Memahami Wawasan Nasional Kebangsaan Oleh : Hamid Darmadi



A.       Wawasan Nasional  Nusantara
            Sebelum membicarakan Wawasan Nusantara, terlebih dulu perlu mengerti dan mengetahui Wawasan Nasional kebangsaan secara universal. Suatu bangsa meyakini bahwa kebenaran yang hakiki atau kebenaran yang mutlak yaitu kebenaran yang tiba dari Tuhan, pencipta alam semesta. Manusia mempunyai kelebihan dari mahluk yang lain lewat nalar fikiran dan budi nuraninya. Namun kemampuannya dalam memakai akal pikiran dan kecerdikan nurani tersebut terbatas, sehingga insan yang satu dan lainnya tidak memiliki tingkat kesanggupan yang sama. Ketidaksamaan tersebut menyebabkan perbedaan pertimbangan , kehidupan, doktrin dalam relasi dengan penciptanya dan melakukan hubungan dengan sesamanya, dan dalam cara menyaksikan serta mengerti sesuatu. Perbedaan-perbedaan inilah yang kita sebut keanekaragama. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, keanekaragaman tersebut membutuhkan perekat agar bangsa yang bersangkutan mampu bersatu memelihara keutuhan negaranya.
            Suatu bangsa dalam menyelenggarakan kehidupan kenegaraannya tidak terlepas dari efek lingkungannya. Pengaruh itu muncul dari hubungan timbal balik antara filosofi bangsa, ideologi, aspirasi serta keinginan dan kondisi sosial masyarakat, budaya, tradisi, keadaan alam, daerah serta pengalaman sejarahnya. Pemerintah dan rakyat membutuhkan suatu konsepsi berupa wawasan nasional untuk mengadakan kehidupannya. Wawasan ini dimaksudkan untuk menjamin kelangsungan hidup, keutuhan daerah serta jati diri bangsa. Kata “wawasan” itu sendiri berasal dari wawas (bahasa Jawa) yang artinya melihat atau menatap. Dengan penambahan akhiran “an” kata ini secara harfiah berarti: cara penglihatan atau cara tinjau atau cara pandang.Kehidupan suatu bangsa dan negara selalu dipengaruhi oleh perkembangan lingkungan strategis. Karena itu, pengetahuan itu harus mampu memberi wangsit pada sebuah bangsa dalam menghadapi berbagai kendala dan tantangan yang ditimbulkan oleh lingkungan strategis dan dalam mengejar-ngejar kejayaannya.
            Dalam mewujudkan aspirasi dan perjuangan, satu bangsa perlu mengamati tiga aspek utama ialah:
1.    Bumi atau ruang di mana bangsa itu hidup.
2.    Jiwa, tekad, dan semangat manusianya atau rakyatnya.
3.    Lingkungan sekitarnya.
Dengan demikian, pengetahuan nasional ialah cara pandang suatu bangsa yang sudah menegara wacana diri dan lingkungannya dalam eksistensinya yang serba terhubung ( lewat interaksi dan interrelasi) dan dalam pembangunannya di lingkungan nasional termasuk setempat dan propinsional), regional, serta global.
B.       Teori-Teori Kekuasaan
Wawasan nasional suatu bangsa dibentuk dan dijiwai oleh paham kekuasaan dan geopolitik yang dianutnya. Beberapa teori paham kekuasaan dan teori geopolitik tersebut diuraikan selaku berikut:
1.     Paham-Paham Kekuasaan
            Perumusan pengetahuan nasional lahir menurut usulandan anutan perihal sejauh mana rancangan operasionalnya dapat diwujudkan dan dipertanggungjawabkan. Karena itu, diperlukan landasan teori yang dapat mendukung rumusan Wawasan Nasional.
           
Teori-teori yang mampu mendukung rumusan tersebut antara lain:
a.    Paham Machiavelli (Abad XVII)
Gerakan pembaharuan (renaissance) yang dipicu oleh masuknya anutan Islam di Eropa Barat sekitar periode VII telah membuka dan berbagi cara pandang bangsa-bangsa Eropa Barat sehingga menghasilkan peradaban barat terbaru mirip sekarang. Di bidang politik dan kenegaraan, motor atau sumber pemikirannya berasal dari Machiavelli, seorang pakar ilmu politik dalam pemerintahan Republik Florence, suatu negara kecil di Italia Utara (sekitar abad XVII).
Dalam bukunya perihal politik yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Prince”, Machiavelly menawarkan pesan wacana cara membentuk kekuatan politik yang besar semoga suatu negara mampu bangkit dengan kokoh. Di dalamnya terkandung beberapa postulat dan cara pandang ihwal bagaimana memelihara kekuasaan politik. Menurut Machiavelli, sebuah negara akan bertahan apabila menerapkan dalil-dalil berikut: pertama, segala cara dihalalkan dalam merebut dan menjaga kekuasaan; kedua, untuk mempertahankan kekuasaan rezim, politik memecah-belah (“divide et impera”) yakni sah; dan ketiga, dalam dunia politik (yang disamakan dengan kehidupan hewan buas), yang kuat niscaya mampu bertahan dan menang. Semasa Machiavelli hidup, buku “The Prince” tidak boleh beredar oleh Sri Paus sebab dianggap amoral. Tetapi sehabis Machiavelli meninggal, buku tersebut menjadi sangat laku dan dipelajari oleh orang-orang serta dijadikan anutan oleh banyak kelompok politisi dan para elit politik.
b.    Paham Kaisar Napoleon Bonaparte (era XVIII)
Kaisar Napoleon merupakan tokoh revolusioner di bidang cara pandang, selain penganut yang bagus dari Machiavelli. Napoleon berpendapat bahwa perang di kala depan akan ialah perang total yang mengerahkan segala daya upaya dan kekuatan nasional. Dia berpendapat bahwa kekuatan politik mesti didampingi oleh kekuatan logistik dan ekonomi nasional. Kekuatan ini juga perlu didukung oleh kondisi sosial budaya berbentukilmu pengetahuan dan teknologi demi terbentuknya kekuatan hankam untuk menduduki dan menjajah negara-negara di sekeliling Prancis. Karena itu terjadi invasi militer besar-besaran Napoleon terhadap negara-negara tetangga dan pada alhasil ia tersandung di Rusia. Ketiga postulat Machiavelli telah diimplementasikan dengan sempurna oleh Napoleon, tetapi menjadi bumerang bagi dirinya sehingga pada simpulan kariernya dia dibuang ke pulau Elba.
c.    Paham Jenderal Clausewitz (periode XVIII)
Pada abad Napoleon, Jenderal Clausewitz sempat terusir oleh tentara Napoleon dari negaranya hingga ke Rusia. Clausewitz kesannya ergabung dan menjadi penasihat militer Staf Umum Tentara Kekaisaran Rusia. Sebagaimana kita ketahui, invasi prajurit Napoleon pada akhirnya terhenti di Moskow dan diusir kembali ke Prancis.  Clausewitz, setelah Rusia bebas kembali, diangkat menjadi kepala sekolah staf dan komando Rusia. Di sana ia menulis sebuah buku tentang perang berjudul Vom Kriege (Tentara Perang). Menurut Clausewitz, perang adalah kelanjutan politik dengan cara lain. Baginya, pertempuran yaitu sah-sah saja untuk meraih tujuan nasional suatu bangsa. Pemikiran inilah yang membenarkan Prusia berekspansi sehingga menjadikan Perang Dunia I dengan kekalahan di pihak Prusia atau Kekaisaran Jerman.        
d.    Paham Feuerbach dan Hegel       
Paham materialisme Feuerbach dan teori sintesis Hegel menimbulkan dua pedoman besar Barat yang berkembang di dunia, adalah kapitalisme di satu pihak dan komunisme di pihak lain.
Pada kala XVII paham jual beli bebas yang merupakan nenek moyang liberalisme sedang marak. Saat itu orang-orang berpendapat bahwa ukuran kesuksesan ekonomi sebuah negara adalah seberapa besar surplus ekonominya, utamanya diukur dengan emas. Paham ini mengakibatkan nafsu kolonialisme negara Eropa Barat dalam mencari emas ke tempat lain. Inilah yang memotivasi Columbus untuk mencari tempat gres, lalu Magellan, dan lain-lainnya.
Paham ini pula yang mendorong Belanda untuk melaksanakan perdagangan (VOC) dan pada karenanya menjajah Nusantara selama 3,5 masa.
e.    Paham Lenin (abad XIX)
Lenin sudah memodifikasi paham Clausewitz. Menurutnya, perang yakni kelanjutan politik dengan cara kekerasan. Bagi Leninisme/komunisme, perang atau pertumpahan darah atau revolusi di seluruh dunia yaitu sah dalam kerangka mengkomunikasikan seluruh bangsa di dunia. Karena itu, selama Perang Dingin, baik Uni Soviet maupun RRC berlomba-kontes untuk mengekspor paham komunis ke seluruh dunia. G.30.S/PKI yaitu salah satu komoditi ekspor RRC pada tahun 1965. Sejarah berikutnya menawarkan bahwa paham komunisme ternyata rampung secara tragis seperti runtuhnya Uni Soviet.
f.     Paham Lucian W. Pye dan Sidney
Dalam buku Political Culture and Political Development (Princeton University Press, 1972), mereka menyampaikan: “The Political culture of society consist of the system of empirical believe expressive symbol and values which devidens the situation in political action take place, it provides the subjective orientation to politics…. The political culture of  society is highly significant aspec of the political system”.
2.    Teori-teori Geopolitik
            Geopolitik berasal dari kata “geo” atau bumi dan politik yang berarti kekuatan yang didasarkan pada pertimbangan-usulandasar dalam menentukan alternatif akal nasional untuk merealisasikan tujuan nasional.
            Beberapa usulan dari pakar-pakar Geopolitik antara lain sebagai berikut:
a.    Ajaran Frederich Ratzel
Pada abad ke-19, Frederich Ratzel merumuskan untuk pertama kalinya Ilmu Bumi Politik sebagai hasil penelitiannya yang ilmiah dan universal. Pokok-pokok pemikiran F. Ratzel yaitu sebagai berikut:
1)     Dalam hal-hal tertentu kemajuan negara dapat dianalogikan dengan kemajuan organisme yang membutuhkan ruang lingkup, melalui proses lahir, tumbuh, berkembang, mempertahankan hidup, menyusut, dan mati.
2)     Negara identik dengan sebuah ruang yang ditempati oleh golongan politik dalam arti kekuatan. Makin luas potensi ruang tersebut, makin besar kemungkinan kelompok politik itu berkembang (teori ruang, desain ruang).
3)     Suatu bangsa dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya tidak terlepas dari aturan alam. Hanya bangsa yang unggul saja yang mampu bertahan hidup terus dan langgeng.
4)     Semakin tinggi budaya sebuah bangsa, makin besar kebutuhannya akan sumber daya alam. Apabila kawasan/ruang hidup tidak mendukung, bangsa tersebut akan mencari pemenuhan kebutuhan kekayaan alam di luar wilayahnya (perluasan). Hal ini melegitimasikan aturan perluasan, ialah kemajuan atau dinamika budaya dalam bentuk gagasan, kegiatan (ekonomi, perdagangan, perindustrian/bikinan) mesti diimbangi oleh pemekaran kawasan; batasan sebuah negara pada hakikatnya bersifat sementara. Apabila ruang hidup negara telah tidak mampu menyanggupi keperluan, ruang itu dapat diperluas dengan mengubah batas-batas negara baik secara damai maupun melalui jalan kekerasan atau perang. Ilmu Bumi Politik menurut pedoman Ratzel tersebut justru mengakibatkan dua pedoman, di mana yang satu berfokus pada kekuatan di darat, sementara yang lainnya berkonsentrasi pada kekuatan di bahari. Ratzel melihat adanya kompetisi antara kedua pedoman itu, sehingga beliau mengemukakan fatwa yang gres itu, ialah dasar-dasar suprastruktur Geopolitik: kekuatan total/menyeluruh suatu negara harus bisa mewadahi pertumbuhan keadaan dan kedudukan geografinya. Dengan demikian esensi pengertian politik yaitu penggunaan kekuatan fisik dalam rangka mewujudkan keinginan atau aspirasi nasional suatu bangsa. Hal ini sering mempunyai kecenderungan ke arah politik tabrak kekuatan dan berkelahi kekuasaan dengan tujuan dominasi. Pemikiran Ratzel menyatakan bahwa ada kaitan antara struktur atau kekuatan politik secara geografi dan permintaan pertumbuhan atau kemajuan negara yang dianalogkan dengan organisme.
b.    Ajaran Rudolf Kjellen
Kjellen melanjutkan pedoman Ratzel tentang teori organisme. Kjellen memastikan bahwa negara ialah sebuah organisme yang dianggap sebagai “prinsip dasar”. Esensi anutan Kjellen yaitu selaku berikut:
1)     Negara ialah satuan biologis, suatu organisme hidup, yang mempunyai intelektual. Negara dimungkinkan untuk memperoleh ruang yang cukup luas biar kemampuan dan kekuatan rakyat mampu berkembang secara bebas.
2)     Negara ialah suatu metode politik/pemerintahan yang mencakup bidang-bidang geopolitik, ekonomi politik, demo politik, sosial politik, dan krato politik (politik memerintah).
3)     Negara tidak mesti bergantung pada sumber pembekalan luar. Ia mesti mampu berswasembada serta mempergunakan perkembangan kebudayaan dan teknologi untuk memajukan kekuatan nasionalnya: ke dalam, untuk meraih persatuan dan kesatuan yang serasi dan ke luar, untuk mendapatkan batas-batas negara yang lebih baik. Sementara itu, kekuasaan Imperium Kontinental mampu mengatur kekuatan di maritim.
c.    Ajaran Karl Haushofer
Pandangan Karl Haushofer berkembang di Jerman saat negara ini berada di bawah kekuasaan Adolf Hitler. Pandangan ini juga dikembangkan di Jepang dalam aliran Hako Ichiu yang dilandasi oleh semangat militerisme dan fasisme. Pokok-pokok teori Haushofer ini intinya menganut teori/aliran/persepsi Kjellen, adalah:
1)     Kekuasaan Imperium Daratan yang kompak akan dapat memburu kekuasaan Imperium Maritim untuk menguasai pengawasan di maritim.
2)     Beberapa negara besar di dunia akan muncul dan akan menguasai Eropa, Afrika, Asia Barat (Jerman dan Italia) serta Jepang di Asia Timur Raya.
3)     Rumusan ajaran Haushofer yang lain yaitu selaku berikut:
Geopolitik ialah iktikad negara yang menitikberatkan soal-soal strategi perbatasan. Ruang hidup bangsa dan tekanan-tekanan kekuasaan dan sosial yang rasial mewajibkan pembagian baru kekayaan alam di dunia. Geopolitik yaitu landasan bagi tindakan politik dalam perjuangan mendapatkan ruang lingkup.
Pokok-pokok teori Karl Houshofer pada dasarnya menganut teori Rudolf Kjellen dan bersifat ekspansif.
  1. Ajaran Sir Halford Mackinder
Teori hebat Geopolitik ini intinya menganut “rancangan kekuatan” dan mencetuskan Wawasan Benua, adalah rancangan kekuatan di darat. Ajarannya menyatakan: barang siapa mampu menguasai “Daerah Jantung”, yakni Eurasia (Eropa dan Asia), dia akan dapat menguasai “Pulau Dunia”, ialah Eropa, Asia dan Afrika. Selanjutnya, barang siapa mampu menguasai pulau dunia alhasil dapat menguasai dunia.
  1. Ajaran Sir Walter Raleigh dan Alfred Thyer Mahan
Kedua mahir ini memiliki ide “Wawasan Bahari”, ialah kekuatan di lautan. Ajarannya menyampaikan bahwa barang siapa menguasai lautan akan menguasai “jual beli”. Menguasai perdagangan berarti menguasai “kekayaan dunia” sehingga pada risikonya menguasai dunia.
  1. Ajaran W. Mitchel, A.Saversky, Giulio Douhet, dan John Frederik Charles Fuller.
Keempat hebat geopolitik ini beropini bahwa kekuatan di udara justru yang paling memilih. Mereka melahirkan teori “Wawasan Dirgantara” yakni konsep kekuatan di udara. Kekuatan di udara hendaknya mempunyai daya yang dapat mengemban amanah untuk menangkis bahaya dan melumpuhkan kekuatan lawan dengan menghancurkan di kandangnya sendiri biar musuh tidak bisa lagi menyerang.
g.    Ajaran Nicholas J. Spykman
Ajaran ini menciptakan teori yang dinamakan Teori Daerah Batas (rimland), ialah teori wawasan kombinasi yang menggabungkan kekuatan darat, laut dan udara. Dalam pelaksanaannya, teori ini disesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan sebuah negara.
C.    Ajaran Wawasan Nasional Indonesia
Wawasan Nasional Indonesia ialah wawasan yang dikembangkan menurut teori pengetahuan nasional secara universal. Wawasan tersebut dibuat dan dijiwai oleh paham kekuasaan bangsa Indonesia dan geopolitik Indonesia.
1.    Paham Kekuasaan Bangsa Indonesia
Bangsa Indonesia yang berfalsafah dan berideologi Pancasila menganut paham tentang perang dan damai: “Bangsa Indonesia cinta tenang, akan tetapi lebih cinta kemerdekaan.” Wawasan nasional bangsa Indonesia tidak berbagi fatwa perihal kekuasaan dan tabrak kekuatan, alasannya hal tersebut mengandung benih-benih persengketaan dan ekspansionisme. Ajaran pengetahuan nasional bangsa Indonesia menyatakan bahwa: ideologi dipakai sebagai landasan idiil dalam menentukan politik nasional, dihadapkan pada kondisi dan konstelasi geografi Indonesia dengan segala aspek kehidupan nasionalnya. Tujuannya adalah supaya bangsa Indonesia dapat menjamin kepentingan bangsa dan negaranya di tengah-tengah perkembangan dunia.
2.    Geopolitik Indonesia
Pemahaman wacana kekuatan dan kekuasaan yang dikembangkan di Indonesia didasarkan pada pemahaman tentang paham perang dan damai serta disesuaikan dengan kondisi dan konstelasi geografi Indonesia. Sedangkan pemahaman wacana negara Indonesia menganut paham negara kepulauan, ialah paham yang dikembangkan dari asas archipelago yang memang berlawanan dengan pemahaman archipelago di negara-negara Barat kebanyakan. Perbedaan yang esensial dari pengertian ini yakni bahwa menurut paham Barat, maritim berperan sebagai “pemisah” pulau, sedangkan menurut paham Indonesia maritim ialah “penghubung” sehingga daerah negara menjadi satu kesatuan yang utuh sebagai “Tanah air” dan disebut Negara Kepulauan.
3.    Dasar Pemikiran Wawasan Nasional Indonesia
Dalam menentukan, membina dan berbagi wawasan nasionalnya, bangsa Indonesia menggali dan berbagi dari keadaan nyata yang terdapat di lingkungan Indonesia sendiri. Wawasan Nasional Indonesia dibentuk dan dijiwai oleh pemahaman kekuasaan bangsa Indonesia yang berlandaskan pemikiran kewilayahan dan kehidupan bangsa Indonesia. Karena itu, pembahasan latar belakang filosofis sebagai dasar pemikiran pembinaan dan pengembangan wawasan nasional Indonesia ditinjau dari:
a.    Latar belakang anutan menurut falsafah Pancasila.
b.    Latar belakang ajaran faktor Kewilayahan Nusantara.
c.    Latar Belakang pedoman aspek Sosial Budaya Bangsa Indonesia.
d.    Latar Belakang ajaran aspek Kesejarahan Bangsa Indonesia.
D.   Latar Belakang Filosofis Wawasan Nusantara
1.    Pemikiran Berdasarkan Falsafah Pancasila
            Berdasarkan falsafah Pancasila, manusia Indonesia yakni mahluk ciptaan Tuhan yang memiliki naluri, akhlak, daya pikir, dan sadar akan keberadaannya yang serba terhubung dengan sesamanya, lingkungannya, alam semesta, dan penciptanya. Kesadaran ini menumbuhkan cipta, karsa dan karya untuk mempertahankan keberadaan dan kelancaran hidupnya dari generasi ke generasi. Berdasarkan kesadaran yang dipengaruhi oleh lingkungannya, insan Indonesia mempunyai motivasi antara lain untuk menciptakan situasi damai dan tentram menuju kebahagiaan serta menyelenggarakan keteraturan dalam membina kekerabatan antar sesama.
            Dengan demikian, nilai-nilai Pancasila bahu-membahu sudah bersemayam dan meningkat dalam hati sanubari dan kesadaran bangsa Indonesia. Nilai-nilai Pancasila juga tercakup dalam penggalian dan pengembangan pengetahuan nasional sebagai berikut:
a.    Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa bangsa Indonesia menyatakan akidah dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Dalam kehidupan sehari-hari mereka mengembangkan perilaku saling menghormati, memberi kesempatan dan keleluasaan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing, serta tidak memaksakan suatu agama dan doktrin masing-masing serta tidak memaksakan sebuah agama dan dogma dengan cara apapun terhadap orang lain. Sikap tersebut mewarnai pengetahuan nasional yang dianut oleh bangsa Indonesia yang mengharapkan keutuhan dan kebersamaan dengan tetap menghormati dan memberikan kebebasan dalam menganut dan mengamalkan agama masing-masing.
b.    Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, bangsa Indonesia mengakui, menghargai, dan menunjukkan hak dan kebebasan yang sama kepada setiap warganya untuk menerapkan hak asasi manusia (HAM). Namun kebebasan HAM tersebut tidak mengusik dan mesti menghormati HAM orang lain. Sikap tersebut mewarnai wawasan nasional yang dianut dan dikembangkan oleh bangsa Indonesia yang menunjukkan keleluasaan dalam mengekspresikan HAM dengan tetap mengenang dan menghormnati hak orang lain sehingga menumbuhkan toleransi dan kolaborasi.
c.    Sila Persatuan Indonesia
Dengan sila Persatuan Indonesia, bangsa Indonesia lebih memprioritaskan kepentingan bangsa dan negara. Kepentingan masyarakat yang lebih luas mesti lebih diutamakan daripada kepentingan kalangan, suku maupun perorangan. Tetapi kepentingan yang lebih besar tersebut tidak mematikan atau meniadakan kepentingan golongan, suku bangsa maupun perorangan. Sikap tersebut mewarnai pengetahuan kebangsaan/pengetahuan nasional yang dianut dan dikembangkan oleh bangsa Indonesia yang memprioritaskan keutuhan bangsa dan negara dengan tetap mengamati, menghormati, dan memuat kepentingan kalangan, suku bangsa maupun perorangan.
d.    Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Dengan sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, bangsa Indonesia mengakui bahwa pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan bersama diusahakan lewat musyawarah untuk mencapai mufakat. Ini berarti tidak tertutupnya kemungkinan dilakukannya pemungutan bunyi (voting) dan bermakna tidak dilakukannya pemaksaan usulan dengan cara apapun. Sikap tersebut mewarnai pengetahuan kebangsaan/pengetahuan nasional yang dianut dan dikembangkan oleh bangsa Indonesia yang melaksanakan musyawarah untuk meraih mufakat dengan tetap menghargai dan menghormati perbedaan pendapat.
e.    Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Dengan sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, bangsa Indonesia mengakui dan menghargai warganya untuk meraih kemakmuran yang setinggi-tinginya sesuai hasil karya dan usahanya masing-masing. Tetapi usaha untuk meningkatkan kemakmuran tersebut tanpa merugikan apalagi merusak orang lain. Kemakmuran yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia bukan kemakmuran yang tingkatannya sama bagi semua warganya. Sikap tersebut mewarnai pengetahuan kebangsaan/wawasan nasional yang dianut dan dikembangkan oleh bangsa Indonesia yang menunjukkan kebebasan untuk mencapai kesejahteraan setinggi-tingginya bagi setiap orang dengan memperhatikan keadilan bagi kawasan penghasil, kawasan lain, orang lain sehingga tercapai kemakmuran yang menyanggupi patokan keperluan minimal.
            Dari uraian di atas tampak bahwa pengetahuan kebangsaan atau wawasan nasional yang dianut dan dikembangkan oleh bangsa Indonesia merupakan pancaran dari Pancasila selaku falsafah hidup bangsa Indonesia. Karena itu, wawasan nasional Indonesia menginginkan terciptanya persatuan dan kesatuan tanpa menghilangkan ciri, sifat, dan abjad dari kebinekaan komponen-unsur pembentuk bangsa (suku bangsa, etnis, kalangan serta tempat itu sendiri).
2.   Pemikiran Berdasarkan Aspek Kewilayahan Nusantara
            Geografi yakni wilayah yang tersedia dan terbentuk secara alamiah oleh alam faktual. Kondisi obyektif geografis sebagai modal dalam pembentukan sebuah negara ialah suatu ruang gerak hidup suatu bangsa yang didalamnya terdapat sumber kekayaan alam dan penduduk yang mempengaruhi pengambilan keputusan/akal politik negara tersebut. Karena itu, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara fungsi maupun efek geografi terhadap perilaku dan tata laris negara yang bersangkutan ialah sebuah fenomena yang mutlak diperhitungkan. Demikian pula sebaliknya, efek sikap dan tata laku negara terhadap keadaan geografis selaku tata korelasi antara manusia dan wadah lingkungannya perlu dipertimbangkan.
            Kondisi obyektif geografi Nusantara, yang ialah untaian ribuan pulau yang tersebar dan terbentang di khatulistiwa serta terletak pada posisi silang yang sangat strategis, mempunyai karakteristik yang berlawanan dari negara lain. Wilayah Indonesia pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 masih mengikuti Territoriale Zee En Maritieme Kringen Ordonantie tahun 1939, di mana lebar laut kawasan Indonesia yaitu 3 mil diukur dari garis air rendah dari masing-masing pantai pulau Indonesia. Penetapan lebar daerah maritim 3 mil tersebut tidak menjamin kesatuan daerah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini lebih terasa lagi jikalau dihadapkan pada pergolakan-pergolakan dalam negeri pada saat itu. Mengingat keadaan lingkungan alamnya, persatuan bangsa dan kesatuan kawasan negara menjadi tuntutan utama bagi terwujudnya kesejahteraan dan keselamatan yang berkelanjutan. Atas pendapathal-hal tersebut, dimaklumkanlah Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957, yang berbunyi: “…menurut pertimbangan-pertimbangan maka pemerintah menyatakan bahwa segala perairan di sekeliling , di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk negara Indonesia dengan tidak menatap luas atau lebarnya ialah bagian-bab yang wajar dari pada kawasan daratan negara Indonesia dan dengan demikian bab dibandingkan dengan perairan pedalaman atau nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak negara Indonesia. Lalu lintas yang tenang diperairan pedalaman bagi kapan-kapan aneh dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Penentuan batas laitan teritorial (yang lebarnya 12 mil) diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung yang terluar pada pulau-pulau negara Indonesia…”
            Deklarasi ini menyatakan bahwa bentuk geografis Indonesia ialah negara kepulauan yang terdiri atas ribuan pulau besar dan kecil dengan sifat dan corak tersendiri. Deklarasi tersebut juga menyatakan bahwa demi keutuhan teritorial dan untuk melindungi kekayaan negara yang terkandung di dalamnya, pulau-pulau serta bahari yang ada di antaranya mesti dianggap selaku satu kesatuan yang bulan dan utuh. Untuk mengukuhkan asas negara kepulauan ini, ditetapkanlah Undang-undang Nomor : 4/Prp Tahun 1960 ihwal Perairan Indonesia.
            Maka sejak itu berubahlah luas kawasan dari ± 2 juta km2 menjadi ± 5 juta km2, di mana ± 65% wilayahnya terdiri dari maritim/perairan. Karena itu, tidaklah mustahil jika negara Indonesia juga diketahui selaku negara kepulauan (negara laut). Sedangkan yang ± 35% lagi ialah daratan yang berisikan 17.508 buah pulau yang antara lain berupa 5 (lima) buah pulau besar, yaitu Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi dam Irian Jaya (Papua) dan ± 11.808 pulau-pulau kecil yang belum diberi (ada) namanya. Luas daratan dari seluruh pulau-pulau tersebut yaitu ± 2.028.087 km2, dengan panjang pantai ± 81.000 km. Topografi daratannya berupa pegunungan dengan gunung-gunung berapi yang masih aktif maupun yang tidak aktif lagi.
            Sekarang pemahaman kata Nusantara yakni kepulauan Indonesia yang terdiri dari 17.508 pulau besar maupun kecil yang berada pada batasan astronomis berikut:
Utara                                      :           06 08 LU
Selatan                                  :           11 15 LS
Barat                                       :           94 45 BT
Timur                                      :           141 05 BT
Dan jarak Utara-Selatan     :           ± 1.888 km
Barat – Timur                        :           ± 5.110 km
            Melalui pertemuan PBB perihal Hukum Laut Internasional yang ketiga tahun 1982, pokok-pokok asas negara kepulauan diakui dan dicantumkan dalam UNCLOS 82 (United Nation Convention on the Law of the Sea atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa wacana Hukum Laut). Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982 tersebut melalui Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985 pada tanggal 31 Desember 1985. Sejak tanggal 16 November 1993 UNCLOS 1982 telah diratifikasi oleh 60 negara dan menjadi aturan faktual sejak 16 November 1994.
            Berlakunya UNCLOS 1982 akan berpengaruh pada upaya pemanfaatan laut bagi kepentingan kesejahteraan, seperti bertambah luasnya Zone Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan Landas Kontinen Indonesia. Pada satu segi, UNCLOS 1982 menunjukkan keuntungan bagi pembangunan nasional, ialah bertambah luasnya perairan yurisdiksi nasional yang sekaligus mempunyai arti bertambahnya kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta terbukanya potensi untuk mempergunakan laut selaku medium transportasi. Namun pada sisi lain, potensi kerawanan juga bertambah besar. Dengan sudah dikukuhkannya kawasan darat dan bahari atau perairan, usaha bangsa Indonesia selanjutnya yaitu menegakkan kedaulatan di ruang udara dan memperjuangkan kepentingan RI di kawasan antariksa nasional, termasuk Geo Stationery Orbit (GSO). Gambaran daerah udara kedaulatan dan antariksa nasional serta GSO Indonesia, dapat dilihat pada halaman 74.
            Kondisi dan konstelasi geografi Indonesia mengandung beraneka ragam kekayaan alam baik yang berada di dalam maupun di atas permukaan bumi, peluangdi ruang udara dan ruang antariksa, dan jumlah penduduk yang besar yang terdiri dari berbagai suku yang memiliki budaya, tradisi, serta acuan kehidupan yang beraneka ragam.
            Dengan demikian, secara kontekstual, geografi Indonesia mengandung keunggulan dan kelemahan/ kerawanan. Karena itu keadaan dan konstelasi geografi ini harus dicermati secara utuh menyeluruh dalam perumusan budi politik yang disebut Geopolitik Indonesia. Dengan kata lain, setiap perumusan akal nasional harus memiliki wawasan kewilayahan atau ruang hidup bangsa yang dikontrol oleh politik ketatanegaraan. Karena itu, Wawasan Kebangsaan atau Wawasan Nasional Indonesia yang memperhatikan dan memikirkan keadaan dan konstelasi geografis Indonesia mewajibkan tetap terpeliharanya keutuhan dan kekompakan kawasan, tetap dihargainya dan dijaganya ciri, huruf serta kesanggupan (keunggulan dan kelemahan) masing-masing tempat, dan diupayakan pemanfaatan nilai lebih dari geografi Indonesia.
3. Pemikiran Berdasarkan Aspek Sosial Budaya
            Budaya atau kebudayan dalam arti etimologi yaitu segala sesuatu yang dihasilkan oleh kekuatan budi manusia. Karena insan tidak hanya melakukan pekerjaan dengan kekuatan budinya, melainkan juga dengan perasaan, khayalan dan kehendaknya, menjadi lebih lengkap jika kebudayaan diungkapkan selaku cita, rasa, dan karsa (budi, perasaan, dan kehendak).
            Sosial budaya, selaku salah satu faktor kehidupan nasional disamping politik, ekonomi, serta pertahanan dan keselamatan adalah aspek dinamik masyarakat yang terbentuk oleh keseluruhan teladan tingkah laris lahir batin yang memungkinkan berlangsungnya relasi sosial di antara anggotanya.
            Masyarakat Indonesia semenjak awal terbentuk dengan ciri kebudayaan yang sungguh bermacam-macam yang timbul alasannya adalah imbas ruang hidup berbentukkepulauan di mana ciri alamiah tiap-tiap pulau berbeda-beda. Bahkan perbedaan ciri alamiah antara pulau yang satu dengan yang lain mampu sangat besar sehingga perbedaan abjad masyarakatnya sangat mencolok. Di samping perbedaan yang berhubungan dengan ruang hidup, masyarakat Indonesia juga memiliki perbedaan dalam hal ras dan etnik. Faktor alamiah itu membentuk perbedaan khas kebudayaan masyarakat di tiap-tiap kawasan sekaligus perbedaan daya tanggap inderawi serta contoh kehidupan baik dalam relasi vertikal maupun horisontal. Secara universal, kebudayaan masyarakat yang heterogen tersebut sama-sama memiliki komponen-komponen penting berikut: pertama, tata cara religi dan upacara keagamaan; kedua, tata cara penduduk dan organisasi kemasyarakatan; ketiga, metode wawasan; keempat, bahasa; kelima, keserasian (budaya dalam arti sempit); keenam, metode mata pencaharian; dan ketujuh, metode teknologi dan perlengkapan.
            Dari perbedaan ciri alamiah dan komponen-unsur penting kebudayaan sebagaimana diterangkan di atas, tampak perbedaan lahiriah antara orang Jawa dan orang Batak, atau antara orang Manado dan orang Irian (Papua), baik dalam hal penampilan langsung maupun dalam korelasi berkelompok (bermasyarakat). Dari ciri ruang hidup yang menjadi asal usul sebuah masyarakat, seseorang juga dapat dengan gampang mengetahui perbedaan umum antara masyarakat pantai (nelayan) yang berani menentang alam, dinamis, berangasan serta terbuka dan masyarakat petani yang terencana mengikuti ritme alam, mementingkan keakraban, dan kurang terbuka; atau antara masyarakat desa yang masih memegang teguh nilai-nilai religius, kekerabatan serta paguyuban dan penduduk kota yang cenderung materialistis, perorangan, dan patembayan.
            Kebudayaan ialah warisan yang bersifat memaksa bagi masyarakat yang bersangkutan. Artinya, setiap generasi yang lahir dari sebuah penduduk serta merta mewarisi norma-norma budaya dari generasi sebelumnya yang sekaligus mengatasi dirinya dengan segala peraturan atau kewajiban yang mesti dijalani dan yang dihentikan diikat secara  kuat ke dalam (cohesive). Karena itu, dapat dimengerti jikalau ikatan budaya yang emosional itu sungguh sensitif sifatnya. Ketersinggungan budaya, walaupun secara rasional dianggap tidak mempunyai arti, mampu meluapkan emosi penduduk bahkan dengan mudah memicu terjadinya pertentangan antargolongan masyarakat secara meluas dan tidak rasional. Di samping itu, warisan budaya juga membentuk ikatan setiap individu atau masyarakat dengan kawasan asal budayanya. Dengan demikian kebudayaan dapat membentuk sentimen-sentimen golongan, suku dengan daerah asalnya (parochial). Bahkan sentimen-sentimen golongan tersebut sering kali dijadikan perisai kepada ketidakmampuan individu-individu yang menghadapi tantangan lingkungan yang dianggap mengancam eksistensi budayanya.
            Berdasarkan ciri dan sifat kebudayaan serta kondisi dan konstelasi geografi negara Republik Indonesia, terlihat secara terang betapa heterogen serta uniknya penduduk Indonesia yang terdiri dari ratusan suku bangsa yang masing-masing mempunyai etika istiadat, bahasa tempat, agama dan iman sendiri. Karena itu, tata kehidupan nasional yang berafiliasi dengan interaksi antargolongan penduduk mengandung potensi konflik yang sangat besar, terlebih lagi kesadaran nasional penduduk relatif masih rendah dan jumlah penduduk terdidik relatif masih terbatas.
            Bangsa Indonesia yang menegara pada tanggal 17 Agustus 1945 yakni hasil dari satu proses usaha panjang yang secara embrional timbul melalui komitmen etika dan politik sejak pergerakan Budi Utomo tahun 1908. Dalam perspektif budaya, hasratbersatu membentuk persatuan bangsa tersebut merupakan proses sosial yang didorong oleh kesadaran segenap kalangan penduduk untuk tolong-menolong membangun suatu tatanan kehidupan gres dengan tetap mengakui dan menerima eksistensi budaya penduduk asal yang berbeda-beda ciri dan sifatnya. Sebagai sebuah proses sosial, kehendak mewujudkan persatuan bangsa dalam satu kesatuan wilayah negara Republik Indonesia tersebut mengandung bagian dinamika. Artinya, nilai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia tidak akan terwujud secara lengkap dan sempurna cuma dengan sekali perjuangan bersama berbentukikrar bersama (Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928) atau secara politik (Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945). Proses sosial untuk mempertahankan dan memelihara nilai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia mesti terus-menerus dijalankan sejalan dengan dinamika lingkungan yang terus berkembang. Besarnya kesempatanpertentangan antargolongan penduduk yang setiap saat membuka peluang terjadinya disintegrasi bangsa semakin mendorong perlunya dilaksanakan proses sosial yang akomodatif. Proses sosial tersebut mewajibkan setiap golongan penduduk budaya untuk saling membuka diri, mengetahui keberadaan budaya masing-masing, serta mau mendapatkan dan memberi (take and give). Karena itu, keteguhan setiap warga atau golongan masyarakat atau suku bangsa kepada ikrar/kesepakatan bareng akan sangat menentukan kelancaran hidup negara dan bangsa Indonesia dalam meraih tatanan penduduk yang serasi. Di samping itu, bangsa Indonesia harus selalu ingat akan apa yang pernah dialaminya di mana bentrokan yang menelan korban terjadi di beberapa tempat, misalnya bentrokan sebab perbedaan agama, keinginan untuk merdeka atau memisahkan diri, perbedaan etnis dan sebagainya.
            Dari tinjauan sosial budaya tersebut, pada risikonya dipahami bahwa proses sosial dalam keseluruhan upaya menjaga persatuan nasional sungguh membutuhkan kesamaan persepsi di antara segenap penduduk wacana eksistensi budaya yang sangat bermacam-macam namun memiliki semangat untuk membina kehidupan bersama secara harmonis. Dengan adanya kesamaan persepsi ini wawasan kebangsaan atau wawasan nasional Indonesia diwarnai oleh keinginan untuk menumbuh-suburkan faktor-faktor positif, mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, dan mengurangi atau jikalau mampu menghilangkan imbas negatif dari faktor-faktor yang dapat menyebabkan disintegrasi bangsa.
4.   Pemikiran Berdasarkan Aspek Kesejahteraan
            Perjuangan suatu bangsa dalam  meraih cita-citanya pada umumnya tumbuh dan berkembang dari latar belakang sejarahnya. Sejarah Indonesia pun diawali dari negara-negara kerajaan tradisional yang pernah ada di wilayah Nusantara lewat kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Majapahit. Kedua kerajaan tersebut bertujuan mewujudkan kesatuan daerah. Meskipun ketika ini belum timbul adanya rasa kebangsaan, tetapi telah muncul semangat bernegara. Kaidah-kaidah selaku negara moder, seperti rumusan falsafah negara belum jelas dan konsepsi cara pandang belum ada. Yang ada yaitu slogan-slogan yang mirip yang ditulis oleh Mpu Tantular: Bhineka Tunggal Ika Tanhana Dharma Mangrva. Untuk berikutnya Bhineka Tunggal Ika diangkat oleh Bangsa Indonesia sebagai sesanti dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Runtuhnya Sriwijaya dan Majapahit antara lain disebabkan oleh karena belum adanya akad bareng untuk menjadi satu kesatuan bangsa dan kawasan dalam satu kesatuan negara yang utuh.
            Dalam perjuangan berikutnya, nuansa kebangsaan mulai timbul pada tahun 1900-an yang ditandai oleh lahirnya sebuah desain gres dan modern. Konsep baru dan modern ini berlainan secara prinsipil baik “dasar” maupun “tujuan” keberadaannya dari kerajaan tradisional sebelumnya. Wujud rancangan baru dan terbaru yaitu lahirnya Proklamasi Kemerdekaan dan proklamasi penegakan negara merdeka. Kehadiran penjajah telah merapuhkan budaya Nusantara. Penjajah tersebut menjadikan penderitaan dan kepahitan yang sangat panjang, namun di sisi lain menjadikan semangat, rasa senasib sepenanggungan untuk bertekad memerdekaan diri. Ini merupakan permulaan semangat kebangsaan yang diwadahi dalam organisasi Boedi Oetomo (20 Mei 1908), yang sekarang disebut Kebangkitan Nasional. Semangat inilah yang merupakan modal dari cara pandang kebangsaan atau Wawasan Kebangsaan Indonesia yang dicetuskan dalam Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928): Satu Nusa, Satu Bangsa, dan menjunjung tinggi Bahasa Nasional Indonesia. Pada kongres Pemuda tersebut untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya dikumandangkan.
            Dengan semangat kebangsaan tersebut, perjuangan berikutnya menghasilkan Proklamasi 17 Agustus 1945 di mana Indonesia mulai menegara. Proklamasi kemerdekaan harus dipertahankan dengan semangat persatuan yang esensinya ialah “mempertahankan persatuan Bangsa Indonesia dan mempertahankan kesatuan Wilayah Negara Republik Indonesia”. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan warisan kolonial Hindia Belanda di mana batas kawasan perairan diputuskan dan diakui berdasarkan Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie (TZMKO) 1939. Berdasarkan TZMKO, maritim teritorial ialah selebar 3 mil bahari dari garis pangkal masing-masing pulau. Dengan adanya undang-undang kolonial tersebut, Indonesia secara politik dan ekonomi sangat dirugikan alasannya Tanah dan Air Republik Indonesia belum terwujud dalam satu kesatuan yang utuh. Melalui proses usaha yang panjang kurang lebih 28 tahun, Indonesia berhasil mengganti batas wilayah perairan dari 3 mil bahari menjadi 12 mil bahari lewat Deklarasi Djuanda (13 Desember 1957). Deklarasi ini sekaligus ialah keinginanpolitik Republik Indonesia dalam menyatukan Tanah dan Air Republik Indonesia menjadi satu kesatuan. Sejak terwujudnya kesatuan kawasan Republik Indonesia itu, kata Nusantara resmi mulai dipakai dalam perumpamaan “Konsepsi Nusantara” selaku mana dari Deklarasi Djuanda. Kata Nusantara itu sendiri berasal dari kata “Nusa” yang memiliki arti pulau dan “Antara”. Makara, artinya yaitu pulau-pulau yang terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) serta dua Samudra (Pasifik dan Hindia).
            Konsepsi Nusantara yang berlandaskan semangat kekompakan dan mengacu pada konstelasi geografi RI selaku negara kepulauan dikukuhkan menjadi Undang-undang Nomor 4/Prp tahun 1960, adalah:
a.    Perairan Indonesia adalah maritim daerah Indonesia beserta perairan pedalaman Indonesia.
b.    Laut daerah Indonesia yaitu jalur bahari 12 mil bahari.
c.    Perairan pedalaman Indonesia yaitu semua perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis dasar, selaku yang dimaksud pada ayat (2).
Konsepsi Nusantara mengilhami masing-masing. Angkatan untuk mengembangkan wawasan menurut matranya masing-masing, ialah Wawasan Benua AD RI, Wawasan Bahari AL RI, Wawasan Dirgantara AU RI. Untuk menghindari berkembangnya pengetahuan yang tidak menguntungkan alasannya mengancam kekompakan ABRI, disusunlah Wawasan Hankamnas yang terpadu dan terintegrasi. Wawasan Hankamnas ini merupakan hasil Seminar Hankam I tahun 1966 dan diberi nama Wawasan Nusantara Bahari yang penjelasannya yakni selaku berikut: Wawasan Nusantara ialah konsepsi dalam memanfaatkan konstelasi geografi Indonesia di mana perlu ada keserasian antara Wawasan Bahari, Wawasan Dirgantara, Wawasan benua sebagai pengejawantahan segala dorongan (motives) dan ransangan (drives) dalam usaha meraih aspirasi-aspirasi bangsa dan tujuan negara Indonesia. Sedangkan Wawasan Bahari adalah wawasan era depan yang ialah suatu pandangan, satu aspek falsafah hidup satu bangsa di mana penggunan dan penguasaan lautan adalah mutlak untuk pertumbuhan kesejahteraan dan kejayaan negara serta bangsa di kurun mendatang.
Raker Hankam tahun 1967 memutuskan untuk menamakan Wawasan Hankamnas dengan Wawasan Nusantara. Selanjutnya pada November 1972 Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) meneliti dan mengkaji segala materi dan data Wawasan Nusantara untuk sampai pada perumusan yang lebih terang biar mampu tegak selaku wawasan nasional. Pada tahun 1973 Wawasan Nusantara diangkat dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1973 tentang GBHN dalam bab II karakter “E”.
Perjuangan di dunia Internasional untuk diakuinya wilayah Nusantara sesuai dengan Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957 merupakan rangkaian usaha yang cukup panjang. Dimulai sejak konferensi PBB tentang Hukum Laut yang pertama pada tahun 1958, kemudian yang kedua pada tahun 1960 dan risikonya pada konferensi ketiga pada tahun 1982, pokok-pokok asas negara Kepulauan diakui dan dicantumkan dalam UNCLOS 82 (United Nations Convention on the Law Of the Sea atau Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut).
Dari uraian di atas tampak bahwa Wawasan Kebangsaan atau Wawasan Nasional Indonesia diwarnai oleh pengalaman sejarah yang tidak menginginkan terulangnya perpecahan dalam lingkungan bangsa dan negara Indonesia yang mau melemahkan usaha dalam mengisi kemerdekaan untuk mewujudkan impian dan tujuan nasional sebagai hasil kesepakatan bersama agar bangsa Indonesia setara dengan bangsa lain.
E.   Implementasi Wawasan Nusantara dalam Kehidupan Nasional
1.   Pengantar Implementasi Wawasan Nusantara
            Dalam rangka menerapkan Wawasan Nusantara, kita semestinya terlebih dahulu memahami dan mengetahui pemahaman, ajaran dasar, hakikat, asas, kedudukan, fungsi serta tujuan dari Wawasan Nusantara. Wawasan Nusantara dalam kehidupan nasional yang meliputi kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keselamatan harus tercermin dalam teladan pikir, contoh perilaku, dan contoh tindak yang senantiasa memprioritaskan kepentingan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia di atas kepentingan langsung atau golongan. Dengan demikian, Wawasan Nusantara menjadi nilai yang menjiwai segenap peraturan perundang-undangan yang berlaku pada setiap strata di seluruh daerah negara, sehingga menggambarkan perilaku dan sikap, paham serta semangat kebangsaan atau nasionalisme yang tinggi yang merupakan identitas atau jati diri bangsa Indonesia. 
2. Pengertian Wawasan Nusantara
            Berdasarkan teori-teori wacana wawasan, latar belakang falsafah Pancasila, latar belakang ajaran faktor kewilayahan, faktor sosial budaya dan aspek kesejahteraan, terbentuklah satu Wawasan Nasional Indonesia yang disebut Wawasan Nusantara dengan rumusan pengertian yang hingga saat ini berkembang sebagai berikut:
1.    Pengertian Wawasan Nusantara berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1993 dan 1998 tentang GBHN ialah sebagai berikut:
Wawasan Nusantara yang ialah pengetahuan nasional yang bersumber pada Pancasila dan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 yakni cara pandang dan perilaku bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan kawasan dalam mengadakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional.
2.    Pengertian Wawasan Nusantara berdasarkan Prof. DR. Wan Usman (Ketua Program S-2 PKN-UI):
“Wawasan Nusantara ialah cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan tanah airnya sebagai negara kepulauan dengan semua faktor kehidupan yang beragam.” Hal tersebut disampaikannya pada waktu lokakarya Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional di Lemhanas pada bulan Januari tahun 2000. Ia juga menjelaskan bahwa Wawasan Nusantara ialah geopolitik Indonesia.
3.    Pengertian Wawasan Nusantara, berdasarkan Kelompok Kerja Wawasan Nusantara, yang direkomendasikan menjadi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan dibuat di Lemhanas tahun 1999 yaitu selaku berikut:
“Cara pandang dan sikapbangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya yang serbaberagam dan bernilai strategis dengan memprioritaskan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan daerah dalam mengadakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional.
F.   Dasar Ajaran Wawasan Nusantara
1.    Wawasan Nusantara selaku Wawasan Nasional Indonesia
            Sebagai bangsa beragam yang telah menegara, bangsa Indonesia dalam membina dan membangun atau mengadakan kehidupan nasionalnya, baik pada aspek politik, ekonomi, sosbud maupun hankamnya, senantiasa memprioritaskan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan kawasan. Untuk itu training dan penyelenggaraan tata kehidupan bangsa dan negara Indonesia disusun atas dasar kekerabatan timbal balik antara falsafah, cita-cita dan tujuan nasional, serta keadaan sosial budaya dan pengalaman sejarah yang menumbuhkan kesadaran wacana kemajemukan dan kebhinekaannya dengan memprioritaskan persatuan dan kesatuan nasional.
            Gagasan untuk menjamin persatuan dan kesatuan dalam kebhinekaan tersebut ialah cara pandang bangsa Indonesia ihwal diri dan lingkungannya, yang diketahui dengan ungkapan Wawasan Kebangsaan atau Wawasan Nasional Indonesia dan diberi nama Wawasan Nusantara, disingkat “Wasantra”.
            Dari pengertian-pengertian mirip di atas, pemahaman yang digunakan selaku contoh pokok anutan dasar Wawasan Nusantara sebagai geopolitik Indonesia ialah “cara pandang dan sikap bangsa Indonesia perihal diri dan lingkungannya yang serbaberagam dan bernilai strategis dengan memprioritaskan persatuan dan kesatuan daerah dan tetap menghargai serta menghormati kebhinekaan dalam setiap faktor kehidupan nasional untuk mencapai tujuan nasional”.
2. Landasan Idiil : Pancasila
            Pancasila sudah diakui selaku ideologi dan dasar negara yang terumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Pada hakikatnya, Pancasila mencerminkan nilai keseimbangan, keserasian, keselarasan, persatuan dan kesatuan, kekeluargaan, kebersamaan dan kearifan dalam membina kehidupan nasional. Perpaduan nilai-nilai tersebut mampu mewadahi kebhinekaan seluruh aspirasi bangsa Indonesia. Pancasila merupakan sumber motivasi bagi usaha seluruh bangsa Indonesia dalam tekadnya untuk menata kehidupan di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia secara berdaulat dan berdikari. Pancasila sebagai falsafah, ideologi bangsa, dan dasar negara mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para penyelenggara negara, para pimpinan pemerintahan, dan seluruh rakyat Indonesia.
            Pengejawantahan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara diaktualisasikan dengan mensyukuri segala anugerah Sang Pencipta baik dalam wujud konstelasi dan posisi geografi maupun segala isi dan potensi yang dimiliki oleh daerah nusantara untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kenaikan harkat, martabat bangsa dan negara Indonesia dalam pergaulan antarbangsa. Hal-hal tersebut menjadikan rangsangan dan dorongan kepada bangsa Indonesia untuk membina dan menyebarkan segala faktor dan dimensi kehidupan nasionalnya secara dinamis, utuh dan menyeluruh semoga ia mampu menjaga identitas, integritas, dan kelancaran hidup serta pertumbuhannya dalam perjuangan mewujudkan harapan nasional. Setelah menegara dalam menyelenggarakan kehidupan nasionalnya, bangsa Indonesia menghadapi lingkungan yang terus berubah dan merasa perlu memiliki cara pandang atau Wawasan Nusantara yang hendak menghindarkannya dari ancaman Penyesatan dan penyimpangan. Wawasan Nusantara pada hakikatnya ialah pancaran dari falsafah Pancasila yang dipraktekkan dalam kondisi positif Indonesia.
            Dengan demikian, Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia sudah dijadikan landasan idiil dan dasar negara sesuai dengan yang tercantum pada Pembukaan UUD 1945. Karena itu, Pancasila sudah semestinya serta sewajarnya menjadi landasan idiil Wawasan Nusantara.
3. Landasan Konstitusional: UUD 1945
            Undang-Undang Dasar 1945 ialah konstitusi dasar yang menjadi pedoman pokok dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bangsa Indonesia bersepakat bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik dan berkedaulatan rakyat yang dikerjakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Karena itu, negara menanggulangi segala paham golongan, kalangan, dan perseorangan serta menginginkan persatuan dan kesatuan dalam segenap aspek dan dimensi kehidupan nasional. Artinya, kepentingan negara dalam segala faktor dan perwujudannya lebih diutamakan di atas kepentingan kelompok, kelompok, dan perseorangan menurut hukum, aturan, dan perundang-ajakan yang berlaku yang memperhatikan Hak Asasi Manusia (HAM), aspirasi masyarakat, dan kepentingan tempat yang berkembang saat ini.
            Bangsa Indonesia menyadari bahwa bumi, air, dan dirgantara di atasnya serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Karena itu, bangsa Indonesia bertekad mendayagunakan segenap kekayaan alam, sumber daya serta seluruh kesempatannasionalnya menurut kebijaksanaan yang terpadu, sebanding, harmonis, dan selaras untuk merealisasikan kesejahteraan dan keamanan segenap bangsa dan seluruh tumpah darah dengan tetap mengamati kepentingan tempat penghasil secara proporsional dalam keadilan.
            Dengan demikian, Uud 1945 seharusnya dan sewajarnya menjadi landasan konstitusional dari wawasan Nusantara yang ialah cara pandang bangsa Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
G. Unsur Dasar Konsepsi Wawasan Nusantara
            Konsepsi Wawasan Nusantara terdiri dari tiga unsur dasar: Wadah (contour), Isi (content), dan Tata laku (conduct). Ketiganya dijelaskan sebagai berikut:
1. Wadah (Contour)
            Wadah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara meliputi seluruh kawasan Indonesia yang mempunyai kekayaan alam dan masyarakatdengan aneka ragam budaya. Setelah menegara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, bangsa Indonesia mempunyai organisasi kenegaraan yang ialah wadah banyak sekali kegiatan kenegaraan dalam wujud suprastruktur politik. Sementara itu, wadah dalam kehidupan bermasyarakat yakni berbagai forum dalam wujud infrastruktur politik.
2. Isi (Content)
            Isi ialah aspirasi bangsa yang berkembang di penduduk dan impian serta tujuan nasional yang terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mencapai tujuan nasional mirip tersebut di atas, bangsa Indonesia harus bisa menciptakan persatuan dan kesatuan dalam kebhinekaan dalam kehidupan nasional. Isi menyangkut dua hal yang esensial, yaitu:
a.    Realisasi aspirasi bangsa sebagai janji bareng serta pencapaian keinginan dan tujuan nasional.
b.    Persatuan dan kesatuan dalam kebhinekaan yang mencakup semua aspek kehidupan nasional.
3. Tata laris (Conduct)
            Tata laku ialah hasil interaksi antara wadah dan isi, yang terdiri dari tata laris batiniah dan lahiriah. Tata laris batiniah mencerminkan jiwa, semangat, dan mentalitas yang bagus dari bangsa Indonesia, sedangkan tata laris lahiriah tercermin dalam tindakan, perbuatan, dan sikap dari bangsa Indonesia. Kedua hal tersebut akan mencerminkan identitas jati diri atau kepribadian bangsa Indonesia berdasarkan kekeluargaan dan kebersamaan yang mempunyai rasa besar hati dan cinta kepada bangsa dan tanah air sehingga menumbuhkan nasionalisme yang tinggi dalam semua faktor kehidupan nasional.
H.   Hakikat Wawasan Nusantara
            Hakikat Wawasan Nusantara ialah keutuhan nusantara, dalam pemahaman: cara pandang yang senantiasa utuh menyeluruh dalam lingkungan nusantara demi kepentingan nasional. Hal tersebut berarti bahwa setiap warga bangsa dan aparatur negara mesti berpikir, bersikap, dan bertindak secara utuh menyeluruh demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia. Demikian juga produk yang dihasilkan oleh lembaga negara harus dalam lingkup dan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia, tanpa menghilangkan kepentingan lainnya, seperti kepentingan tempat, kelompok, dan orang per orang.
  1. Asas Wawasan Nusantara
            Asas Wawasan Nusantara merupakan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah dasar yang harus dipatuhi, ditaati, dipelihara, dan diciptakan demi tetap taat dan setianya unsur pembentuk bangsa Indonesia (suku bangsa atau kelompok) terhadap komitmen bareng . Harus disadari bahwa jikalau asas wawasan nusantara diabaikan, bagian pembentuk akad bareng akan melanggar janji bareng tersebut, yang memiliki arti bahwa tercerai berainya bangsa dan negara Indonesia.
            Asas Wawasan Nusantara terdiri dari: kepentingan yang sama, tujuan yang serupa, keadilan, kejujuran, solidaritas, kerjasama, dan kesetuaan kepada ikrar atau komitmen bersama demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan dalam kebhinekaan.           Adapun detail dari Asas Wawasan Nusantara tersebut  yakni :
1.    Kepentingan yang sama. Ketika menegakkan dan merebut kemerdekaan, kepentingan bersama bangsa Indonesia adalah menghadapi penjajahan secara fisik dari bangsa lain. Sekarang, bangsa Indonesia harus menghadapi jenis “penjajahan” yang berlawanan dari negara gila. Misalnya, kehidupan dalam negeri bangsa Indonesia menerima tekanan dan paksaan baik secara halus maupun agresif dengan cara mencerai-beraikan dan pecah belah bangsa dengan memakai alasan HAM, demokrasi, dan lingkungan hidup. Sementara itu, tujuan yang sama yakni tercapainya kesejahteran dan rasa aman yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya.
2.    Keadilan yang bermakna kesesuaian pembagian hasil dengan andil, jerih payah usaha dan aktivitas baik orang perorangan, kalangan, kalangan, maupun daerah.
3.    Kejujuran, yang mempunyai arti keberanian berpikir, berkata, dan bertindak sesuai kenyataan serta ketentuan yang benar biarpun kenyataan atau ketentuan itu pahit dan kurang lezat didengarnya. Demi kebenaran dan kemajuan bangsa dan negara, hal ini harus dijalankan.
4.    Solidaritas, yang memiliki arti diperlukannya rasa setia mitra, mau memberi dan berkorban bagi orang lain tanpa meninggalkan ciri dan huruf budaya masing-masing.
5.    Kerja sama bermakna adanya koordinasi, saling pemahaman yang didasarkan atas kesetaraan sehingga kerja kelompok, baik kelompok yang kecil maupun golongan yang lebih besar, dapat tercapainya demi terciptanya sinergi yang lebih baik.
6.    Kesetiaan terhadap akad bareng untuk menjadi bangsa dan mendirikan Negara Indonesia, yang dimulai, dicetuskan, dan dirintis oleh Boedi Oetomo pada tahun 1908, Sumpah Pemuda tahun 1928, dan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Kesetiaan kepada kesepakatan bareng ini sangatlah penting dan menjadi tonggak utama terciptanya persatuan dan kesatuan dalam kebhinekaan. Jika kesetiaan kepada janji bersama ini goyah apalagi ambruk, dapat dipastikan bahwa persatuan dan kesatuan  dalam kebhinekaan bangsa Indonesia akan hancur acak-acakan pula. Ini mempunyai arti hilangnya Negara Kesatuan Indonesia.
  1. Arah Pandang
            Dengan latar belakang budaya, sejarah, kondisi, konstelasi geografi, dan kemajuan lingkungan strategis, arah pandang Wawasan Nusantara mencakup arah pandang ke dalam dan ke luar.
1.   Arah Pandang ke Dalam
            Arah pandang ke dalam bertujuan menjamin perwujudan persatuan kesatuan segenap faktor kehidupan nasional, baik faktor alamiah maupun faktor sosial. Arah pandang ke dalam mengandung arti bahwa bangsa Indonesia harus peka dan berupaya untuk mencegah dan menangani sedini mungkin faktor-faktor penyebab timbulnya disintegrasi bangsa dan harus mengupayakan tetap terbina dan terpeliharanya persatuan dan kesatuan dalam kebhinekaan.
2.  Arah Pandang ke Luar
Arah pandang ke luar ditujukan demi terjaminnya kepentingan nasional dalam dunia yang serba berganti maupun kehidupan dalam negeri serta dalam melakukan ketertiban dunia menurut kemerdekaan, perdamaian kekal, dan keadilan sosial, serta kerja sama dan sikap saling hormat menghormati. Arah pandang ke luar mengandung arti bahwa dalam kehidupan internasionalnya, bangsa Indonesia mesti berusaha mengamankan kepentingan nasionalnya dalam semua aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan dan keselamatan demi tercapainya tujuan nasional sesuai dengan yang tertera pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
K. Kedudukan, Fungsi, dan Tujuan
1.   Kedudukan
a.    Wawasan Nusantara sebagai Wawasan Nasional bangsa Indonesia merupakan pedoman yang diyakini kebenarannya oleh seluruh rakyat agar tidak terjadi penyesatan dan penyimpangan dalam upaya mencapai dan mewujudkan impian dan tujuan nasional. Dengan demikian, Wawasan Nusantara menjadi landasan visional dalam mengadakan kehidupan nasional.
b.    Wawasan Nusantara dalam paradigma nasional dapat dilihat dari stratifikasinya sebagai berikut:
1)    Pancasila sebagai falsafah, ideologi bangsa dan dasar negara berkedudukan sebagai landasan idiil.
2)    Undang-undang Dasar 1945 selaku landasan konstitusi negara, berkedudukan sebagai landasan konstitusional.
3)    Wawasan Nusantara sebagai visi nasional, berkedudukan selaku landasan visional.
4)    Ketahanan Nasional sebagai konsepsi nasional, berkedudukan sebagai landasan konsepsional.
5)    GBHN selaku politik dan taktik nasional atau selaku akal dasar nasional, berkedudukan sebagai landasan operasional.
Paradigma di atas perlu dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Paradigma nasional ini secara struktural dan fungsional merealisasikan keterkaitan hierarkies piramidal dan secara instrumental mendasari kehidupan nasional yang berdimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2. Fungsi
            Wawasan Nusantara berfungsi selaku ajaran, motivasi, dorongan, serta rambu-rambu dalam memilih segala budi, keputusan, langkah-langkah dan perbuatan bagi penyelenggara negara di tingkat pusat dan tempat maupun bagi seluruh rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
3. Tujuan
            Wawasan Nusantara bermaksud merealisasikan nasionalisme yang tinggi di segala faktor kehidupan rakyat Indonesia yang lebih memprioritaskan kepentingan nasional daripada kepentingan individu, golongan, golongan, suku bangsa, atau kawasan. Hal tersebut bukan memiliki arti menghilangkan kepentingan-kepentingan individu, golongan, suku bangsa, atau daerah. Kepentingan-kepentingan tersebut tetap dihormati, diakui, dan dipenuhi, selama tidak berlawanan dengan kepentingan nasional atau kepentingan penduduk banyak. Nasionalisme yang tinggi di segala bidang kehidupan demi tercapainya tujuan nasional tersebut merupakan pancaran dari makin meningkatnya rasa, paham, dan semangat kebangsaan dalam jiwa bangsa Indonesia sebagai hasil pemahaman dan penghayatan Wawasan Nusantara.
L. Sasaran Implementasi Wawasan Nusantara dalam Kehidupan Nasional
            Sebagai cara pandang dan visi nasional Indonesia, Wawasan Nusantara mesti dijadikan arahan, anutan, pola, dan tuntunan bagi setiap individu bangsa Indonesia dalam membangun dan memelihara permintaan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu, implementasi atau penerapan Wawasan Nusantara mesti tercermin pada teladan pikir, contoh perilaku, dan contoh tindak yang selalu mendahulukan kepentingan bangsa dan negara Kesatuan Republik Indonesia dibandingkan dengan kepentingan eksklusif atau kelompok sendiri. Dengan kata lain, Wawasan Nusantara menjadi acuan yang mendasari cara berpikir, bersikap, dan bertindak dalam rangka, menghadapi, menyikapi, atau mengatasi aneka macam problem  menyangkut kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Implementasi Wawasan Nusantara senantiasa berorientasi pada kepentingan rakyat dan kawasan tanah air secara utuh dan menyeluruh selaku berikut:
1.    Implementasi Wawasan Nusantara dalam kehidupan politik akan menciptakan iklim penyelenggaraan negara yang sehat dan dinamis. Hal tersebut nampak dalam wujud pemerintahan yang berpengaruh aspiratif dan terpercaya yang dibangun selaku penjelmaan kedaulatan rakyat.
2.    Implementasi Wawasan Nusantara dalam kehidupan ekonomi akan membuat tatanan ekonomi yang benar-benar menjamin pemenuhan dan kenaikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara merata dan adil. Di samping itu, implementasi Wawasan Nusantara merefleksikan tanggung jawab pengelolaan sumber daya alam yang memperhatikan kebutuhan masyarakat antardaerah secara timbal balik serta kelestarian sumber daya alam itu sendiri.
3.    Implementasi Wawasan Nusantara dalam kehidupan sosial budaya akan membuat sikap batiniah dan lahiriah yang mengakui, menerima, dan menghormati segala bentuk perbedaan atau kebhinekaan selaku kenyataan hidup sekaligus karunia Sang Pencipta. Implementasi ini juga akan membuat kehidupan masyarakat dan bangsa yang rukun dan bersatu tanpa membedakan suku, asal undangan daerah, agama atau doktrin, serta kalangan menurut status sosialnya.
4.    Implementasi Wawasan Nusantara dalam kehidupan hankam akan menumbuh-kembangkan kesadaran cinta tanah air dan bangsa, yang lebih lanjut akan membentuk perilaku bela negara pada setiap warga negara Indonesia. Kesadaran dan sikap cinta tanah air dan bangsa serta bela negara ini akan menjadi modal utama yang hendak menggerakkan partisipasi setiap warga negara Indonesia dalam menanggapi setiap bentuk ancaman, seberapa pun kecilnya dan dari manapun hadirnya, atau setiap gejala yang membahayakan keselamatan bangsa dan kedaulatan negara.
Dalam pembinaan seluruh aspek kehidupan nasional sebagaimana dijelaskan di atas, implementasi Wawasan Nusantara harus menjadi nilai yang menjiwai segenap peraturan perundang-ajakan yang berlaku pada setiap strata di seluruh wilayah negara. Di samping itu, Wawasan Nusantara mampu diimplementasikan ke dalam segenap pranata sosial yang berlaku di penduduk dalam nuansa kebhinekaan sehingga mendinamisasikan kehidupan sosial yang bersahabat, peduli, toleran, hormat, dan taat aturan. Semua itu menggambarkan sikap, paham, dan semangat kebangsaan atau nasionalisme yang tinggi selaku identitas atau jati diri bangsa Indonesia.
M.  Pemasyarakatan Wawasan Nusantara
            Untuk mempercepat tercapainya tujuan Wawasan Nusantara, di samping impelemtasi mirip tersebut di atas, perlu juga dikerjakan pemasyarakatan materi Wawasan Nusantara kepada seluruh masyarakat Indonesia. Pemasyarakatan Wawasan Nusantara tersebut dapat dilaksanakan dengan cara berikut:
1.    Menurut sifat/cara penyampaiannya, yang mampu dilakukan selaku berikut:
a.    Langsung, yang berisikan ceramah, diskusi, obrolan, tatap wajah.
b.    Tidak eksklusif, yang berisikan media elektro, media cetak.
2.    Menurut tata cara penyampaiannya yang berupa:
a.    Keteladanan. Melalui tata cara penularan keteladanan dalam sikap sikap kehidupan sehari-hari kepada lingkungannya khususnya dengan menawarkan pola-pola berpikir, bersikap dan bertindak mementingkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan langsung dan atau golongan, sehingga muncul semangat kebangsaan yang selalu cinta tanah air.
b.    Edukasi, ialah melalui metode pendekatan formal dan informal. Pendidikan formal ini dimulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai akademi tinggi, pendidikan karier di semua strata dan bidang profesi, penataran atau kursus-kursus, dan sebagainya. Sedangkan pendidikan non formal mampu dikerjakan di lingkungan rumah/keluarga, di lingkungan pemukiman, pekerjaan, dan organisasi kemasyarakatan.
c.    Komunikasi. Tujuan yang ingin diraih dari sosialisasi Wawasan Nusantara lewat sistem komunikasi ialah tercapainya korelasi komunikatif secara baik yang hendak bisa menciptakan iklim saling menghargai, menghormati, mawas diri, dan empati sehingga tercipta kesatuan bahasa dan tujuan perihal Wawasan Nusantara.
d.    Integrasi. Tujuan yang ingin diraih dari pemasyarakatan/sosialisasi Wawasan Nusantara lewat metode integrasi adalah terjalinnya persatuan dan kesatuan. Pengertian serta pengertian wacana Wawasan Nusantara akan menghalangi sumber konflik di dalam badan bangsa Indonesia baik pada dikala ini maupun di abad mendatang dan akan memantapkan kesadaran untuk memprioritaskan kepentingan nasional dan keinginan serta tujuan nasional.
Dalam melaksanakan pemasyarakatan, lingkup bahan Wawasan Nusantara yang disampaikan hendaknya disesuaikan dengan tingkat, jenis, serta lingkungan pendidikan supaya bahan yang disampaikan tersebut dapat diketahui dan dipahami. Dengan cara ini akseptor materi akan memiliki kesatuan cara pandang yang serupa adalah Wawasan Nusantara.
N.     Tantangan Implementasi Wawasan Nusantara
            Dewasa ini kita menyaksikan bahwa kehidupan individu dalam bermasyarakat, berbangsa, dan dalam bernegara sedang mengalami pergeseran. Dan kita juga menyadari bahwa faktor utama yang mendorong terjadinya proses pergeseran tersebut yakni nilai-nilai kehidupan gres yang dibawa oleh negara maju dengan kekuatan penetrasi globalnya. Apabila kita menengok sejarah kehidupan manusia dan alam semesta, pergeseran dalam kehidupan itu yaitu sebuah hal yang masuk akal, alamiah. Dalam dunia ini, yang abadi dan kekal itu yakni pergeseran. Berkaitan dengan Wawasan Nusantara yang penuhdengan nilai-nilai budaya bangsa dan dibuat dalam proses panjang sejarah usaha bangsa, apakah pengetahuan bangsa Indonesia wacana persatuan kesatuan itu akan hanyut tanpa bekas atau akan tetap kuat dan mampu bertahan dalam terpaan nilai global yang menantang Wawasan Persatuan Bangsa ? Tantangan itu antara lain adalah: pemberdayaan rakyat yang maksimal, dunia yang tanpa batas, kala gres kapitalisme, dan kesadaran warga negara.
1.  Pemberdayaan Masyarakat
a.   John Naisbit. Dalam bukunya Global Paradox, beliau menulis “To be a global powers, the company must give more role to the smallest part”. Pada intinya, Global Paradox memperlihatkan pesan bahwa negara harus dapat menawarkan peranan sebesar-besarnya kepada rakyatnya. Pemberdayaan masyarakat dalam arti menawarkan peran dalam bentuk aktivitas dan partisipasi masyarakat untuk mencapai tujuan nasional hanya mampu dijalankan oleh negara-negara yang telah maju yang melakukan Buttom up Planning. Sedangkan negara-negara meningkat , mirip Negara Kesatuan Republik Indonesia, masih melakukan program Top Down Planning karena keterbatasan kualitas SDM. Karena itu, NKRI memerlukan landasan operasional berbentukGBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara).
b.   Kondisi Nasional. Pembangunan Nasional secara menyeluruh belum merata, sehingga masih ada beberapa tempat yang tertinggal pembangunannya sehingga menimbulkan keterbelakangan aspek kehidupannya. Kondisi tersebut menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan sosial di masyarakat. Apabila kondisi ini berlarut-larut, penduduk di beberapa daerah tertinggal akan berganti contoh pikir, contoh sikap, dan pola tindaknya, mengenang mereka telah tidak berdaya dalam faktor kehidupannya. Hal ini ialah bahaya bagi tetap tegak dan runtuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dikaitkan dengan pemberdayaan masyarakat, perlu ada prioritas utama pembangunan tempat tertinggal semoga penduduk dapat berperan dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan di seluruh faktor kehidupan, yang pelaksanaannya dikelola dalam Undang-undang Republik Indonesia (UURI) Nomor 22 tahun 1999 wacana Pemerintah Daerah.
            Pesan Global Paradox dan kondisi nasional tentang pemberdayaan penduduk di atas dapat menjadi tantangan Wawasan Nusantara. Pemberdayaan untuk kepentingan rakyat banyak perlu mendapat prioritas utama mengingat Wawasan Nusantara memiliki makna persatuan dan kesatuan dalam kebhinekaan untuk lebih mempererat kesatuan bangsa.
2.  Dunia Tanpa Batas
a.   Perkembangan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi). Perkembangan global saat ini sangat maju dengan pesat. Dengan pertumbuhan IPTEK yang sungguh terbaru, terutama dibidang teknologi berita, komunikasi, dan transportasi, dunia seperti telah menyatu menjadi kampung sedunia. Dunia menjadi transparan tanpa mengenal batas negara. Kondisi yang demikian mempunyai dampak pada seluruh faktor kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan dapat menghipnotis teladan pikir, pola perilaku, dan teladan tindak seluruh penduduk Indonesia. Keterbatasan mutu SDM Indonesia di bidang IPTEK merupakan tantangan serius, mengingat penguasaan IPTEK ialah nilai tambah untuk berdaya saing di percaturan global.
b.   Kenichi Omahe dengan dua bukunya yang terkenal Borderless World dan The End of Nation State mengatakan bahwa dalam pertumbuhan penduduk global, batasan kawasan negara dalam arti geografi dan politik relatif masih tetap, tetapi kehidupan dalam satu negara tidak mungkin dapat menghalangi kekuatan global yang berupa gosip, investasi, industri, dan pelanggan yang semakin individualistis. Kenichi Omahe juga menunjukkan pesan bahwa untuk mampu menghadapi kekuatan global, sebuah negara mesti meminimalisir peranan pemerintah sentra dan lebih menawarkan peranan terhadap pemerintah tempat dan masyarakat. Dengan menunjukkan peran yang lebih besar terhadap pemerintah kawasan, pemerintah memperlihatkan potensi berpartisipasi yang lebih luas terhadap seluruh masyarakat. Apabila masyarakat banyak yang terlibat dalam upaya pembangunan, alhasil akan lebih memajukan kemampuan dan kekuatan bangsa dalam percaturan global.
            Perkembangan IPTEK dan pertumbuhan penduduk global yang berhubungan dengan dunia tanpa batas merupakan tantangan Wawasan Nusantara sebab perkembangan tersebut akan dapat mensugesti pola pikir, teladan sikap, dan acuan tindak penduduk Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3.  Era Baru Kapitalisme
a.    Sloan dan Zureker. Dalam bukunya Dictionary of Economics, dua penulis ini menyebutkan bahwa kapitalisme ialah sebuah sistem ekonomi menurut hak milik swasta atas macam-macam barang dan keleluasaan individu untuk mengadakan kesepakatandengan pihak lain, untuk terjun dalam aktivitas ekonomi yang dipilihnya sendiri menurut kepentingannya sendiri, dan untuk mencapai laba bagi dirinya sendiri. Di abad gres kapitalisme, sistem ekonomi untuk menerima laba dengan melakukan kegiatan secara luas dan mencakup semua aspek kehidupan masyarakat membutuhkan taktik gres, yakni adanya keseimbangan.
b.    Lester Thurow. Di dalam bukunya The Future of Capitalism, dia memastikan antara lain bahwa untuk mampu bertahan dalam periode gres kapitalisme, kita harus menciptakan strategi gres, adalah keseimbangan antara paham individualis dan paham sosialis. Era baru kapitalisme tidak terlepas dari globalisasi, di mana negara-negara kapitalis, yakni negara-negara maju berusaha mempertahankan eksistensinya di bidang ekonomi dengan menekan negara-negara berkembang  lewat info global yang mencakup demokratisasi. HAM (Hak Asasi Manusia), dan lingkungan hidup. Strategi gres yang ditegaskan oleh Lester Thurow pada dasarnya telah tertuang dalam nilai-nilai falsafah bangsa Indonesia, yakni Pancasila yang mengamanatkan kehidupan yang harmonis, selaras dan sepadan antara individu, masyarakat, bangsa, serta semesta dan penciptanya.
Dari uraian di atas terlihat bahwa kapitalisme yang semula diterapkan untuk keuntungan diri sendiri lalu berkembang menjadi seni manajemen gres guna menjaga paham kapitalisme di periode globalisasi dengan menekan negara-negara meningkat , tergolong Indonesia, melalui berita global. Hal ini sangat perlu diwaspadai alasannya ialah tantangan bagi Wawasan Nusantara.
4.    Kesadaran Warga Negara
a.    Pandangan Bangsa Indonesia  ihwal Hak dan Kewajiban. Bangsa Indonesia melihat hak tidak terlepas dari keharusan. Manusia Indonesia, baik sebagai warga negara maupun sebagai warga penduduk , mempunyai kedudukan, hak dan keharusan yang sama. Hak dan kewajiban mampu dibedakan tetapi tidak tidak dapat dipisahkan alasannya merupakan satu kesatuan. Tiap hak mengandung keharusan dan demikian sebaliknya. Kedua-duanya merupakan dua sisi dari satu mata uang yang serupa. Negara kepulauan Indonesia yang menganut paham Negara kesatuan menempatkan keharusan di tampang. Kepentingan biasa masyarakat, bangsa dan negara mesti lebih diutamakan daripada kepentingan langsung atau kelompok.
b.    Kesadaran Bela Negara. Pada waktu merebut dan mempertahankan kemerdekaan, Indonesia memberikan kesadaran bela negara yang optimal, di mana seluruh rakyat bersatu padu berjuang tanpa mengenal perbedaan, pamrih dan sikap mengalah yang timbul dari jiwa heroisme dan patriotisme sebab perasaan senasib sepenanggungan dan setia kawan dalam perjuangan fisik mengusir penjajah. Dalam mengisi kemerdekaan, perjuangan yang dihadapi adalah perjuangan non fisik yang mencakup seluruh aspek kehidupan, terutama dalam memerangi keterbelakangan, kemiskinan, kesenjangan sosial, korupsi, kolusi dan nepotisme, dan dalam menguasai IPTEK, meningkatkan mutu SDM, serta mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa. Di dalam usaha non fisik, kesadaran bela negara mengalami penurunan yang tajam kalau ketimbang pejuangan fisik. Hal ini terlihat dari kurangnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa dan adanya beberapa kawasan yang ingin memisahkan diri dari NKRI sehingga mengarah ke disintegrasi bangsa.
Dari uraian di atas perihal persepsi bangsa Indonesia perihal hak dan kewajiban serta kesadaran bela negara yang dikaitkan dengan kesadaran warga negara secara utuh, terlihat kesadaran di dalam persatuan dan kesatuan mengalami penurunan. Anak-anak bangsa belum sepenuhnya sadar bahwa, selaku warga negara, mereka harus selalu memprioritaskan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi dan atau golongan. Kondisi ini merupakan tantangan bagi Wawasan Nusantara.
Beberapa teori mengemukakan persepsi global selaku berikut:
1.    Global Paradox memberikan pesan bahwa negara mesti mampu menawarkan peranan sebesar-besarnya kepada rakyatnya.
2.    Borderless World dan The End of Nation State menyampaikan bahwa batas daerah geografi relatif tetap, namun kekuatan ekonomi dan budaya global akan menembus batas tersebut. Selanjutnya pemerintah kawasan perlu diberi peranan yang lebih berarti.
3.    Lester Thurow dalam bukunya The Future of Capitalism memberi citra bahwa strategi gres kapitalisme ialah mengupayakan keseimbangan antara kepentingan individu (kelompok) dan penduduk banyak serta antara negara maju dan negara meningkat .
4.    Hezel Handerson dalam bukunya Building Win-Win World menyampaikan bahwa perlu ada pergeseran nuansa perang ekonomi menjadi penduduk dunia yang melakukan pekerjaan sama memanfaatkan teknologi yang bersih lingkungan serta mewujudkan pemerintah yang lebih demokratis.
5.    Ian Marison dalam bukunya The Second Curve menjelaskan bahwa dalam era gres timbul adanya peran pasar, konsumen, dan teknologi baru yang lebih besar yang membantu terwujudnya masyarakat gres.
Di antara pesan-pesan yang disampaikan dalam nilai yang berkekuatan global di atas ternyata tidak satu pun yang menyatakan perihal perlu adanya persatuan bangsa untuk menghindari pertentangan antar bangsa yang timbul alasannya adalah kepentingan nasionalnya tidak terpenuhi. Dapat diambil kesimpulan bahwa Wawasan Nusantara sebagai cara pandang bangsa Indonesia dan selaku visi nasional yang mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa masih tetap valid baik untuk dikala sekarang maupun masa mendatang. Proses Wawasan Nusantara dalam masa mendatang masih tetap berhubungan dengan norma-norma global. Untuk menghadapi gempuran nilai global, fakta kebhinekaan dalam setiap rumusan yang memuat kata persatuan dan kesatuan perlu  lebih ditekankan. Dalam implementasinya, peranan daerah dan rakyat kecil perlu lebih diberdayakan. Hal tersebut dapat diwujudkan apabila faktor-aspek mayoritas berikut dapat dipenuhi: keteladanan kepemimpinan nasional, pendidikan yang berkualitas dan bermoral kebangsaan, media massa yang mampu menawarkan info dan kesan yang nyata, serta keadilan dalam penegakan hukum dalam arti pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
O.   Implementasi Wawasan Nusantara
            Wawasan Nusantara perlu menjadi contoh yang mendasari cara berpikir, bersikap dan bertindak dalam rangka menghadapi, menanggapi, dan mengatasi masalah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berorientasi terhadap kepentingan rakyat dan keutuhan daerah tanah air. Wawasan Nusantara juga perlu diimplementasikan dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya dan pertanahan keselamatan  serta dalam upaya menghadapi tantangan-tantangan remaja ini. Karena itu, setiap warga negara Indonesia perlu memiliki kesadaran untuk:
1.    Mengerti, memahami, dan menghayati hak dan keharusan warga negara serta kekerabatan warga negara dengan negara, sehingga sadar selaku bangsa Indonesia yang cinta tanah air berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan Wawasan Nusantara.
2.    Mengerti, mengetahui, dan menghayati bahwa di dalam mengadakan kehidupannya negara membutuhkan Konsepsi Wawasan Nusantara, sehingga sadar selaku warga negara yang mempunyai Wawasan Nusantara guna mencapai harapan dan tujuan nasional.
Untuk mengetuk hati nurani setiap warga negara Indonesia biar sadar bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, diperlukan pendekatan dengan program yang terorganisir, terjadwal dan terarah. Hal ini akan merealisasikan kesuksesan dari implementasi Wawasan Nusantara. Dengan demikian Wawasan Nusantara terimplementasi dalam kehidupan nasional guna merealisasikan Ketahanan Nasional. Semoga.