Pemateri: Teh Hani
Tanggal: 13 Agustus 2018
Taujihat
Bismillaahirrahmaanirrahim
Al-Jiddiyah (Bersungguh-Sungguh)
Sungguh-sungguh artinya tidak coba-coba dalam menunaikan suatu peran. Menunaikannya dengan mengerahkan segenap kesempatandan kemampuan yang mereka miliki. Sungguh-sangat sudah menjadi etika orang-orang beriman. Karena beliau ialah pelita hati. Ia akan menunjuki jalan yang tepat mencapai natijah yang besar. Dengan kesungguhan, kader dakwah akan senantiasa sibuk dengan hal-hal besar. Sebaliknya malas dan coba-coba yaitu jamur jiwa. Ia akan menjadikan berbagai penyakit. Ia akan disibukkan oleh duduk perkara-problem sepele atau beliau akan menatap persoalan kecil selaku masalah besar atau kebalikannya hal-hal besar dianggap dilema yang ringan. Sangat tepat kalau kaidah man jadda wajada, siapa yang benar-benar pasti mampu menjadi dasar pijakan kader dakwah dalam menunaikan tugas suci. Terlebih bagi seorang pelopor dakwah, keseriusan menjadi tarbiat sehari-hari.
Imam Hasan Al Banna menyatakan: “jangan banyak bergurau, alasannya umat yang sungguh-sungguh tidak mengenal selain dari keseriusan”. Betapa banyak pola faktual ihwal kesuksesan dan kesuksesan yang diraih sebab keseriusan. Ia menjadi modal utama untuk meraih impian besar. Seorang milyarder Amerika, sukses sebagai pebisnis bermula dari menghimpun sisa-sisa materi bakar dari tanki-tanki truk pengangkut. Lama kelamaan beliau berhasil mengumpulkannya menjadi lumbung minyaknya. Yang kemudian ia himpun menjadi semakin banyak lagi. Dan seterusnya dari proses hidup yang ia jalani menjadi orang yang kaya raya di jagat ini. Kesungguhan yang menghantarkan kesuksesan dinyatakan benar bila memenuhi prasyaratnya, yakni:
Pertama, Al-Fauriyah littanfidz (merespon dengan secepatnya).
Kemampuan menyikapi masalah dengan segera sebagai indikasi keseriusan. Ia tidak akan pernah coba-coba dalam menghadapi suatu persoalan. Sebagaimana yang dilakukan oleh generasi terdahulu yang amat cepat menyanggupi seruan yang ditujukan kepadanya. Firman Allah SWT.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan permintaan Rasul apabila Rasul menyeru kamu terhadap sebuah yang memberi kehidupan kepada kau, dan ketahuilah bahwa bahu-membahu Allah menghalangi antara manusia dan hatinya dan bekerjsama kepadaNya lah kamu akan dikumpulkan”. (QS. Al-Anfal: 24)
Seperti kasus diwajibkannya mengenakan busana muslimah, mereka segera menutupi tubuhnya dengan kain besar tanpa harus menunggu waktu yang sempurna bagi diri mereka. Pagi hari mereka mendengar langsung bahwa Rasulullah SAW. mendapatkan wahyu yang memerintahkan hal tersebut maka saat itu juga mereka sikapi wahyu itu dengan ketaatan dan kesungguhan. Demikian pula perkara dilarangnya minuman keras dan transaksi riba. Mereka pun dengan cepat mengambil perilaku atas persoalan tersebut.
Kedua, Quwatul Iradah (kemauan yang besar lengan berkuasa).
Orang yang betul-betul memiliki kemauan yang besar lengan berkuasa. Kuatnya sebuah kemauan tidak akan pernah surut selangkah pun dalam menghadapi rintangan. Ia bagaikan benteng kokoh yang bangkit tegar menghadapi serbuan dan terjangan. Mundur bagi seorang yang berpengaruh kemauannya ialah kekalahan. Karena itu ia tidak akan lari dari resiko-resiko usaha. Dalam dirinya yang ada yaitu bagaimana mendapatkan kemenangan. Tidak seperti orang-orang yang lemah kemauan. Mereka akan gentar dengan aral yang melintang. Nyalinya bertambah ciut dan getar tatkala mesti melalui rintangan. Sebagaimana dalam Firman-Nya:
لَوْ كَانَ عَرَضًا قَرِيبًا وَسَفَرًا قَاصِدًا لَاتَّبَعُوكَ وَلَٰكِنْ بَعُدَتْ عَلَيْهِمُ الشُّقَّةُ ۚ وَسَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ لَوِ اسْتَطَعْنَا لَخَرَجْنَا مَعَكُمْ يُهْلِكُونَ أَنْفُسَهُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
“Kalau yang kau serukan kepada mereka itu laba yang gampang diperoleh dan perjalanan yang tidak berapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, namun tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah: “Jika kami mampu tentulah kami berangkat bersama-samamu” Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengenali bahwa bekerjsama mereka betul-betul orang-orang yang berdusta”. (QS. At-Taubah: 42)
Perhatikanlah cerita perang Dzatur Riqa’ yang dipaparkan oleh Abu Musa Al-Asy’ari RA. yang termasuk salah seorang prajurit perang tersebut. Dalam perjalanan panjang yang mereka tempuh itu para teman tidak berkeluh kesah meski kaki mereka pecahpecah. Kaki mereka yang luka balasan perjalanan panjang. Mereka mengikatnya dengan kain-kain. Sehingga perang itu disebut Dzatur Riqa’. Mereka mengalami keadaan yang berat namun mereka tidak lemah untuk menghadapinya. Bahkan menceritakannya saja mereka malu-aib. Sebab itu akan menampakkan tanda keengganan dalam menyongsong tugas berat.
Ketiga, Mutsabarah alad Da’wah (tak henti, rajin).
Kesungguhan juga dapat dinilai dari kesinambungannya melaksanakan sesuatu. Mereka yang benar-benar akan bersegera untuk mengerjakannya dengan rajin. Ia tidak cepat lelah terlebih malas. Karena semua sifat itu akan menghalangi kerja-kerja besar yang sedang dia lakoni. Bahkan Allah SWT. sudah menitahkan untuk menyegerakan kembali berinfak setelah simpulan menyelesaikan suatu pekerjaan.
فَإِذَا فَرَغْتَ فَٱنصَبْ
“Maka apabila kamu sudah final (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan betul-betul (permasalahan) yang lain”. (QS. Al-Insyirah: 7)
Keempat, Taskhirul Amkinah (mengerahkan potensi secara optimal).
Orang yang tekun pasti akan mengerahkan seluruh potensinya secara optimal. Karena langkah inilah yang mau memberikan jalan keluar terhadap persoalan yang sedang dia hadapi. Bagi kader dakwah mengerahkan seluruh potensinya sampai pada kondisi titik penghabisan. Hal ini bahkan menjadi kewajiban dalam berinfak da’awi. Para sobat dalam mengerahkan potensinya amat besar sampai yang mereka miliki tinggal yang ada pada dirinya. Bahkan yang mereka sisakan cuma Allah dan Rasul-Nya untuk diri dan keluarga mereka. Sebagaimana yang dijalankan Abu Bakar Siddiq RA. Dalam perjalanan hijrahnya menyertai Sang Junjungan SAW.
فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ مَا ٱسْتَطَعْتُمْ وَٱسْمَعُوا۟ وَأَطِيعُوا۟ وَأَنفِقُوا۟ خَيْرًا لِّأَنفُسِكُمْ ۗ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِۦ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
“Maka bertakwalah kau kepada Allah berdasarkan kesanggupanmu dan dengarlah serta ta’atlah: dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orang-orang yang mujur”. (QS. At-Taghabun: 16).
Kelima, Mughalabatul I’dzar (mengalahkan udzur).
Kader yang sungguh-sungguh tidak akan gampang dikalahkan oleh banyak sekali rintangan. Ia tak pernah lemah dengan peran-tugas yang dipikulnya. Bahkan beliau akan terus berusaha memikul
tanggung jawabnya. Tak pernah terbetik meminta pembenaran atas keadaan lemahnya. Ia tak juga mentolerir akan beratnya tanggung jawab tersebut. Apalagi akibat yang diberikan Allah SWT. yakni syurga dan keridahaan-Nya. Tersebut seorang teman Amr bin Jamuh RA. yang sangat antusias untuk mengikuti jihad. Meskipun kakinya cacat, sehingga anak-anaknya mencegahnya. Dikhawatirkan akan memberatkan pasukan muslimin. Namun ia tidak mau mendapatkan rukhshah meski dari kondisi fisiknya yang sedemikian.
Ulama dakwah kita sudah memastikan bahwa nahnu jama’ah ‘azimah lasna jama’ah rukhshah, kita yakni jama’ah yang punya tekad kuat bukan jama’ah yang ‘pengen’ keringanan. Karenanya tidaklah pantas jika menghadapi suatu tugas dipandang sebagai peran yang Maha Berat kemudian meminta dispensasi. Lebih-lebih dispensasi untuk meninggalkan peran tersebut.
لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلا عَلَى الْمَرْضَى وَلا عَلَى الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (91) وَلا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلا يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ (92)
“Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak mendapatkan apa yang hendak mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku lapang dada kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan tiada (pula dosa) atas orangorang yang jika mereka datang kepadamu, semoga kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu”, kemudian mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, karena mereka tidak mendapatkan apa yang mau mereka nafkahkan”. (QS. At-Taubah: 91 – 92)
Kader dakwah yang sungguh-sungguh dalam mengemban tugasnya, dengan sikap seperti di atas. Maka merekalah yang mempunyai kemampuan untuk memikul beban dakwah yang besar ini Hamilul ‘Aba’i (kesanggupan memikul beban). Sebab peran dakwah tidaklah sama dengan tugas-peran lainnya. Ia memerlukan penyiapan ma’nawiyah yang memadai. Memang hal ini tidaklah mudah dan ringan. Dari sekian kader yang ada yang memiliki kesanggupan memikul beban hanya beberapa gelintir saja. Rasulullah SAW pun telah mensinyalir duduk perkara ini dengan menyampaikan bahwa insan bagai unta pemikul beban dari seratus yang ada cuma satu yang mempunyai kesanggupan tersebut. Oleh alasannya itu bagi kader dakwah hal ini menjadi motivator untuk menguatkan diri dan kemampuannya.
Wallahu a’lam
Sumber : Thumuhat, Volume 1 Issue 9 (Tuesday, 2 Mei 2017), Page 1-7.