Pola kehidupan sosial, tidak berpendidikan tetapi hidup dengan wawasan yang digunakan untuk aksi kejahatan mereka pada budaya, kelas sosial, dan berkuasa, hal ini terperinci kepada wawasan yang dicapai, Sihombing, Silaban di Pontianak.
Pada teladan interaksi mereka dan mengatakan, Ohya, terkejut mendengarnya, “bpk. angkat Sutarmidji” dengan demikan dimengerti siapa diri mereka pada tatanan sosial, dan bagaimana kehidupan mereka berdasarkan status sosial mereka di Kalimantan Barat, saat ini dan untuk meraih kelas sosial.
Suatu citra mengenai problem itu tampak, mempelajari bagaimana kehidupan sosial mereka berpindah-pindah melalui surat tugas dalam bekerja, dan berkejahatan menjadi dinamika sosial politik mereka selaku perompak kapal, atau cuma drama kehidupan sosial, dan kepentingan politik.
Karena dengan latar belakang seorang perompak kapal, serta Kristen Protestan menjadikan mereka beragama dan biadab, dan berlanjut pada faktor kehidupan agama dari Islam menjadi (Protestan), alasannya adalah kepentingan ekonomi politik dan budaya, pada aspek pendidikan.
Kehidupan sosial budaya mereka, terlihat begitu kotor pada lingkungan mereka konsumsi dan beribadah dengan budaya yang mereka yakini sebagai (makan orang). Di sadari dengan baik dikala nama Siregar menjadi peran dalam duduk perkara meminang pada presiden ke 7 RI, Jokowi, untuk dilestarikan lebih baik.
Dengan memasukan instansi Negara dalam bentuk seperti itu, pemerintahan yang tingkat prestasi rendah. Bagaimana mereka hidup di masyarakat, serta memakai tata cara budaya seksualitas dan ilmu kesehatan mereka di dalam rumah “sambil ngbrol” contohnya hasil dari budaya makan orang.
Ternyata mereka mempergunakan ilmu kesehatan dan kedokteran (Indonesia) dalam sistem tatanan sosial, dan ekonomi budaya mereka di masyarakat, tanpa rasa aib dan budaya aib, moralitas dan masih berlindung dibalik tembok gereja, berikutnya pendidikan katolik (protestan) dan Islam di Lokal Indonesia.
Temuan itu menjadi praktik dari kejahatan menyimpang masa sekarang, yang berjalan untuk mempertahankan keberlanjutan kehidupan mereka selain menjadi manusia biadab (Sihombing, Silaban Siregar, Marpaung).
Bagaimana mereka memakai tata cara ekonomi penduduk , dan pendidikan dan kesehatan dengan semena-mena, Hutagalung di Sekolah Nasrani Pontianak. Telah menjadi penemuaan untuk konflik sosial yang mereka buat dengan patut pada metode pendidikan di Pontianak, jelas bagaimana mereka hidup dengan dinamika budaya politik mereka.
Pada pendidikan dan kesehatan mereka tampak dengan apik pada profesi mereka yang hidup dengan strategi bertarung masyarakat suku Batak – Jawa, dan Dayak (hasil dari pembangunan manusia PDI Perjuangan dan Golkar pada abad itu 1980an) dan rampasan, pajak dan konflik di pekerjaan serta pertentangan sosial dan kekerasan yang dibuat.
Suatu persepsi itu, menjadi kesimpulan untuk mereka mengerti tatanan sosial mereka, dalam kehidupan berbangsa dan ber Negara “katanya” MRPD Pancasila. Dilema genetika, dari hasil seksualitas di rumah Silaban selama kehidupan sosial mereka di Pontianak – Jakarta menjadi buah bagi kaum mereka.
Catatan para suku itu, terperinci bagaimana mereka menjerit dengan duit dihasilkan di masyarakat, dan wawasan dan ilmu kesehatan mereka pada tata cara budaya meminang (“Tionghoa, Saya”). Dengan meminjam budaya lancang berkehidupan (Orang Batak, Indonesia).
Dapat dikatakan dengan baik, bagaimana kehidupan Jawa Marpaung itu menjadi begitu jelas mereka hidup di penduduk , Rumah Tangga, dan pekerjaan seksualitas dilingkungannnya. Kehidupan sosial para suku akan mempunyai pengaruh pada kesehatan sosial mereka dari hasil status sosial, kelas sosial mereka miliki.
Tampak menyadari siapa diri mereka, pada banyak sekali aspek, budaya malu dari hasil konsumsi mereka di masyarakat, menjadi kagum dan menakutkan untuk kehidupan sosial budaya mereka saat ini. Hingga memiliki dampak pada budpekerti dan adat bawah umur mereka, sebagai pendidik, dosen dan dokter, ingin berseksualitas, hingga menghancurkan kehidupan, Sihombing (Silaban), Marpaung (Jawa).
Konflik sosial, dan pengusiran orang Tionghoa, di Indonesia mereka, sejak Kolonial Belanda, Orde Baru, Reformasi, sampai kala Revolusi mental dan Industri.
Perbuatan kekerasan mereka, tampak dihadapan publik orang Indonesia, begitu garang dalam bertutur kata, berbudaya, dan berpendidikan, Itu hasil genetika pembangunan insan melalui alat kelamin mereka Batak Jawa (Silaban- Marpaung Orang Jawa) Indonesia, ketika ini yang terjadi.
Budaya malu hilang pada mereka, dengan perbuatan tersebut tiada aturan Indonesia, yang mencebloskan mereka di Penjara, kepolisian jelasnya, dengan membuat pertentangan sosial, seksualitas atau tindakan asusila yang melanggar tabiat dan etika, hal ini bisa digantikan dengan uang.
Bagaimana mereka hidup ditengah penduduk dikala ini, jelas sekali dengan pekerjaan mereka dikala ini sebagai orang Indonesia, aturan Indonesia saat ini, memutarbalikan fakta dan keadilan. Saat ini pada abad pemerintahan Gubernur Kalimantan Barat Drs. Cornelis M.H.
Dengan demikian perubahan sosial kini yaitu mereka menghinakan diri dengan baik, guna mendapatkan kanal ekonomi budaya, dan agama mereka, pada Partai PDI Perjuangan. Tidak mampu berinovasi dengan baik diketahui dengan di aneka macam Negara maju terperinci dr. Nugroho (Jawa) drama politik dalam kehidupan budaya mereka, sebagai dokter, hasil dari seksualitas pembangunan insan saat ini 2008-2017.
Seperti film Hobbit (Batak, Silaban – Dayak, Raja para suku), terperinci sekali mereka suatu citra lazim dari hal ini, orang para suku Batak. Periksa kembali, bagaimana mereka memperoleh status dan pendidikan mereka saat ini.