Cerita Kepahlawanan Dokter Yang Mati Dipancung Tentara Jepang

Nama Achmad Mochtar mungkin tak pernah tertulis di buku sejarah anak Kisah Kepahlawanan Dokter Yang Mati Dipancung Tentara Jepang
Achmad Mochtar

Nama Achmad Mochtar mungkin tak pernah tertulis di buku sejarah bawah umur sekolah. Namun, jasanya bagi bangsa Indonesia begitu besar.

Dokter kelahiran Bonjol, Sumatera Barat pada tahun 1892 itu menjadi peneliti unggul berdarah Indonesia pada periode penjajahan. Dia rela menjadi kambing hitam kejahatan perang Jepang untuk menyelamatkan rekan penelitinya.

Kisah pengorbanan Achmad Mochtar tertulis dalam buku berjudul War Crimes in Japan-Occupied Indonesia: A Case of Murder by Medicine terbitan University of Nebraska Press.

Buku yang ditulis JK Baird dari University Oxford serta Sangkot Marzuki dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) itu diterbitkan pertengahan tahun ini, 70 tahun setelah wafatnya Achmad Mochtar.

Tragedi Klender

Tahun 1944, sekitar 900 romusa (pekerja paksa zaman Jepang) di Klender mati setelah memperlihatkan gejala tetanus. Beberapa hari sebelum ajal, mereka diberi vaksin TCD (tifus, kolera, disentri).

Staf Lembaga Eijkman memang menyuntikkan cairan yang dikatakan vaksin, namun atas perintah Jepang.

Polisi Jepang atau Kenpetai mempersalahkan Mochtar yang kala itu menjadi Direktur Lembaga Eijkman serta stafnya atas bencana tersebut. Jepang menuduh Mochtar dan stafnya sengaja mengubah vaksin dengan basil tetanus biar para romusa mati.

Jepang kemudian menangkap Mochtar dan stafnya. Mereka disika, dibakar, dan disetrum. Satu dokter tewas.

Staf Lembaga Eijkman lain lalu bebas, tetapi hidup Mochtar berakhir tragis dengan hukuman pancung pada 3 Juli 1945. Bahkan, disebutkan, sesudah dipancung, tubuhnya digilas dengan traktor sebelum kesudahannya dikubur.

Sangkot mengungkapkan, “Cerita tentang Achmad Mochtar tidak ada di buku sejarah umum, tetapi senantiasa tercatat dalam sejarah kedokteran. Sejak awal, keterlibatan Achmad Mochtar dalam maut 900 romusa disangsikan. Masa dokter tega membunuh bangsa sendiri?”

  Terangkan pengaruh terjadinya konflik antara negara-negara Eropa Timur dan Barat!

Kejahatan terungkap
Tahun 2010, makam Mochtar berhasil ditemukan. Ia dikubur di Evereld, Ancol. Jurnal Science pada tahun 2010 menampung inovasi dan praduga pembunuhan Mochtar.

Sangkot dan rekan penelitinya lalu membaca ulang sejumlah memoir sejumlah survivor yang telah dibukukan. Mereka juga mewawancarai keluarga dan keturunan Mochtar.

Analisis mengungkap, Mochtar sengaja dikambinghitamkan untuk menutupi kejahatan perang yang dikerjakan Jepang.

Situasi pada tahun 1944 hingga 1945 panas. Saat itu, kekuasaan Jepang di Indonesia sudah menunggu waktu.

Tentara sekutu telah hingga di Indonesia Timur. Jepang mesti bersiap menghadapi perang melawan sekutu sekaligus Indonesia yang ingin merdeka.

Dalam suasana perang, Jepang ketakutan. Mereka memerlukan vaksin tetanus.

“Saat itu, tetanus mematikan. Perang bukan cuma dengan tembakan, melainkan juga tusukan. Jumlah orang yang mati alasannya adalah tetanus akhir bacokan banyak,” kata Sangkot saat dihubungi Kompas.com, Selasa (10/11/2015).

Tim Jepang yang melaksanakan eksperimen itu masih misterius. Namun, ditemukan jejak eksperimen ilmiah oleh militer Jepang Unit 731 di Bandung. Kala itu, di Bandung ada lembaga Pasteur Institute yang melakukan riset vaksin TCD.

Analisis mengungkap, para romusa sengaja disuntik dengan toksin tetanus agar keampuhan vaksin tetanus bisa dimengerti. Eksperimen itu mestinya dijalankan pada hewan apalagi dahulu, namun Jepang langsung melakukannya kepada romusa.

“Itu sengaja dilakukan, namun gagal. Tidak mungkin hanya kecelakaan,” kata Sangkot.

“Jepang bangsa yang superior. Kalau hingga eksperimen mereka gagal, mereka akan dituduh melakukan kejahatan perang. Karena itu, mereka butuh kambing hitam,” kata Sangkot.

Jadilah lalu Achmad Mochtar yang menjadi kambing hitam dalam kegagalan eksperimen itu.

Saat itu, di Indonesia, cuma ada dua lembaga penelitian, Pasteur Institute di Bandung dan Lembaga Eijkman di Jakarta. Direktur Pasteur Institute adalah orang Jepang.

  Suku Minangkabau

“Sementara itu, Direktur Eijkman ialah orang Indonesia, bisa dikambinghitamkan,” kata Sangkot.

Sebagai orang Indonesia, posisi Mochtar sebagai eksekutif forum penelitian juga sangat strategis.

Dia dinilai terlampau banyak tahu atas rencana-rencana Jepang. Agar kejahatan perang Jepang tak terbongkar, Mochtar perlu “dibungkam” dengan cara eksekusi.

Jiwa hero

Mengapa lalu hanya Achmad Mochtar yang dipancung?

Sangkot menuturkan, sebelum eksekusi, Mochtar menandatangani persetujuandengan Kenpetai. Dalam kontrakitu, Mochtar bersedia dinyatakan bersalah atas akhir hayat 900 romusa asalkan stafnya mampu dibebaskan.

Penerbitan buku wacana Mochtar dalam bahasa Inggris berencana untuk mengungkapkan kepada dunia tentang adanya dokter yang dikriminalisasi untuk menutupi kejahatan perang. Sampai sekarang, Jepang tidak pernah minta maaf atas tindakannya memancung Mochtar.

Di Indonesia sendiri, Mochtar belum terlalu dihargai. Dia pernah dianugerahi Bintang Jasa Utama pada era Presiden Soeharto. Penghargaan itu ditujukan untuk orang yang berjasa pada kelompok terbatas.

Sangkot mengatakan, Mochtar patut menjadi satria nasional dengan jasa-jasanya.

Jasa yang mampu dilihat pada Mochtar bukan cuma bahwa dia rela dipancung. Dia juga yang turut melakukan riset dan misi kedokteran pada abad Jepang.

Setelah sekolah kedokteran kurun penjajahan Belanda ditutup, Mochtar turut serta membuka sekolah kedokteran Ikada Daikagu pada zaman Jepang (kini Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia).

Nama Mochtar sekarang diabadikan sebagai nama rumah sakit di Bukittinggi.

Pahlawan bangsa Indonesia bukan hanya mereka yang bertempur di medan perang, melainkan mereka yang melakukan aktivitas ilmiah dan mati sebab dikriminalkan. Jepang sendiri membantai banyak intelektual Indonesia dalam tiga tahun kala penjajahannya.

Salah satu pembantaian dilaksanakan di Kalimantan Barat. Korban pembantaian dikubur di Makam Juang Mandor. Salah satu dari sekian banyak intelektual yang dibantai yakni dr Roebini dan dr Soesilo yang aktif melakukan riset malaria.

  Mengingat Country Jack Grup Band Sukabumi Tempo Dahulu

“Salah satu anggota keluarga dokter malah mesti datang ke Kalimantan hanya untuk menyaksikan pembantaian suami dan ayah,” kata Sangkot. (Sumber: Kompas.com)