Mesti Diakui Mutu Guru Berimplikasi Kepada Kualitas Luaran Suatulembaga Pendidikan

Jurnal
Membangun Pendidikan dengan Sistematik
Oleh: Hamid Darmadi
Harus diakui kualitas guru berimplikasi kepada mutu luaran suatu lembaga pendidikan, tetapi guru bukan satu-satunya komponen yang menentukan. Pertanyaannya sekarang yaitu sejauh mana kualitas guru dianggap rendah sampaumur ini?

Membicarakan pendidikan menyerupai meramu fenomena hidup yang tidak pernah usai. Pendidikan senantiasa menawan dan memberi gairah untuk dibicarakan. Selain selaku bagian kehidupan yang amat mendasar, juga menyangkut investasi abad depan suatu bangsa. Karena menariknya, tak aneh jika banyak orang yang urung rembuk membicarakannya. Bahkan orang yang tidak mengerti seluk beluk pendidikan sekali pun sungguh berani melontarkan komentar mengenai pendidikan dan banyak sekali masalahnya.
Beberapa waktu kemudian dunia pendidikan dikejutkan oleh fenomena kegagalan siswa dalam Ujian Akhir Nasional (UAN). Kini akan dihadapi lagi dengan berbagai kontraversi. Berbagai golongan pun angkat bicara dan mengarahkan telunjuk terhadap target yang sepanjang zaman selalu menjadi kambing hitam, ialah guru. Guru mendapat kado hebat berupa tuduhan yang sungguh memojokkan eksistensinya. Bahkan tak sedikit pernyatan yang bernada memilukan (mungkin sekaligus memalukan) yang diarahkan terhadap profesi yang teramat mulia dengan predikat oleh penduduk sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.
Seorang “pengamat” dalam dialog Radio Celebes beberapa tahun lalu (10/7/2005), mengemukakan dengan nada amat sinis bahwa bagaimana guru akan sukses mengajar kalau yang ada dalam anggapan guru hanya pelunasan pembayaran kredit/cicilan barang-barang untuk pemenuhan kebutuhan alasannya adalah ingin mengikuti pola hidup abad kini, sementara mereka belum bisa. Pernyataan Sekretaris Forum Pengkajian Aspirasi Guru (FK-PAGI) Makassar (di suatu media, 10/06/2005) merespon kegagalan siswa dalam UAN sebagai akibat dari rendahnya mutu guru, dan berbagai pernyataan yang lain yang arahnya sama menunjuk guru sebagai bagian yang paling bertanggung jawab atas kegagalan siswa dalam AUN. Berbagai pernyataan yang sangat konstruktif dilontarkan atas fenomena ini perlu disambut baik untuk mampu disikapi secara bareng . Kita harus mengakui kegagalan itu. Namun, ada yang menggelitik naluri keguruan penulis sehingga tergerak untuk menyatakan kembali kearifan pendidikan kita dan mendudukkannya pada kerangka pola yang bahu-membahu.
Harus diakui bahwa tugas guru dalam dunia pendidikan sungguh besar. Akan namun, pendidikan mesti dilihat selaku suatu metode, yang setiap unsur memegang peran yang sangat penting. Undang Undang Sisdiknas pasal 7,8, dan 9 sangat jelas mengamanatkan bahwa pendidikan yaitu kewajiban warga negara, orang renta, penduduk , pemerintah, dan pemerintah kawasan. Selain itu, dalam paradigma berguru mungkin perlu dipertegas kembali bahwa obrolan tentang belajar dan mengajar tidak mampu dilepaskan dari siswa-guru. Ada hal menarik yang dapat dicermati apabila dua kutub ini diperbincangkan lebih jauh. Kenyataan masih tetap memberikan bahwa sentra mencar ilmu berada pada guru, sedangkan siswa lebih dimaknai selaku objek yang diajar. Masih dianggap bahwa hidup matinya siswa dan ada di tangannya. Guru berposisi sebagai orang serba tahu sedangkan siswa senantiasa ada dalam jurang ketidaktahuan.
Berdasarkan realita tersebut muncul citra bahwa siswa belajar jika guru mengajar. Akan namun, justru sebaliknya yang sangat penting untuk dinyatakan ialah guru belum mengajar jika siswa belum belajar atau guru baru dapat mengajar jika siswa berguru. Pandangan pembalikan yang penting tersebut tampaknya bersifat lebih bakir. Dengan demikian mampu dirumuskan bahwa acara mengajar ialah acara yang bantu-membantu lebih berarti mengkondisikan semoga insiden berguru berjalan. Kenyataan tersebut tidak berlawanan dengan paham kaum konstruktivisme yang menyatakan bahwa mencar ilmu adalah peristiwa ketika pebelajar (orang yang belajar) secara terus-menerus membangun ide baru atau memodifikasi ide lama dalam struktur kognitif yang selalu disempurnakan. Dalil tersebut sejalan dengan usulan yang menyampaikan bahwa titik pusat hakikat mencar ilmu sebagai pengetahuan pengertian terwujud dalam bentuk tunjangan makna oleh pebelajar pada pengalamannya melalui aneka macam bentuk pengkajian yang membutuhkan pengerahan aneka macam keterampilan kognitif dalam mengolah gosip yang diperoleh lewat indra. Oleh karena itu, kegiatan berguru bergeser dari menerima informasi ke arah membangun wawasan. Wawasan pebelajar yang mesti dikembangkan tidak hanya wawasan kognitif saja tetapi juga menjamah pengetahuan afektif, psikomotor, dan metakognitif yaitu kesanggupan ihwal mencar ilmu bagaimana seharusnya belajar (learning how to learn).
Yang menarik dari rancangan di atas yakni bahwa guru bukan jaminan siswa menjadi cerdik. Seandainya alasannya guru siswa menjadi terpelajar, maka mampu jadi semua siswa akan pandai sebab tidak seorang pun guru yang tidak menghendaki anaknya pintar, kecuali kalau guru itu “guru imitasi”. Logika dan cara pandang sederhana dapat dibuktikan kekuatan guru dalam mutu pendidikan, dikala suatu kondisi diubah di mana semua guru sekolah unggulan yang berpasilitas memadai, misalnya, dipindahkan ke sekolah kawasan sungguh terpencil yang sangat minim akomodasi dengan siswa tetap, maka apakah terjadi pergantian signifikans dari kualitas kedua sekolah tersebut? Jawabannya pasti mampu diramalkan bahwa, kita tidak mampu berharap banyak dari guru yang cantik dengan sarana minim plus siswa dengan potensi seadanya. Berangkat rancangan dan dari ilustrasi di atas, tidak akil kiranya bila penyebab kegagalan pendidikan senantiasa dihujamkan cuma terhadap guru.
Selama ini mungkin memang kita kurang rasional dalam melihat persolan pendidikan. Penilaian kepada pendidikan masih dipandang sebagai bentuk sepenggal-sepenggal. Bisa jadi selama ini pemahaman bahwa pendidikan sebagai suatu tata cara hanya sebagai teori. Implikasinya, kita tidak berpikir rasional untuk membangun pendidikan dengan menganut pengertian kekuatan tata cara. Kalau kita sepakat bahwa pendidikan sebagai suatu tata cara, maka pertanyaan fundamental adalah sejauh mana setiap unsur memainkan kiprahnya dalam membangun pendidikan? Sejauh mana pemerintah mengarahkan kepedulian kepada pembangunan pendidikan? Sejauh mana penduduk tergolong orang bau tanah memberi bantuan kepada upaya peningkatan mutu pendidikan, dan bagaimana kualitas guru dalam mengembang tugas kependidikan? Termasuk bagaimana kesiapan input pendidikan kita untuk diproses menjadi autput yang handal? Dalam goresan pena singkat ini dicoba membedah eksisitensi bagian pendidikan untuk melihat di mana letak subtansi permasalah yang dihadapi pendidiksan kita supaya tidak cuma mengakibatkan guru sebagai kambing hitam.
Kepediulian Pemerintah
Dalam konteks kesepakatan, banyak faktor yang terkait pada tataran membangun pendidikan. Secara sederhana mampu dinyatakan bahwa perangkat pendidikan tanggung jawab pemerintah. Mari kita tengok perangkat pendidikan remaja ini. Sejauh mana fasilitas dapat memberi donasi terhadap kenaikan kualitas pendidik? Sarana perpustkaan, buku ajar, gedung sekolah, laboratorium, apakah telah memberi bantuan cukup untuk menjamin mutu pendidikan? Apakah ratusan gedung sekolah yang tidak pantas ialah pencerminan kepedulian?
Pertanyaan ini pasti tidak butuhdijawab tetapi perlu pikiran rasional untuk menyaksikan fenomena yang ada. Yang kerap menjadi nada sumbang bagi para praktisi pendidikan sejati adalah perhatian/kepedulian pemerintah yang sangat rendah dalam membangun pendidikan. Penghargaan terhadap bidang pendidikan masih sangat minim di banding bidang yang lain seperti olahraga dan seni. Selain itu, kesungguhan pemerintah untuk melakukan investasi pada bidang pendidikan untuk kemamjuan bangsa ini belum sepenuh hati. Ini terbukti dari prioritas pembiayaan pendidikan yang masih sangat minim. Apakah keadaan ini telah cukup mendapat kajian mendalam sehubungan dengan pendefenisian kualitas pendidikan kita? Jawabnya tentu terpulang pada anggapan rasional kita.
Partisipasi Masyarakat
Kita semua yakni masyarakat. Apa yang sudah kita berikan terhadap pendidikan? Bukankah selama ini justru masyarakat menyatakan pertanyaan sebaliknya: Apa yang sudah diberikan pendidikan kepada penduduk ? Kontribusi apa sudah diberikan penduduk , tergolong orang bau tanah untuk membangun pendidikan: dana, tenaga, asumsi? Sejau hmana masayarakat dan orang bau tanah menjadi kawan sekolah untuk membangun pendidikan?. Cara pandang ini tentu mesti didudukkan pada kerangka yang bergotong-royong bahwa pendidikan ialah keharusan bersama seluruh unsur bangsa. Masayakat diperlukan menjadi pemilik, penyedia, dan penyelenggara pendidikan baik pribadi maupun tidak eksklusif. Sekolah ialah milik masyarakat. Dengan demikian, kalau sekolah tidak berhasil menelorkan alumni yang unggul tentu juga merupakan kegagalan penduduk . Sebuah ironi yang selalu diusung oleh para politisi yang seperti hero kesiangan adalah sekolah gratis. Ini sangat berlawanan dengan filosofi pendidikan. Negera sedang berkembang mirip Indonesia belum saatnya gratis. Masyarakat diperlukan ikut serta secara optimal yang pastinya dengan sistem yang tidak kaku. Selama ini memang banyak dilema sebab sistem yang kaku tidak menganut konsep partisipasi tetapi keharusan mutlak sehingga menciptakan penduduk merasa berat. Kalau ditata dengan metode yang bagus maka tidak ada yang merasa berat sebab kata partisipasi memberi kekuatan untuk tidak ada yang berat.
Meskipun tidak selamanya kualitas hasil/luaran sebuah sekolah diputuskan oleh inputnya, namun tidak mampu disangkal bahwa bibit yang unggul mampu menciptakan buah yang unggul bila prosesnya unggul. Pertanyaannya sekarang yakni sejau hmana penduduk dan orang bau tanah mengetahui dan merasa bertanggung jawab atas kualitas input tersebut? Kegiatan penerimaan siswa gres (PSB) saja, senantiasa menjadi problem sebab orang tua tidak memberi donasi faktual. Sistem penerimaan murid gres yang telah dirancang dengan baik, misalnya umur tertentu, namun orang renta tetap memaksakan hasratuntuk memakai cara-cara non prosedural. Belum lagi banyaknya praktik masuk sekolah melalui jendela. Semua ini bermakna orang renta/masyarakat tidak memberi donasi positif kepada upaya menciptakan input yang baik untuk diproses dalam sebuah sekolah, karenanya tentu mempunyai pengaruh pada output yang berimplikasi pada mutu pendidikan. Jika penduduk mendukung tata cara ini dengan kesadaran selaku tanggung jawab bareng , tentu kita dapat meminimalisir efek dari input yang kurang bermutu sehingga dapat diproses dengan baik dan menciptakan luaran dengan baik.
Harus diakui bahwa mutu guru berimplikasi terhadap mutu luaran suatu lembaga pendidikan, tetapi guru bukan satu-satunya unsur yang menentukan. Pertanyaannya kini yaitu; sejauh mana kualitas guru dianggap rendah cukup umur ini? Cara pandang dan indikator apa, serta data apa yang dipakai untuk dapat menyatakan mutu guru kita rendah? Yang niscaya dewasa ini ialah jumlah guru memang masih sungguh sedikit dibanding dengan rasio siswa. Berbicara menganai guru, pasti tidak terlepas pula dari peran dan akad pemerintah termasuk penduduk . Mutu dan jumlah guru, sangat diputuskan oleh kepedualian pemerintah, orang bau tanah, dan penduduk sebagaimana amanat UU Sisdiknas. Sejauh mana kontribusi pemerintah, penduduk dan orang renta kepada duduk perkara guru?
Dalam suatu pertemuan ilmiah bareng dengan staf jago mendiknas beberapa waktu silam, ada pertanyaan rasional dan menggelitik dalam kaitannya dengan mutu pendidikan yang dilontarkan salah seorang bahwa: Apa yang dapat dibutuhkan kalau di sebuah sekolah desa terpencil yang hanya ada dua orang guru dari enam kelas, dengan fasilitas yang amat sederhana? Staf jago menteri hanya manggut-manggut membayangkan fenomen yang banyak terjadi seantero negeri ini. Ini membuktikan permakluman yang menyatakan secara rasional hakikat urusan yang dihadapi pendidikan, sebab pertanyaan mirip itu tentu tidak membutuhkan tanggapan secara politis jika hendak membangun pendidikan dengan betul-betul . Apalagi kita akan mengahadapi empat taraf otonomi dalam pendidikan kita yang membutuhkan waktu yang cukup panjang yakni pra formal, formal, transisional, dan otonomi.
Jika kita menengok standar pelayanan sekurang-kurangnyapendidikan (SPM), rasanya SPM pendidikan yang sudah diteorikan oleh pemerintah masih sungguh jauh dari kemungkiunan untuk terealisai. Apa maknanya semua itu? Tentu merupakan tanggapan pasti penyebab rendahnya kualitas pendidikan. Jika diurai, di dalam SPM sungguh terperinci tampakbahwa semua unsur mempunyai peran yang penting dalam menentukan kualitas pendidikan. Ini juga memberi indikasi bahwa pendidikan remaja ini memang cukup rumit dan masih harus merangkak tertatih-taih menuju arah yang labih baik, bila kita tidak membangun pendidikan sebagai sebuah metode yang utuh.
Demikian beberapa fikiran rasional melihat paras pendidikan kita yang oleh banyak kelompok dinyatakan masih suram. Penting untuk direnungkan, bahwa kita yakni penduduk , kita yakni pemerintah, kita yakni orang tua semua adalah penentu tampang pendidikan kita, bukan cuma guru. Mari kita mendukung eksistensi guru dan tidak mengkambingh hitamkannya dengan partisipasi serta mengarahkan kepdualian yang tinggi penuh tanggung jawab susila-kemanusiaan, selain selaku tanggung jawab sebagai warga negara. Nyatakan dalam nurani: Apa yang dapat kita berikan untuk pendidikan, jangan tanyakan apa yang akan diterima dari pendidikan. Kesadaran akan pendidikan seperti ini agar dapat memunculkan kuncup-kuncup gres dengan kurun depan yang lebih baik. Siapa pun pemerintah, siapun masyarakat, bawah umur kita mesti menemukan pendidikan yang terbaik, alasannya hanya dengan pendidikan kita dapat mengganti paras bangsa ini.