Kualitas sumber daya insan, berasal dari masakan, akhlak, dan watak di masyarakat. Hal ini terlihat dengan mutu sumber daya insan. Hidup selaku sampah, dan buruh pelabuhan pastinya mirip tontonan dari hasil genetika seksualitas kedua orang tua mereka.
Hidup dengan kapasitas kedokteran Indonesia, khususnya di Pontianak, Kalimantan Barat 2008 yang begitu menjijikan pastinya ada diantara suku Batak – Dayak – dan Jawa. Begitu juga dengan Tionghoa, dengan ekonomi politik pun dilangsungkan, guna menerima pendapatan, dan yang lain, secara kolektif.
Hal ini untuk menghindar perbuatan mereka kepada Tuhan dan tembok agama Katolik, pendidikan, dan pekerjaan, berlanjut pada problem kekerasan rumah tangga adalah seksualitas, dan kebrutalan hidup mereka selaku makan orang pada nenek moyang mereka di kala lalu di konflik budaya di Kalimantan.
Hidup di tembok gereja, menjelaskan bagaimana mereka hidup di Indonesia, tidak mempunyai malu baik etnik yang disebutkan tadi di masyarakat. Berbagai hal terkait dengan aspek kehidupan budaya dan agama, yang menjijikan dari hasil ekonomi rakyat, pajak, dan ekonomi keluarga, dan upah penduduk pekerja tidak pantas diberikan 80an – 2008, Pontianak.
Datangnya orang pribumi urbansiasi perkotaan ekonomi Jakarta, dan Jawa menerangkan bagaimana mereka hidup dengan seksualitas menjijikan itu di penduduk Batak – Jawa Sihombing, seorang perompak kapal di masyarakat, guna menyandang dokter, tanpa malu pula.
Berbagai nalar sehat, menjadi sejarah kehidupan agama dan budaya mereka yang dibentuk secara terpola, pada pertentangan seksualitas di Pontianak – Kapuas Hulu. Tidak mempunyai aib kepada budpekerti dan etika mereka di penduduk . Terutama kedua orang bau tanah, dan keluarga mereka selama hidup di Pontianak.
Hal ini menerangkan bagaimana konflik etnik, dilakukan oleh Orang Dayak – Tionghoa dan Jawa serta Batak di Kalimantan Barat, lewat ekonomi politik perkotaan, dan kuburan menjadi peletakan mereka selama hidup dan mati. Serta pendidikan, dan peyampaian kelas sosial di penduduk .
Pada abad pemerintahan Gubernur Oevang Oeray 1967, dan Cornelis M.H 2008 menyadang gelar yang berlindung dibalik tembok hukum setempat dan budbahasa, terlihat bagaimana menyaksikan masalah mereka di kala kemudian.
Sejarah kebrutalan para suku di Indonesia menjelaskan hal tersebut, selama kala Golkar dan PDI Perjuangan, dibalik tembok agama, dan hukum Indonesia, selaku produk hukum yang dibentuk menurut hasil kudeta, dan seksualitas di Lokal, Indonesia.