Perjalanan spritualitas menjadi dasar dari faktor kebatinan yang menurut rancangan agama dan kehidupan insan yang berlangsung secara intim. Hal ini jelas bagaimana aspek kehidupan budaya menjelaskan aneka macam wawasan, spritualitas pada pemahaman teologi dalam kehidupan sosial penduduk yang begitu buruk.
Ketika hal ini dapat dikenali melalui persepsi kepada persoalan yang aktual contohnya faktor kehidupan budaya akan menjelaskan banyak sekali hal terkait dengan kekuasaan, kekerasan dan bahkan maut yang memang berada pada duduk perkara kekuasaan.
Berbagai duduk perkara kepada perebutan itu jelas bagaimana politik praktis, dan politik seksualitas menjadi dasar dari para elit politik untuk berkoaliasi, dan menciptakan pertentangan sosial. Dalam hal ini konflik sosial yang dijalankan, harus diterima sebagai adanya bentuk datangnya insan dalam kehidupan beragama dan budaya.
Penjelaskan yang penting dalam menyaksikan aneka macam aspek kehidupan sosial, akan terlihat pada kebudayaan mereka terhadap kepentingan politik, dan rencana kejahatan yang dibuat dalam setiap kegiatan utamanya di komunitas.
Maka, dari itu imunitas menjadi dasar dari sebuah kegembiraan yang menempel pada aspek kehidupan manusia, dan komunitas dalam menghadapi banyak sekali masalah tersebut dalam kehidupan sosial, namun berkenan dalam segenap aspek yang menyangkut aspek keagamaan yang menempel pada masing-masing pribadi.
Pengalaman spritualitas menjadi dasar dari aspek kehidupan sosial yang menempel pada problem masyarakatnya secara umum. Hadirnya gereja tentunya menjadi landasan adanya iming-iming untuk masuk dalam suatu gereja yang melekat pada faktor teologi (kepentingan tokoh agama) mereka di masyarakat tanpa terkecuali dengan faktor kehidupan sosial pada keberadaan yang ada secara khusus.
Berbagai pandangan itu timbul dengan adanya perdebatan yang menempel pada faktor sosial politik yang melekat pada dinamika sosial yang dikala ini bertujuan untuk berada pada keadaan spritualitas yang mendekatkan diri pada kepentingan politik hingga dikala ini.
Ketiadaan mereka kepada persoalan ekonomi, politik, budaya dan agama yang melekat pada kebaikan dan kejahatan dalam metode ekonomi menjadi penting dalam menjawab aneka macam rencana kekuasaan, seksualitas yang dijadwalkan oleh sekelompok orang etnik jelasnya Tionghoa, Batak, Melayu, dan Jawa Pontianak Kalimantan Barat, guna mencari kesempatan didalam konflik yang dibuat dengan kelas sosial yang berlainan di Indonesia.
Seperti melibatkan petugas partai PDI Perjuangan dan Golkar pada sebuah lembaga non pemerintah, mirip Pontianak institute jelasnya di Kalimantan Barat, tepatnya Kota Pontianak – Jakarta – Jawa, Sihombing, Siregar, Melayu, dan Arizona, dalam menggangu spritualitas manusia, individu, dan kalangan seperti pencetus, pendidik, dan pekerja.
Persoalan sosial dan kelas sosial menjadi temuan dan catatan keberadaan kotor mereka di Pontianak, Kalimantan Barat (Kristen – Protestan -Islam (Indonesia) kelas sosial yang rendah sebelumnya 1990an-21, guna mengakses pembangunan sistem ekonomi tentunya dengan sengaja dan planning.
Berbagai hal terkait juga, berbagai faktor kepentingan kekuasaan yang melekat pada dinamika politik seksualitas terutama kekerasaan yang dikerjakan oleh orang Batak Silaban, dan Arizona (Dayak – Jawa) baik itu pada setiap pekerjaan, dan agama mereka (protestan) selama di Pontianak, MRPD Pancasila (katolik) 1980an, berlanjut 2008-2021.
Dengan demikian, aneka macam kepentingan itu jelas bagaimana mereka hidup, dengan politik seksualitas, dan pendidikan dan kesehatan yang dibentuk menurut cara kotor mereka kepada agama dan budaya, sehingga memunculkan kelaparan, dan kemiskinan, serta di rumah sakit, dan ruang publik yang direncanakan oleh orang Tionghoa (jan, turunan bong – flores), rencana metode budaya dan agama jelasnya pada asimilasi di Pontianak, Kalimantan Barat.