Masjid Kuno Desa Bayan

Saksi Islamisasi yg Belum Selesai

masjid kuno desa bayan

Desa Bayan yakni desa yg berada paling utara di Kabupaten Lombok Barat yg berdekatan dgn Gunung Rinjani. Kalau Anda berkunjung ke Desa Bayan maka Anda akan dapat melihat sebuah masjid renta yg sering disebut oleh masyarakat Bayan sebagai Masjid Kuno.

Masjid yg berukuran 9 x 9 m ini berdiri di atas tanah 1,5 hektar & letaknya berdekatan dgn jalan raya. Di halaman masjid berdiri dua buah pohon beringin yg besar & rindang. Di sekeliling halaffl an masjid terlihat beberapa cungkup kuburan nenek moyang masyarakat Bayan yg sudah menganut Islam.

Menurut Itrawadi al-Bayani, Kepala Kebudayaan Kecamatan Bayan, Masjid Kuno ini didirikan sekitar abad ke-16 M oleh para waliyullah yg berasal dr Pulau Jawa selaku penyebar Islam di Pulau Lombok. Namun, sampai ketika ini belum diketahui dengan-cara pasti siapa yg pertama kali mendirikan Masjid Kuno ini.

Yang terperinci, lanjut Itrawadi, agama Islam pertama kali masuk ke Pulau Lombok lewat Desa Bayan pada sekitar selesai era ke-15 oleh Sunan Prapen alias Pangeran Senopati, Cucu Sunan Giri.

Unik Tapi Nyata

Kalau Anda masuk ke dlm Masjid Kuno ini, terasa mencekam perasaan sebab pada waktu malam hari tak ada lampu di dalamnya.

Kecuali pada hari-hari besar Islam yg diadakan oleh pemangku etika bersama masyarakat yg masih menganut iktikad Wetu Telu. Itu pun hanya memakai batang dila lilit jojor yg dibentuk dr batang bambu yg dilingkari dgn lilitan buah jarak diaduk dgn kapas, kemudian dinyalakan & bersinar redup.

Sejak awal tahun 1993, Pemda NTB memang sudah memperbaiki masjid Kuno ini, tetapi listrik & lantai semennya tak menjamah bangunan tersebut. Keasliannya tetap tak berubah. Masjid ini memiliki keunikan tersendiri dibanding masjid-masjid yang lain. Contohnya, seluruh pasaknya berasal dr kayu & atap dr santek yg berasal dr bambu. Termasuk pagarnya, pula yang dibuat dr bambu yg diikat begitu saja tanpa dipasak.

Sepi

Sekalipun masjid ini sudah dipugar, namun terlihat sepi, dlm arti ddak difungsikan selaku kawasan ibadah. Masjid ini hanya difungsikan & diramaikan pada waktu upacara-upacara keagamaan, seperti Maulud Nabi, shalat taraweh, shalat Ied, & sebagainya.

Upacara keagamaan tersebut dikerjakan oleh masyarakat yg masih menganut dogma Wetu Telu, & pelaksanaannya masih banyak yg menyimpang dr anutan syariat Islam. Menurut salah seorang tokoh penduduk yg masih tergolong keturunan pemangku budbahasa Bayan (mantan penganut Wetu Telu yg sudah kembali pada syariat Islam yg bergotong-royong), ajaran Wetu Telu merupakan hasil imajinasi belaka. Hal ini dapat kita lihat dr metode pelaksanaan upacara hari besar Islam.

Satu contoh, peringatan Maulud Nabi oleh penganut Wetu Telu harus dilakukan pada tanggal 15 (bukan 12 Rabi’ul Awal) alasannya pada tanggal itu bulan sedang purnama. Sebab, pada program itu tak diperkenankan menggunakan lampu, cukup disinari cahaya bulan saja. Selain itu, acara Maulud versi Wetu Telu senantiasa diwarnai dgn tradisi perisaian, yakni mabuk-mabukan yg jelas diharamkan oleh Islam.

Begitu pula puasa. Penganut Wetu Telu hanya melaksanakan ibadah puasa tiga hari pada awal (1-3) & tiga hari menjelang tamat Ramadhan. Juga pelaksanaan hari raya Idul Fitri dilaksanakan pada tanggal 3 Syawal & Idul Adha pada tanggal 13 Dzulhijjah (bukan 10 Dzulhijjah).

  Masjid Al Wustho Mangkunegaran

Penganut kepercayaan Wetu Telu ini sukar sekali dimengerti jumlahnya di Desa Bayan Akan tetapi, bagi masyarakat yg sudah melaksanakan pedoman Islam dengan-cara tepat, yakin bahwa suatu ketika penganut Wetu Telu akan bertobat & menjadi penganut Islam yg sempurna. Ini mampu dibuktikan dgn berdirinya beberapa pondok pesantren & masjid.