Abah Ohen Sang Penemu Panca Warna Garut |
Asal-Usul Panca Warna Ohen
Suatu hari pada tahun 70- an, Ohen, seorang petani asal Desa Cipeundeuy, Kecamatan Bungbulang (sekarang masuk Kecamatan Caringin), Kabupaten Garut, Jawa Barat, sedang mengolah sawahnya di pinggir kampung. Secara tidak sengaja, dia mendapatkan sebongkah watu sebesar kelapa. Batu itu cukup dalam terbenam di dalam lumpur. Setelah bekerja keras menggali, Ohen pun membawanya ke darat. Seusai dicuci bersih, gres tertangkap tangan batu tersebut berwarna hijau. Tak dinyana, rezeki besar bagi Ohen pun datang. Setelah disimpan di kolong daerah tidurnya, beberapa pekan lalu seorang warga Bogor yang datang ke rumahnya membeli kerikil penemuannya.
Yang mengejutkan bagi Ohen dan keluarga, batu ini dihargai Rp1,5 juta. Jumlah duit dengan nilai yang cukup fantastis di abad 70-an. “Itu tahun 70-an. Kalau sekarang tidak tahu setara berapa ratus juta. Saat itu harga emas masih di kisaran ratusan perak,” kata Ojan, 50, putra Ohen saat dijumpai di rumahnya di Kampung Limus Piit, Desa Caringin, Kecamatan Caringin.
Sejak itulah nama Ohen menjadi populer. Mungkin alasannya adalah mutu kerikil yang ditemukannya sangat elok, maka namanya pun diabadikan menjadi nama watu akik yang berkualitas paling bagus dan paling mahal, adalah Batu Ohen. Merasa mencari kerikil lebih menjanjikan ketimbang bertani, Ohen banting setir dari petani menjadi pencari kerikil akik.
Pilihan hidup itu belakangan disertai ratusan warga Cipeundeuy lainnya. Mereka berharap bisa mengubah nasib mirip Ohen dengan memperoleh batu semenarik Batu Ohen. Yang terperinci, nasib Ohen sampai selesai hayatnya tidak berkilau seperti batu yang ditemukannya. Kini watu yang ditemukannya dihargai ratusan juta, bahkan sampai tembus Rp2,5 miliar di pasaran mancanegara.
Di balik itu, kondisi kehidupan Ohen sehari-hari sungguh memprihatinkan. Pada akhir hayatnya, ia ini menghabiskan waktunya di salah satu rumah anaknya, Jaed, di daerah Cipeundeuy. Rumah istri-istrinya pun (Ohen sempat menikah empat kali) berbentuk gubuk panggung sederhana.
“Biarpun kerikil yang ditemukannya populer dan sangatlah mahal, kehidupan bapak saya malah sebaliknya. Tak tahu memang dulu itu bapak tidak mampu menyimpan uang atau bagaimana. Yang terperinci, begitulah kondisinya,” tuturnya. Ohen menjadi legenda. Berkat Ohen, nama Bungbulang terangkat ke permukaan hingga diketahui se-Nusantara oleh para penjual dan pencinta kerikil mulia.
Nilai lebih dari kerikil yang ditemukannya itu ialah memiliki tingkat kekerasan serta kilat yang lebih daripada kerikil-batu mulia lainnya. Batu Ohen biasanya berwarna hijau kemilau. Seorang pengamat watu sempat menulis di Kaskus bahwa seorang pengumpul yang mendapatkan bongkahan watu hijau ini pernah memeriksakannya ke Inggris.
Dari hasil observasi tersebut diperoleh informasi bahwa Batu Ohen memang masuk jajaran watu mulia. Yang lebih mengagetkan, di Korea, Batu Ohen memang sempat laku hingga Rp2,5 miliar. Meski tak mirip harga yang disediakan di Negeri Ginseng, Batu Ohen masih memiliki harga cukup wah di pasar dalam negeri.
Di Matraman, Jakarta, saja misalnya, seorang pedagang pernah mematok harga Rp7 juta untuk Batu Ohen yang masih berupa bongkahan sebesar kelapa. Sementara itu, Rohidin, salah seorang bos tambang kerikil akik di Gunung Cianggel, mengaku sempat menemukan kerikil mewah yang dihargai sampai Rp50 juta per bongkah. “Namun kini ini menemukan batu ohen atau yang sekelasnya seperti kerikil pancawarna, cukup susah.
Tidak setiap bulan kami bisa menemukan kerikil semacam itu,” ujarnya. Yang kini ini berhasil ditambang cuma kerikil-batu kelas umumyang harganya antara Rp2 juta hingga belasan juta per bongkahan. Namun. menurut Rohidin, omzet per bulan dari memasarkan batu akik kurang lebih Rp50 juta. Hasil itu dibaginya dengan buruh penambang, biaya sewa lahan, biaya angkut serta biaya yang lain. Sumber : Koran – Sindo – Fani ferdiansyah – Garut