensi alat-alat bikinan dan jasa yang terkenal diseluruh dunia yang sarat persaingan dalam kurun pasar bebas (Bastian, 2002:48-49).
Persaingan global yang cukup cukup ketat saat ini dan mendatang mewajibkan taktik pendidikan melaksanakan dua acara kependidikan secara serentak atau secara simultan. Kedua acara kependidikan itu adalah melaksanakan  (1) pendidikan,  dan  (2) pembinaan, keduanya mempunyai perbedaan yang fundamental, pendidikan menitikberatkan aktivitas pembelajarannya untuk kepentingan proses berfikir yang mendalam, sedangkan training adalah untuk mengambil tindakan dalam upaya melaksanakan sesuatu. Perlunya kedua aktivitas ini dikerjakan supaya terdapat alternatif bagi warga negara untuk menentukan pilihannya, apakah melanjutkan ke jengjang pendidikan yang lebih tinggi atau memasuki jenis pendidikan yang mampu langsung berhadapan dengan dunia kerja.
Strategi penyelenggaraan kependidikan mirip ini ialah bagian dari upaya supaya warga negara melalui produk pendidikan mampu menjadi tuan dirumah sendiri, bukannya menjadi budak di rumah sendiri.
Mendidik seseorang untuk berfikir  (menyiapkan, merancang, menyatukan, mendapatkan), ialah menyebarkan keahlian konseptual untuk berfikir melebihi paradigma kini. Sementara itu training hanya melatih seseorang untuk bertindak  (melakukan, membangun, memproses, mengoperasikan ), ialah menyebarkan keahlian konsekstual untuk meningkatkan pekerjaan dalam rentang waktu yang pendek (Gunawan, 2000:184). Walaupun antara pendidikan dan pembinaan berbeda dalam penyelenggaraan dan proses pembelajarannya, keduanya diperlukan dan memang harus diselenggarakan biar mampu menjadi alternatif atau pilihan sesuai dengan aspirasi warga negara untuk masa depannya .
I.      Strategi training dan pemanfaatan  SDM yang bermutu dalam rangka “otonomi tempat”
Ada dua model dalam sejarah insan bagaimana menimbulkan orang yang bermacam suku bangsa mampu bersatu membangun negara secara berpengaruh. Pertama, dengan menyeragamkan dan menghilangkan perbedaan yang ada baik dari segi budaya, agama, nilai, dan lain-lain. Mereka yang berlawanan-beda itu dipaksa disatukan dengan hukum ketat dan penyeragaman. Tidak di terima adanya perbedaan. Itulah yang dilakukan Uni Sovyet dan Yugoslavia zaman dahulu. Hasilnya yaitu bubar, alasannya perbedaan tidak dapat dihilangkan. Menghilangkan perbedaan yang memang telah ada semenjak lahir yaitu suatu pemaksaan yang melawan hak azasi manusia (HAM), maka tidak dapat bertahan lama. Model kedua, justru mendapatkan perbedaan, mengakuinya dan menghargainya. Dengan saling menerima, orang yang berlainan itu bahkan dapat saling melengkapi, saling menolong lebih kaya. Dalam model kedua, HAM setiap orang diakui dan kekhasan setiap kelompok diakui, bahkan dikembangkan. Dalam versi kedua dibutuhkan semangat multikultural (Suparno, 2003).
Penerimaan terhadap pendidikan multikultural merupakan bab dari pelaksanaan otonomi kawasan, utamanya otonomi di sektor pendidikan. Pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang jauh dari keseragaman, pendidikan multikultural menjungjung tinggi adanya keberagaman dan kekhasan antara satu daerah dengan wilayah lain, antara satu golongan dengan golongan lain, dan dengan adanya perbedaan tersebut tidak dijadikan alasan untuk saling menjauh atau melakukan permusuhan yang dapat memecahkan persatuan dan kesatuan seperti yang dialami oleh Uni Sovyet dan Yugoslavia. Sejarah kedua negara tersebut mesti dijadikan pelajaran untuk tidak terulang di negri ini, terlebih krisis yang berkepanjangan ini telah mengancam integritas bangsa.
Salah satu implikasi jelek dari penyelenggaraan pendidikan yang tidak menganut prinsip multikultural tersebut adalah tidak termanfaatkan secara maksimal SDM yang bermutu di aneka macam kawasan atau kawasan, padahal bila tenaga bermutu tersebut dimanfaatkan secara baik, akan mensugesti pemberdayaan setiap wilayah. Oleh karena itu otonomi daerah merupakan jalan terbaik dalam kerangka pemanfaatan seluruh SDM yang tangguh,terlebih prinsip otonomi daerah tersebut ialah menghargai dan menjungjung tinggi adanya multikultural Indonesia. Berdasarkan hal tersebut diyakini bahwa pendidikan multikultural akan mewarnai kebijakan pendidikan nasional, lewat pendidikan multikultural tersebut akan mengakibatkan warna gres dalam pengertian yang fundamental terhadap adanya perbedaan atau kekhasan dalam berbagai dimensi kehidupaan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Namun demikian, berdasarkan Yahya A. Muhaimin (mantan mendiknas) setelah bergulirnya pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999 perihal Pemerintah Daerah sejak tanggal 1 januari  2001, ternyata pelaksanaannya  membawa imbas negatif, mirip: (1) persepsi yang kurang sempurna tentang kewenangan, (2) pembentukan forum kawasan yang tidak proporsional dengan aktivitas dan kewenangannya (terlalu gemuk atau terlalu kurus),(3) penempatan personel yang condong mempunyai kecenderungan ke “daerahisme” dan tidak menurut pro fesionalisme, (4) tidak tercerminnya prioritas pembangunan pendidikan (SDM) dalam alokasi APBD, (5) timbulnya kerancuan kewenangan antara pemerintah (sentra), propinsi, dan kabupaten/kota.
Dari lima duduk perkara  atau kerancuan pelaksanaan otonomi kawasan tersebut, kedudukan pendidikan ternyata tidak tercerahkan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa bantu-membantu kebijakan pendidikan yang didelegasikan dari sentra ke daerah hingga dikala ini belum dapat dijalankan seuai dengan “ruh” pendidikan ini secara universal. Otonomi yang dimaksudkan yaitu untuk pemberdayaan setiap faktor kehidupan bermasyarakat dan bernegara tersebut, belum mampu menjadi contoh dalam upaya meningkatkan kewilayahan atau dalam upaya untuk memperlihatkan apresiasi yang mencukupi kepada adanya perbedaan di semua aspek kehidupan.
Walaupun situasi tersebut belum menguntungkan bagi penyelenggaraan pendidikan, setidak-tidaknya dengan diketahuinya masalah-masalah yang berada dalam pertolongan otonomi tersebut, mengingatkan kita untuk secepatnya melaksanakan koreksi terhadap pelaksanaannya sekaligus mencari penyelesaian terbaik. Otonomi yang dimaksudkan  ialah untuk kenaikan kualitas SDM menurut kekhasan kawasan, bukan menimbulkan “daerahisme” yang berlebihan sehingga tidak mampu menerima kedatangan pihak lain ke dalam daerahnya. Daerahisme yang berlebihan tersebut ialah implikasi dari otonomi dan akan menjadi bahaya disintegasi bangsa. Semangat otonomi adalah semangat untuk menertibkan diri sendiri sesuai dengan aspirasi dan inspirasi kewilayahan, sehingga impian yang tidak tercapai selama ini dapat direalisir sebagaimana mestinya.
Untuk mengatasi kendala sentralistik yang selama ini dianut  oleh birokrasi pemerintahan, di butuhkan suatu strategi baru agar desentralisasi dapat menanggulangi aneka macam persoalan pendidikan. Strategi tersebut ialah upaya pembinaan dan pemanfaatan SDM yang berkualitas berkaitan dengan “pelaksanaan otonomi kawasan”.
Adapun prinsip-prinsip yang terkandung dalam arah baru pengembangan pendidikan nasional yaitu: (1) kesetaraan perlakuan sektor pendidikan dengan sektor lain, (2) pendidikan berorientasi rekonstruksi sosial, (3) pendidikan dalam rangka pemberdayaan bangsa, (4) pemberdayaan infrastruktur sosial untuk perkembangan pendidikan nasional, (5) pembentukan kemandirian dan keberdayaan untuk meraih kelebihan, (6) penciptaan iklin yang aman untuk tumbuhnya toleransi dan konsensus dalam kemajemukan, (7) perencanaan terpadu secara horizontal dan vertikal antar (jenjang- bottom-up dan top-down planning), (8) pendidikan berorientasi akseptor asuh, (9) pendidikan multikultural, dan (10) pendidikan dengan perspektif global. Berbagai taktik yang dikemukakan diatas intinya adalah sebuah upaya untuk melaksanakan reformasi sekaligus transformasi agar mampu menghadapi tantangan global dimasa mendatang. Apa yang dijadwalkan dikala ini ialah bagian dari menghadapi periode depan tersebut. Suatu hal yang tidak dapat diabaikan dalam upaya pencapaian berbagai rencana pelaksanaan otonomi tempat semoga terjadi pemberdayaan SDM yang berkualitas dan merata di seluruh wilayah Indonesia, ialah terciptanya good governance, ini bukan merupakan sekedar cita-cita tetapi ia ialah kewajiban dan menjadi tolok ukur untuk mengimplementasikan planning-planning besar tersebut.
Good governance yang dimaksud disini adalah yang mempunyai niat baik kepada tugas dan tanggung jawabnya dan mengabdi untuk penduduk serta amanah terhadap seluruh peran dan tanggung jawabnya tersebut. Arti good dan good governance mengandung dua pemahaman selaku berikut. Pertama, nilai yang menjunjung tinggi cita-cita atau hasratrakyat, dan nilai yang dapat mengembangkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional), kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Kedua, faktor fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut. Berdasarkan pemahaman ini, good governance berorientasi  pada:
1.    Orientasi ideal, negara yang diarahkan pada pencapain tujuan nasional. Orientasi ini bertitik tolak pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan komponen konstituennya seperti: legitimacy (apakah pemerintah) diseleksi dan menerima dogma dari rakyat, accountability (akuntabilitas), securing of human rights, autonomy and devolution of power, dan assuranse of civilan cotrol.
2.    Pemerintahan yang berfungsi secara ideal, ialah secara efektif dan efisien dalam melaksanakan upaya mencapai tujuan nasional. Orientasi kedua ini tergantung pada sejauh mana pemerintah memiliki kompetensi, dan sejauh mana struktur serta prosedur politik serta administratif berfungsi secara efektif dan efisien (Sedarmayanti, 2003:6-7).
Berdasarkan pemahaman diatas maka dapat dikatakan bahwa keberhasilan otonomi kawasan sangat diputuskan seberapa jauh penyelenggara negara baik pada tingkat sentra dan daerah  menciptakan good governance, good governance harus diyakini bukan ialah tanggung jawab tetapi ia ialah keharusan dan kewajiban dalam mengerjakan amanah sebagai penyelenggara negara.
DAFTAR PUSTAKA
A. Supraktinya, (2001), “Hantu Masyarakat itu Bernama Pendidikan”, dalam Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman, Sindhunata (Ed), Kanisius, Yogyakarta.
Buchori, Mochtar, (1996), Arah Pembangunan Desentralisasi Pengajaran, Politik dan Konsensus, Alih Bahasa; Basilius Bangoteku, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta
Darmadi Hamid, (2007) Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Konsep Dasar dan Implementasi; Alfabeta, Bandung
Darmadi Hamid, (2008) Pendidikan Pancasila; Konsep Dasar dan Implementasi; Alfabeta, Bandung
Darmadi Hamid, (2006) Dasar Konsep Pendidikan Moral, Landasan Konsep Dasar dan Implementasi Alfabeta, Bandung
Gunawan, Hendra, (2000), “Matematika dan Budaya Bangsa”, dalam Menggagas Pendidikan Rakyat, Anshori, Dadang S, (Ed), Alqaprint, Bandung
Jacob, T, (1993), “Kualitas Ragawi Manusia, Ukuran-ukuran dan Rekayasa”, dalam Membangun Martabat Manusia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta
Joyono, dkk, (2000), “Manajemen Berbasis Sekolah”, dalam Reformasi Pendidikan dalam Konsteks Otonomi Daerah, Jalal, Fasli dan Supriadi, Dedi (Ed), Adi Cita, Yogyakarta
Jhonson, Richard, et-al, (1973), The Theory and Management of System, McGraw-Hill Kogakusha, Ltd.
Nugroho D. Riant, (2001), Reinventing Indonesia, Elex Media Komputindo, Jakarta
Phenix, Philip H, (1964), Realms of Meaning: A Philosophy of the Curriculum for General education, McGraw-Hill Books Company, 1964
Salim, Emil, (1991), “Sumber Daya Manusia dalam Perspektif”, dalam Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan nasional Menjelang Abad XXI, Grasindo, Jakarta
Sedarmayanti, (2003), Good Governance, Mandar Maju, Bandung
Sukidi, (2002), “Spiritualisasi Pendidikan”, dalam Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia Baru, Grasindo, Jakarta
Sumaatmadja, Nursid, (2000), Manusia dalam Konteks Sosial Budaya dan Lingkungan Hidup, Alfabeta, Bandung


Ditulis oleh Yoyong Tachyani   
DR. Yoyong Tachyani, M.Si. yaitu dosen pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Latifah Mubarokiyah Suryalaya-Tasikmalaya.
Abstrak: Keberhasilan pendidikan biasa akan berlangsung dengan baik jika pembelajaran yang dilakukan dipersekolahan melibatkan berbagai ilmu wawasan. Dengan demikian mampu ditarik kesimpulan bahwa pendidikan memerlukan kontribusi ilmu-ilmu lain selaku bagian dari upaya kesuksesan pendidikan secara interdispliner. Untuk menghasilkan Good Citizen selaku suatu cita-cita dan tujuan dibutuhkan pada the future war, diperlukan strategi-taktik berikut ini: (1) Pengembangan dan pembinaan “logika” penerima asuh  secara komprehensif melalui pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya. (2) Pemberdayaan “Nilai-nilai Standar” dalam membina dan berbagi SDM Indonesia terbaru yang ideal; (3) Proses pengembangan SDM secara sedikit demi sedikit-berkelanjutan lewat pendidikan informal, nonformal, dan formal dalam upaya “membuat” good citizen Indonesia; (4) Pengembangan seni manajemen pendidikan sesuai dengan kondisi-potensi kewilayahan nusantara Indonesia; (5) Penerapan pendekatan tata cara dalam pengembangan pendidikan “menciptakan SDM Indonesia yang berkualitas menghadapi “the future war”; (6) Strategi pendidikan menangani “krisis identitas” yang sedang dialami Indonesia sampaumur ini; (7) Strategi pendidikan yang efektif, efisien, dan produktif dalam mengganti gambaran “budak di rumah sendiri” menjadi “tuan di rumah sendiri”; (8) Strategi pelatihan dan pemanfaatan  SDM yang bermutu berhubungan dengan “pelaksanaan otonomi tempat”
Kata Kunci: Good Citizen, The Future War
A.    Pendahuluan
Sebagaimana faktor budaya, pendidikan mempunyai keterkaitan dengan banyak sekali disiplin ilmu lain. Pendidikan tidak mempunyai kemampuan melakukan pekerjaan sendiri bila ilmu-ilmu lain tidak menawarkan bantuan. Ketidak mampuan pendidikan tersebut disebabkan sebab proses pendidikan yang dikerjakan yakni dalam rangka memberdayakan seluruh kesempatanyang ada pada pembelajar untuk memahami berbagai masalah. Disamping itu pendidikan ialah fasilitas untuk mendekatkan akseptor latih terhadap realitas lingkungannya, dan untuk memahami realitas lingkungan itu, aneka macam disiplin ilmu mesti diajarkan terhadap pembelajar.
Realitas sosial yang dihadapi pembelajar dalam lingkungan pembelajaran condong bersifat normatif, tetapi saat pembelajar dihadapkan dengan banyak sekali keadaan lingkungannya melakukan penyesuaian diri. Itulah sebabnya kesuksesan pendidikan akan tercapai secara optimal dan maksimal jikalau interdisipliner diterapkan secara utuh. Pembelajaran yang dilaksanakan dalam ruang persekolahan relatif cuma mengenalkan pembelajar terhadap nilai-nilai yang bersifat tekstual dan konseptual, sedangkan yang bersifat kontekstual dan substansial relatif sukar dicerna pembelajar. Pembelajar hanya mampu melaksanakan komparasi kepada nilai yang diberikan di persekolahan dengan realitas lingkungannya.
Dalam proses pendidikan yang dijalankan secara klasikal, pembelajaran cenderung dilaksanakan secara massal dengan karakteristik yang berlawanan antara satu pembelajar dengan pembelajar lainnya. Dengan metode klasikal tersebut terjadinya asosiasi yang berlainan dalam aneka macam hal, mirip berbedanya status sosial, tingkat kecerdasan, emosional, pola penyesuaian diri, dan lain sebagainya. Perbedaan yang terjadi ini menyebabkan diperlukannya disiplin ilmu lain supaya perbedaan tersebut bukan merupakan hambatan dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru/ dosen dengan pembelajar. Dalam hal ini dibutuhkan ilmu psikologi semoga guru/ dosen mampu menyelami dan mendalami setiap sikap yang ditampilkan pembelajar. Ketika guru/ dosen bisa melakukan penetrasi terhadap perilaku yang ditampilkan pembelajar, bukan berarti duduk perkara tamat sampai disitu, masih banyak berbagai masalah lain yang dihadapi oleh guru/ dosen  semoga pembelajar sukses dalam mencapai tujuan pembelajaran secara proporsional.
Seperti dikenali bahwa setiap proses pembelajaran dilakukan dalam pendidikan di persekolahan, agar pembejalar dapat mengembangkan kemampuannya mengetahui realitas dengan didasari oleh nilai dan norma yang baku atau berlaku dalam komunitas dan masyarakatnya. Dan target final dari pembelajaran dalam konteks kekinian adalah semoga pembelajar mampu hidup dalam masyarakatnya  lewat sebuah profesi yang diinginkannya. Dalam kerangka itulah maka pendidikan sebagai faktor budaya yang bersifat multi dimensional tidak bisa secara an-sich bangun sendiri.
Sebagai teladan mampu dikemukakan bahwa keberhasilan pendidikan mengharuskan lulusannya untuk mampu memperoleh pekerjaan, terlalu sulit untuk mendapatkan pendapat lain yang menganggap bahwa pendidikan tidak terkait dengan pekerjaan. Seperti yang dikemukakan oleh Philip H. Phenix (1964) bahwa keberhasilan pendidikan, khususnya pendidikan umum akan berlangsung dengan baik bila pembelajaran yang dijalankan dipersekolahan melibatkan aneka macam ilmu wawasan. Konsep pendidikan ini umumdisebut dengan pendidikan biasa yang didalamnya meliputi enam tempat makna. Keenam tempat makna yang meliputi aneka macam ilmu tersebut mencakup :
1.      Symbolics (bahasa, matematika, dan nondiscursive forms)
2.      Empirics (ilmu-ilmu fisika, biologi, psikologi, ilmu wawasan sosial)
3.      Esthetics (sastra, musik, seni rupa, serta seni gerak)
4.      Synnoetics (pengetahuan ihwal diri sendiri, perihal orang lain, dan juga pengetahuan ihwal intersubjective relationship)
5.      Ethics (wawasan ihwal moralitas), serta
6.      Synoptics (sejarah, filsafat, dan agama)
Dengan adanya enam tempat makna yang dikuasai oleh pembelajar tersebut, pembelajar sesudah menuntaskan pendidikannya akan mampu menghadapi realitas sosial. Mereka akan mempunyai kemampuan menangkap makna sosial yang bekerjasama dengan lingkungan sekitarnya, secara normatif mereka akan bisa mengikuti keadaan dan mampu memanfaatkan kompetensi yang dimilikinya sesuai dengan keinginannya. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan memerlukan donasi ilmu-ilmu lain sebagai bab dari upaya keberhasilan pendidikan secara interdispliner.
B.    Pengembangan dan training “nalar” akseptor ajar  secara komprehensif lewat pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya.
Dilihat secara makro, informasi tentang tujuan pendidikan sekolah intinya berkisar pada tiga macam faktor selaku berikut: (a) pendidikan untuk membina kehidupan bareng atau untuk transformasi sosial, (b) pendidikan untuk membina kehidupan bareng atau untuk mendorong perkembangan individu secara maksimal, (c) pendidikan untuk mengembangkan banyak sekali kemampuan mental (mental faculties) atau untuk menguasai aneka isi pengetahuan/ kemampuan yang siap pakai (Supraktiknya, 2001:196). Jika merujuk apa yang dikemukakan tersebut, penerima didik sebagai subjek pendidikan menghadapi dilema yang besar, dan mau tidak mau pendidikan mesti menawarkan jalan yang sempurna semoga peserta bimbing tidak terjebak dalam dikotomi tersebut. Dikotomi duduk perkara pendidikan yang terjadi semestinya menjadi sarana enrichment kepada perkembangan pelatihan “akal” peserta bimbing, karena dengan dikotomi tersebut, dinamika pendidikan menjadi semakin besar lengan berkuasa untuk menjembatani  era pembelajaran peserta latih dengan kesispannya menghadapi realitas sosial kelak.
Pengembangan dan pelatihan nalar akseptor latih dimaksudkan untuk mempertajam daya pikirnya sehingga beliau mampu mempergunakan potensi intelegensi atau kecerdasannya secara optimal dan proporsional. Namun demikian pengembangan dan training nalar bukan ialah tujuan utama pembelajaran, tujuan utama pembelajaran tersebut adalah untuk mengenalkan akseptor latih dengan identitasnya sendiri sehingga beliau mengerti peran apa yang harus dimainkannya di masyarakatnya. Pengenalan identitas itulah yang dapat memecahkan ketegangan apakah pendidikan dapat menjadikan dirinya sebagai transmisi sosial atau transformasi sosial. Jika pertanyaan ini timbul, maka keduanya (tranmisi dan transformasi sosial) ialah kewajiban dalam pendidikan semoga pengembangan dan pelatihan nalar terhadap penerima didik tidak monoton dalam mengemukakan realitas sosial.
Apakah pendidikan hanya untuk membina kehidupan bareng atau untuk mendorong pertumbuhan individual? Secara aksiomatik bekerjsama pendidikan berperan besar semoga anak mampu hidup bersama (life together) sekaligus mampu mengembangkan dirinya secara maksimal. Keduanya harus terjadi secara simultan. Persoalannya sekarang secara kasat mata dapat dilihat bahwa proses proses pendidikan yang berjalan di persekolahan mengalami stagnasi dalam training logika anak secara simultan. Produk pendidikan terbelenggu untuk memburu secara sepihak, sehingga terjadi pertanyaan dikotomi seperti diatas. Hal ini terjadi alasannya adalah tuntutan kehidupan condong lebih bersifat material, yang dikejar dan dikehendaki dari forum pendidikan yaitu supaya setiap lulusannya berhasil mengejar-ngejar pencapaian bahan semata.
Situasi yang tidak menguntungkan ini menjadikan pengembangan dan training akal penerima ajar yang semestinya dilakukan secara komprehensif melalui pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya. Apa yang mesti dikerjakan forum pendidikan sebagai bagian dari bentuk pelayanan negara kepada warganya, adalah dengan memberi peluang yang sebesar-besarnya dan seluas-luasnya bagi pengembangan dan pembinaan nalar akseptor bimbing.
Pembelajaran di perkuliahan, untuk berbagi dan pelatihan akal peserta bimbing dilakukan dengan melalui pembiasaan, akal peserta latih tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya pembiasaan. Pendidikan dipersekolahan perlu melakukan aneka macam kenali terhadap adaptasi untuk membina nalar tersebut. Setidak-tidaknya kebiasaan yang perlu dikerjakan di persekolahan untuk membuatkan kemampuan dasar penerima bimbing berdasarkan Suparno, dkk (2002:43) adalah melalui :
1.      Kemampuan bertanya. Kemampuan ini tidak lain adalah kemampuan siswa untuk mempersoalkan (persoalan posing). Dimulai dengan problem dalam wujud pertanyaan, maka dalam diri siswa terdapat keinginan untuk mengenali melalui proses belajarnya,
2.      Kemampuan pemecahan masalah (dilema solving). Permasalahan yang timbul di dalam  pembelajaran harus terselesaikan (dicari jawabannya) oleh siswa selama proses belajarnya. Tidak cukup kalau siswa hebat mempersoalkan sesuatu namun miskin dalam penelusuran pemecahannya. Penyelesaian masalah  sendiri dapat dilaksanakan secara mandiri (self indefendence learning) maupun secara kelompok (group learning).
3.      Kemampuan berkomunikasi. Dalam konteks pengertian, kesanggupan berkomunikasi baik verbal maupun nonverbal merupakan fasilitas supaya terjadi pemahaman yang benar (yang baik dan punya kadar keilmuan), dari hasil proses berpikir dan berbuat, kepada gagasan siswa yang ditemukan dan ingin dikembangkan.
Lembaga pendidikan dalam hal ini memiliki peran untuk mencapai tujuan pengembangan dan penalaran peserta ajar, sebab tujuan pencapaian pendidikan ialah amanah yang mesti dijalankan oleh negara kepada warganya, alasannya tujuan atau amanah tersebut yaitu untuk mencerdasakan kehidupan bangsa. “Seorang pemikir dan pendidikan Perancis, Condorcet (1743-1794), dengan lantang menyatakan bahwa tujuan pendidikan oleh negara adalah mengajarkan terhadap semua individu cara-cara untuk memenuhi keperluan mereka, menjamin kemakmuran mereka, memahami dan melakukan hak-hak mereka, serta memahami dan menyanggupi kewajiban-keharusan mereka. Ringkas kata, negara disubordinasikan di bawah individu” (Supratiknya, 2001:202).
C.    Pemberdayaan “Nilai-nilai Standar” dalam membina dan menyebarkan SDM Indonesia modern yang ideal
Mungkin tepat apa yang dikemukakan oleh Bastian (2002:xxiii) bahwa: “Penyelesaian dari dilema-persoalan pendidikan tidaklah dapat di atasi dengan cara bagian perbagian. Persoalan-problem pendidikan berhubungan akrab dengan antara satu dengan yang yang lain. Artinya bahwa satu masalah adalah penyebab atau disebabkan oleh alasannya adalah-sebab lainnya. Sebagai acuan, duduk perkara jeleknya mutu pengajaran guru/ dosen di dalam kelas, ternyata berkorelasi positif dengan rendahnya gaji yang mereka terima. Rendahnya honor yang mereka terima ternyata berkolerasi positif dengan rendahnya budget pendidikan nasional. Rendahnya  anggaran  pendidikan nasional ternyata berkolerasi nyata dengan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap arti penting sebuah proses pendidikan bagi perkembangan kehidupan sebuah bangsa. Kurangnya kesadaran akan arti penting pendidikan sebuah bangsa ternyata berkorelasi aktual dengan niat politik para elite untuk memperjuangkan kenaikan anggaran pendidikan. Ketiadaan niat politik ternyata berkorelasi kasatmata pula dengan definisi anggaran pendidikan yang tidak pernah seragam dan begitulah seterusnya “.
Rangkaian persoalan pendidikan tersebut ialah bundar problem dalam pendidikan nasional. Semua problem yang ada di dalamnya seperti suatu bundar utuh yang tidak di pahami dimana titik lemah yang memungkinkan mampu di masuki sekaligus diperbaiki sebagai langkah awal pembaruan pendidikan. Berbagai persoalan yang mengitari pendidikan nasional, menggambarkan kenyataan bahwa kebijakan yang selama ini di ambil sudah mencederai amanah mengapa bangsa ini harus merdeka dari penjajahan. Kemerdekaan bangsa ini direbut dengan semangat usaha yang mengorbankan segala faktor dan dimensi kehidupan indonesia. Setelah merdeka,impian kita ialah mencerdaskan kehidupan bangsa, melindungi segenap tanah tumpah darah indonesia. Namun kemerdekaan yang telah terproklamirkan tersebut tidak melaksanakan amanah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Yang terjadi justru ialah pengingkaran kepada kemerdekaan tersebut sehingga nilai-nilai kriteria dalam upaya training akseptor didik biar menjadi SDM yang di dambakan seluruh masyarakat, tidak tercukupi sebagaimana mestinya, sehingga kita gagal menimbulkan insan Indonesia selaku makhluk spiritual.
Nilai-nilai patokan ialah nilai contoh dan kebiasaan yang telah baku dalam lingkungan pergaulan budaya nasional Indonesia. Nilai-nilai tolok ukur menjadi bagian dari kebudayaan nasional sehingga beliau menjadi indentitas dan jati diri manusia indonesia. Nilai-nilai tolok ukur tersebut pada dasarnya secara nasional memiliki kesamaan namun jika di telaah secara kewilayahan akan memiliki perbedaan, hal ini terjadi alasannya adanya perbedaan etnis yang di sebabkan oleh karena adanya perbedaan kawasan tersebut.
Perbedaan yang fundamental antara satu budaya dengan budaya lain alasannya perbedaannya etnis dan kewilayahan tersebut, tidak menjadi penghalang dalam upaya memberdayakan peserta asuh untuk menjadikannya sebagai subjek dalam pendidikan. Oleh alasannya adalah itu pendidikan yang di lakukan tetap berpusat pada manusia sebagai “makhluk spiritual”. Pembinaan SDM selaku makhluk spiritual dalam pendidikan secara faktual memang ialah bagian dalam proses pembelajaran, hal ini merupakan realisasi dari salah satu tujuan pendidikan nasional biar terciptanya manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa.
Dalam melakukan proses penciptaan “makhluk spiritual” yang berlandaskan terhadap norma atau “nilai-nilai persyaratan”  tersebut, proses pendidikan dalam pelaksanaannya juga harus melaksanakan spiritualisasi, atau katakankah dengan istilah spiritualisasi pendidikan. Perlunya spiritalisasi pendidikan ini di lakukan karena bangunan epistemolgisnya berlandaskan terhadap dasar filsafat, tujuan pendidikan, serta nilai dan orientasi pendidikan.
Menurut Sukidi (2002:448-449) dasr tersebut dapat diterangkan sebagai berikut: Pertama, dasar filsafat. Jika pendidikan sekuler mendasarkan diri pada filsafat untrosentrisme, maka spiritualisasi pendidikan pastinya mengedepankan filsafat teosentrisme. Perbedaan titik pijak ini, terperinci mengakibatkan visi, tabiat dan metode pendidikan yang berlainan. Kedua, tujuan pendidikan. Jika pendidikan sekuler bermaksud untuk membangun kehidupan duniawi semata,mirip berhasil, adil, makmur, makmur, yang semuanya itu serba fisikal dan material, maka spiritualisasi pendidikan diarahkan untuk membangun kehidupan duniawi melalui pendidikan selaku wujud dedikasi kepada-Nya. Ini memiliki arti bahwa membangun kehidupan duniawi bukanlah menjadi tujuan simpulan,melainkan sekedar gerbong menuju kehidupan spritual-ukhrowi yang awet dan infinit selaku tujuan tamat dari perjalanan hidup ini. Ketiga, nilai dan orientasi pendidikan. Jika pendidikan sekuler di dasarkan pada nilai dan orientasi pengembangan iptek sebagai nilai dan orientasi ilmu, maka spritualisasi pendidikan juga membuatkan iptek dengan sisi penambahan pada akidah dan taqwa (Imtak)sebagai ruh-spiritual dari pendidikan itu sendiri.maksudnya, sisi imtak menjiwai seluruh proses pendidikan, termasuk penguasaan iptek.
Perlunya melakukan spiritualisasi tersebut alasannya kekhawatiran kita terhadap fakta terjadinya  gejala dan juga dikotomi sistem pendidikan ketika ini. Pertama, sekularisme pendidikan. Ini tampak, contohnya, dari sistem dan orientasi belajar siswa di sekolah yang sepenuhnya diarahkan untuk mengejar kesuksesan secara fisikal dan material, mirip karier, jabatan, kekuasaan, dan uang. State of mind generasi kita di set-up dalam kerangka itu sehingga output generasinya pun menjadi serba materialistik, konsumeristik, dan bahkan tak jarang mempunyai kecenderungan ke arah hedonistik. Kedua, dikotomisasi pendidikan. Ini terlihat contohnya dari adanya persepsi pendidikan yang begitu dikotomis: satu sisi, ada “pendidikan biasa ” di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional; sementara pada segi yang lain ada “pendidikan agama” di bawah Departemen Agama (Sukidi, 2002:446-447).
Telaah terhadap sekularisasi dan dikotomisasi pendidikan yang terjadi di Indonesia ketika ini menjadi positif, karena adanya tuntutan yang terus menerus supaya training akseptor latih menjadi SDM yang didambakan mesti berpusat pada insan sebagai “makhluk spiritual”. Munculnya gejala terhadap menurunnya makhluk spiritual dalam produk pendidikan bukan merupakan sekedar gejala, tetapi sudah merupakan bahaya bagi kelancaran metode training insan Indonesia. Pendidikan tidak mampu hanya diartikan sekedar memajukan ketajaman berpikir atau memajukan kecerdasan penerima latih, namun beliau juga ialah penjaga nilai-nilai agar manusia lestari tanpa kehilangan fitrah dan kodratnya sebagai khalifah di wajah bumi.
D.   Proses pengembangan SDM secara bertahap-berkesinambungan melalui pendidikan informal, nonformal, dan formal dalam upaya “membuat” good citizen Indonesia.
Good citizen yakni sebuah harapan dan tujuan, sebagai keinginan dan tujuan ia tidak bisa terealisasi jikalau tidak di ketahui secara mendasar apa sesungguhnya maksud good citizen tersebut. Setidak-tidaknya, ia dapat diartikan sebagai sebuah masyarakat yang hidup dalam kondisi tenang, sejahtera, tentram, kondusif dan mempunyai apresiasi yang besar terhadap adanya perbedaan. Good citizen ini mampu juga di artikan selaku penduduk madani atau civil society (gampang-mudahan tidak salah), yang berdasarkan Anwar Ibrahim (mantan Deputi Perdana Mentri Malaysia ) dalam forum ilmiah pekan raya istiqlal adalah sistem sosial yang subur yang diazaskan kepada prinsip adab yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan penduduk . Masyarakat mendorong daya usaha serta inisiatif individu baik dari sisi aliran, seni pelaksanaan pemerintahan mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau impian individu mengakibatkan keterdugaan atau predictability serta ketulusan atau tranparency. Dengan pengertian yang demikian maka secara normatif apa yang dimaksudkan good citizen itu tidak jauh berlawanan dengan apa yang dimaksud dengan penduduk madani, sebab corak kedua masyarakat tersebut merupakan pencerminan dari metode pemerintahan yang baik pula. Itulah sebabnya keberhasilan pendidikan untuk menciptakan masyarakat yang dibutuhkan tersebut, terpulang kembali bagaimana pemerintah menyelenggarakan pendidikan. Namun dikala ini kita banyak menghadapi masalah, baik yang berbentuk ancaman, tantangan, kendala maupun gangguan. Berbagai krisis yang dialami ketika ini memaksa kita untuk bekerja keras mengatasinya, hal ini dilaksanakan sejalan dengan tuntutan supaya pendidikan di semua sektor baik formal, informal dan non-formal mampu berlangsung dengan baik.
Tingkat kesanggupan dan upaya yang dikembangkan oleh manusia menanggulangi ATHG yang dihadapi, sangat dipengaruhi oleh wawasan, pemahaman, kesadaran, penghayatan, dan keterampilan yang dimilikinya masing-masing. Secara impulsif dari waktu ke waktu, kemampuan tadi terus berkembang, tetapi belum tentu cocok dan sesuai dengan permintaan yang melaju amat cepat. Oleh alasannya adalah itu, kemampuan tersebut wajib dikembangkan secara sengaja melalui pendidikan yang berkala dan terarah melalui pengembangan sumber daya insan (human resources development) dalam arti yang seluar-luasnya, dalam hal ini meliputi pendidikan keluarga (informal), di penduduk (non-formal), dan di sekolah (formal) (Sumaatmadja, 2000:3).
Menurut Emil Salim (1991:30-31) kalau kita bertolak dari tujuan jangka panjang pembangunan insan Indonesia maka jelaslah bahwa beberapa segi mutu insan perlu mendapatkan pengutamaan, seperti kualitas spiritual, menyangkut ciri manusia dalam relevansinya dengan Tuhan. Dalam relasi ini, perlu ditumbuhkan kesadaran membuatkan segi-sisi kehidupan spiritual yang benar dan menyingkir dari subjektivisme intuisi yang tidak terkontrol oleh dimensi sosial yang mempunyai kecenderungan kepada kultus. Penekanan kedua yakni pada kualitas bermasyarakat dan kualitas berbangsa. Masyarakat Indonesia bersifat majemuk, sehingga memerlukan keterikatan lintas bangsa. Penekanan ketiga ialah pada kualitas kekayaan yang dipengaruhi oleh tiga aspek, ialah aspek eksklusif (mirip kecerdasan, wawasan, ketermpilan, dan pengalaman, sikap, kerja), faktor lingkungan dalam organisasi (mirip situasi kerja, kepemimpinan, dan yang serupa), serta faktor lingkungan luar organisasi (mirip nilai sosial ekonomi, kondisi tekanan ekonomi, dan yang serupa).
Pemikiran tersebut merefleksikan kegelisahan semenjak awal terhadap kondisi yang dirasakan Indonesia pada abad yang mau datang. Sebab untuk menciptakan good citizen atau masyarakat madani tersebut tidak tercapai dengan baik, malahan hingga ketika ini kita menghadapi krisis multi dimensi yang belum juga diperoleh bagaimana agar keluar dari krisis tersebut. Krisis multi dimensi ini disebabkan oleh sebab kecurangan dan keculasan penyelenggaran negara yang tidak amanah terhadap tugasnya. Oleh alasannya adalah itu pendidikan atau tata cara pendidikan yang kita terapkan di kurun lalu mesti direformasi secara total, dengan memperhatikan fungsi dasar pendidikan dalam upaya menciptakan penduduk madani, yang menurut Syarif (2002:52-54) dapat dirinci selaku berikut :
1.      Pendidikan ialah investasi manusia (human invesment) yang mempunyai dampak pada kemajuan ekonomi. Dalam pengertian ini, sumber daya manusia ditempatkan sebagai salah satu dari faktor buatan, yang mampu memberikan bantuan kepada kemajuan ekonomi.
2.      Pendidikan mempunyai imbas peningkatan derajat kesejahteraan masyarakat. Ada kekerabatan faktual antara tingkat kemakmuran sebuah penduduk dengan status pendidikan yang dimilikinya. Masyarakat yang berpendidikan memiliki kemampuan untuk menentukan opsi (alternatif) dan mempunyai keberdayaan untuk mengembangkan derajat kehidupan.
3.      Pendidikan merupakan wahana untuk membangun dan mengembangkan martabat bangsa. Pendidikan yang berkualitas akan menciptakan insan yang pintar dan inovatif, penduduk yang bermutu dan bangsa yang unggul dengan aneka macam keahlian.
4.      Pendidikan akan memperbesar peluang terjadinya mobilitas vertikal. Pendidikan melahirkan lapisan elite sosial di dalam masyarakat yang mampu menjadi motor pelopor pembangunan dan penggerak ke arah pertumbuhan.
5.      Sejalan dengan butir keempat, pendidikan dapat memperkuat forum-lembaga sosial serta mampu memberi bantuan yang bermakna dalam proses pembentukan masyarakat madani.
Dengan menyadari aneka macam hal yang berkaitan dengan pendidikan tersebut, dapat dipahami bahwa pendidikan formal, informal dan non-formal mesti mengacu terhadap prinsip-prinsip pendidikan diatas. Sebab prinsip-prisip yang dikemukakannya tidak cuma sepihak saja, namun telah mengcu kepada penyadaran dari penyelenggaraan negara, khususnya departemen pendidikan untuk menunjukkan klarifikasi dan penerangan, bagaimana semestinya pendidikan dilakukan secara simultan tersebut.
Pendidikan formal dikerjakan cuma sebatas di persekolahan, anak ajar dikembangkan secara proporsional sehingga peluangyang dimilikinya berkembang dengan kapasitas yang ada. Pendidikan sungguh strategis, alasannya segala sesuatu yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan anak berada dalam keluarga. Keluargalah yang hendak memberikan penyaringan kepada kekeliruan yang terjadi di luar rumah tangga. Itulah sebabnya anak akan menjadi apa sungguh diputuskan oleh keluarga. Sedangkan pendidikan non-formal yang berjalan di penduduk akan menunjukkan pengayaan terhadap pengalaman hidup anak, tetapi demikian pendidikan nonformal kerap menyebabkan anak mengalami benturan dengan prinsip-prinsip yang diajarkan padanya baik di rumah tangga maupun di persekolahan. Secara sepihak dapat dikatakan bahwa pendidikan nonformal menghipnotis perilaku dan pengalaman hidup anak, karena memang disitulah realitas sosial insan. Oleh karena itu pendidikan formal dan informal berperan memperlihatkan penerang kepada gejala-gejala sosial yang mampu menghalangi anak untuk menjadi bab dari upaya pendidikan supaya tercipta good citizen Indonesia.
E.    Pengembangan strategi pendidikan sesuai dengan keadaan-potensi kewilayahan nusantara Indonesia.
Wilayah nusantara yang sungguh luas dengan banyak sekali pulau, etnis dan bahasa yang berlainan memerlukan suatu taktik yang sempurna untuk melaksanakan pembangunan yang menyeluruh dan berkeadilan. Hal ini perlu dilakukan untuk menghadapi aneka macam permasalahan yang sedang dihadapi. Permasalahan tersebut kalau ditelaah meliputi beberapa hal yang berhubungan pribadi dengan kondisi kontemporer dan kedinian yang sedang dialami.
Khusus dilema pendidikan, selaku salah satu masalah krusial dalam krisis yang sedang dihadapi dikala ini, ternyata melibatkan bergai dimensi atau faktor lain dalam penyelenggaraannya. Hal ini menggambarkan bahwa sektor pendidikan mempengaruhi teladan pembangunan dan contoh pembangunan yang dipraktekkan selama ini juga mempengaruhi pendidikan. Dengan demikian terdapat korelasi antara pelaksanaan pembangunan dengan metode penyelenggaraan pendidikan yang dikerjakan selama ini.
Pada dikala ini pendidikan nasional juga masih dihadapkan pada beberapa persoalan yang menonjol yaitu: (1) masih rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan, (2) masih rendahnya kualitas dan relevansi pendidikan, dan (3) masih lemahnya administrasi pendidikan, disamping belum terwujudnya kemandirian dan kelebihan ilmu wawasan dan teknologi di kelompok akademis (Propenas, 2000-2004:165).
Salah satu arah kebijakan Propenas mirip tertera pada butir 5 (terdiri dari 8 butir) menyebutkan “melakukan pembaruan dan pemantapan tata cara pendidikan nasional menurut prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan, dan manajemen”. Persoalan yang di hadapi dengan luasnya kawasan nasional nusantara ini, mewajibkan kebijakan pendidikan dijalankan sesuai dengan abjad setiap tempat, alasannya perlakuan yang bersipat uniformitas seperti  yang dilaksanakan selama ini telah menghancurkan nilai-nilai tradisi kewilayahan. Padahal nilai-nilai ini bila di kebangkan sesuai dengan karakternya akan mampu menjadi kekuatan dahsyat.
Dalam kerangka menunjukkan apresiasi yang bersifat holistik terhadap luasnya kawasan nusantara ini diharapkan suatu kebijakan yang dapat menentramkan kegelisahan uniformitas yang dikerjakan selama ini. Oleh alasannya itu desentralisasi atau otonomi penyelenggaraan negara, khususnya penyelenggaraan tata cara pendidikan perlu dilaksanakan secepatnya. Jika selama ini sentraliasi sudah menciptakan penderitaan terhadap pendidikan, diperlukan dengan adanya otonomi dari setiap daerah, akan mencabut penderitaan itu sehingga timbul cita-cita gres bagi pengembangan peluangke wilayahan.
Studi-studi kasus tentang upaya desentralisasi dari banyak sekali penjuru dunia menujukan bahwa desentralisasi  dikerjakan dengan beragam alasan baik yang tersurat maupun yang tersirat, alasan politik, pendidikan, administrasi, dan keuangan. Alasan-argumentasi ini mampu dikelompokan dan berada adalam suatu spektrum yang luas (Fiske, 1996:24). Dalam konsteks kontemporer Indonesia semua hal tersebut dapat dijadikan alasan mengapa kita mesti melakukan desentralisasi. Sampai saat ini jalan itulah yang memungkinkan kita dapat melepaskan diri dari penderitaan pendidikan. Pendekatan sentralisasi yang dijalankan selama ini mengakibatkan lemahnya institusi pendidikan melaksanakan kebijakan, alasannya adalah semua kebijakan ditentukan secara netral, pemerintah pusat tidak mampu mengetahui apa yang menjadi tuntutan dan keperluan daerah.
Untuk mengatasi berbagai hambatan sebab adanya kelemahan institutional tersebut, seperti desentralisasi ialah jalan keluar yang terbaik. Oleh kaena itu untuk mengatasi kelemahan institusional tersebut adalah dengan: “(a) pemberdayaan lokal, (b) menetapkan kembali tanggung jawab atas penyusunan rencana jangka panjang daerah tingkat II sebagai titik berat pengelolaan merupakan planning panjang dengan desentralisasi, (c) pembangunan kemampuan kelembagaan, (d) memperlihatkan otonomi yang lebih besar dengan administrasi sekolah yang bertanggung jawab, (e) sistem pendanaan yang menjamin pemerataan dan efisiensi” (Jiyono, dalam Supriadi dan Jalal, 2001:156-157).
Desentralisasi dibutuhkan mampu melihat dengan jernih kondisi Indonesia selaku suatu realita alamiah, negara-negara (nation-state) di Indonesia beraspek beragam, baik dari faktor etnik-religius, sosial-budaya, dan sosial-ekonomi, maupun fisikal-alamiah kewilayahan. Kondisi yang diinginkan adalah keadaan yang mampu membangun bangsa menjadi lebih baik lewat pendidikan. Sebab pendidikan akan memberikan kesadaran dan sekaligus penyadaran kepada tanggung jawab individu dan juga tanggung jawab kebangsaan.
F.     Penerapan pendekatan sistem dalam pengembangan pendidikan “menciptakan SDM Indonesia yang berkualitas menghadapi “the future war”
Pendekatan sistem merupakan suatu pendekatan yang menyeluruh yang mampu mengarahkan apa yang dipikirkan dan dijadwalkan terealisir dengan baik. The system approach is away of thinking toward a more precise understanding of the relevant concepts and their applications (Jhonson, et-al, 1973:xi). Pendekatan tata cara mempunyai prinsip fundamental dalam menuntaskan rencana yang telah ditetapkan, oleh karena itu untuk melaksanakan sebuah planning diharapkan pendekatan sistem.
Dalam pendidikan dan organisasi pendidikan, pendekatan metode merupakan suatu kewajiban yang dan tidak mampu diabaikan sama sekali. Kekeliruan pengembangan SDM Indonesia selama ini adalah alasannya mengabaikan pendidikan sebagai sebuah sistem sehingga pendekatan tata cara yang digunakan tidak tepat sasaran dan sempurna guna.
Berbagai gejala tersebut pastinya menyebabkan kita tidak siap menghadapi “the future war” yang cenderung harus memiliki SDM yang ahli. Apalagi kecenderungan “the future war” tersebut tidak lagi mengandalkan kekuatan personil militer dalam jumlah besar, tetapi cenderung lebih mengandalkan kekuatan teknologi, ilmu pengetahuan, ekonomi dan juga politik. Kakuatan teknologi dan ilmu pengetahuan akan mengembangkan kesanggupan sebuah bangsa dalam hal ekonomi dan politik. Kekuatan iptek cuma mampu diperoleh dengan baik jikalau pendidikan memiliki tata cara yang tepat dan sesuai dalam menghadapi tantangan zaman ke depan.
Pendidikan yang mampu melakukan tranformasi, dengan transformasi tersebut dibutuhkan seluruh unsur transformasi, sepreti globalisasi, struktur ekonomi, politik ideologi, kebudayaan nasional, manusia dan penduduk , iptek dan info mampu didekati dengan tata cara yang cocok kebutuhan. Sekali lagi pendekatan sistem dibutuhkan sebab: the system approach is way of thinking about the job of managing. It provide a framework for visualizing internal and external factor as an integral whole (Jhonson, et-al, 1973:3). Menghadapi periode depan yang lebih kompleks dan sarat dengan chaos mirip yang terjadi saat ini, telah menimbulkan keputusasaan dikalangan sebagian penduduk . Hal ini terjadi alasannya adalah tidak jelasnya metode yang dikonstruk dalam melaksanakan pembangunan secara menyeluruh sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Hal ini dikemukakan sesudah melihat berbagai kebijakan yang dikerjakan oleh beberapa kepemimpinan nasional. Seluruhnya mengecewakan, karena tidak satupun mereka memakai pendekatan metode yang sesuai dengan keperluan pembangunan, kecuali cuma keperluan kelanggengan atau kelestarian kekuasaannya saja. Jika ditelaan dari perjalanan kepemimpinan tersebut, maka dapat dilihat bahwa bahwasanya mereka lengser sebab tidak “bersahabat” dengan ekonomi. Dari sini dapat dibilang bahwa pembangunan ekonomi akan mempengaruhi tingkat dapat dipercaya kepemimpinan bangsa. Indikasi bahwa ekonomi merupakan suatu kekuatan kian terang setelah msuknya kala globalisasi dikala ini. Oleh karena itu sistem pendidikan yang bagus akan dapat meningkatkan harapan yang baik bagi sebuah bangsa untuk menghadapi masa depan yang diindikasikan sebagai masa “the future war”. Sistem pendidikan yang disediakan sifatnya bermacam-macam, hal ini terjadi karena aneka macam kelompok ingin menimbulkan pendidikan sebagai leading sector dalam pembangunan. Kesamaan visi antara satu orang dengan orang yang lain adalah biar pendidikan dijadikan leading sector. Sedangkan polanya beraneka ragam sesuai dengan paradigma dan pengalaman yang diperoleh selama ini. Namun semua ajuan yang dikemukakan tersebut yakni dalam rangka memperbaiki sistem yang dikontruksi selama ini. Tinggal lagi bagaimana penanggung jawab pendidikan dapat melaksanakan suatu strategi sehingga usulan-tawaran yang dikemukakan tidak berantakan secara tidak berguna. Upaya yang dilaksanakan untuk menangkap aneka macam pesan dari aneka macam kelompok tersebut harus ditampung dalam suatu tata cara dengan memakai pendekatan sistem yang andal.
G.   Strategi pendidikan menangani “krisis identitas” yang sedang dialami Indonesia sampaumur ini
Krisis identitas yang terjadi ketika ini merupakan bab dari krisis multi dimensi, ialah krisis yang sudah merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Akibat krisis multi dimensi tersebut, tingkat dogma diri dan akidah tehadap orang lain atau sesama menjadi terpengaruh. Krisis ini bukan terjadi begitu saja, beliau terjadi alasannya ketidak-mampuan pemegang amanah negara dalam mengadakan sistem pemerintahan, terutama metode pendidikan. Pendidikan yang diselenggarakan condong hanya untuk mengejar-ngejar materi semata, sehingga melahirkan insan-insan yang materialistik dan condong hedonistik.
Pendidikan seharusnya tidak cuma memproduksi penduduk kini (mempertahankan status qua), tetapi diarahkan untuk membuat penduduk gres dengan kualitas lebih tinggi. Dalam kaitan ini ada aspek-faktor seleksi yang mesti diubah dengan rekayasa, sehingga mutu yang setuju yang terseleksi konkret. Dengan demikian, pendidikan mempersiapkan manusia menjadi lebih bermutu, tidak cuma menjadi pekerja perusahaan yang mampu diperjualbelikan (salable) namun juga lebih manusiawi dan tidak menjadi sumber peristiwa bagi sesamanya dan lingkungannya (Jacob, 1993:32-33). Kualitas SDM yang diharapkan ialah yang sesuai dengan rumusan tujuan pendidikan nasional, adalah untuk meningkatkan mutu insan Indoesia, ialah manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdikari, bertangung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani. Rumusan tujuan belum tercapai dengna baik sehingga menimbulkan krisis identitas sebagai balasan multi krisis ketika ini. Multi krisis yang berlarut ini sudah menjadi beban dan berimplikasi luas terhadap kesiapan manusia Indonesia mengadapi era depan yang kian kompleks. Jika situasi ini terus tidak terpecahkan maka krisis ini tidak cuma sampai disini saja, tetapi dia akan menjinjing ancaman yang lebih besar ialah adanya ancaman disintegrasi. Sebuah teladan yang cukup mempesona dapat dikemukakan, bahwa Amerika Serikat meskipun dikala ini sudah mengukuhkan dirinya sebagai satu-satunya negara super power dalam segala hal (ekonomi, iptek, militer, politik, budaya dan sebagainya) masih tetap memprioritaskan pendidikan sebagai bagian dari seni manajemen pengembangan dan pembangunan bangsanya supaya identitasnya tetap tersadar dan terpelihara dengan baik. Program baru pendidikan mereka tersebut disebut oleh Presiden George W Bush sebagai No Child Left Behind yang digulirkan tahun 2002. Program ini berorientasi pada masalah global yang mereka hadapi. Inti dari acara ini ialah melibatkan secara menyeluruh semua pihak dalam kebijakan dan praktisi pendidikan ditingkat federal, negara bagian, dan distrik untuk memakai persyaratan, penilaian, akuntabilitas, fleksibilitas, dan berbagai bentuk opsi dalam setiap upaya untuk memajukan kualitas pendidikan. Program ini berusaha melaksanakan beberapa hal, dinataranya: pertama, upaya untuk menetralisir kesenjangan prestasi belajar antara anak yang beruntung dan anak yang kurang dan bahkan tidak beruntung dalam arti sosial-ekonomi, dan kultur; kedua, pemberdayaan keluarga dengan cara menyediakan berbagai pilihan dalam memilih pendidikan bagi anak-anaknya, pemerintah menawarkan fasilitas bagi keluarga dalam memperoleh dana pendidikan yang bebas pajak untuk membiayai bawah umur mereka sejak tamn kanak-kanak sampai perguru/ dosenan tinggi; ketiga, mengembangkan kelonggaran dan mengurangi birokrasi dalam dunia pendidikan. Regulasi kian dikurangi di banyak sekali jenjang pendidikan supaya program pendidikan lebih mengutamakan kreativitas masyarkat dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya; keempat, mendorong kenaikan dalam bidang-bidang yang memilih kualitas pendidikan, hal ini dijalankan dengan memajukan kesanggupan membaca, matematika, sains, peningkatan mutu guru/ dosen, kenaikan keselamatan lingkungan sekolah, dan penggunaan teknologi (Suyoto, 2002:105-106). Dalam kerangka yang demikian itu maka diharapkan aneka macam seni manajemen pendidikan semoga krisis identitas yang terjadi saat ini dpat diatasi. Salah satu jalan terbaik untuk menangani krisis tersebut adlah dengan melakukan desentralisasi pendidikan. Sebab desentralisasi akan memperlihatkan kesempatan yang besar bagi setiap karakter kewilayahan membangun dirinya sendiri, dengan demikian uniformitas akan dapat dilihangkan. Desentralisasi mampu membebaskan pendidikan dari ketertindasan, selama ini penindasan dikerjakan secara sistematis sehingga seluruh proses pendidikan dan pembelajaran dipersekolahan tidak mampu memerdekakan diri sesuai dengan tujuan atau tuntutan pendidikan. Desentralisasi yang diterapkan sudah menghancurkan tatanan budaya kewilayahan sehingga identitas diri kewilayahan musnah secara perlahan. Dengan desentralisasi pergeseran paradigma akan terjadi, alasannya adalah paradigma baru dengan desentralisasi tersebut memperlihatkan ruang yang cukup luas bagi stakholder pendidikan berbagi aspirasi dan inspirasinya. Jika paradigma lama cenderung bersifat birokratis hirarkis dalam penyelenggaraan pendidikan, dengan paradigma baru tersebut maka pendidikan akan dikerjakan secara demokratis. Paradigma baru pendidikan inilah yang diperlukan akan menjadi instrumen dalam upaya menanggulangi “krisis identitas” yang terjadi saat ini.
H.   Strategi pendidikan yang efektif, efisien, dan produktif dalam mengganti gambaran “budak di rumah sendiri” menjadi “tuan di rumah sendiri”
Give people a handout or a tool, and they will live a little better. Give them an education, and they will change the world (the world bank, 1999). Stateman yang sangat menawan ini menggambarkan betapa pentingnya pendidikan bagi kehidupan manusia. Dengan menyadari pentingnya pendidikan tersebut dibutuhkan setiap negara akan mampu menetapkan strategi yang fundamental dalam penyelenggaraan pendidikan.
Pada dasarnya pendidikan yang efektif atau efisien serta produktif itu secara ideal sukar untuk ditemukan. Sebab pendidikan cenderung mengalami  pergeseran disebabkan pergeseran terjadi setiap dikala dan sulit untuk diprediksi secara niscaya apa yang hendak terjadi sesudah hari ini. Prediksi hanya mampu dilaksanakan jika tanda-tanda-tanda-tanda atau fenomena yang terjadi dikala ini mampu di ketahui secara utuh. Oleh karena itu dalam upaya mengakibatkan pendidikan mempunyai strategi semoga produk pendidikan dapat berperan dirumah sendiri dan tidak menjadi budak dirumah sendiri, yakni dengan memahami arti penting dan strategi pendidikan. Menurut Bank Dunia taktik sektor pendidikan diperlukan agar produk pendidikan dapat mengikuti keadaan dengan lingkungannya dan siap menghadapi tantangan kedepan.
Pendidikan yang tepat dengan kepentingan sebuah bangsa, mirip Indonesia, memerlukan suatu strategi yang sempurna semoga produk pendidikan tidak menjadi budak di negri sendiri, namun harus menjadi tuan rumah di negri sendiri. Oleh alasannya adalah itu pendidikan yang memiliki visi global mesti disediakan dengan menimbang-nimbang: (1) tujuan pendidikan dimasa tiba perlu menyanggupi cita-cita, kehendak dan keperluan periode globalisasi, (2) tujuan global pendidikan di Indonesia perlu diarahkan kepada kenaikan penguasaan teknologi dan berita, (3) tujuan global pendidikan Indonesia harus diarahkan terhadap pemahaman dilema ekonomi, politik, bahasan dan budaya yang mendunia, (4) tujuan pendidikan global sudah sepatutnya diarahkan kepada adanya kompetisi ketat namun sehat dalam segala bidang antar bangsa-bangsa, (5) tujuan pendidikan global indonesia mesti juga diarahkan terhadap penguasaan bahasa-bahasa dunia, seperti bahasa inggris dengan tujuan supaya mampu untuk berkiprah dikehidupan internasional,(6) tujuan pendidikan global utamanya di bidang perekonomian, jual beli dan moneter perlu diarahkan terhadap pencapaian efektivitas dan efisiensi alat-alat bikinan dan jasa yang mendunia yang penuh kompetisi dalam masa pasar bebas (Bastian, 2002:48-49).
Persaingan global yang cukup cukup ketat dikala ini dan mendatang mewajibkan taktik pendidikan melaksanakan dua aktivitas kependidikan secara serentak atau secara simultan. Kedua kegiatan kependidikan itu adalah melakukan  (1) pendidikan,  dan  (2) pelatihan, keduanya memiliki perbedaan yang fundamental, pendidikan menitikberatkan kegiatan pembelajarannya untuk kepentingan proses berfikir yang mendalam, sedangkan pembinaan ialah untuk mengambil langkah-langkah dalam upaya melaksanakan sesuatu. Perlunya kedua aktivitas ini dijalankan biar terdapat alternatif bagi warga negara untuk menentukan pilihannya, apakah melanjutkan ke jengjang pendidikan yang lebih tinggi atau memasuki jenis pendidikan yang dapat pribadi berhadapan dengan dunia kerja.
Strategi penyelenggaraan kependidikan mirip ini yaitu bagian dari upaya biar warga negara melalui produk pendidikan dapat menjadi tuan dirumah sendiri, bukannya menjadi budak di rumah sendiri.
Mendidik seseorang untuk berfikir  (mempersiapkan, merancang, menyatukan, mendapatkan), yakni menyebarkan keterampilan konseptual untuk berfikir melampaui paradigma kini. Sementara itu pembinaan cuma melatih seseorang untuk bertindak  (melaksanakan, membangun, memproses, mengoperasikan ), yakni mengembangkan kemampuan konsekstual untuk mengembangkan pekerjaan dalam jangka waktu yang pendek (Gunawan, 2000:184). Walaupun antara pendidikan dan training berlainan dalam penyelenggaraan dan proses pembelajarannya, keduanya diharapkan dan memang harus diselenggarakan semoga dapat menjadi alternatif atau opsi sesuai dengan aspirasi warga negara untuk masa depannya .
I.      Strategi training dan pemanfaatan  SDM yang berkualitas berhubungan dengan “pelaksanaan otonomi daerah”
Ada dua model dalam sejarah manusia bagaimana mengakibatkan orang yang bermacam suku bangsa mampu bersatu membangun negara secara berpengaruh. Pertama, dengan menyeragamkan dan menghilangkan perbedaan yang ada baik dari sisi budaya, agama, nilai, dan lain-lain. Mereka yang berlainan-beda itu dipaksa disatukan dengan aturan ketat dan penyeragaman. Tidak di terima adanya perbedaan. Itulah yang dijalankan Uni Sovyet dan Yugoslavia zaman dulu. Hasilnya yaitu bubar, alasannya perbedaan tidak dapat dihilangkan. Menghilangkan perbedaan yang memang sudah ada sejak lahir yakni sebuah pemaksaan yang melawan hak azasi insan (HAM), maka tidak mampu bertahan usang. Model kedua, justru mendapatkan perbedaan, mengakuinya dan menghargainya. Dengan saling menerima, orang yang berlainan itu bahkan mampu saling melengkapi, saling menolong lebih kaya. Dalam versi kedua, HAM setiap orang diakui dan kekhasan setiap golongan diakui, bahkan dikembangkan. Dalam versi kedua dibutuhkan semangat multikultural (Suparno, 2003).
Penerimaan kepada pendidikan multikultural ialah bagian dari pelaksanaan otonomi kawasan, terutama otonomi di sektor pendidikan. Pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang jauh dari keseragaman, pendidikan multikultural menjungjung tinggi adanya keberagaman dan kekhasan antara satu wilayah dengan daerah lain, antara satu kelompok dengan golongan lain, dan dengan adanya perbedaan tersebut tidak dijadikan alasan untuk saling menjauh atau melakukan permusuhan yang mampu memecahkan persatuan dan kesatuan seperti yang dialami oleh Uni Sovyet dan Yugoslavia. Sejarah kedua negara tersebut harus dijadikan pelajaran untuk tidak terulang di negri ini, apalagi krisis yang berkepanjangan ini telah mengancam integritas bangsa.
Salah satu implikasi jelek dari penyelenggaraan pendidikan yang tidak menganut prinsip multikultural tersebut yaitu tidak termanfaatkan secara optimal SDM yang bermutu di berbagai daerah atau wilayah, padahal jika tenaga berkualitas tersebut dimanfaatkan secara baik, akan menghipnotis pemberdayaan setiap kawasan. Oleh sebab itu otonomi tempat merupakan jalan terbaik dalam kerangka pemanfaatan seluruh SDM yang tangguh,apalagi prinsip otonomi tempat tersebut adalah menghargai dan menjungjung tinggi adanya multikultural Indonesia. Berdasarkan hal tersebut diyakini bahwa pendidikan multikultural akan mewarnai kebijakan pendidikan nasional, melalui pendidikan multikultural tersebut akan menyebabkan warna gres dalam pemahaman yang fundamental kepada adanya perbedaan atau kekhasan dalam aneka macam dimensi kehidupaan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Namun demikian, berdasarkan Yahya A. Muhaimin (mantan mendiknas) sehabis bergulirnya pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999 ihwal Pemda semenjak tanggal 1 januari  2001, ternyata pelaksanaannya  membawa imbas negatif, mirip: (1) persepsi yang kurang sempurna perihal kewenangan, (2) pembentukan forum kawasan yang tidak proporsional dengan acara dan kewenangannya (terlalu gemuk atau terlalu kurus),(3) penempatan personel yang condong memiliki kecenderungan ke “daerahisme” dan tidak menurut pro fesionalisme, (4) tidak tercerminnya prioritas pembangunan pendidikan (SDM) dalam alokasi APBD, (5) timbulnya kerancuan kewenangan antara pemerintah (sentra), propinsi, dan kabupaten/kota.
Dari lima duduk perkara  atau kerancuan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, kedudukan pendidikan ternyata tidak tercerahkan. Dari sini mampu ditarik kesimpulan bahwa bekerjsama kebijakan pendidikan yang didelegasikan dari pusat ke tempat hingga dikala ini belum mampu dilakukan seuai dengan “ruh” pendidikan ini secara universal. Otonomi yang dimaksudkan yaitu untuk pemberdayaan setiap faktor kehidupan bermasyarakat dan bernegara tersebut, belum dapat menjadi pola dalam upaya memajukan kewilayahan atau dalam upaya untuk menawarkan apresiasi yang mencukupi terhadap adanya perbedaan di semua faktor kehidupan.
Walaupun situasi tersebut belum menguntungkan bagi penyelenggaraan pendidikan, setidak-tidaknya dengan diketahuinya persoalan-dilema yang berada dalam perlindungan otonomi tersebut, mengingatkan kita untuk segera melaksanakan koreksi terhadap pelaksanaannya sekaligus mencari penyelesaian terbaik. Otonomi yang dimaksudkan  yakni untuk peningkatan mutu SDM berdasarkan kekhasan kawasan, bukan menimbulkan “daerahisme” yang berlebihan sehingga tidak mampu menerima kedatangan pihak lain ke dalam wilayahnya. Daerahisme yang berlebihan tersebut ialah implikasi dari otonomi dan akan menjadi bahaya disintegasi bangsa. Semangat otonomi adalah semangat untuk mengatur diri sendiri sesuai dengan aspirasi dan ilham kewilayahan, sehingga harapan yang tidak tercapai selama ini dapat direalisir sebagaimana mestinya.
Untuk menanggulangi kendala sentralistik yang selama ini dianut  oleh birokrasi pemerintahan, di butuhkan suatu seni manajemen baru supaya desentralisasi dapat mengatasi aneka macam duduk perkara pendidikan. Strategi tersebut ialah upaya training dan pemanfaatan SDM yang bermutu berhubungan dengan “pelaksanaan otonomi kawasan”.
Adapun prinsip-prinsip yang terkandung dalam arah baru pengembangan pendidikan nasional adalah: (1) kesetaraan perlakuan sektor pendidikan dengan sektor lain, (2) pendidikan berorientasi rekonstruksi sosial, (3) pendidikan dalam rangka pemberdayaan bangsa, (4) pemberdayaan infrastruktur sosial untuk kemajuan pendidikan nasional, (5) pembentukan kemandirian dan keberdayaan untuk mencapai keunggulan, (6) penciptaan iklin yang kondusif untuk tumbuhnya toleransi dan konsensus dalam kemajemukan, (7) penyusunan rencana terpadu secara horizontal dan vertikal antar (jenjang- bottom-up dan top-down planning), (8) pendidikan berorientasi penerima asuh, (9) pendidikan multikultural, dan (10) pendidikan dengan perspektif global. Berbagai seni manajemen yang dikemukakan diatas pada dasarnya ialah suatu upaya untuk melaksanakan reformasi sekaligus transformasi supaya mampu menghadapi tantangan global dimasa mendatang. Apa yang dijadwalkan saat ini ialah bab dari menghadapi kurun depan tersebut. Suatu hal yang tidak mampu diabaikan dalam upaya pencapaian aneka macam planning pelaksanaan otonomi daerah semoga terjadi pemberdayaan SDM yang berkualitas dan merata di seluruh daerah Indonesia, ialah terciptanya good governance, ini bukan merupakan sekedar cita-cita tetapi dia merupakan kewajiban dan menjadi kriteria untuk mengimplementasikan rencana-planning besar tersebut.
Good governance yang dimaksud disini yakni yang mempunyai niat baik kepada peran dan tanggung jawabnya dan mengabdi untuk masyarakat serta amanah terhadap seluruh peran dan tanggung jawabnya tersebut. Arti good dan good governance mengandung dua pemahaman selaku berikut. Pertama, nilai yang menjunjung tinggi impian atau hasratrakyat, dan nilai yang mampu memajukan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional), kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Kedua, aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk meraih tujuan tersebut. Berdasarkan pengertian ini, good governance berorientasi  pada:
1.      Orientasi ideal, negara yang diarahkan pada pencapain tujuan nasional. Orientasi ini bertitik tolak pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan bagian konstituennya mirip: legitimacy (apakah pemerintah) dipilih dan menerima kepercayaan dari rakyat, accountability (akuntabilitas), securing of human rights, autonomy and devolution of power, dan assuranse of civilan cotrol.
2.      Pemerintahan yang berfungsi secara ideal, ialah secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya meraih tujuan nasional. Orientasi kedua ini tergantung pada sejauh mana pemerintah mempunyai kompetensi, dan sejauh mana struktur serta prosedur politik serta administratif berfungsi secara efektif dan efisien (Sedarmayanti, 2003:6-7).
Berdasarkan pengertian diatas maka mampu dikatakan bahwa kesuksesan otonomi kawasan ini sungguh ditentukan seberapa jauh penyelenggara negara baik pada tingkat pusat dan tempat  menciptakan good governance, good governance harus diyakini bukan ialah tanggung jawab tetapi beliau merupakan kewajiban dan keharusan dalam melaksanakan amanah sebagai penyelenggara negara.
Daftar Pustaka
A. Supraktinya, (2001), “Hantu Masyarakat itu Bernama Pendidikan”, dalam Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman, Sindhunata (Ed), Kanisius, Yogyakarta.
Buchori, Mochtar, (1996), Arah Pembangunan Desentralisasi Pengajaran, Politik dan Konsensus, Alih Bahasa; Basilius Bangoteku, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta
Gunawan, Hendra, (2000), “Matematika dan Budaya Bangsa”, dalam Menggagas Pendidikan Rakyat, Anshori, Dadang S, (Ed), Alqaprint, Bandung
Jacob, T, (1993), “Kualitas Ragawi Manusia, Ukuran-ukuran dan Rekayasa”, dalam Membangun Martabat Manusia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta
Joyono, dkk, (2000), “Manajemen Berbasis Sekolah”, dalam Reformasi Pendidikan dalam Konsteks Otonomi Daerah, Jalal, Fasli dan Supriadi, Dedi (Ed), Adi Cita, Yogyakarta
Jhonson, Richard, et-al, (1973), The Theory and Management of System, McGraw-Hill Kogakusha, Ltd.
Nugroho D. Riant, (2001), Reinventing Indonesia, Elex Media Komputindo, Jakarta
Phenix, Philip H, (1964), Realms of Meaning: A Philosophy of the Curriculum for General education, McGraw-Hill Books Company, 1964
Salim, Emil, (1991), “Sumber Daya Manusia dalam Perspektif”, dalam Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan nasional Menjelang Abad XXI, Grasindo, Jakarta
Sedarmayanti, (2003), Good Governance, Mandar Maju, Bandung
Sukidi, (2002), “Spiritualisasi Pendidikan”, dalam Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia Baru, Grasindo, Jakarta
Sumaatmadja, Nursid, (2000), Manusia dalam Konteks Sosial Budaya dan Lingkungan Hidup, Alfabeta, Bandung