Ada beberapa naskah Sunda kuna (NSK) yang “hadir” belum usang ini. Tentu saja, “hadir” di sini tujuannya dihadirkan dikarenakan telah dan sedang diteliti dari sisi filologi, ilmu yang memang bergerak di bidang transliterasi, transkripsi, rekonstruksi, translasi dan interpretasi naskah kuna.
Paling tidak ada 13 NSK yang diteliti. Naskah yang dimaksud sebagai berikut: Carita Raden Jayakeuling (CRJ, L 407), Kaleupasan (K, L 426 B), Sanghyang Jati Maha Pitutur (SJMP, L 426 C), Kala Purbaka (KP, L 506), Sanghyang Sasana Maha Guru (SSMG, L621), Warugan Lemah (WL, L 622), Bimaswarga (B, L 623), Sanghyang Swawar Cinta (SWC, L 626), Kisah Putra Rama dan Rawana (KPRR), dan empat versi naskah Sewaka Darma.
Dari sisi peneliti naskah, paling tidak mampu digolongkan menjadi dua kelompok. Pertama, tiba dari kelompok staf Perpustakaan Nasional RI, yakni Aditia Gunawan. Peneliti muda ini meneliti SSMG, KP, SJMP, K, WL, dan SSC. Dari jumlah tersebut yang telah dipublikasikan baru dua, ialah yang dibukukan menjadi Sanghyang Sasana Maha Guru dan Kala Purbaka: Suntingan dan Terjemahan (2009).
Sementara yang kedua berasal dari kelompok akademisi, baik mahasiswa maupun dosen yang tengah menuntaskan studi lanjutannya. Dari kalangan ini tercatat Undang A. Darsa (pengajar di Unpad), Mamat Ruhimat (pengajar di Unpad), Rahmat (pengajar di Unpad), dan Reza Saeful Rachman (mahasiswa UPI Bandung).
Dari sisi materi ada yang menarik kita perhatikan. Dari ke-13 NSK, ada dua di antaranya yang ditulis di atas bilah bambu. Keduanya, SJMP dan K. Penggarapan NSK bilah bambu ini ialah kali pertama yang dilaksanakan oleh peneliti, sebab sebelumnya yang banyak diteliti yaitu naskah-naskah yang berbahan tulis lontar dan nipah.
Sedangkan dari asal usulnya pun tidak jauh berbeda dengan yang telah dilakukan pada penelitian-observasi NSK sebelumnya : kebanyakannya berasal dari koleksi Perpustakaan Nasional dan Kabuyutan Ciburuy.
Naskah-naskah dari Perpusnas adalah SSMG, KP, SJMP, K, B, WL, CRJ, dan satu model Sewaka Darma (L 408) yang pernah diteliti sebelumnya. Sementara dari Kabuyutan Ciburuy, ialah KPRR dan tiga model naskah Sewaka Darma yang dua di antaranya sudah ditranskripsi oleh Partini dan Edi S. Ekadjati (1988).
Dari segi isinya memang mengetengahkan keragaman, walaupun kebanyakannya disemangati oleh situasi keagamaan baik agama Hindu-Budha maupun agama wiwitan. Dari ke-13 naskah tersebut, di antaranya ada naskah yang berkaitan dengan kosmologi (KP), pantun Sunda (CRJ), rajah pantun (SSWC), dan topografi (WL).
Naskah KPRR yang mula-mula dianggap uniqum (tidak ada salinannya) pada penelitian J. Noorduyn dan A. Teeuw (2006), ternyata satu versi lagi ditemukan tercecer di tiga kropak NSK yang ada di Kabuyutan Ciburuy. Naskah ini sekarang dikerjakan oleh Mamat Ruhimat.
Selain itu, yang pantas juga dicatat adalah SSMG. Dari naskah berisi budpekerti para pengabdi aturan (sang sewakadarma) yang diformulasikan dalam bentuk numerik dan dibagi menjadi 46 bab ini, kita diperkaya dengan khazanah wawasan literasi yang dahulu hadir di kelompok orang Sunda, khususnya di golongan para resi, biku, atau pendeta sebagai pembaca dan penyalin naskah.
Pengetahuan tersebut berhubungan dengan penyebutan Dewa Gana yang dipercayai selaku prima causa tulisan. Dewa inilah yang dipercayai melahirkan lontar dan gebang sebagai bahan tulis. Selain itu, juga disebut-sebut tuhan ini pun melahirkan tangan, air, kuas, dan tinta atau disatukan dengan istilah Asta Gangga Wira Tanu.
Demikian pula penyebutan 10 media tulis, adalah emas, perak, tembaga, baja, besi, kerikil, papasan kayu, bilah bambu, daun lontar, dan daun gebang, berikut pembagian pihak yang berhak menggunakan medianya. Ke-10 media tersebut diistilahkan selaku dasawredi (sepuluh tanda perkembangan). Hal tersebut, terang, mengungkapkan bahwa di kalangan kaum agamawan-cendikiawan Sunda di masa lalu sudah tumbuh kesadaran akan kekuatan yang ditimbulkan bacaan, oleh goresan pena. Dengan kata lain, literasi memang memegang kekuatan sebagai pendorong pertumbuhan suatu masyarakat.
Naskah WL pun mempesona untuk disimak. Dengan awal, “Ini warugan lemah. Inge(t)keun di halana, di hayuna. Na pidayeuhheun, na pirembulleun, na piuballeun”, NSK ini mengungkap 16 karakteristik tanah yang mau dijadikan pemukiman, konsekuensi pememakaiannya, serta penolak balanya. Meski mirip primbon, NSK ini tapi sebenarnya mengambarkan kearifan lokal orang Sunda tempo dahulu ketika dihadapkan pada pemilihan tanah yang dinilai baik bagi pemukiman.
Inilah salah satu contohnya, “lamunna témbong ka laut ma ngarana Tuyang Laya na dayeuh. Pamalina /2r/ paéh ku bajra dayeuhan dayeuh. Panyudana nyawung di tengah lemah poéna tupek kaliwon” (Bila menghadap ke bahari, namanya Tuyang Laya. Akibatnya tempat tersebut akan hangus terkena petir. Penawarnya, menciptakan pondok di tengah tanah, harinya kliwon).
Sebenarnya, dari fakta-fakta di atas, terang observasi NSK masih eksis hingga sekarang. Dari komposisi para penelitinya, aku kira, kita patut bangga dengan datangnya para peneliti muda, yang diwakili Aditia, Reza, Rahmat, dan Mamat. Dengan demikian, baik disengaja atau tidak, pewarisan literasi atas NSK kepada generasi muda sudah berjalan. Juga menambah daftar orang yang literate di bidang NSK, yang sebelumnya dikhawatirkan tidak ada lagi.
Selain itu, yang tak kalah pentingnya, dengan terungkapnya kandungan NSK di atas mengisyaratkan urgennya upaya pembacaan, pengalih-aksaraan, dan penerjemahan NSK yang lain, mengenang jumlah NSK yang belum terungkap itu masih banyak yang belum tersentuh.
Aditia (2009) mencatat 55 NSK yang ada di Perpusnas. Belum yang ada di kabuyutan, seperti Kabuyutan Ciburuy, Kabuyutan Jasinga, dan yang masih tersebar di penduduk . Semuanya mesti segera “diselamatkan” dan dikerjakan secara filologis, mengingat kondisi NSK yang kian rapuh dikonsumsi waktu.
Karena sebagaimana yang terungkap dari sebagian hasil observasi-observasi NSK di atas, ternyata sangat memperkaya pengetahuan kita pada kebudayaan Sunda di periode kemudian. Dengan penanganan yang masif dan rinci atas NSK-NSK yang belum diteliti, mampu kita harapkan hadirnya beragam pengetahuan baru dari perikehidupan orang Sunda di kala lalu.
Dengan upaya demikian barangkali kita takkan kena kutuk selaku generasi yang pareumeun obor. Tidak menjadi generasi yang membiarkan warisan budaya dibiarkan musnah dimangsa zaman. Karena warisan itu mampu dijadikan kekuatan berupa cerminan untuk menghadapi kehidupan kurun kini dan menciptakan strategi untuk membaca abad yang akan datang. ATEP KURNIA, penulis lepas, bergiat di Pusat Studi Sunda (PSS), dan Komunitas Sasaka UIN Sunan Gunung Djati, Bandung.