Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Fasilitas Membangun Aksara Bangsa Oleh: Hamid Darmadi



A.   Pendidikan Kewarganegaraan
1.  Sejarah
Pendidikan Kewarganegaraan pada awalnya diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1790 dengan tujuan untuk meng-Amerika-kan bangsa Amerika dengan nama “Civics”. Henry Randall Waite yang pada ketika itu merumuskan pemahaman Civics dengan “The science of citizenship, the relation of man, the perorangan, to man in organized collection, the individual in his relation to the state”. Pengertian tersebut menyatakan bahwa ilmu Kewarganegaraan membahas korelasi antara manusia dengan manusia dalam asosiasi asosiasi yang terorganisasi (organisasi social ekonomi, politik) dengan individu-individu dan dengan negara.
Sedangkan di Indonesia, istilah civics dan civics education sudah timbul pada tahun 1957, dengan ungkapan Kewarganegaraan, Civics pada tahun 1961 dan pendidikan Kewargaan negara pada tahun 1968. (Bunyamin dan Sapriya dalam Civicus, 2005:320). Mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan masuk dalam kurikulum sekolah pada tahun 1968, namun pada tahun 1975 nama pendidikan kewarganegaraan berkembang menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Pada tahun 1994, PMP berubah kembali menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).(httpblog.uad.ac.id) .
2. Pengertian
Berikut ini ialah definisi pendidikan kewarganegaraan berdasarkan para hebat :
a)      Menurut Soedijarto: 
“Pendidikan kewarganegaraan selaku pendidikan politik yang bermaksud untuk membantu peserta didik untuk menjadi warganegara yang secara politik remaja dan ikut serta membangun tata cara politik yang demokratis.”
b)     Pendidikan Kewarganegaraan Menurut Tim ICCE UIN Jakarta:
“Pendidikan kewarganegaraan ialah sebuah proses yang dijalankan oleh lembaga pendidikan di mana seseorang mempelajari orientasi, perilaku dan sikap politik sehingga yang bersangkutan memiliki political knowledge, awareness, attitude, political efficacy dan political participation serta kemampuan mengambil keputusan politik secara rasional.
http://pengertianpendidikan.com/pemahaman-pendidikan-kewarganegaraan
B.  Pendidikan Karakter
1. Pengertian
Dalam buku Pendidikan Karakter oleh Prof. Darmiyati Zuchdi, EEd.D., dkk mengemukakan bahwa Wynne (1991) ungkapan aksara diambil dari bahasa yunani yang berarti ‘to mark’ (menandai). Istilah ini lebih difokuskan pada bagaimana upaya pengaplikasian nilai kebaikan dalam bnetuk tindakan atau tingkah laku. Wynne menyampaikan bahwa ada dua pengertian tentang karakter. Kesatu, ia menawarkan bagaimana seseorang berperilaku laris kalau seseorang berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan perilaku jelek. Sebaliknya kalau seseorang bertingkah jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan huruf mulia. Kedua, istilah karate bersahabat kaitannya dengan ‘personality’. Seseorang gres bias disebut ‘orang berkarakter’ bila tingkahlakunya sesuai kaidah adab.dengan demikian pendidikan huruf yang baik, menurut Lickona, harus melibatkan bukan saja faktor ‘knowing the good’, namun juga ‘desiring the good’  atau ‘loving the good’ dan ‘acting the good’.
 Karakter berdasarkan Kalidjernih (2010) biasa dipahami sebagai mutu-mutu watak yang infinit yang terdapat atau tidak terdapat pada setiap individu yang terekspresikan lewat pola-teladan sikap atau tindakan yang dapat dievaluasi dalam aneka macam situasi. Karakter yaitu The combination of qualities and personality that makes one person or thing different from others(Hidayatullah, 2011). Dalam Kamus Poerwadarminta,  huruf diartikan sebagai budbahasa, budbahasa, sifat-sifat kejiwaan, budpekerti atau budi pekerti yang membedakan seseorang ketimbang yang lain. Dalam persepsi Purwasasmita (2010) disebut etika jikalau telah berlangsung dan menempel pada diri seseorang.
Karakter yaitu cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan berhubungan, baik dalam lingkup keluarga, penduduk , bangsa dan negara. Secara psikologis dan socio-cultural,pembentukan huruf dalam diri individu ialah fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi social kultural (dalam keluarga, satuan pendidikan, dan penduduk ) dan berjalan sepanjang hayat. Konfigurasi aksara dalam konteks totalitas proses psikologis dan socio-cultural tersebut dapat dikelompokkan dalam olah hati (spiritual and emotional development), olah pikir (intellectual development), olah raga dan kinestetik (physical and kinestetic development), dan olah rasa dan karsa (affective and creativity development) (Kementerian Pendidikan Nasional, 2010). Olah hati berkenaan dengan perasaan sikap dan doktrin/keimanan menciptakan aksara jujur dan bertanggung jawab. Olah pikir berkenaan dengan proses akal guna mencari dan memakai wawasan secara kritis, inovatif, dan inovatif menghasilkan langsung pandai. Olah raga berkenaan dengan proses pandangan, kesiapan, peniruan, manipulasi, dan penciptaan acara gres dibarengi sportivitas menghasilkan perilaku higienis, sehat, dan menawan. Olah rasa dan karsa berkenaan dengan kemauan dan kreativitas yang tercermin dalam kepedulian, citra, dan penciptaan kebaruan menciptakan kepedulian dan kreatifitas.
Dalam konteks sebuah bangsa, huruf dimaknai sebagai nilai-nilai keutamaan yang melekat pada setiap individu warga negara dan lalu mengejawantah selaku personalitas dan identitas kolektif bangsa (PP Muhammadiyah, 2009). Karakter berfungsi sebagai kekuatan mental dan etik yang mendorong suatu bangsa merealisasikan cita-cita kebangsaannya dan memperlihatkan kelebihan-kelebihan komparatif, kompetitif, dan dinamis di antara bangsa-bangsa lain. Karena itu, dalam pemaknaan demikian, manusia Indonesia yang berkarakter kuat yaitu manusia yang memiliki sifat-sifat: religius, moderat, pintar, dan mandiri. Sifat religius dicirikan oleh perilaku hidup dan kepribadian taat beribadah, jujur, terpercaya, gemar memberi, saling tolong membantu, dan toleran. Sifat moderat dicirikan oleh sikap hidup yang tidak radikal dan tercermin dalam kepribadian yang tengahan antara individu dan sosial, berorientasi bahan dan ruhani, serta mampu hidup dan koordinasi dalam kemajemukan. Sifat pandai dicirikan oleh perilaku hidup dan kepribadian yang rasional, cinta ilmu, terbuka, dan berpikiran maju. Dan perilaku mampu berdiri diatas kaki sendiri dicirikan oleh sikap hidup dan kepribadian merdeka, disiplin tinggi, ekonomis, menghargai waktu, giat, wirausaha, jerih payah, dan mempunyai cinta kebangsaan yang tinggi tanpa kehilangan orientasi nilai-nilai kemanusiaan universal dan relasi antarperadaban bangsa-bangsa.
Untuk membangun karakter bangsa Indonesia yang kuat menurut Kaelan (2011) seyogyanya didasarkan pada dasar filosofis bangsa. Bangsa Indonesia telah menentukan jalan kehidupan berbangsa dan bernegara pada suatu’khitoh’ kenegaraan, filosofischegrondslag atau dasar filsafat negara, adalah Pancasila. Karena itu, adat politik kenegaraan selaku prasyarat membentuk huruf bangsa pelu disandarkan pada nilai-nilai dasar Pancasila. Sebab selaku dasar negara, filosofischegrondslag, Pancasila bukan ialah suatu preferensi, melainkan sudah ialah suatu realitas objektif bangsa dan negara Indonesia, yang memiliki dasar legitimasi yuridis, filosofis, politis, historis dan kultural.
2.  Sarana penanaman pendidikan karakter
Banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan karakter di kalangan generasi muda, adalah:
a)      Pendidikan agama sebagai salah satu media/sarana pendidikan aksara di kalangan generasi muda. Pendidikan agama yang diberikan kepada generasi muda saat ini, haruslah diketahui dimaknai secara mendalam, dan menyemaikan kebaikan tersebut di hati dan mewujudkannya dalam langkah-langkah. Dengan makna yang demikian akan mampu dijadikan landasan pembangunan kecerdasan emosi dan spiritual dimana suara hati ialah menjadi landasannya.
b)      Pendidikan keluarga sebagai salah satu media/sarana pendidikan huruf di golongan generasi muda.
Untuk pembentukan abjad salah satunya yaitu aspek keluarga dan pendidikan. Keluarga (pendidikan) ialah sebuah unit yang membangun bangsa dan untuk itulah negara dibangun. Keluarga yaitu tempat dimana huruf anak dibuat dimana pendidikan dimulai dan dipupuk, dimana norma pengambilan keputusan oleh si anak diciptakan. Seperti “refleksi” dalam majalah Nirmala mengungkapkan bahwa: kalau anak dibesarkan dengan permusuhan, dia belajar tabrak. Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, beliau belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, beliau mencar ilmu percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan kebanggaan, beliau berguru menghargai. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan pinjaman, dia mencar ilmu menyenangi dirinya, dan kalau anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan beliau berguru menemukan cinta dalam kehidupan.
C.  Peran Pendidikan  Kewarganegaraan  Membentuk Karakter Generasi Muda
Pendidikan kewarganegaraan sangat penting. Di negara Indonesia, pendidikan kewarganegaraan itu berisi antara lain mengenai pruralisme ialah perilaku menghargai keanekaragaman, pembelajaran kolaboratif, dan kreatifitas. Pendidikan  mengajarkan nilai-nilai kewarganegaraan dalam kerangka identitas nasional.“Tanpa pendidikan kewarganegaraan yang tepat akan lahir penduduk egois. Tanpa penanaman nilai-nilai
kewarganegaraan, keragaman yang ada akan menjadi penjara dan neraka dalam artian menjadi sumber pertentangan. Pendidikan, lewat kurikulumnya, berperan penting dan itu terkait dengan taktik kebudayaan.    
Pendidikan kewarganegaraan merupakan sebuah proses yang dikerjakan forum sebagai pendidikan politik yang bermaksud untuk membantu akseptor bimbing untuk menjadi warga Negara yang secara politik dan ikut membangun system politik yang demokratis.
Dalam buku Pendidikan Karakter oleh Prof. Darmiyati Zuchdi, EEd.D., dkk mengemukakan bahwa Wynne (1991) ungkapan aksara diambil dari bahasa yunani yang berarti ‘to mark’ (menandai). Istilah ini lebih difokuskan pada bagaimana upaya pengaplikasian nilai kebaikan dalam bnetuk tindakan atau tingkah laris. Wynne menyampaikan bahwa ada dua pemahaman wacana aksara.Kesatu, ia memberikan bagaimana seseorang berperilaku laku bila seseorang bertingkah tidak jujur, kejam atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya jika seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan aksara mulia.Kedua, istilah karate erat kaitannya dengan ‘personality’. Seseorang gres bias disebut ‘orang berkarakter’ apabila tingkahlakunya sesuai kaidah sopan santun.
Oelh alasannya adalah itu tugas pendidikan kewarganegaraan dalam membenruk abjad muda dapat dimulai dari pembentukan aksara salah satunya adalah faktor keluarga dan pendidikan. Keluarga (pendidikan) adalah sebuah unit yang membangun bangsa dan untuk itulah negara dibangun. Keluarga adalah kawasan dimana huruf anak dibentuk dimana pendidikan dimulai dan dipupuk, dimana norma pengambilan keputusan oleh si anak diciptakan.
Karakter warga negara yang bagus ialah tujuan umum yang ingin dicapai dari Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di negara-negara mana pun di dunia.Sebagai teladan,di kanada pembentukan aksara warga negara yang baik melalui pendidikan kewarganegaraan diserahkan terhadap pemerintah negara-negara bab.Dalam konteks indonesia,di kala orde gres pembentukan huruf warga negara terlihat ditekankan terhadap mata pelajaran seperti pendidikan budbahasa pancasila (PMP), maupun pendidikan pancasila dan kewarganegaraan (PPKn) bahkan pendidikan sejarah perjuangan bangsa (PSPB).Di masa pasca orde gres,kebijakan pendidikan abjad pun ada upaya untuk menitipkanya melalui pendidikan agama di samping pendidikan kewarganegaraan.
Persoalan apakah nilai-nilai pembangunan karakter yang di ajarkan dalam setiap mata pelajaran harus bersifat ekplisit atau kah implisit saja,ini perlu dilaksanakan supaya dapat dipahami betapa pentingnya pendidikan kewarganegaraan di setiap masa kehidupan bernegara di indonesia untuk membangun warga negara yang bagus walaupun dengan pengutamaan yang berbeda.
D.   Membangun Karakter Berbasis Pendidikan Kewarganegraan
Perkembangan pendidikan kewarganegaraan di indonesia mengalami perubahan naik turun dari nama pelajaran,muatan,isi kurikulum,maupun buku teks serta inivasi pembelajarannya. Ada beberapa rancangan perihal pendidikan kewarganegaraan, Cogan (1998:5) mengartikan pendidikan kewarganegaraan berperan penting sebagai penyiapan generasi muda (siswa) untuk menjadi warga negara yang mempunyai identitas dan kebangaan nasional,serta mempunyai pengetahuan dan kecakapan serta nilai-nilai yang diprlukan untuk melaksanakan hak dan kewajibannya. Penelitian IEA terhadap implementasi pendidikan kewarganegraan di 28 negara secara biasa ditemukan bahwa unsur pendidikan kewarganegaraan meliputi faktor civiv knowledge,civic engagement dan civic attitudes serta desain lainnya (Torney-purta,et.al,2001:179).
Pada tahun 1990-an,pendidikan kewarganegaraan di sejumlah negara di ketahui secara berbeda-beda.Dari kajian Print (1999;2000) terhadap pelaksanaan pendidikan kewarganegraan di asia dan pasifik,ditemukan ada yang menyebut pendidikan kewarganegaraan selaku civic education yang meliputi kajian ihwal pemerintahan,konstitusi,rule of law,serta hak dan tanggung jawab warga negara.Untuk yang lain,pendidikan kewargenegaraan disebut dengan citizenship education dengan cakupan dan pengutamaan mencakup proses demokrasi,parisipasi aktif warga negara dan keterlibatan warga negara dalam suatu civil society.Namun kajian civic education memasikan pembelajaran yang berafiliasi dengan institusi-institusi dan tata cara yang melibatkan pemerintah,budaya politik,proses demokrasi,hak & tanggung jawab warga negara,administrasi publik dan tata cara peradilan (Print, 1999;2000).
E.   Pembentukan Karakter Warga Negara Era Orde Baru
Dalam kasus rezim orde gres di Indonesia, pembentukan huruf warga negara secara eksplisit dimuat dalam produk politik tertinggi lembaga negara,MPR ,berbentukGBHN yang pada gilirannya diterjemahkan ke dalam produk policy operasional bidang pendidikan oleh kementrian pendidikan dalam setiap kabinet pembangunan di bawah presiden soeharto.
Hal menarik dari tujuan pendidikan nasional selam orde baru ialah bagaimana pendidikan nasional mampu melahirkan manusia-insan pembangunan,memiliki huruf diantaranya ialah:sehat jasmani dan rohani,memiliki wawasan dan keahlian,sikap demokrasi dan penuh dengan tenggang rasa,pandai,berbudi pekerti yang luhur,bekerja keras,kreatif dan kreatif,berkepribadian,dll. Selama kala orde gres,pendidikan sebagai instrumen pembentukan huruf warga negara menampakan wujudnya dalam standarisasi aksara warga negara.Standarisasi itu merefleksikan civic virtues (kebijakan-kebijakan warga negara) yang disajikan dalam mata pelajaran PMP dan atau PPKn denan memasukan tafsir pancasila menurut P4 selaku kontennya.Dibidang pendidikan,konsekuensi P4 sebagai keharusan aliran atau arah tingkah laku warga negara sungguh membebani misi pendidikan kewarganegaraan dalam PMP maupun PPKn.
Dari citra tersebut,nilai-nilai yang menjadi bahan pokok buku pembelajaran PMP dan PPKn berasal dari atas (rezim yang sedang berkuasa), bukan dari kehendak masyarakat pendidikan (arus bawah). Konsekuensinya nilai-nilai yang menjadi meteri pembelajaran pun cenderung distortif dan jauh dari aspirasi ilmiah (keilmuan),sehingga PMP ataupun PPKn terkesan tidak jjauh beda dengan mata pelajarab civics atau pun kewargaan negara pada kurun rezim soekarno 1960an yang cenderung indoktrinatif. Di indonesia pendidikan nilai yang mengejawantahkan civic virtues dalam proses pembelajaran tiba dari atas (top down) pengalaman indonesia tersebut memperkuat pikiran bahwa pendidikan kewarganegaraan sangat berpengaruh dipengaruhi oleh kepentingan politik.
F.    Membentuk Karakter Warga Negara Era Reformasi
Di kurun transisi sesudah ketetapan MPR wacana P4 dicabut pada sidang istimewa MPR November 1998,pendidikan kewarganegaraan sebagaimana mata pelajaran lainnya pun mengalami reposisi dan revitalisasi.Reposisi yang dimaksud ialah penyempurnaan beban pembelajaran dan struktur kurikulum untuk semua satuan pendidikan.Revitalisasi terlihat dengan digulirkanya kurikulum berbasis kompetensi sebagai penganti versi kurikulum sebelumnya yang sarat dengan beban meteri pelajaran.
Kajian pendidikan kewarganegraan pada awal reformasi di indonesia mulai diperkenalkan menjelang 2004 dikenal selaku KBK .Oleh banyak golongan, pendidikan kewarganegaraan Dinilai sangat kering dengan muatan nilai sopan santun,khususnya nilai moral pancasila,namun sangat akrab dengan kajian konsep-rancangan politik dan hukum.Cakupan substasi kajian dan kompetensi kewarganegraan yang dibutuhkan dari PKN itu sendiri yakni upaya pembentukan warga negara yang bagus (good citizen) dalam warga negara demokratis yang bertanggung jawab dan ikut serta aktif dalam kehidupan sistem politik negaranya,direduksi cuma menjadi semata-mata menghapal nilai-nilai akhlak. Mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan secara normatif dimaksudkan untuk membentuk warga negara yang cerdas,terampil,dan berkarakter baik,serta setia kepada bangsa dan negara indonesia menurut pada pancasila dan UUD 1945. Sedangkan tujuan mata pelajaran PPKn ialah untuk membentuk kemampuan:
1.    Berfikir secara kritis,rasional,dan kreatif dalam menaggapi informasi kewarganegaraan.
2.    Berpartisipasi secara pandai dan bertanggung jawab.
3.    Pembentukan diri yang didasarkan karekter-aksara aktual yang demokratis.
Secara internal,pergeseran politik lewat gerakan reformasi nasional sudah mendorong pembaharuan pendidikan kewarganegraan sebagai bab dari gerakan reformasi pendidikan nasional secara keseluruhan.Pilihan reformasi pendidikan kewarganegaraan tidak semata-mata mengganti paradigma kajian yang menekankan terhadap penguasaan subject matters yang lebih banyak didominasi aspek afektif.Tetapi reformasi memiliki arti juga bergeser (berubah) kepada paradigma kajian yang menekankan terhadap penguasaan kompetensi kewarganegaraan bagi siswa mencakup aspek wawasan, aspek keahlian/kecakapan dan perilaku (Samsuri,2010).
Bagaimanapun pada hakekatnya,pendidikan kewarganegaraan di negara manapun di dunia, yang menjadi great ought-nya adalah dasar sistem politik dari negara yang bersangkutan. Indonesia sudah niscaya bahwa dasar kehidupan berbangsa bernegaranya ialah pancasila,yang dengan sendirinya pendidikan kewarganegaraan selaku upaya pembentukan warga negara yang akan mendasarkan diri terhadap pancasila sebagai dasar negara. Sebagaimana diketahui P4 ialah materi pokok dari pendidikan kewarganegaraan selama orde baru. Penjelasan ini memperlihatkan bahwa reformasi pendidikan utamanya pendidikan kewarganegaraan tidak dapat dilepaskan dari kepentingan politik nasional.Dengan demikian,sistem politik sungguh berpengaruh menghipnotis arah politik pendidikan. (Samsuri, 2010:204-205).
Mengikuti rumusan john J.Patrick (1999),peran warga negara baik secara individual maupun kalangan mirip di forum-forum kemasyarakatan,dalam perumusan dan pengambilan  keputusan untuk kebijakan publik merupakan salah satu karakteristik dari suatu negara demokrasi.Melalui keterlibatan warga dalam partisipasi publik,warga negara menyebarkan wawasan,kecakapan,kebijakan dan kebiasaan yang menciptakan demokrasi mampu bekarja.
Pendekatan contextual teaching and learning (CTL) atau dengan model portofolio ialah opsi model pembelajaran yang sekarang sering dipilih sebagai model pembelajaran pendidikan kewarganegaraan.Dalam model portofolio yang dalam praktik ialah penerjemahan versi project citizen banyak melatih dan menumbuhkan aksara warga negara tang ideal (demokratis).Nilai-nilai demokratis,partisipatif,koordinasi,peduli dan peka terhadap masalah publik di sekitar siswa,serta mencar ilmu sahih terhadap persolan kewargaan dan publik ialah sesuatu yang dikembangkan dalam project citizen.
Upaya pembentukan warga negara yang bagus sebagaimana diidealkan oleh tujuan pendidikan kewarganegaraan,di indonesia mengalami banyak sekali bentuk penafsiran dalam setiap kebijakan pendidikan nasionalnya.Corak pembentukan warga negara selam ORBA di nilai gagal melahirkan penduduk yang demokratis, berdikari, kritis dan partisipatif.Pembentukan karakter manusia pembangunan selaku upaya membangun manusia pancasilais terkalahkan oleh realitas kehidupan politik dan kehidupan kewargenegraan yang condong korup,kolutif,nepotis.
Pembahasan kebijakan pendidikan kewarganegraan pada permulaan kurun reformasi memperlihatkan bahwa sebgai bab reformasi pendidikan nasinal,pendidikan kewarganegaraan sudah bergeser dari pendekatan materi pendidikan nilai-nilai sebagaimana tampak dalam PMP dan PPKn,terhadap pendekatan kompetensi kewarganegaraan dan pendekatan keilmuan. Pendekatan kompetensi kewarganegaraan berupaya membangun kecakapan-kecakapan yang harapanya dimiliki peserta didik sebgai warga negara muda yang kritis,rasional dan partisipatif. Pendekatan keilmuwan menimbulkan pendidikan kewarganegaraan memfokuskan diri terhadap induk keilmuwan civics ialah ilmu politik.Implikasi pendekatan ini adalah bahwa pendidikan kewarganegaraan  sedapat mungkin mendasrkan diri kepada kepentingan nilai-nilai sistem politik nasional,dan bukannya bergantung kepada politik rezim. Dengan demikian, setiap pergantian dan pembaharuan pendidikan kewarganegaraan seyogianya tidak bergantung kepada pergantian rezim mana yang tengah berkuasa (Samsuri,2010:199-200).
DAFTAR PUSTAKA
Hamid Darmadi, (2010) Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Penerbit; Bandung: Alfabeta
Hamid Darmadi, (2010) Pendidikan Pancasila. Penerbit; Bandung: Alfabeta
Hamid Darmadi, (2011) Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan Penerbit; Bandung: Alfabeta
Zuchdi, Darmiyati. 2009. Pendidikan Karakter. Yogyakarta:UNY Press
httpblog.uad.ac.idbaehaqiarif20110519pendidikan-kewarganegaraan-untuk-pembangunan-huruf-bangsa-harapan-dan-tantangan-di-tengah-penduduk -yang-multikultural1 diakses pada tanggal 10 Juli 2013 pukul 09.00
http://pengertianpendidikan.com/pemahaman-pendidikan-kewarganegaraan diakses pada tanggal 10 Juli 2013 pukul 09.00
httpwww.bppk.depkeu.go.id bdkpontianakindex.phpserambi10-umum59-menanamkan-pendidikan-karakter-di-kalangan-generasi-muda diakses pada tanggal 10 Juli 2013 pukul 09.00