Sejarah Kabupaten Gadingrejo (1604-1611 M)
Di sebelah selatan Ponorogo tepatnya di desa Campursari Sambit pernah bangun sebuah kabupaten berjulukan Gading Rejo. Pada Tahun 1911 M dusun Gading,Judel dan Bedali dijadikan 1 dan dinamakan desa Campursari.
Awal Mula Gadingrejo
Ketika Panembahan Senopati wafat pada hari Jum’at Pon 30 Juli 1601 serentak dengan terjadinya gerhana matahari, jasad ia dimakamkan di pemakaman Kotagede disamping ayahanda Ki Ageng Pamanahan (Ki Gede Mataram). Sebagai penggantinya ditunjuk Mas Jolang yang bergelar Panembahan Hanyokrowati, putra keempat Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Mas Waskito Jawi, putri Sulung Ki Ageng Penjawi, penguasa Pati.
Pada awal pemerintahannya (1602), sang abang Raden Mas Kentol Kejuron atau Pangeran Puger putra Panembahan Senopati dengan Rara Semangkin atau Nyai Adisara, putri Raden Bagus Mukmin (Sunan Prawoto) memisahkan diri dari Kotagede alasannya merasa lebih berhak atas tahta dibandingkan dengan adiknya Mas Jolang karena ia ialah putra laki-laki tertua Panembahan Senopati era itu sebab kakaknya Raden Ronggo wafat di usia muda.
Setelah pemberontakan Pangeran Puger yang didukung oleh Adipati Gending dan Adipati Panjer mampu dituntaskan dengan mengirim Tumenggung Suronoto ( Ki Gede Mestoko) pada 1605, muncul gejala-gejala baru, beberapa kadipaten ingin melepaskan diri dari kekuasaan Mataram, diantaranya Kadipaten Ponorogo yang dipimpin oleh Tumenggung Ronggo Wicitro.
Untuk mengamankan tempat bang wetan serta mengawasi pergerakan Adipati Ponorogo, maka diutuslah Mas Barthotot atau Pangeran Djoyorogo putra Panembahan Senopati dengan selir dari Kajoran. Pangeran Djoyorogo membuka Kadipaten gres di selatan Ponorogo ialah Kadipaten Gadingrejo. Lama kelamaan Kadipaten ini makin berkembang dengan hasil bumi yang melimpah.
Masa Akhir Kadipaten Gadingrejo
Bersama berjalannya waktu, Pangeran Djoyorogo pun melatih para perjaka dan pamong praja Gadingrejo dengan ilmu ketangkasan dan keprajuritan. Pangeran Djoyorogo lalu kemudian mengangkat dirinya dan bergelar Pangeran Djoyonegoro yang disokong oleh para penguasa dari bang wetan yakni Pangeran Ronggo, Panji Wirobumi, Ngabehi Malang serta Demang Noyohito.
Perkembangan Kadipaten Gadingrejo dan hadirnya tanda-tanda akan melepaskan diri Pangeran Djoyonegoro dari kekuasaan Mataram lalu dikenali dan dilaporkan oleh Adipati Ponorogo Tumenggung Ronggo Wicitro kepada penguasa Mataram Panembahan Hanyokrowoti di Kotagede.
Panembahan Hanyokrowoti pun segera merespons dengan mengirim Pangeran Pringgoloyo, putra Panembahan Senopati dengan Kanjeng RetnoDumilah, putri Adipati Madiun Ronggo Jumeno didampingi Tumenggung Mertoloyo. Keduanya bergabung dengan Adipati Ponorogo Tumenggung Ronggo Wicitro bergerak ke Kadipaten Gadingrejo, selatan Ponorogo.
Setelah sukses menanggulangi perlawanan Pangeran Djoyonegoro, Pangeran Pringgoloyo menasehati kakaknya bahwa tindakannya keliru. Pangeran Djoyonegoro kemudian di asingkan ke suatu gunung watu berupa masjid yang disebut gunung Loreng. Tempat diasingkannya Pangeran Djoyonegoro kini bernama Slahung yang berasal dari Selong atau pengasingan. Adapun Kadipaten Gadingrejo pada 1611 disowak atau ditiadakan.
Pangeran Djoyonegoro dan keluarganya menetap di kawasan gunung batu tersebut hingga selesai hayatnya pada Ahad Pon bulan Syawal tahun Wawu 1677 M. Makamnya berada di suatu bukit di kaki gunung Loreng yang disebut bukit Tumpak Swangon. Salah satu putra ia adalah Raden Buntoro atau dikenal sebagai Ki Dugel Kesambi atau Kyai Kasan Buntoro yang lalu berputra Kyai Nursalim.
Salah satu putri Kyai Nursalim kelak diperistri oleh pendiri Pondok Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari adalah Ki Ageng Muhammad Besari. Dari keduanya kelak menurunkan bupati Ponorogo yakni KRMT. Adipati Cokronegoro yang berputra RM. Cokroamiseno dan berputra HOS. Cokroaminoto, guru dan ayah mertua Sukarno (putra Susuhunan Pakubuwono X yang diasuh oleh RM Panji Soemosewojo di Ndalem Pojok Kediri).
Adapun Pangeran Pringgoloyo, adik Pangeran Djoyorogo lalu menetap di Ponorogo barat di daerah Semanding, Kauman, Somoroto. Pangeran Pringgoloyo berputra Raden Mertosono yang menetap di tempat Tosanan dan Raden Prawirotuno yang menetap di Tegalombo, Makam keduanya berada di kecamatan Kauman Ponorogo.