Masjid Agung Surakarta

Sejarah dlm Balutan Keindahan

masjid agung surakarta depan

Masjid Agung Surakarta adalah peninggalan Kerajaan Mataram. Seperti halnya beberapa Masjid Agung di kawasan lain yg merupakan masjid kerajaan zaman dulu, Masjid Agung Surakarta pun memiliki beberapa kriteria, di antaranya, terletak akrab Keraton sebagai pusat pemerintahan & tempat tinggal raja, alun-alun selaku pusat kegiatan penduduk , & pasar selaku sentra kegiatan ekonomi.

Masjid yg dibangun pada era Paku Buwono III ini menerima dampak gaya arsitektur Jawa Kuno & Belanda. Penggunaan materi kayu pada beberapa bagian masjid tampak mendominasi. Secara keseluruhan, bangunan berupa tajug dgn atap tumpang tiga & berpuncak mustaka (kubah). Makna tajug bertumpang tiga tersebut yakni pokok-pokok tuntunan Islam, yakni keyakinan, Islam, & ihsan.

masjid agung surakartaMustaka atau mahkota atap masjid baru dibangun semasa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwono IV (1788- 1820). Momen ini disertai pelantikan nama Masjid Ageng (Agung). Awalnya mustaka dibuat dr lapisan emas murni seberat 7,68 kg seharga 192 ringgit. Bentuknya berbeda dgn masjid- masjid lain yg biasanya berhiaskan bulan sabit & suatu bintang. Kubah ini berupa paku yg menancap di bumi. Itulah simbol dr Paku Buwono yg mempunyai arti Penguasa Bumi. Lapisan emas itu sempat diganti dgn materi metal yg besar lengan berkuasa pada tahun 1843 Saka.

Beranda depan Masjid Agung didominasi oleh kayu jati mutu nomor satu & terkesan sudah sungguh renta. Dinding ruang utama pula yang dibuat dr kayu, ditempeli aneka macam prasasti bertulisan Jawa Kuno.masjid agung surakarta dalam

Pada area masjid pula terdapat serambi yg mempunyai semacam lorong menjorok ke depan (tratag rambat) & bab depannya membentuk kuncung. Ruang shalat utama, mempunyai empat soko guru (tiang utama) selaku titik awal pembangunan masjid & 12 soko rawa.

  Masjid Lamo Kerinci

Seperti lazimnya masjid-masjid di Jawa, masjid ini pula memiliki beberapa bab utama di antaranya mihrab, mimbar yg dipenuhi gesekan, & kaligrafi ayat-ayat Al-Alquran yg terletak di atas pintu-pintu masjid.

Pembangunan selanjutnya berjalan di masa Sri Susuhunan Paku Buwono VIII (1830-1875 M), meliputi pengerjaan pawestren yg ibarat gandok dlm ruangan rumah tangga, serambi yg mirip pendopo dlm rumah tangga yg dipakai sebagai aula untuk pengajian akbar & acara resmi hari-hari besar Islam, balai ijab kabul, & upacara shalat mayat.

Masjid pula dilengkapi bak-kolam air yg selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan air seperti wudhu, pula memperbesar kesan sejuk. Di masa lampau, kolam air dibentuk mengelilingi seluruh area masjid sedalam 50 sentimeter. Namun, dikala ini kolam air keliling tersebut sudah diperkecil.

Di sebelah timur terdapat gapura masjid berupa limasan yg diperindah dgn arsitektur Arab. Gapura berasal dr bahasa Arab “ghafura” yg berarti dimaafkan kesalahannya. Di atas gapura tercantum kaligrafi doa masuk & keluar dr masjid yg diukir sungguh indah di atas kayu jati dgn simbol mahkota & suatu jam besar.

masjid agung surakarta dlm

masjid agung surakarta dlm


Dibangun oleh Penguasa Mataram

Pindahnya sentra pemerintahan Kesultanan Mataram dr Kartasura ke Surakarta (Solo) terhitung semenjak 17 Februari 1745 M. Pada saat itu Mataram diperintah oleh Paku Buwono (PB) II. Tidak lama sehabis membangun pusat pemerintahan yg baru, PB II mendirikan beberapa masjid sebagai tempat peribadahan.

Masjid Surakarta yaitu salah satu masjid yg diresmikan oleh penguasa Mataram waktu itu. Masjid yg dibangun pertengahan era-18 ini terletak di penjuru kota bab timur. Sedangkan, tiga masjii keraton lainnya ialah masjid Kepatihan, Masjid Mangkunegaran, dr Masjid Laweyan. Masing-masing terletak di penjuru utara, barat, & selatan kota Solo.

  Masjid Nasional Al Akbar

Pada awal didirikannya, Masjid Agung Surakarta tak sebesar dr semegah sekarang. Sebagaimana dikenali, PB II bertakhta di keratornya yg gres di Surakarta Hadiningrat, cuma empat tahun lamanya la mangkat (wafat) pada tahun 1749 M. Sementara itu, bangunan masjid yg ia rintis belum berakhir pembangunannya. Maka, para penerusnyalah yg kemudian menyelesaikan & menyempurnakan pembangunan ketiga masjid tersebut.

Yang banyak menawarkan andil dlm pembangunan dar. pengembangan masjid ini, antara lain PB II, PB IV, PB VII, & PB X Sepintas, Masjid Agung Surakarta ini mirip bangunan keraton. Antara lain ada gapura & benteng yg mengelilinginya, dua buah bangunan tempat menyimpan gamelan, pendopo (paseban) sebagai tempat pertemuan, serta sebuah mimbar berukir yg menyerupai suatu singgasana raja.

Bahkan, bahan bangunan, relief, maupun pernak-pernik yg terletak di sebelah barat alun-alun ini tak jauh berbeda dgn yg ada di keraton. Yang memperlihatkan bahwa bangunan ini yakni sebuah masjid, yaitu adanya dua buah beduk–yang dikenal dgn nama Kiai Tenggoro–di serambi depan. Masing-masing di sebelah utara & selatan. Beduk ini dibunyikan sebagai tanda masuknya waktu shalat (lima waktu).

Bangunan yg banyak menggandakan arsitektur Masjid Demak ini, mempunyai atap sirap berumpak tiga yg melambangkan dogma, Islam, & ihsan. Sedangkan, daun pintu, jendela, kusen, & reng bangunan bersejarah ini kesemuanya terbuat dr kayu jati opsi.

Ciri khas lain yaitu adanya gesekan bermotif bunga bersepuh wama keemasan menghiasi mimbar, mihrab, & maksuroh masjid terbesar di kota Solo ini.

Di halaman masjid sebelah kiri terdapat suatu menara atau sering disebut Jogosworo, tempat pengeras suara yg tingginya sekitar 16 meter. Dari menara inilah terdengar suara azan setiap kali masuk waktu shalat fardu.

  Masjid Al Ikhsan

Aktivitas yg memakmurkan masjid ini tertata rapi mulai & acara harian, mingguan, bulanan, maupun tahunan. Majelis taklim pula tersedia bagi belum dewasa, dewasa, & orang renta.

Tidak jauh dr Masjid Agung Surakarta pernah berdiri lembaga pendidikan Islam yg cukup dipertimbangkan, yakni Madrasah Mambaul Ulum yg didirikan oleh PB X pada tahun 1905. Mantan Menteri Agama RI, Munawir Sadzali, M.A. adalah salah satu alumni madrasah ini.

Nama Mambaul Ulum kini digunakan oleh sebuah akademi tinggi Islam di Surakarta, yakni DM (Institut Mambaul Islam) Surakarta yg terletak tak jauh dr Pondok Pesantren Jamsaren Surakarta. Rektor DM ini dijabat oleh K.H. Ali Darokah yg pula Ketua MUI Surakara.

Adapun pengelolaan Masjid Agung Surakarta setempat mengalam berulang kali pergeseran. Pada mula berdirinya, pendanaan masjid berasal dr keraton. Setelah Kemerdekaan 1945, pemerintahan beralih ke tangan RI, namun keberadaan Keraton Surakarta tetap diakui selaku salah satu peninggalan budaya bangsa yg perlu dilestarikan. Demikian pula dgn Masjid Agung Surakarta atau yg dahulu dikenal sebagai Masjid Keraton.

Berdasarkan surat No. 50/2/7 tertanggal 12 April 1952 & Kepmendagri No. E/23/6/7, pengelolaan masjid diserahkan pada Kementerian Agama. Kemudian, menurut Kepmenag No. 49 tahur 1962, Masjid Keraton Surakarta ini dikontrol oleh Departemen Agama.

Akan tetapi, menurut surat dr Dit Uris No.ll7/BKMP/1974 disebutkan bahwa sumbangan rutin untuk keempat Masjid Keraton (Masjid Agung, Masjid Kepatihan, Masjid Mangkunegaran, & Masjid Laweyan dihentikan. Konsekuensinya, untuk menyanggupi segala keperluan dibebankan pada umat Islam setempat, yakni lewat pengumpulan zakat, infak, & sedekah (ZIS), serta bentuk bantuan yang lain.

Terhitung semenjak 1988, menurut Kepres RI No. 23 tertanggal 23 Juli 1988, pengelolaan masjid ini diserahkan kembali pada Keraton Kasunanan Surakarta.