Pendidikan Tabiat Pancasila Sampai Pendidikanpancasila Dan Kewarganegaraan

PEMBELAJARAN  CIVICS  EDUCATION PENDIDIKAN  KEWARGANEGARAAN  PENDIDIKAN MORAL PANCASILA HINGGA PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN (PPKn) 
Oleh:Hamid Darmadi
 Dinamika  Pembelajaran Pendidikan Moral
1.     Sejarah Pendidikan Moral Pancasila
Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia dimulai pada tahun 1957 saat Pemerintahan Sukarno atau yang lebih diketahui dengan perumpamaan civics. Penerapan Civics sebagai pelajaran di sekolah-sekolah dimulai pada tahun 1961 dan lalu berganti nama t menjadi pendidikan Kewargaan negara pada tahun 1968.
Civics sebagai mata pelajaran yang menekankan pada asfek teoritik ihwal warga Negara dan Pemerintah serta korelasi antara warga Negara dengan Negara  dengan pemerintah. Secara etimogis Civics berasal dari kata latin civicus yang mempunyai arti warga negara dari sebuah Negara kota pada zaman dulu di Yunani Kuno. Sedangkan memngapa Civics di sebut Ilmu Kewarganegaraan karena dibelakang kata Civics terdapat karakter “S” yang memperlihatkan  sebagai suatu Ilmu Ilmu Kewarganegaraan ini adalah salah satu disiplin ilmu yang mempunyai tujuan, metode, dan objek tertentu. Civics ialah sarana yang dipakai oleh Pemerintah Indonesia untuk membentuk warga Negara yang memiliki rasa nasionalisme dan patriotisme yang tinggi oleh alasannya adalah itu Cicivcs sangat berperan penting dalam upaya mempersiapkan warga Negara Indonesia yang hidup berdasarkan Pancasila, UUD dan 1945 yang berakhlak mulia, berbudipekerti tinggi berazas Pendidikan Moral Pancasila.
Implimentasi Pendidikan Moral Pancasila di Indonesia mengalami aneka macam lika liku.  Lika liku kemajuan itu ada yang “manis” namun tidak sedikit pula yang “pahit”. Berikut ini dipaparkan antara lain lika liku itu sebagai berikut:
1.     Pendidikan Moral pada periode perjuangan (abad kolonial dan sebelumnya)
berisikan nilai-nilai budpekerti dan kemasyarakatan. Pendidikan saat itu dilaksanakan di forum-lembaga informal mirip pondok, padepokan, sekolah minggu, sekolah keagamaan dan sejenisnya.
2.     Pendidikan Moral pada permulaan Indonesia merdeka dilakukan melalui pendidikan agama dan akal pekerti.
3.     Pendidikan agama dan pendidikan kecerdikan pekerti tetap dipertahankan.
Namun dalam abad berikutnya tumbuh kebutuhan negara untuk menyebabkan
warga negara Indonesia yang “baik” (sadar akan dirinya selaku warganegara, taat,patuh dan loyal kepada negara). Tuntutan itu menandai cikal bakal hadirnya Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) di Indonesia .
4.     Secara kronologis implimentasi perjalanan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia dapat disebutkan selaku berikut;
a.     Munculnya mata pelajaran Kewarganegaraan pada tahun 1957
b.     Keluar Civics selaku pengganti Kewarganegaraan tahun 1961
c.      Munculnya mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara tahun 1968
d.     Pendidikan Moral Pancasila (PMP) tahun 1975 dan 1984
e.     Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) tahun 1994
f.       Pelajaran Kewarganegaraan pada tahun 2004
g.     Berikutnya yakni keluarya Standar Isi dan Standar Kompetensi mata  pelajaran pada tahun 2006. Pelajaran Kewarganegaraan berganti nama menjadi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
h.     Perkembangan terakhir yakni lahirnya Kurikulum 2013  yang menekankan bahwa: Kurikulum 2013 (K-13) yakni kurikulum yang berlaku dalam Sistem Pendidikan Indonesia. Kurikulum ini merupakan kurikulum tetap dipraktekkan oleh pemerintah untuk mengambil alih Kurikulum-2006 yang sering disebut sebagai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang telah berlaku hingga ketika tulisan buku ini teratasi.
i.       PPKn Thun 2013. Mempunyai ruang lingkup bahan yang bersumber pada 4 Pilar Kebangsaan (UUD 1945, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI). Nilai yang terkandung dalam mata pelajaran ini sangat anggun bila ditinjau dari ruang lingkupnya dan bisa dikatakan sebagai mata pelajaran yang hampir sempurna. Kaprikornus, nilai-nilai didapat dari 4 pilar kebangsaan tersebut
Kurikulum 2013 memiliki empat asfek penilaian, yakni: 1)asfek Pengetahuan, 2)asfek Keterampilan, 3)asfek Sikap, dan 4)asfek Perilaku. Di dalam Kurikulum 2013, utamanya di dalam bahan pembelajaran terdapat materi yang dirampingkan dan bahan yang ditambahkan. Materi yang dirampingkan tampakada di bahan Bahasa Indonesia, IPS, PPKn.  Sedangkan bahan yang ditambahkan yakni bahan Matematika. Materi pelajaran tersebut (utamanya Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) diadaptasi dengan materi pembelajaran Standar Internasional (seperti PISA dan TIMSS) sehingga pemerintah berharap mampu meyeimbangkan pendidikan di dalam dan pendidikan di luar negeri.
Dewasa ini muncul permintaan perlunya kembali kepada Pendidikan Moral Pancasila/ Pendidikan Budi Pekerti. Namun dalam kenyataannya pendidikan kebijaksanaan pekerti tampaknya tidak muncul dalam bentuk mata pelajaran tersendiri. Pendidikan Budi Pekerti terintegrasi dalam semua mata pelajaran serta lewat pengintegrasian dalam kegiatan-acara di sekola
2.       Pancasila dan  Nilai-Nilai Moral
Secara filosofis, Pancasila terdiri dari seperangkat nilai–nilai budbahasa. Nilai nilai sopan santun itu bersifat dasar yang meliputi nilai Ketuhanan, nilai. Kemanusiaan, nilai Persatuan, nilai Kerakyatan dan nilai Keadilan. Nilai–nilai itu dijadikan dasar negara dan ideologi nasional Indonesia. Sebagai lahirnya fasilitas negara, nilai moral Pancasila menjadi landasan filosofis penyelenggaraan bernegara. Sebagai ideologi, nilai budbahasa Pancasila menjadi harapan bernegara. Dalam rangka sosialisasi nilai-nilai adab Pancasila dibutuhkan media dalam bentuk pendidikan nilai tabiat Pancasila
Sosialisasi nilai-nilai adab Pancasila dimunculkan melalui mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) menurut pada kurikulum 1975 dan 1984. Sosialisasi tersebut semakin dipertegas dengan munculnya pelajaran. PPKn berdasar Kurikulum 1994. Mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) terdiri dari bahan dan pengalaman berguru yang diorganisasikan secara spiral/artikulatif  atas dasar butir-butir nilai yang secara konseptual terkandung dalam Pancasila.
Dalam naskah terakhir Kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan, nilai-nilai Pancasila tetap ialah sumber nilai bagi Pendidikan Kewarganegaraan. Hal ini dibuktikan dengan masih terdapatnya asfek nilai-nilai Pancasila sebagai salah satu kajian dalam kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan. Hal ini menawarkan bahwa Pancasila yang berisikan nilai etika menjadi salah satu sumber bagi pembelajaran pendidikan kewarganegaraan di Indonesia. Nilai-nilai tabiat tidak cuma terdapat dalam nilai Pancasila, tetapi nilai-nilai sopan santun itu juga terdapat dalam budaya bangsa lokal yang sifatnya partikular. Nilai-nilai ini mampu dibilang nilai-nilai sopan santun setempat. Nilai-nilai “moral local” dapat pula diangkap sebagai bahan pendidikan budpekerti.
3.       Misi – Visi Pendidikan Kewarganegaraan (Civics Education)
Misi Pendidikan Kewarganegaraan ialah untuk menolong pesertadidik, dan masyarakat warganegara Indonesia untuk memantapkan kepribadiannya, biar secara konsisten bisa mewujudkan nilai-nilai dasar Pancasila, rasa kebangsaan dan cinta tanah air dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu wawasan, teknologi dan seni dengan sarat rasa tanggungjawab.
Visi Pendidikan Kewarganegaraan adalah ialah sumber nilai dan aliran dalam pengembangan dan penyelenggaraan program study, guna mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadiannya selaku manusia seutuhnya. Berdasarkan sebuah realitas yang dihadapi, bahwa warganegara/mahasiswa yakni selaku penerus impian bangsa yang mesti mempunyai visi intelektual, religius, berkeadaban, berkemanusiaan dan cinta tanah air dan bangsa Indonesia.
Visi Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi tinggi yaitu ialah sumber nilai dan fatwa dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi, guna mengirimkan mahasiswa memantapkan kepribadiannya selaku insan Indonesia seutuhnya yang bersendikan Pancasila  dan Undang-Undang Dasar 1945.
Misi Pendidikan Kewarganegaraan yakni untuk membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya biar secara konsisten mampu merealisasikan nilai-nilai dasar Pancasila, rasa kebangsaan, dan cinta tanah air dalam menguasai, menerapkan dan berbagi Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni dengan rasa tanggung jawab, bermartabat, dan bermoral. 
Bertolak dari penjabaran visi-misi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya tujuan utama Pendidikan Kewarganegaraan yaitu untuk menumbuhkan pengetahuan dan kesadaran bernegara, sikap serta sikap yang cinta tanah air dan bersendikan kebudayaan bangsa, Wawasan Nusantara, serta Ketahanan Nasional dalam diri mahasiswa kandidat ilmuwan warga negara NKRI yang sedang mengkaji dan akan menguasai IPTEK dan seni. Kualitas warga negara akan ditentukan  utamanya oleh iktikad dan perilaku hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara disamping derajat penguasaan ilmu wawasan dan teknologi yang dipelajarinya. Sedang Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti Nomor 43/Dikti/Kep/2006, terdapat visi dan misi Pendidikan Kewarganegaraan sebagai berikut:
a.     Mengembangkan metode kelembagaan program studi yang memiliki jati diri kependidikan, sehingga mampu menghasilkan tenaga kependidikan yang memiliki keunggulan kompetensi dalam bidang studi Pendidikan Kewarganegaraan.
b.     Mengembangkan tugas kelembagaan Program Studi untuk dapat menjadi salah satu pusat pengembangan dan pembaharuan Pendidikan Kewarganegaraan, sejalan dengan kepentingan nasional dan kesadaran selaku warga global.
c.      Mengembangkan metode kelembagaan yang mampu menjadi salah satu institusi yang berperan dalam membangun adab bangsa (nation and character building), demi terwujudnya masyarakat warga (civil society) yang demokratis dan bertanggung jawab.
d.     Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan semangat kebebasan akademik, menjunjung nilai-nilai ke-Indonesia-an dan menginternalisasikan huruf ketakwaan, kemandirian serta kecendekiaan.
e.     Menyelenggarakan dharma pendidikan dan pengajaran yang akademis dan profesional di bidang Pendidikan Kewarganegaraan yang berbasis pada ilmu-ilmu politik, hukum dan tabiat/filsafat.
f.       Melaksanakan dharma penelitian yang mengarah pada pengembangan ilmu wawasan dan teknologi yang dapat mendukung dharma pendidikan pengajaran serta pengabdian terhadap masyarakat, di bidang Pendidikan Kewarganegaraan yang berbasis padaz ilmu-ilmu politik, hukum dan tabiat/filsafat.
g.     Menyelenggarakan dharma pengabdian kepada masyarakat  yang sesuai  dengan kebutuhan penduduk dan/atau berdasar hasil observasi, di bidang Pendidikan Kewarganegaraan yang berbasis pada rumpun keilmuan; politik, hukum dan filsafat etika.
Pendidikan Kewarganegaraan (civics education) mulai mencuat kembali kepermukaan semenjak ada planning perlunya perubahan kurikulum 1994. Dalam draf naskah permulaan kurikulum berbasis kompetensi tahun 2001 sampai 2004, dimunculkan Pendidikan Kewarganegaraan selaku alternatif pengganti mata pelajaran PPKn. Pendidikan Kewarganegaraan paradigma baru ini lebih ditekankan pada Esensi sebagai pendidikan demokrasi di Indonesia. Dewasa ini tumbuh gagasan yang kuat untuk menempatkan Pendidikan Kewarganegaraan selaku wahana utama dan esensi dari pendidikan Demokrasi. (Udin.S,2001). Hal ini sejalan dengan perlunya demokrasi ditegakkan di kala kini. Namun secara luas Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia tidak cuma menampung esensi sebagai pendidikan demokrasi. Dari isi Pendidikan Kewarganegaraan yang ada baik Pendidikan Kewarganegaraan di persekolahan maupun Pendidikan Tinggi, maka Pendidikan Kewarganegaraan mempunyai misi sebagai berikut;
a.     Pendidikan Kewarganegaraan (Demokrasi)
Pendidikan Kewarganegaraan mengemban tugas merencanakan penerima ajar
menjadi warga negara yang demokratis untuk mendukung tegaknya demokrasi
negara. Dengan Pendidikan Kewarganegaraan maka akan ada sosialisasi,
diseminasi dan penyebarluasan nilai-nilai demokrasi pada masyarakat. Dewasa
ini permintaan pendidikan kewarganegaraan selaku pendidikan demokrasi
menjadi sesuatu yang esensial.
b.     Pendidikan Kewarganegaraan (civisc education).
Pendidikan Kewarganegaraan selaku Pendidikan Kewarganegaraan dalam arti
sebetulnya yakni civic education. Berdasar hal ini maka Pendidikan
Kewarganegaraan bertugas membina dan menyebarkan pengetahuan dan
kesanggupan peserta didik berkenaan dengan peranan , tugas, hak, kewajiban
dan tanggung jawab selaku warga negara dalam berbagai aspek kehidupan
bernegara. Pendapat ini didasarkan pada terminologi dari civic education
c.      Pendidikan Kewarganegaraan (Nilai-Nilai/Karakter).
Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan membina dan mengembangkan nilai
kewarganegaraan yang dianggap baik yang berujung pada terbentuknya warga negara yang berkarakter yang merefleksikan  nilai-nilai  sopan santun Pancasila 
d.     Pendidikan Kewarganegaraan (Pendidikan Bela Negara/PBN)
Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan membentuk penerima asuh biar memiliki Kesadaran Bela Negara (KBN) sehingga sanggup menerima amanah untuk menjaga kelangsungan negara dari aneka macam bahaya baik dari dalam maupun luar negeri..
Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) sebagai pendidikan nilai mempunyai peran menanamkan nilai-nilai moral bangsa, nilai-nilai ideologi nasional sehingga bisa membentuk warga negara yang berkarakter baik. Nilai-nilai etika bangsa Indonesia tersebut pastinya tidak lepas dari nilai-nilai Pancasila. Berdasar ini menunjukkan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan menampung pula misi selaku pendidikan budbahasa /nilai di Indonesia.
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di era Orde Baru mengalami kegagalan yang mengakar.Praktik manipulasi pendidikan tabiat cuma menguntungkan penguasa. Pendidikan berhubungan akrab dengan politik. Kebijakan ini menjadi hal yang fundamental bagi setiap sistem pemerintahan di suatu negara terbaru. Melalui pendidikan, negara menghendaki rakyatnya dapat memeluk ideologi yang sejalan dengan pemerintah sehingga tercipta iklim politik yang serasi. Pakar pendidikan (HAR.Tilaar 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995) (1995:92) menyebut pendidikan sebagai alat politik yakni wajar. Layaknya sebuah alat, kesuksesan pendidikan tidak hanya diukur dari hal-hal yang sifatnya metodologis, namun juga wacana siapa dan tujuan penggunaannya. Tilaar memberi catatan bahwa kegagalan target pendidikan lebih kerap ditimbulkan oleh hal-hal yang bersifat ideologis.
Sejak era pemerintahan Sukarno, pendidikan di Indonesia mulai memiliki kecenderungan politis. Pada tahun 1950, untuk pertama kalinya pemerintah membuat suatu tata cara pendidikan menyeluruh atau yang dikenal dengan pendidikan nasional. Di tangan Sukarno, pendidikan nasional kemudian dijadikan alat untuk mendorong manifesto politik yang berlandaskan sosialisme, yang dimulai semenjak tahun 1959 Medio 1960-an, Demokrasi Terpimpin ala Presiden Sukarno perlahan mulai tergilas oleh pawai dewan legislatif jalanan yang digerakkan oleh mahasiswa dan kelompok angkatan bersenjata. Mereka menilai ideologi yang berkembang sudah mencemari Pancasila dan UUD 1945 sehingga perlu diadakan restrukturisasi.
Orde Baru ialah orde yang ingin mengoreksi dan menyelenggarakan introspeksi secara fundamental dan menyeluruh atas praktek pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 yang telah disalaharahkan oleh Orde Lama,” (HAR. Tilaar 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995) Tak lama sesudah Orde Baru berkuasa, misi pendidikan dengan cara memurnikan kembali Pancasila dan UUD 1945 perlahan mulai dilakukan. Rezim Soeharto dengan tekun mulai melarang buku-buku Ilmu Kewarganegaraan (Civics) yang dijadikan fasilitas penyebaran ideologi dikala itu. Tahun 1970-an, pelajaran Civics resmi dihapus. Penggantinya berjulukan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang dianggap lebih ideal menciptakan warga negara bermoral Pancasila yang mampu memenuhi target pembangunan nasional Orde Baru.
Dalam kondisi politik yang berangsur stabil sehabis Pemilihan Umum 1971, Orde Baru mengeluarkan acuan biasa pembangunan jangka panjang lewat Ketetapan MPR No. IV tahun 1973 (tentang GBHN). Sesuai dengan ketetapan tersebut, Pemerintah menetapkan bahwa setiap warga negara wajib mengerti Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Di sekolah, PMP diatur dalam Kurikulum 1975. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia memastikan setiap sekolah menerima bahan PMP selaku pengganti pelajaran Civics. Sebagaimana P4, PMP mempunyai dasar konstitusional alasannya adalah berlandaskan pada TAP MPR 1973 yang lalu disempurnakan pada tahun 1978 dan 1983.
“Untuk meraih harapan pembangunan jangka panjang, maka kurikulum di semua tingkat pendidikan mulai dari taman kanak-kanak hingga akademi tinggi, baik negeri maupun swasta mesti terdiri dari Pendidikan Moral Pancasila,” Secara garis besarnya PMP dalam TAP MPR 1983 yang dicatat dalam Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi Muhammadiyah (2009:9). Secara umum, PMP berisi bahan pembelajaran ihwal Pancasila dan UUD 1945, serta sedikit tentang sejarah bangsa Indonesia. Materi PMP di rancangan sedemikian rupa dengan tujuan menanamkan kepercayaan ideologi Pancasila secara sistematis. Langkah ini sangat tepat alasannya adalah sukses menyatukan budbahasa bangsa Indonesia di bawah pemerintahan tunggal tanpa pemahaman yang dinamis dan terbuka tentang Pancasila, bangsa Indonesia condong kembali pada ikatan-ikatan primordial yang memecah belah,” (Doni Koesoema dalam Pendidikan Karakter 2007:50). Namun, implementasi pelajaran PMP juga menuai kritik. Darmaningtyas dalam Pendidikan yang Memiskinkan (2004:10) menyebutkan bahwa pergeseran pelajaran Civics ke PMP mempunyai implikasi politik yang cukup besar. Pelajaran Civics pada praktiknya dianggap tidak berkontribusi terhadap penguasa sehingga pantas diganti.
Sebaliknya, mata pelajaran PMP justru dinilai dapat membendung perilaku kritis siswa sekolah. Melalui cara ini, para siswa didoktrin semenjak dini kepada ideologi yang sesuai keinginanrezim. Sepanjang pelaksanaannya, kurikulum Orde Baru yang sentralistik menghasilkan model pengajaran PMP yang cuma berputar pada sistem hapalan butir-butir Pancasila tanpa disertai pemahaman yang dalam.  Lebih jauh Darmaningtyas menyatakan bahwa “Mata pelajaran PMP tekanannya hanya menjadi orang yang taat dan patuh pada ideologi negara saja, namun tidak pernah diperkenalkan dengan hak-haknya. Maka wajar bila lalu produk pendidikan yang lahir dari mata pelajaran PMP ini adalah orang-orang yang taat, takut, dan sekaligus pengecut, tidak kritis, serta tidak mempunyai prinsip sendiri.”
Materi PSPB  ala Nugroho mengakibatkan kontroversi sebab dinilai tumpang tindih dengan pelajaran Sejarah Nasional dan PMP. Setelah Nugroho wafat pada tahun 1985, kesemrawutan dalam mata pelajaran PMP baru diakui oleh Fuad Hassan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang gres. “Terus jelas aku katakan, ketika ini terjadi tumpang tindih antara P4, PSPB, PMP, dan Sejarah Nasional. Tumpang tindih tersebut akan menjadikan hilangnya waktu yang bisa digunakan untuk kebutuhan lain, atau mendesak mata pelajaran lain,” kata Fuad mirip dikutip Kompas (11/9/1985). Beban yang ditanggung para murid sebagai dampak politik pendidikan makin bertambah. Mereka tak cuma wajib mempelajari PMP, tapi juga harus mengikuti penataran P4 yang ditetapkan selaku acara wajib oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan semenjak tahun 1982.
Dalam Penjelasan Ringkas ihwal Pendidikan Moral Pancasila (1982), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saat itu menjelaskan bahwa “Hakikat PMP adalah pelaksanaan P4 melalui jalur pendidikan formal. Di samping pelaksanaan PMP di sekolah-sekolah, di dalam masyarakat biasa ulet diadakan perjuangan pemasyarakatan P4 lewat berbagai penataran.”