Membangun Kinerja Guru Dan Kualitas Pendidikan Oleh: Hamid Darmadi

Harus diakui kualitas guru berimplikasi terhadap kualitas luaran sebuah forum pendidikan, tetapi guru bukan satu-satunya bagian yang memilih. Pertanyaannya kini yakni sejauh mana kualitas guru dianggap rendah sampaumur ini?
Guru ialah kondisi yang diposisikan sebagai garda terdepan dan posisi sentral di dalam pelaksanaan proses pembelajaran (Darmadi Hamid, 2010). Berkaitan dengan itu, maka guru akan menjadi topipembicaraan banyak orang, dan pastinya tidak lain berkaitan dengan kinerja dan totalitas dedikasi dan loyalitas pengabdiannya. Sorotan tersebut lebih bermuara pada ketidakmampuan guru di dalam melaksanaan proses pembelajaran di sekolah, sehingga bermuara kepada menurunnya kualitas pendidikan. Kalaupun sorotan itu lebih mengarah kepada sisi kelemahan guru, maka hal itu tidak sepenuhnya dibebankan terhadap guru, dan mungkin ada system yang berlaku kurang btepat, baik sengaja ataupun tidak disengaja kuat kepada masalah pendidikan.
Membicarakan pendidikan menyerupai meramu fenomena hidup yang tidak pernah usai. Pendidikan senantiasa mempesona dan memberi gairah untuk dibicarakan. Selain selaku bab kehidupan yang amat mendasar, juga menyangkut investasi kurun depan suatu bangsa. Karena menariknya, tak heran bila banyak orang yang urung rembuk membicarakannya. Bahkan orang yang tidak mengerti seluk beluk pendidikan sekali pun sangat berani melontarkan komentar perihal pendidikan dan berbagai masalahnya. Beberapa waktu kemudian dunia pendidikan dikejutkan oleh fenomena kegagalan siswa dalam Ujian Akhir Nasional (UAN). Kini akan dihadapi lagi dengan banyak sekali kontraversi. Berbagai kalangan pun angkat bicara dan mengarahkan telunjuk kepada target yang sepanjang zaman selalu menjadi kambing hitam, yaitu guru.
Banyak hal yang perlu menjadi materi pertimbangan, bagaimana kinerja guru bisa memiliki dampak kepada pendidikan yang bermutu. Kita menyaksikan sisi lemah dari system pendidikan nasional kita, dengan kurikulum pendidikan yang sering berganti, maka secara eksklusif atau tidak akan mempunyai dampak terhadap guru itu sendiri. Sehingga pergeseran kurikulum dapat menjadi beban psikologis bagi guru, dan mungkin juga akan dapat menciptakan guru frustasi akibat pergeseran tersebut. Hal ini sangat dicicipi oleh guru yang mempunyai kesanggupan minimal, dan tidak demikian halnya guru professional.
Guru mendapat kado luar biasa berbentuktuduhan yang sangat memojokkan eksistensinya. Bahkan tak sedikit pernyatan yang bernada memilukan (mungkin sekaligus memalukan) yang diarahkan kepada profesi yang teramat mulia dengan predikat oleh masyarakat sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Seorang “pengamat” dalam obrolan Radio Celebes bertahun-tahun kemudian mengemukakan dengan nada amat sinis bahwa bagaimana guru akan berhasil mengajar kalau yang ada dalam fikiran guru cuma pelunasan pembayaran kredit/cicilan barang-barang untuk pemenuhan keperluan sebab ingin mengikuti pola hidup abad sekarang, sementara mereka belum bisa.
Pernyataan Sekretaris Forum Pengkajian Aspirasi Guru (FK-PAGI) Makassar (di sebuah media, beberapa waktu kemudian merespon kegagalan siswa dalam UAN sebagai akibat dari rendahnya kualitas guru, dan berbagai pernyataan yang lain yang arahnya sama menunjuk guru sebagai unsur yang paling bertanggung jawab atas kegagalan siswa dalam UAN. Berbagai pernyataan yang sangat konstruktif dilontarkan atas fenomena ini perlu disambut baik untuk mampu disikapi secara bersama. Kita harus mengakui kegagalan itu. Namun, ada yang menggelitik naluri keguruan penulis sehingga tergerak untuk menyatakan kembali kearifan pendidikan kita dan mendudukkannya pada kerangka teladan yang bahu-membahu. Harus diakui bahwa tugas guru dalam dunia pendidikan sungguh besar. Akan tetapi, pendidikan harus dilihat sebagai suatu metode, yang setiap bagian memegang peran yang sungguh penting.
Undang Undang Sisdiknas pasal 7,8, dan 9 sangat jelas mengamanatkan bahwa pendidikan ialah kewajiban warga negara, orang renta, penduduk , pemerintah, dan pemerintah kawasan. Selain itu, dalam paradigma belajar mungkin perlu dipertegas kembali bahwa obrolan tentang berguru dan mengajar tidak dapat dilepaskan dari siswa-guru. Ada hal menarik yang mampu dicermati bila dua kutub ini diperbincangkan lebih jauh. Kenyataan masih tetap memperlihatkan bahwa sentra mencar ilmu berada pada guru, sedangkan siswa lebih dimaknai selaku objek yang diajar. Masih dianggap bahwa hidup matinya siswa dan ada di tangannya. Guru berposisi selaku orang serba tahu sedangkan siswa selalu ada dalam jurang ketidaktahuan.
Berdasarkan realita tersebut muncul citra bahwa siswa mencar ilmu bila guru mengajar. Akan tetapi, justru sebaliknya yang sangat penting untuk dinyatakan yaitu guru belum mengajar bila siswa belum belajar atau guru gres dapat mengajar bila siswa berguru. Pandangan pembalikan yang penting tersebut tampaknya bersifat lebih berilmu. Dengan demikian mampu dirumuskan bahwa aktivitas mengajar ialah acara yang sebetulnya lebih mempunyai arti mengkondisikan semoga peristiwa mencar ilmu berjalan.
Kenyataan tersebut tidak berlawanan dengan paham kaum konstruktivisme yang menyatakan bahwa belajar yaitu insiden dikala pebelajar (orang yang belajar) secara terus-menerus membangun ide baru atau memodifikasi gagasan usang dalam struktur kognitif yang selalu disempurnakan. Dalil tersebut sejalan dengan pertimbangan yang mengatakan bahwa titik sentra hakikat belajar selaku wawasan pemahaman terwujud dalam bentuk pinjaman makna oleh pebelajar pada pengalamannya melalui banyak sekali bentuk pengkajian yang membutuhkan pengerahan banyak sekali kemampuan kognitif dalam mengolah info yang diperoleh lewat indra. Oleh karena itu, kegiatan berguru bergeser dari mendapatkan gosip ke arah membangun pengetahuan. Wawasan pebelajar yang mesti dikembangkan tidak hanya pengetahuan kognitif saja tetapi juga menyentuh pengetahuan afektif, psikomotor, dan metakognitif ialah kesanggupan ihwal belajar bagaimana seharusnya berguru (learning how to learn).Yang menarik dari konsep di atas yakni bahwa guru bukan jaminan siswa menjadi bakir.
Era reformasi dan desentralisasi pendidikan mirip sekarang ini mengakibatkan orang bebas melaksanakan kritik, titik lemah pendidikan akan menjadi materi dan sasaran empuk bagi para kritikus, adakalanya kritik yang diberikan dapat menjadi segi tawar di dalam memperbaiki kinerja guru. Akan namun tidak tertutup kemungkinan pula akan dapat menciptakan merah telinga guru selaku akhir dari kritik yang diberikan, hal ini mampu memberikan dampak terhadap kinerja guru yang bersangkutan. Apapun kritik yang diberikan, apakah bernilai nyata atau negative kiranya akan menjadi masukan yang sungguh memiliki arti bagi kenerja guru. Guru yang baik tidak akan pernah putus asa, dan menimbulkan kritikan selaku pemicu baginya di dalam melaksanakan perbaikan dan pembenahan perilaku pendidikan yang diuharapkan. Kritik kepada kinerja guru perlu dikerjakan, tanpa itu sukar bagi guru mengenali kinerja yang telah dilakukannya selama ini, dengan demikian akan menjadi materi renungan bagi guru untuk perbaikan lebih lanjut.
Seandainya sebab guru siswa menjadi berilmu, maka mampu jadi semua siswa akan berilmu alasannya tidak seorang pun guru yang tidak menginginkan anaknya akil, kecuali jika guru itu “guru palsu”. Logika dan cara pandang sederhana mampu dibuktikan kekuatan guru dalam mutu pendidikan, saat sebuah kondisi diubah di mana semua guru sekolah unggulan yang berpasilitas memadai, misalnya, dipindahkan ke sekolah tempat sungguh terpencil yang sangat rendah akomodasi dengan siswa tetap, maka apakah terjadi perubahan signifikans dari mutu kedua sekolah tersebut? Jawabannya pasti mampu diramalkan bahwa, kita tidak bisa berharap banyak dari guru yang cantik dengan fasilitas minim plus siswa dengan peluangseadanya. Berangkat konsep dan dari gambaran di atas, tidak berilmu kiranya bila penyebab kegagalan pendidikan selalu dihujamkan hanya terhadap guru.
Selama ini mungkin memang kita kurang rasional dalam menyaksikan persolan pendidikan. Penilaian terhadap pendidikan masih dipandang sebagai bentuk sepenggal-sepenggal. Bisa jadi selama ini pengertian bahwa pendidikan selaku suatu tata cara cuma selaku teori. Implikasinya, kita tidak berpikir rasional untuk membangun pendidikan dengan menganut pemahaman kekuatan sistem. Kalau kita setuju bahwa pendidikan sebagai sebuah sistem, maka pertanyaan fundamental adalah sejauh mana setiap unsur memainkan kiprahnya dalam membangun pendidikan? Sejauh mana pemerintah mengarahkan kepedulian terhadap pembangunan pendidikan? Sejauh mana masyarakat termasuk orang renta memberi bantuan terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan, dan bagaimana kualitas guru dalam mengembang tugas kependidikan? Termasuk bagaimana kesiapan input pendidikan kita untuk diproses menjadi autput yang handal? Dalam goresan pena singkat ini dicoba membedah eksisitensi unsur pendidikan untuk melihat di mana letak subtansi permasalah yang dihadapi pendidiksan kita biar tidak hanya menyebabkan guru selaku kambing hitam. Kepediulian Pemerintah

Dalam konteks komitmen, banyak faktor yang terkait pada tataran membangun pendidikan. Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa perangkat pendidikan tanggung jawab pemerintah. Mari kita tengok perangkat pendidikan cukup umur ini. Sejauh mana fasilitas mampu memberi bantuan terhadap peningkatan mutu pendidik? Sarana perpustkaan, buku bimbing, gedung sekolah, laboratorium, apakah sudah memberi kontribusi cukup untuk menjamin kualitas pendidikan? Apakah ratusan gedung sekolah yang tidak pantas ialah pencerminan kepedulian?

Pertanyaan ini pasti tidak butuhdijawab tetapi perlu pikiran rasional untuk melihat fenomena yang ada. Yang kerap menjadi nada sumbang bagi para praktisi pendidikan sejati adalah perhatian/kepedulian pemerintah yang sangat minim dalam membangun pendidikan. Penghargaan kepada bidang pendidikan masih sangat rendah di banding bidang yang lain seperti olahraga dan seni. Selain itu, keseriusan pemerintah untuk melakukan investasi pada bidang pendidikan untuk kemamjuan bangsa ini belum sepenuh hati. Ini terbukti dari prioritas pembiayaan pendidikan yang masih sangat minim. Apakah kondisi ini sudah cukup menerima kajian mendalam sehubungan dengan pendefenisian mutu pendidikan kita?
Jawabnya pasti terpulang pada fikiran rasional kita.
Partisipasi Masyarakat Kita semua yaitu penduduk . Apa yang telah kita berikan kepada pendidikan? Bukankah selama ini justru masyarakat menyatakan pertanyaan sebaliknya: Apa yang telah diberikan pendidikan terhadap masyarakat? Kontribusi apa telah diberikan masyarakat, termasuk orang renta untuk membangun pendidikan: dana, tenaga, asumsi? Sejau hmana masayarakat dan orang tua menjadi kawan sekolah untuk membangun pendidikan?. Cara pandang ini pasti harus didudukkan pada kerangka yang sesungguhnya bahwa pendidikan ialah kewajiban bareng seluruh bagian bangsa. Masayakat dibutuhkan menjadi pemilik, penyedia, dan penyelenggara pendidikan baik eksklusif maupun tidak langsung. Sekolah adalah milik masyarakat. Dengan demikian, jika sekolah tidak sukses menelorkan alumni yang unggul tentu juga merupakan kegagalan masyarakat. Sebuah ironi yang selalu diusung oleh para politisi yang mirip pendekar kesiangan yaitu sekolah gratis. Ini sungguh berlawanan dengan filosofi pendidikan. Negera sedang meningkat seperti Indonesia belum saatnya gratis. Masyarakat diharapkan ikut serta secara optimal yang pastinya dengan sistem yang tidak kaku. Selama ini memang banyak duduk perkara alasannya tata cara yang kaku tidak menganut konsep partisipasi tetapi keharusan mutlak sehingga menciptakan masyarakat merasa berat. Kalau ditata dengan metode yang bagus maka tidak ada yang merasa berat karena kata partisipasi memberi kekuatan untuk tidak ada yang berat. Meskipun tidak selamanya mutu hasil/luaran sebuah sekolah diputuskan oleh inputnya, tetapi tidak dapat dibantah bahwa bibit yang unggul mampu menghasilkan buah yang unggul bila prosesnya unggul.
Pertanyaannya kini yaitu sejau hmana penduduk dan orang tua memahami dan merasa bertanggung jawab atas kualitas input tersebut? Kegiatan penerimaan siswa gres (PSB) saja, selalu menjadi persoalan karena orang renta tidak memberi bantuan positif. Sistem penerimaan murid baru yang sudah dirancang dengan baik, misalnya umur tertentu, namun orang bau tanah tetap memaksakan kehendak untuk menggunakan cara-cara non prosedural. Belum lagi banyaknya praktik masuk sekolah melalui jendela. Semua ini memiliki arti orang renta/masyarakat tidak memberi bantuan nyata terhadap upaya menciptakan input yang bagus untuk diproses dalam sebuah sekolah, kesannya tentu memiliki dampak pada output yang berimplikasi pada kualitas pendidikan.
Jika masyarakat mendukung tata cara ini dengan kesadaran sebagai tanggung jawab bersama, tentu kita dapat meminimalisir pengaruh dari input yang kurang bermutu sehingga dapat diproses dengan baik dan menciptakan luaran dengan baik. Harus diakui bahwa kualitas guru berimplikasi terhadap kualitas luaran suatu lembaga pendidikan, tetapi guru bukan satu-satunya komponen yang memilih. Pertanyaannya kini ialah; sejauh mana mutu guru dianggap rendah sampaumur ini? Cara pandang dan indikator apa, serta data apa yang digunakan untuk dapat menyatakan mutu guru kita rendah? Yang pasti dewasa ini ialah jumlah guru memang masih sungguh sedikit dibanding dengan rasio siswa. Berbicara menganai guru, tentu tidak terlepas pula dari peran dan komitmen pemerintah tergolong penduduk . Mutu dan jumlah guru, sangat ditentukan oleh kepedualian pemerintah, orang renta, dan penduduk sebagaimana amanat UU Sisdiknas. Sejauh mana bantuan pemerintah, masyarakat dan orang bau tanah kepada problem guru?
Dalam sebuah pertemuan ilmiah bareng dengan staf hebat mendiknas sementara waktu silam, ada pertanyaan rasional dan menggelitik dalam kaitannya dengan kualitas pendidikan yang dilontarkan salah seorang bahwa: Apa yang dapat diperlukan jikalau di suatu sekolah desa terpencil yang cuma ada dua orang guru dari enam kelas, dengan fasilitas yang amat sederhana? Staf mahir menteri cuma manggut-manggut membayangkan fenomen yang banyak terjadi seantero negeri ini. Ini pertanda permakluman yang menyatakan secara rasional hakikat masalah yang dihadapi pendidikan, karena pertanyaan mirip itu tentu tidak membutuhkan jawaban secara politis bila hendak membangun pendidikan dengan benar-benar. Apalagi kita akan mengahadapi empat taraf otonomi dalam pendidikan kita yang membutuhkan waktu yang cukup panjang ialah pra formal, formal, transisional, dan otonomi. Jika kita menengok persyaratan pelayanan sekurang-kurangnyapendidikan (SPM), rasanya SPM pendidikan yang telah diteorikan oleh pemerintah masih sungguh jauh dari kemungkinan untuk terealisai. Apa maknanya semua itu? Tentu merupakan tanggapan niscaya penyebab rendahnya kualitas pendidikan. Jika diurai, di dalam SPM sangat jelas terlihat bahwa semua unsur memiliki tugas yang penting dalam memilih mutu pendidikan. Ini juga memberi indikasi bahwa pendidikan cukup umur ini memang cukup rumit dan masih harus merangkak tertatih-taih menuju arah yang labih baik, kalau kita tidak membangun pendidikan selaku sebuah sistem yang utuh.
Demikian beberapa pikiran rasional menyaksikan tampang pendidikan kita yang oleh banyak kalangan dinyatakan masih suram. Penting untuk direnungkan, bahwa kita adalah penduduk , kita adalah pemerintah, kita ialah orang tua semua adalah penentu tampang pendidikan kita, bukan hanya guru. Mari kita mendukung keberadaan guru dan tidak mengkambingh hitamkannya dengan partisipasi serta mengarahkan kepdualian yang tinggi penuh tanggung jawab budbahasa-kemanusiaan, selain selaku tanggung jawab sebagai warga negara. Nyatakan dalam nurani: Apa yang mampu kita berikan untuk pendidikan, jangan tanyakan apa yang akan diterima dari pendidikan. Kesadaran akan pendidikan seperti ini supaya dapat menimbulkan kuncup-kuncup baru dengan era depan yang lebih baik. Siapa pun pemerintah, siapun penduduk , bawah umur kita mesti menemukan pendidikan yang terbaik, alasannya adalah cuma dengan pendidikan kita dapat mengubah wajah bangsa ini.Semoga. Penulis adalah Ketua Dewan Pendidfikan Provinsi Kalimantan Barat