PELAKU:
NYONYA MARTOPO : Janda muda, gundik seorang pemilik tanah
BAITUL BILAL : Seorang pemilik perkebunan
MANDOR DARMO : Tangan Kanan Nyonya Martopo
TIGA ORANG PEKERJA
KEJADIAN:
TEMPAT KEJADIAN:
DI SATU TEMPAT DAERAH PERKEBUNAN KOPI DI JAWA TIMUR. SUATU DAERAH YANG BERALAM INDAH, SEGAR DAN KAYA. DI SINILAH PEMILIK-PEMILIK PERKEBUNAN MEMPUNYAI RUMAH-RUMAH YANG BESAR, BAGUS DAN MEWAH.
MEREKA SUKA MEMELIHARA KUDA DAN WAKTU SENGGANG SUKA BERBURU TUPAI ATAU BURUNG. MEREKA SUKA PULA BERTAMASYA DENGAN KERETA DAN KUDA MEREKA YANG BAGUS.
KETIKA LAYAR DIBUKA, NAMPAKLAH KAMAR TAMU DI RUMAH TUAN MARTOPO YANG MEWAH ITU. PERABOTAN DI KAMAR ITU SERBA BAGUS. DI DINDING TERDAPAT TUPAI-TUPAI YANG DIISI KAPAS, TERPAKU DENGAN LUCU. JUGA TERDAPAT TANDUK-TANDUK RUSA, BURUNG-BURUNG BERISI KAPAS DIJADIKAN HIASAN DISANA-SINI. SEDANG DI LANTAI BEREBAHLAH SEEKOR HARIMAU YANG DAHSYAT YANG TENTU SAJA JUGA BERISI KAPAS.
BERMACAM GOLOK, PEDANG DAN SENAPAN ANGIN TERSIMPAN DI SEBUAH LEMARI KACA YANG BESAR.
PADA SUATU SIANG HARI, KIRA-KIRA JAM 12.00, DI KAMAR TAMU YANG MEWAH ITU, NYONYA MURTOPO, SANG JANDA, DUDUK DI ATAS SOFA SAMBIL MEMANDANG DENGAN PENUH LAMUNAN KE GAMBAR ALMARHUM SUAMINYA YANG GAGAH, BERMATA BESAR DAN BERKUMIS TEBAL ITU. MAKA MASUKLAH MANDOR DARMO YANG TUA ITU.
DARMO
Lagi-lagi saya temui nyonya dlm keadaan seperti ini. Hal ini tak bisa dibenarkan, nyonya Martopo. Nyonya menyiksa diri! Koki & babu bergurau di kebun sambil memetik tomat, semua yg bernafas sedang menikmati hidup ini, bahkan kucing kitapun tahu bagaimana berjenakanya & berbahagia, berlari-lari kian kemari di halaman, berguling-guling di rerumputan & menangkapi kupu-kupu, tetapi nyonya memenjarakan diri nyonya sendiri di dlm rumah seperti seorang suster di biara.
Ya, sebenarnyalah bila dijumlah dengan-cara sempurna, nyonya tak pernah meninggalkan rumah ini selama tak kurang dr satu tahun.
NYONYA
Dan saya tak akan pergi ke luar! Kenapa saya mesti pergi keluar? Riwayat saya sudah tamat. Suamiku terbaring di kuburnya, & sayapun sudah mengubur diri saya sendiri di dlm empat dinding ini. Kami berdua sudah sama-sama mati.
DARMO
Ini lagi ! Ini lagi ! Ngeri saya mendengarkannya, sungguh! Tuan Martopo sudah mati, itu keinginanAllah, & Allah sudah memberikannya kedamaian yg abadi. Itulah yg nyonya ratapi & sudah sepatutnya nyonya menyudahinya. Sekarang inilah waktunya untuk berhenti dr semua itu. Orang toh tak mampu terus menerus melelehkan air mata & menggunakan baju hitam yg muram itu! Istri sayapun telah meninggal dunia bertahun-tahun yg lalu. Saya berduka cita untuknya, sebulan sarat saya melelehkan air mata, sudah itu selesai sudah.
Haruskah orang berkabung selama-lamanya? Itu sudah lebih dr yg sepatutnya untuk suami nyonya!
(ia mengeluh) Nyonya telah melalaikan semua tetangga nyonya. Nyonya tak pergi keluar & tak menjamu seorangpun juga. Kita hidup, maafkanlah, mirip keuntungan-laba, & kita tak pernah menikmati cahaya matahari yg gemilang.
Pakaian-busana pesta sudah dikerikiti tikus, seakan-akan tak ada lagi orang baik di dunia ini. Tetapi di tempat ini penuh dgn orang-orang yg menyenangkan. Di desa ini Perfini menyelenggarakan location, wah, bintang-bintang filmnya kocak! Orang tak akan puas-puas menyaksikan mereka. Setiap malam minggu mereka mengadakan malam konferensi, bintang-bintang yg cantik pada bernyanyi & Raden Ismail bermain pencak. Oh, nyonyaku, nyonyaku, nyonya masih muda & elok. Ah, seandainya memberi kesempatan pada semangat nyonya yg sampaumur itu… Kecantikan toh tak akan baka. Jangan sia-siakan. Apabila sepuluh tahun lagi nyonya baru mau keluar ke pesta, ya, sudah telat!
NYONYA (Tegas)
Saya minta, jangan bicara seperti itu lagi. Pak Darmo telah tahu, bahwa semenjak kematian mas Martopo, hidup ini tak ada harganya lagi bagi saya. Bapak kira gue ini hidup? Itu cuma kelihatannya saja, mengertikah Pak Darmo? Oh, saya harap arwahnya yg sudah pergi itu menyaksikan bagaimana gue mencintainya. Saya tahu, ini bukan belakang layar pula bagimu, suamiku sering tak adil terhadap saya, kejam, & ia tak setia, namun saya akan setia, pada bangkainya & membuktikan kepadanya betapa saya mampu mencinta. Di sana, di alam baka ia akan menyaksikan bahwa saya masih tetap selaku dahulu.
DARMO
Apakah faedahnya kata-kata semacam itu, bila lebih patut nyonya berlangsung di kebun atau memerintahkan orang memasang kuda kesayangan kita si Tobby & si Hero di depan kereta, & kemudian pergi pesiar ataupun mengunjungi para tetangga?
NYONYA (menangis)
DARMO (sesudah keheranan sejenak)
Nyonyaku, nyonyaku, ada apa? Nyonya Martopo, demi Tuhan ada apa?
NYONYA
Suami sungguh mencintai kuda itu, si Tobby itu. Ia selalu tahu mengendarainya apabila meninjau kebun-kebun. Bahkan ia pernah pula membawanya mendaki gunung Bromo. Ia sangat gagah bila naik kuda. Alangkah gayanya apabila ia menawan kekang kuda dgn tangan-tangannya yg tangguhitu. Tobby, Tobby, berilah ia rumput dua kali lipat hari ini.
DARMO
Baiklah, nyonya, baik.
BEL DIBUNYIKAN ORANG DENGAN KERAS
NYONYA (gugup)
Siapa itu? Saya tidak mau terima tamu!
DARMO
Ya, nyonya. (pergi keluar, ke pintu tengah)
NYONYA (menatap gambar suaminya)
Engkau akan melihat, Martopo, betapa gue dapat menyayangi & mengampunimu. Cintaku mampu mati hanya bila akupun telah mati. (ia tersenyum melehkan air mata) Dan tidakkah kau-sekalian baik & setia, gue telah memalu? Aku yaitu istri yg mengurung dirku sendiri & saya akan tetap tinggal setia hingga mati, dank au, kau, kau tidak punya malu, monyet yg tercinta. Kau selalu mengajak bertengkar & meninggalkan gue berminggu-ahad lamanya.
DARMO MASUK DENGAN GUGUP
DARMO
Oh, nyonya, ada orang ingin bertemu dgn nyonya, mendesak untuk bertemu dgn nyonya…
NYONYA
Sudah bapak katakan bahwa sejak kematian suami saya, saya tak ingin menerima seorang tamupun?
DARMO
Sudah, tetapi ia tidak mau mendengarkannya, katanya urusannya sangat penting.
NYONYA
Sudah bapak katakana tak mendapatkan tamu!?
DARMO
Saya sudah berkata begitu, tetapi ia orang yg ganas, ia mencaci maki & nekad saja masuk ke dlm kamar, ia sekarang sudah menerobos ke kamar makan.
NYONYA (marah sekali)
Baiklah! Bawa ia kemari! Orang tak tahu adat!
DARMO KELUAR KE PINTU TENGAH
NYONYA
Orang-orang tanpa guna! Apa pula yg mereka kehendaki dr saya! Kenapa mereka mengganggu ketentramanku? (mengeluh) Ya, sekarang sudah tenang, saya harus masuk biara. (merenung) Ya, biara.
BILAL MASUK DIIRINGI DARMO
BILAL (Kepada Darmo)
Orang goblog! Engkau terlampau banyak omong! Engkau keledai! (melihat nyonya martopo, sopan)
Nyonya, saya merasa terhormat untuk memperkenalkan diri saya. Mayor Lasykar Rakyat di jaman revolusi, sekarang mengundurkan diri & menjadi pengusaha perkebunan, adapun nama saya: Baitul Bilal. Saya terpaksa menggangu nyonya untuk suatu urusan yg luar biasa mendesak.
NYONYA (Ringkas)
Tuan mau apa?
BILAL
Almarhum suami nyonya, denga siapa saya merasa mujur mampu bersahabat, meninggalkan pada saya dua buah bon yg jumlahnya duabelas ribu rupiah. Berhubung saya harus mengeluarkan uang bunga untuk sebuah hutang di Bank Rakyat besok pagi, maka saya akan memohon pada nyonya, hendaknya nyonya suka mengeluarkan uang hutang tersebut, hari ini.
NYONYA
Dua belas ribu, suami saya ngebon apa saja pada tuan?
BILAL
O, macam-macam, beras, kacang, kedelai, minyak & oh, ya –dan pula rumput untuk kuda-kudanya.
NYONYA (Dengan mengeluh, pada Darmo)
Oh, rumput, Pak Darmo jangan lupa bahwa si Tobby mesti diberi rumput duakali lipat hari ini.
DARMO KELUAR
NYONYA (Kepada Bilal)
Bila mas Martopo berhutang pada tuan, tentu saya akan membayarnya, tapi sayang hari ini uangnya tak ada pada saya. Besok pagi bendahara saya akan kembali dr kota, & saya akan memintanya untuk membayar apa yg selayaknya mesti tuan terima, namun, pada dikala ini saya tak bisa menyanggupi seruan tuan. Lebih daripada itu, gres sempurna tujuh bulannya suami saya meninggal dunia & saya tak bernafsu untuk membicarakan dilema duit.
BILAL
Dan saya sangat bernafsu untuk bunuh diri bila saya tak bisa mengeluarkan uang bunga hutang saya besok pagi. Mereka akan menguras perkebunan saya.
NYONYA
Besok lusa tuan akan mendapatkan uang itu.
BILAL
saya tak membutuhkannya besok lusa, tapi hari ini.
NYONYA
Saya menyesal, tetapi hari ini saya tak bisa membayar.
BILAL
Dan saya tak mampu menunggu hingga besok lusa.
NYONYA
Tapi apa daya saya bila memang tak memiliki uang hari ini?
BILAL
Makara nyonya tak mampu bayar.
NYONYA
Tak mampu!
BILAL
Hm, itukah kata nyonya yg terakhir?
NYONYA
Yang terakhir.
BILAL
Sungguh-sungguh.
NYONYA
Sungguh-sungguh.
BILAL
Terima kasih (mengangkat pundak) Dan mereka mengharapkan saya untuk menahan diri. Penagih Pajak di jalan tadi bertanya pada saya, kenapa saya selalu kuatir? Saya memerlukan uang, saya merasa leher saya terjerat. Sejak kemarin pagi saya meninggalkan rumah saya di waktu hari masih subuh & menagih hutang kesana kemari. Seandainya ada saja yg mengeluarkan uang hutangnya kan tidak mengecewakan juga! Tapi tidak! Saya telah berusaha keras. Setanpun menyaksikan bagaimana gue terpaksa menginap di penginapan terkutuk itu. Di dlm kamar yg sempit dgn balai-balai sarat kepiding! Dan kesannya sekarang saya mengharap untuk menerima uang sekedarnya & nyonya Cuma bilang “tidak bernafsu”. Kenapa saya tak boleh cemas begini halnya?
NYONYA
Saya kira saya sudah cukup menjelaskannya, bahwa bendahara akan kembali dr kota, & kemudian tuan akan memperoleh duit tuan kembali!
BILAL
Saya datang tak untuk bertemu dgn bendahara nyonya, saya tiba untuk berjumpa dgn nyonya. Saya tak peduli pada bendahara itu! Demi syetan tak peduli! – Maafkan bahasa saya ini!
NYONYA
Sesungguhnyalah tuan, saya tak biasa dgn bahasa mirip itu, ataupun tingkah laris mirip itu, saya tak bernafsu untuk mengatakan lebih lanjut.
NYONYA MARTOPO PERGI KE KIRI
BILAL
Apa bisa kukatakan kini? Tidak bernafsu. Tepat tujuh bulan sehabis suaminya mati! Saya harus membayar bunga bukan? Suaminya mati begitu saja, bendaharanya pergi entak kemana – praktis-mudahan ditelan syetan beliau! Sekarang, terangkanlah, apa yg harus saya kerjakan? Apakah saya harus lari dr penagih dr Bank itu dgn helicopter. Ataukah saya harus membenturkan kepala saya ke tembok kerikil?
Ketika saya datang ke Sudargo itu untuk menagih hutangnya, ia pakai seni manajemen “tak ada di rumah” & Irwan itu terang-terangan saja lari sembunyi, saya sudah pula berantem dgn si KArto & nyaris-hampir saya lempar ia keluar jendela, Marno akal-akalan sakit, & wanita ini, “tak bernafsu” katanya! Tak seorangpun diantara mereka mau membayar hutang mereka! Dan semuanya ini karena saya terlalu memanjakan mereka, saya terlalu ramah & terlalu sopan santun. Saya terlalu lembut hati terhadap mereka! Tapi tunggulah! Saya tak akan membiarkan seseorangpun memperdayakan saya, syetan akan menghajar mereka! Saya akan tinggal di sini & tak akan beranjak sebelum ia membayar utangnya!
Brrr! Betapa murka saya! Betapa heibat marah saya! Segenap urat saya gemetar, karena murka & saya nyaris-nyaris tak bisa bernafas! Oh, sampai-hingga saya nyaris sakit. Syeitan! (Memanggil) Mandor! Pak Mandor!
DARMO
Ada apa?
BILAL
Ambilkan saya kwas & sitrun. (Darmo keluar)
Nah, apa yg bisa kita perbuat. Ia tidak mempunyai uang kontan di dompetnya? Logika macam apa ini? Saya merasa terjerat leher saya, membutuhkan duit dgn sungguh, & nyaris-nyaris bunuh diri, & ia tidak ingin membayar utangnya alasannya adalah ia tak bernafsu untuk memperbincangkan duduk perkara duit. Inilah logika perempuan! Itulah sebabnya saya benci bicara dgn perempuan & sekarang ini benci saya hebat. Lebih baik saya duduk di atas kotak dinamit dibandingkan dengan mengatakan dgn perempuan!
Brrr! Saya merasa acuh taacuh seperti es. Soal ini menjadikan saya sungguh marah. Melihat mahluk romantis seperti ia itu dr jauh saja sudah cukup untuk menciptakan orang berteriak minta tolong.
DARMO MASUK
DARMO (memperlihatkan segelas air kwas)
Nyonya Martopo sakit & tidak ingin bicara dgn tamu.
BILAL
Minggat!! (Darmo pergi)
Sakit & tak mau bicara dgn tamu! Baiklah, boleh saja. Sayapun pula tidak ingin bicara! Saya akan duduk di sini & tinggal di sini hingga kau bayar hutang saya. Kalau kau sakit sepekan, saya akan duduk di sini seminggu. Kalau kau sakit setahun, saya akan duduk di sini setahun. Seluruh isi sorga menjadi saksinya, saya mesti mendapatkan kembali duit saya! Kau tak akan mengguncangkan saya dgn duka citamu itu—dan pula tak dgn alis matamu yg bagus itu! Bah! Aku tak lagi heran melihat alis matamu itu!
(ia berteriak keluar jendela)
Ali! Lepaskan kuda dr kereta. Kita tak akan terburu-buru pulang. Saya akan tinggal di sini. Katakana pada orang-orang di kandang itu supaya memberinya rumput. Dua kali lipat! Kuda yg kiri itu rewel sekali. Jangan dipukul, goblog! Ya, ya, boleh pula dipukul namun secara perlahan-lahan saja! Nah, begitu. (meninggalkan jendela) Jahanam betul! Puasnya tak terkira, tak ada duit semalam tak mampu tidur & kini, baju berkabung yg hitam & “tidak bernafsu”.
Kepala saya sakit, mungkin saya mesti minum.
Ya, saya harus minum.
(mengundang)
Mandor! Mandor!
DARMO MASUK
DARMO
Ada apa?
BILAL
Saya minta minum! (Darmo keluar. bilal duduk lagi & melihat pada pakaiannya) Ugh, gagalnya sudah aktual. Tak mampu disangkal lagi. Debu, sepatu kotor, belum mandi, belum bersisir, jerami mengotori pakaian – nyonya itu barangkali menerka saya ini seorang garong. (Ia menguap)
Memang agak kurang sopan masuk ke ruang tamu seperti pakaian mirip ini. Nah, ya, ya tak ada salahnya hingga kini. Saya tiba kemari tak sebagai tamu. Saya penagih hutang, & taka pa pakaian yg khusus bagi penagih hutang !
DARMO (Masuk dgn segelas kwas)
Wah, tuan terlihat bebas betul di sini.
BILAL (Marah)
Apa? Pada siapa kau tujukan ucapanmu itu? Diam! Tak usah ngomong!
DARMO (Marah)
Kacau! Kacau! Orang ini tidak ingin pergi! (Keluar)
BILAL
Ya, syeitan, betapa marahnya saya! Cukup marah untuk melempari seluruh dunia ini dgn Lumpur! Sampai saya merasa sakit! – Mandor!
NYONYA MARTOPO MASUK DENGAN MATA MEREDUP KE BAWAH
NYONYA
Tuan, selama hidup saya sepi ini saya tak mampu mendengar bunyi manusia & saya tak bisa tahan mendengar bicara orang keras-keras. Saya minta pada tuan, sukalah hendaknya agar tak menggangu kedamaian saya.
BILAL
Bayarlah saya & saya akan pergi.
NYONYA
Tadi sudah saya katakan dgn terang, dlm bahasa Indonesia bahwa saya tak memiliki uang kontan, tunggulah sampai besok lusa.
BILAL
Dan sayapun merasa terhormat untuk menerangkan pada nyonya, pula dlm bahasa Indonesia, bahwa saya memerlukan uang sekarang tak besok lusa.
NYONYA
Tapi apa daya saya, bila saya tidak punya uang?
BILAL
Makara nyonya tak akan mengeluarkan uang secepatnya? Begitu bukan?
NYONYA
Saya tak mampu.
BILAL
Kalau begitu saya akan duduk di sini sampai saya mendapat duit. (Iapun duduk)
Nyonya akan mengeluarkan uang besok lusa? Bagus sekali! saya akan tinggal di sini sampai besok lusa. (Melompat bangun) Saya Tanya pada nyonya, saya harus mengeluarkan uang bunga besok pagi, bukan? Ataukah nyonya kira saya Cuma berolok-olok?
NYONYA
Tuan, saya minta tuan jangan berteriak. Ini bukan sangkar kuda!
BILAL
Saya bukannya sedang membicarakan sangkar kuda, saya sedang bertanya, saya akan mengeluarkan uang bunga besok pagi bukan?
NYONYA
Tuan tak tahu bagaimana caranya memperlakukan seorang wanita.
BILAL
Tentu saja saya tahu.
NYONYA
Tidak! Tuan tak tahu! Tuan ini orang kampung, orang tak tahu adat! Seorang tuan yg terhormat tak akan bicara mirip itu di depan seorang wanita!
BILAL
Wah, jago betul! Nyonya tau, bagaimana semestinya orang bicara pada nyonya dlm bahasa Inggeris, barangkali? Dear lady, would yau like to lend me your beautiful eyes? Pardon me for having disturb you! What a beautiful wheather We are having today! Shell we meet again tomorrow? (Membungkuk memberi hormat dgn cara mengejek)
NYONYA
Sama sekali tak lucu, biadab namanya!
BILAL (Meniru)
Sama sekali tak lucu, biadab! Saya tak tahu bagaimana bersikap terhadap orang-orang perempuan. Nyonya yg terhormat, sepanjang umur saya ini, saya sudah menyaksikan wanita lebih banyak ketimbang nyonya melihat burung gereja. Sudah tiga kali saya berkelahi lantaran urusan perempuan, dua belas wanita telah saya lewati & sembilan perempuan telah meninggalkan saya. Memang pernah pada saya berperilaku bagaikan bahasa yg bermadu, membungkuk-bungkuk, & kemalu-maluan. Saya pernah mencinta, menderita, mengeluh pada bulan, melelh disiksa oleh cinta. Saya pernah mencinta dgn dahsyat, mencinta sampai ajaib, mencinta dlm semua tangga nada, berkicau sebagai burung ketilang tentang emansipasi, mengorbankan separo dr harta bendaku dlm imbas nafsu yg lembut, tetapi sekarang, demi syeitan, itu semua sudah cukup.
Hambamu yg patuh ini tidak ingin lagi ditarik-tarik kesana kemari seperti lembu yg bodoh. Cukup! Mata yg hitam mata yg berangasan, bibir yg mungil, dekik di pipi, bisikan di terang bulan, keluh kesah yg menawan.
Bah Untuk semua itu, nyonya, gue tak ingin membayarnya setalen! Yang saya maksud bukannya teman saya berbicara kini, tetapi wanita kebanyakan, dr yg kecil sampai yg besar, mereka itu arogan hipokritis, ceriwis, menjengkelkan, tak setia dr kaki sampai kepala, pongah tanpa guna, picisan, kejam dgn akal yg memusingkan, & … (memukul dahinya) dlm hal ini, harap dimaafkan keterusterangan saya ini, seekor burung gereja mampu mengalahkan sepuluh filsuf yg menggunakan kebaya, apabila orang melihat seorang wanita yg romantis di depan matanya, maka ia kemudian membayangkan bahkan yg dilihatnya itu suatu mahluk yg suci, begitu mahir sehingga apabila ia tersentuh oleh nafas mahluk itu maka iapun merasa dirinya terapung dlm lautan daya tarik yg mengagumkan, tetapi apabila orang melihat ke dlm jiwanya, tak lain tak bukan hanya buaya!
(menghantam sebuah kursi)
Tetapi yg lebih jelek dr seluruhnya ialah bahwa buaya ini menilai dirinya selaku mahluk yg sungguh artistik, seperti mengambil monopoli sebagai mahluk yg menggiurkan. Biarlah syeitan menggantung diriku jungkir balik bila memang ada yg pantas disayang pada perempuan!
Apabila ia jatuh cinta, apa yg ia tahu Cuma mengaduk & melelehkan air mata. Apabila lelakinya sudah mulai menderita & suka berkorban, maka si wanita mulai melagak & menjajal menyeret laki-laki itu seperti keledai.
Nyonya mempunyai nasib yg malang lantaran lahir selaku seorang wanita, & tentu saja nyonya tahu bagaimana sifat wanita itu, coba katakana pada saya, demi kehormatan nyonya apakah nyonya pernah menjumpai perempuan yg betul-betul jujur & setia? Tak pernah, tentu saja! Hanya perempuan yg tua & jelek saja yg bisa setia. Lebih gampang mencari kucing yg bertanduk atau gagak yg berbulu putih ketimbang mencari perempuan yg mampu setia.
NYONYA
Tapi ijinkanlah saya bertanya, siapakah yg jujur & setia dlm bercinta? Lelaki, barangkali?
BILAL
Ya, sempurna sekali! Lelaki pastinya!
NYONYA
Lelaki ! (Ia tertawa kasar) Lelaki mampu jujur & setia dlm bercinta! Nah, inilah suatu informasi yg gres! (Pahit) Bagaimana tuan sampai bisa berkata begitu?Lelaki jujur & setia! Sementara sola ini sudah sampai begitu jauh, saya bisa menyatakan di sini bahwa dr segala lelaki yg saya kenal, suami saya ialah laki-laki yg terbaik, saya mencintainya dgn hangat, dgn segenap jiwa saya, seperti yg cuma mampu dijalankan oleh seorang perempuan yg muda & bijaksana, saya serahkan pada kemudaan saya, kebahagiaan saya, kekayaan saya & hidup saya. Saya menyembah kepadanya sebagai seorang kafir. Dan apakah yg terjadi?
Lelaki yg terbaik ini mengkhianati saya pada segala jenis kesempatan…. Setelah ia meninggal dunia, saya temukan laci mejanya sarat dgn surat-surat cinta. Tatkala ia masih hidup ia suka meninggalkan saya berbulan-bulan lamanya, memikirkannya saja sudah ngeri. Ia bercinta-cintaan dgn perempuan lain dihadapan saya, ia memboroskan uang saya, & memperolok-olokkan perasaan saya, tetapitoh saya masih tetap jujur & setia kepadanya. Dan lebih daripada itu, ia sudah mati & saya masih tetap setia kepadanya. Saya kuburkan diri saya di dlm empat tembok ini & saya akan tetap memakai baju hitam ini sampai keliang kubur saya.
BILAL (Tertawa kampungan)
Berkabung! Nyonya berkabung! Nyonya kira saya ini apa? Jangan dikira saya tak tahu kenapa nyonya memakai baju bagus yg hitam ini & mengubur diri nyonya diantara empat dinding ini! Rahasia macam itu. Betapa romantisnya! Nyonya mau memalsukan dongeng!
Seorang bangsawan berkuda akan melalui di depan puri, ia akan berkata dlm hatinya: “Di sinilah tinggal sang putrid Candra Kirana, yg demi cintanya pada suaminya sudah mengubur dirinya dlm empat dinding kamarnya”.
Oh, saya sudah mengerti akan sandiwara ini!
NYONYA (Meloncat)
Apa? Apa maksud tuan dgn menyampaikan kata-kata itu kepadaku?
BILAL
Nyonya sudah mengubur hidup-hidup diri nyonya, namun sementara itu nyonya lupa tak lupa membedaki hidung nyonya!
NYONYA
Alangkah lancangnya ekspresi tuan!
BILAL
Saya mohon untuk tak membentak saya, saya bukannya bendahara nyonya! Ijinkanlah saya menyebutkan realita-realita. Saya bukannya seorang wanita, & saya sudah biasa serba berterus terang mengeluarkan apa isi hati saya. Maka dr itu dgn hormat saya minta, jangan menjerit.
NYONYA
Saya tak menjerit. Tuanlah yg menjerit. Saya minta tuan meninggalkan rumah ini!
BILAL
Bayarlah & saya akan pergi.
NYONYA
Saya tak ingin bayar!
BILAL
Nyonya tidak mau ?! Nyonya tidak ingin mengeluarkan uang duit yg menjadi hak saya?
NYONYA
Saya tak perduli tuan mau bertindak apa? Satu rupiahpun saya tak mau mengeluarkan uang! Pergi dr sini!
BILAL
Sebab saya bukan suami nyonya atau tunangan saya, maka janganlah nyonya membikin rebut.
(Duduk)
Saya tak tahan lagi.
NYONYA (Menarik nafas jengkel)
Apakah tuan berniat akan duduk?
BILAL
Saya memang sudah duduk.
NYONYA
Dengan hormat, pergilah!
BILAL
Dengan hormat, bayarlah duit saya!
NYONYA
Saya tak sudi bicara dgn orang biadab. Pergi !(Pause) Pergi, atau tidak.
BILAL
Tidak.
NYONYA
Tidak ?
BILAL
Tidak.
NYONYA (Mengebel, Darmo masuk)
Pak Darmo, antarkan tuan Baitul Bilal ini pergi.
DARMO (Dengan gagah menghampiri Bilal)
Tuan, kenapa tuan tak pergi kalau memang diminta pergi? Mau apa bantu-membantu tuan ini?
BILAL (Meloncat bangun)
Kau kira kau bicara dgn siapa? Kugilas lumat-lumat kau nanti.
DARMO (Memegang jantungnya)
Ya Tuhan. (Jatuh di bangku) Oh, saya sakit, saya tak mampu bernafas.
NYONYA
Dimana Suto? (Memanggil) Suto ! Suto !Amat ! Amat ! (Mengebel)
DARMO
Mereka sedang pergi semua! Dan saya mendadak sakit. Oh, air!
NYONYA
Tuan Baitul Bilal! Pergilah… Oh, pergi! Keluar!
BILAL
Dengan hormat, agak sopankah sedikit!
NYONYA (Meninju udara menghentakkan kaki)
Engkau kasar! Engkau biadab! Engkau monyet!
BILAL
Apa katamu?
NYONYA
Engkau biadab, kamu-sekalian monyet!
BILAL (Cepat menghampirinya)
Ijinkanlah saya bertanya, atas hak apa nyonya mencemooh saya?
NYONYA
Habis, mau apa lagi? Tuan kira saya takut pada tuan?
BILAL
Nyonya kira karena nyonya ini mahluk yg romantis kemudian nyonya bebas mencibir saya tanpa mendapat balasan? Saya menentang nyonya!
DARMO
Ya, Robbi! Air!
BILAL
Ini mesti dituntaskan dgn duel.
NYONYA
Apakah tuan mengira karena tuan begitu gagah, kemudian saya takut pada tuan?
BILAL
Saya jelaskan di sini bahwa saya tak mengizinkan seorangpun mencemooh saya, & saya tak akan mengecualikan nyonya cuma semata-mata karena nyonya seorang wanita, seorang “sex yg lemah”, katanya.
NYONYA (Mencoba mengalahkannya dgn tangis)
Badak ! Kamu badak ! Badak!
BILAL
Inilah saatnya untuk mencampakkan tahyul usang yg berasumsi bahwa cuma lelaki saja yg harus memberi kepuasan. Bila ada persamaan antara laki & perempuan, mestinya persamaan itu dlm segala hal. Emansipasi perempuan! Bah! Akhirnya toh ada batasnya! Inilah buktinya!
NYONYA
Jadi tuan betul-betul menantang duel atau bagaimana? Baiklah…
BILAL
Segera.
NYONYA
Segera. Aku kurang berlatih tinju, tetapi suamiku punya banyak senapan di sini. Beberapa tupai & burung saja sudah gugur karenanya, & kini senapan itu dgn praktis akan menggugurkan tuan juga.
BILAL
Oh, senapan angin! Boleh saja!
NYONYA
Dengan besar hati saya akan menembus kepala tuan. Semoga tuan dimakan syeitan! (Mengambil senapan, masuk)
BILAL
Akan saya tembak alis matanya yg bagus itu. Saya bukan orang bawel, bukan pula cowok hijau yg sentimental. Bagi saya tak ada “sex yg lemah”.
DARMO
Oh, tuan! (Berlutut) Kasihanilah saya, seorang renta seperti saya ini. Pergilah. Tuan sudah menakut-nakuti saya sampai nyaris mati, & sekarang tuan ingin berduel pula.
BILAL (Tak perduli)
Ya, duel! Itulah persamaan, itulah emansipasi. Dengan begitu lelaki & perempuan sama. Saya akan menembaknya demi prinsip ini. Apalagi yg harus saya katakana terhadap perempuan semacam beliau.
(Menirukan) “Dengan gembira saya akan menembus kepala tuan. Semoga tuan dimakan syeitan!”
Apalagi yg mampu dibilang ihwal ini? Ia marah, matanya berkilauan, ia menerima tantangan. Demi kehormatan saya, baru inilah pertama kalinya saya jumpai perempuan seperti itu!
DARMO
Oh, tuan. Pergilah. Pergi!
MASUK NYONYA MARTOPO, MEMBAWA DUA SENAPAN ANGIN
NYONYA
Inilah senapannya. Tetapi sebelum kita berduel, saya minta ajarilah dulu caranya menembak.
Saya agak kurang biasa dgn senapan tadinya.
DARMO
Ya robbi, kasihanilah kami! Saya akan pergi & memanggil orang. Oh, kenapa malapetaka ini menimpa kepala kami! (Pergi keluar)
BILAL (Memeriksa senapan)
Ini namanya senapan angin. Ya, ini pelurunya, memang bagus untuk menembak burung, namun ini lain dr senapan biasa, ya, ya, boleh juga.
Lihatlah, BSA, caliber 5,5. Dua senapan ini harganya tak kurang dr dua belas ribu. Beginilah cara memakai.
(Kesamping) Aduh, alis matanya! Sungguh perempuan sejati!
NYONYA
Sudah ?
BILAL
Ya, beginilah, lalu tariklah bila ditembakkan.(Mengajar) Begini – bidiklah. Coba miringkan sedikit kepala nyonya. Popornya mesti sempurna di pundak ini. Ya, begitu. Tangan hendaknya jangan kaku. Lemas namun besar lengan berkuasa – coba – ya, jangan gemetar. Pelan-pelan bernafas. Bidiklah baik-baik. – aha, enak bukan?
NYONYA
Tak yummy menembak di dlm rumah, marilah kita keluar kebun.
BILAL
Ya, namun saya belum selesai mengajar, saya beri acuan dulu. Saya bimbing cobanya menembak ke udara.
NYONYA
Terlalu! Itu tak perlu! Kenapa?
BILAL
Sebab.. alasannya adalah. Itu urusan saya.
NYONYA
Tuan takut? Ya, memang! Aaaah! Jangan begitu, tuan terhormat jangan gila-gilaan.
Ayo, ikut saya. Saya belum merasa tentram sebelum membuat lubang di dahi tuan yg saya benci itu. Apakah tuan takut?
BILAL
Ya, saya takut.
NYONYA
Bohong! Kenapa tidak ingin bertempur?
BILAL
Sebab…, sebab…, karena…, saya suka pada nyonya.
NYONYA (Tertawa murka)
Tuan suka saya! Begitu berani ya bilang jika suka saya! (Menunjuk) Pergi!!
BILAL (Meletakkan senapan secara perlahan-lahan di atas meja, mengambil topinya & pergi ke pintu. di pintu ia berhenti sebentar & memandang nyonya martopo, kemudian ia menghampirinya agak ragu-ragu)
Dengarlah! Apa nyonya masih marah? Saya begitu gila mirip syeitan, tetapi saya harap nyonya mampu mengetahui, ah, bagaimana saya akan menyatakannya? Soalnya yaitu begini…, soalnya merupakan…, (Meninggikan suara) Lihatlah apakah salah saya bahwa nyonya berhutang pada saya? Saya tak bisa disalahkan bukan? Saya suka pada nyonya! Mengertikah? Saya… saya hampir jatuh cinta.
NYONYA
Pergi! Saya benci pada tuan!
BILAL
Ya, Robbi! Alangkah hebatnya perempuan ini! Saya belum pernah melihat perempuan yg sehebat ini. Saya kalah, remuk redam! Saya mirip tikus yg kena perangkap.
NYONYA
Pergilah, atau saya tembak nanti!
BILAL
Tembaklah! Nyonya tak tahu bagaimana senang rasanya mati di depan pandangan mata sepasang mata yg berkilauan itu. – ah, alisnya! – Mati ditembak oleh senapan angin yg dipegang oleh tangan yg halus & mungil itu! Saya ajaib! Cobalah pikirkan baik-baik, & cepatlah putuskan, alasannya adalah bila saya pergi kini, itu artinya kita tak akan pernah berjumpa lagi. Putuskanlah, bicaralah, — saya masih bangsawan, orang terhormat, penghasilan saya sebulan tak kurang dr sepuluh ribu, saya bisa menembak burung yg sedang terbang. Saya banyak punya kuda yg bagus. Maukah nyonya menjadi istriku?
NYONYA (Membidik)
Saya tembak!
BILAL
Ah, saya resah, saya kurang memahami! – Mandor, air! Saya telah jatuh cinta seperti anak sekolahan saja.
(Ia menjamah tangan nyonya murtopo & wanita itu menangis) Saya cinta kepadamu! (Berlutut) Saya belum pernah mencinta wanita mirip ini. Dua belas wanita telah saya lewati & sembilan meninggalkan saya, namun tak seorangpun pernah saya cintai sebagaimana saya mencintaimu. Saya sudah kalah, tunduk mirip orang tolol, saya meniarap dilantai memohon tanganmu.
Terkutuklah saya ini! Sudah lima tahun saya tak jatuh cinta, saya seperti suatu kereta yg terkait pada kereta lain. Saya mohon pertolonganmu! Ya, atau tidak? Sudikah nyonya? –Baiklah! (Ia berdiri & cepat-cepat menuju pintu)
NYONYA
Tunggu dahulu!
BILAL (Berhenti)
Ya?
NYONYA
Tidak apa-apa. Tuan boleh pergi. Tetapi tunggu dahulu. Tidak, pergilah, pergi. Saya bensi pada tuan. Atau… tidak, jangan pergi, oh,jika tuan tahu bagaimana murka saya! (Membuang Senapan)
Jari saya linu-linu memegang barang mirip ini. (Menghapus air mata dgn marah) Untuk apa tuan berdiri di situ? Keluar!
BILAL
Selamat tinggal!
NYONYA
Ya, pergilah (Menangis) Kenapa pergi? Tunggu! – Tidak, pergi! Oh alangkah marahnya saya ini! Jangan mendekat…, oh…, kemarilah…, jangan!… jangan dekat-dekat.
BILAL (Menghampiri)
Saya marah pada diri saya sendiri. Jatuh cinta seperti anak sekolah, berlutut & menghiba-hiba. Saya merasa demam. (Tegas) Saya cinta kepadamu. Ini sehat.
Apa yg saya perlukan, ialah jatuh cinta. Besok pagi saya mesti membayar bunga ke bank, panen kopi sudah tiba, & kemudian muncullah nyonya! (Mencium tangan nyonya Martopo) Tak akan saya maafkan diri saya ini.
NYONYA
Pergilah! Ngan cium di tangan saya! O, saya benci… saya benci… saya…
(Tangannya yg satunya membelai kepala Bilal)
MASUK DARMO DAN DUA ORANG YANG LAINNYA. MEREKA MEMBAWA SAPU, SABUT DAN SEKOP.
DARMO (Terpesona)
Ya, Tuhan! Ya, Robbi!