Situs Kerikil Ambal Tlahap

 Situs Watu Ambal tepatnya berada di desa Tlahap sebelum jembatan Si Gandul yang populer akan keindahan pemandangannya itu. Situs Watu Ambal yang ialah peninggalan purbakala itu telah diketahui masyarakat lokal sejak puluhan tahun yang lalu. Situs ini berada di lingkungan lahan pertanian warga Desa Tlahab sehingga tidak akan begitu susah untuk mendapatkan situs ini. Situs ini sendiri didapatkan puluhan tahun kemudian bareng dengan kerikil lingga yoni dan prasasti berupa watu pipih yang mempunyai angka tahun 1794. Situs Watu Ambal ini berupa undakan watu yang mirip tangga dengan panjang sekitar 25 meter.

Watu Ambal adalah situs arkeologis berbentuksusunan tangga watu yang berada di pinggiran Desa Tlahap, Kecamatan Kledung,Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Tangga batu dengan orientasi arah timur laut-barat daya ini mempunyai kemiringan lebih dari 45 derajat dengan panjang lebih dari 25 meter. Lokasinya di lereng bukit dengan ujung tangga langsung menuju tebing jurang.

Menimbulkan banyak pertanyaan, sebab di sekitar daerah tersebut tidak banyak di peroleh peninggalan arkeologis lain. Hanya sebuah lingga semu dan sebuah kemuncak yang mirip yasti yang berada di lokasi ini.

Pada kiri kanan bukit tempatnya bangkit diapit oleh dua sungai, Sungai Gendol dan Sungai Galeh di kiri kanan dan lalu bertemu menjadi satu ajaran sungai atau tempuran didepannya.

Riwayat Temuan

Pada tanggal 15 April 1866 terjadi tanah longsor di sebuah bukit kecil di erat Desa Tlahap, Parakan, Temanggung. Bersamaan dengan longsoran tanah ini kemudian terlihat 20 anak tangga yang sebelumnya tidak pernah terlihat. Laporan ini segera ditanggapi oleh pemerintah Hindia-Belanda dan memerintahkan untuk melaksanakan penggalian permulaan dan sukses memunculkan 82 anak tangga. Tangga tersebut dilaporkan yang dibuat dari watu jenis kekuningan, dengan kondisi sungguh utuh dan memiliki lebar 2,5 ft.

Temuan tersebut diteruskan kepada pemerintah pusat yang ada di Batavia era itu, sehingga pemerintah lalu mengucurkan dana sebesar 500 gulden. Hal itu dikerjakan mengenang setahun sebelumnya di Desa Tlahap yang tidak jauh dari lokasi ini juga didapatkan suatu prasasti dari watu yang terbelah menjadi dua yang berada di bawah pohon.

  Manajemen Munurut H.B Siswanto

Penggalian kedua dikerjakan pada bulan Juli 1866. Penggalian difokuskan untuk menyusuri arah anak tangga yang ternyata hingga pada tepian Kali Gendol dan memunculkan total 89 anak tangga. Dua anak tangga paling bawah atau terakhir masuk sampai dalam air Sungai Gendol.

Selain itu, para pekerja juga mendapatkan suatu pisau (bandol) dan sebongkah besi yang berada dalam tanah di bersahabat tangga itu. Penggalian ini lalu di akhiri, karena pemerintah berpendapat jikalau telah tidak ada lagi temuan penting yang mampu ditemukan.

Sebagai penelitan lanjutan, pemerintah mengirim G.A Pet yang dikala itu sedang bertugas dan juga memimpin penggalian di Dieng untuk meneliti temuan ini. Penunjukan Pet bukan tanpa alasan, mereka menganggap jika Pet sudah sering mengatasi dan menemui tangga batu sejenis yang ia dapatkan di Wilayah Dataran Tinggi Dieng.

Januari 1867, Laporan Pet diterima oleh pemerintah Hindia-Belanda. Dalam laporannya Pet menggambarkan secara ringkas temuan di Desa Tlahap tersebut. Tangga berada di antara pertemuan Sungai Galeh dan Sungai Gandol yang keduanya memiliki bibir sungai yang curam. Susunan tangga berorientasi ke arah timur maritim-barat daya.

Tangga secara keseluruhan terbentuk dari batuan yang terpotong sungguh rapi, susunan tertata sedemikian rupa dan berlawanan sekali dengan anak tangga atau lebih bersahabat dikenal sebagai “Ondo Budo” yang ia dapatkan di wilayah dataran tinggi Dieng.

Pahatan yang masih sungguh rapi ini menimbulkan kecurigaan Pet jikalau mungkin tangga di Desa Tlahap ini sudah terkubur tidak lama setelah pembangunan. Sehingga tidak ada sedikitpun tanda-tanda jikalau tangga telah pernah dipakai ataupun kerusakan serius pada permukaannya.

Pada ujung atas tangga tidak ditemukan apapun, kecuali wilayah dataran yang rata. Sedangkan pada bagian bawah telah menyentuh bibir sungai dan dia berpendapat bahwa kemungkinan sisa anak tangga lain sudah hanyut tersapu air dan tidak menawarkan rekomendasi untuk melaksanakan galian lanjutan.

Temuan tangga ini juga pernah dikunjungi oleh P.J Veth, dan didokumentasikan dalam bukunya Java II, 1877. Di mana ia menulis bilamana mungkin saja dahulu di atas bukit tempat tangga ini rampung mungkin pernah berdiri sebuag candi yang kini telah tidak bisa dilihat lagi.

Tempat inipun tidak luput dari perhatian Knebel dikala melakukan pendataan temuan di daerah Temanggung. Ditemani oleh Wedana Parakan dia mengunjungi Desa Telahap dan mengunjungi tangga tersebut. Pada kunjungannya di tahun 1911 dia menyaksikan terdapat dua buah benda yang seperti lingga yang berada di bersahabat lokasi sekitar kawasan ini. Terdapat pula suatu arca berlengan dua yang sudah tidak mampu lagi dimengerti setinggi 0.58 meter.

Saat ini tangga batu di Desa Tlahap tersebut masih dalam keadaan sangat baik. Namun dari 89 anak tangga yang dilaporkan sekarang hanya tersisa 84 undakan. Sungai Gandol atau kini lebih diketahui Kali Gendol yang diberitakan selaku ujung dari anak tangga alirannya kini telah bergerser jauh puluhan meter dan anak tanngga terakhir yang seolah terputus pada tepian tebing curam setinggi lebih dari 3 meter dari permukaan tanah di bawahnya.

Untuk apa tangga ini dibuat juga masih menjadi tanda tanya dan belum terpecahkan hingga sekarang. Dua buah watu menyerupai lingga yang pernah dilihat Knebel masih ada di lokasi, salah satu watu ini patah menjadi tiga bagian. Batunya diukir sederhana, bab atas lonjong membulat sedangkan pada bagian pangkal berbentuk persegi. Salah satunya nyaris mirip dengan lingga patok tetapi memiliki ukuran yang jauh lebih besar.

Tidak ditemukannya bagian batuan candi lain ditempat ini menyulitkan untuk sekedar identifikasi, mungkinkah benda ini ialah sebuah lingga patok yang biasa dipakai sebagai batas tanah sima atau sebuah kemuncak candi.

Lokasi yang berada di antara dua pertemuan sungai Kali Gendol dan kali Galeh juga cukup menawan untuk diperhatikan. Dimana “tempuran” biasanya memang kadang-kadang diseleksi sebagai tempat bangunan suci “Di tempat inilah paradewa selalu bermain”, (Bhrat Samhita, LVI. 4). Tetapi seperti yang kita peroleh sekarang, di sekitaran lokasi yang berdekatan tidak ditemukan sisa bangunan apapun. Mungkinkah bangunannya terbuat dari materi organik? Namun bila bahan organik kerikil mirip lingga yang bisa juga sebagai kemuncak yang kita kemukan berskala cukup besar dan sungguh kecil kemungkinannya dipakai sebagai puncak sebuah bangunan dengan bab bawahnya dari kayu.

  Telaga Batu Airnya Sebening Kristal ! Rekreasi Bogor Modern, Kamu Wajib Ke Sini

Atau mirip prasangka Pet, jikalau bangunan utama ditempat tersebut sudah hilang tidak usang sehabis tangga dibentuk? Untuk sekedar kembali mengingat, legenda yang beredar pada masyarakat lokal menyampaikan apabila “kerikil ambal” ini tadinya akan dibentuk suatu masjid di waktu malam hari, tetapi sebab terdengar bunyi ayam dan lesung masjid yang dimaksud tidak pernah dibuat alasannya adalah waktu yang di syaratkan sudah habis.

Mungkinkah legenda ini ialah suatu kenangan samar dari penduduk yang masih terekam? Tetapi dugaan ini akan kontras bila dicocokkan kepada yang di sampaikan oleh Hoepermans 1867, bila tangga kerikil ini tidak pernah ada yang menyadari sebelum terjadi longsor pada April 1866.

Mengenai kenyataan tangga yang menuju pemikiran sungai juga tidak serta merta mampu kita lupakan. Mungkinkah tangga ini dahulu ialah sebuah susukan dari atau akan kesungai atau mata air? Cerita dari Brummund perihal Bimo Lukar mungkin mampu memberikan citra. Dimana dahulu terdapat tangga curam nan sempit yang digunakan oleh penduduk guna menuju sebuah mata air (Brummund, 1854).

Keberadaan sungai juga digunakan sebagai sarana transportasi seperti halnya yang diceritakan dalam prasasti Telang 825 S dan juga relief pada Candi Borobudur dan lain-lain. Mungkinkah tangga ini yaitu kanal dari sungai (bahtera) guna menuju daratan?

Memang banyak sekali pertanyaan yang mesti dijawab wacana tujuan dan fungsi pembangunan Watu Ambal pada masanya dulu. Mungkin prasasti yang pernah disinggung oleh Hoepermans mampu menunjukkan petunjuk, mengingat prasasti inilah yang berada di lokasi paling bersahabat dengan eksistensi Watu Ambal. Namun sayang keberadaan “saksi kunci” tersebut kini entah di mana rimbanya.