Sindhunata & Contoh Puisinya – Siapakah Sindhunata? Sindhunata yg memiliki nama lengkap Dr. Gabriel Possenti Sindhunata. SJ dilahirkan pada 12 Mei 1952 di Kampung Hendrik, Batu, Malang. Sejak masa kecilnya sampai tamat SMA ia hidup di kampung itu, di kaki Bukit Panderman.
Sindhunata pernah pula bekerja sebagai wartawan Harian Kompas, menulis komentar ihwal sepak bola, & banyak sekali duduk perkara kebudayaan. Namun Sindhunata mungkin lebih diketahui sebagai pengarang. Novelnya yg terkenal yaitu “Anak Bajang Menggiring Angin”.
Beliau memiliki riwayat pendidikan di Pendidikan Sekolah Tinggi Driyarkara, Jakarta (1980), Studi Teologi di Institut Filsafat Teologi Kentungan Yogyakarta (1983), kemudian mendapatkan gelar doktor dr Hochschule für Philosophie, München, Jerman (1992) & menulis disertasinya tentang pengharapan mesianik penduduk Jawa. Dalam bidang organisasi, mendirikan komunitas PANGOENTJI / Pagoejoeban Ngoendjoek Tjioe yg menyampaikan perhatian pada bidang seni & budaya.
Berikut hasil proses inovatif Sindhunata dlm bentuk goresan pena:
- Putri Cina, Penerbit Gramedia Pustaka Utama (2007)
- Segelas Beras untuk Berdua, Penerbit Buku Kompas (2006)
- Dari Pulau Buru ke Venesia, Penerbit Buku Kompas (2006)
- Petruk Makara Guru, Penerbit Buku Kompas
- Kambing Hitam:Teori Rene Girard,Penerbit Gramedia Pustaka Utama (2006)
- Burung-burung di Bundaran HI,Penerbit Buku Kompas
- Ekonomi Kerbau Bingung, Penerbit Buku Kompas
- Bola di Balik Bulan, Penerbit Buku Kompas (2002)
- Bola-bola Nasib, Penerbit Buku Kompas
- Air Mata Bola, Penerbit Buku Kompas
- Ilmu Ngglethek Prabu Minohek (2004)
- Mengasih Maria: 100 tahun Sendangsono (2004) – editor
- Air Kata-kata (2003)
- Jembatan Air Mata: Tragedi Manusia Pengungsi Timor Timur (2003)
- Long and Winding Road, East Timor (2001)
- Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman: Pilihan Artikel Basis (2001) – editor
- Membuka Masa Depan Anak-anak kita: Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI (2000)
- Menggagas Paradigma Baru Pendidikan: Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi (2000) – editor
- Sumur Kitiran Kencana: Karumpaka ing Sekar Macapat Dening D.F. Sumantri Hadiwiyata (2000)
- Sakitnya Melahirkan Demokrasi (2000)
- Bisikan Daun-daun Sabda (2000)
- Tak Enteni Keplokmu: Tanpa Bunga & Telegram Duka (2000)
- Bayang-bayang Ratu Adil (1999)
- Menjadi Generasi Pasca-Indonesia: Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya (1999) – editor
- Pergulatan Intelektual dlm Era Kegelisahan: Mengenang Y.B. Mangunwijaya (1999) – editor
- Cikar Bobrok (1998)
- Mata Air Bulan (1998)
- Sayur Lodeh Kehidupan: Teman dlm Kelemahan (1998) – editor
- Sisi Sepasang Sayap: Wajah-tampang Bruder Jesuit (1998)
- Semar Mencari Raga (1996)
- Aburing kupu-kupu kuning (1995)
- Nderek Sang Dewi ing Ereng-erenging Redi Merapi (1995)
- Hoffen auf den Ratu-Adil: das eschatologische Motiv des “Gerechten Königs” im Bauernprotest auf Java während des 19. und zu Beginn des 20. Jahrhunderts (1992) – disertasi
- Baba Bisa Menjadi Indonesier: Bung Hatta, Liem Koen Hian, & Sindhunatha, Menyorot Masalah Cina di Indonesia (1988)
- Anak Bajang Menggiring Angin (1983)
Berikut 10 pola dr Sindhunata yg bisa Sobat simak.
SUARA MESIN JAHIT
Sampai kini
mesin jahit itu masih berbunyi
di dalamnya tangis kita berdua tersembunyi
Kesedihan kita sudah melalui
mestinya hanya kegembiraan kita mampu
tetapi kenapa masih belum pula lunas
bayang-bayang hidup kita yg kandas
Tinuk, kenapa masih juga
bunyi mesin jahit kita
merintih sedih tatkala
murung malam kita tiada lagi ada?
Bukan kesedihan & kepedihan
namun suka cita & kegembiraan
memaksa kita kembali mendengar
derita kita yg sudah silam
Pulang dr penjara
tak ada yg kita punya
cuma mesin jahit itulah harta
dengannya kita mencari nafkah
Kuteringat, malam telah larut
tak jauh dariku kaududuk
mengitik lubang kancing
baju & celana jahitanku
Sementara belum dewasa tidur
kutanya pada malam
masihkah akan kudapat nasi
buat anak-anakku yg lapar?
Malam sedang jelas
tak pula bulan & bintang
memberiku tanggapan kapan rampung
kegelisahanku setiap malam
jari-jarimulah, Tinuk, yg menjawabku
jari-jarimu tak letih membenahi jahitan hidupku
tanpa kautahu bagaimana mestinya
mengikat lagi benang-benangnya
Melihat jari-jarimu, Tinuk
tak kupeduli lagi berapa kali
jarum menusuk perih jari-jariku
makin kuat kakiku menjejak
memacu mesih jahitku menyanggupi
nafkah kita bila esok tiba
Nasib memaksaku meninggalkan keindahan
tak bisa lagi gue melukiskan kehidupan
tinggal kutanggung bebannya
lalu kujahitkan semuanya dlm baju & celana
tiap hari selalu sama, bentuk duka & deritanya
Tinuk, gue pencinta warna yg indah
namun kularang kaupakai pemerah
Kataku, kamu sudah anggun
tanpa pemerah bibirpun kau tetap jelita
Sebenarnya tak kularang kau mempercantik bibirmu
Aku cuma khawatir, hari ini mampu kaubeli
pemerah bibir itu,
namun belum tentu lain hari kaumampu.
Sekali kauoleskan pemerah bibir
& kemudian pucat bibirmu
karena tak bisa kaubeli lagi hiasan itu,
cantikmu akan hilang, Tinuk
gue tak mau itu terjadi
biarkanlah bibirmu tanpa pemerah apa-apa
Kini sejuta pemerah bibir mampu kaubeli
tapi keindahan itu sudah tak mampu lagi kita nikmati
Dalam kelimpahan kita yg kini
bibirmu masih mirip yg dulu
saat kaududuk mengitik
menyimak bunyi mesin jahitku
melagukan pucat murung-duka malamku.
Sekarang seluruhnya sudah kita punya
mengapa kini gue masih sering berkhayal
tiba-tiba gue tidak punya apa-apa
aku dicekam rasa takut, jangan-jangan
tak bisa lagi belum dewasa kita makan
persis seperti dahulu
dikala tiap hari gue harus bergulat
mengais rezeki dgn mesin jahitku
Ketika terbangun keringat cuek mengalir
Aku lega, untung semua itu cuma mimpi
bukan kenyataan seperti dulu lagi
Tinuk, sekarang seluruhnya sudah kita punya
tetapi kenapa bawah umur kita suka berkata,
tak ada yg lebih indah ketimbang
malam di mana kita mendengar
mesin jahit ayah bersuara tak henti-hentinya
bunyi itu adalah akad
esok pagi akan tiba rezeki
dan perut kita takkan lapar dlm sehari
Tinuk, kenapa masih juga
suara mesin jahit kita
merintih sedih tatkala
duka malam kita tiada lagi ada?
Mengapa, senantiasa kembali dlm kenanganku
sedih & derita malam hidupku?
mungkin, dahulu derita kita terlalu andal
sampai harus senantiasa meninggalkan bekas
namun, mungkin pula di sana tersembunyi
dengan amat indah cinta kita yg kini
tak dapat lagi kita beli
dengan segala harta yg kita miliki.
2003
Untuk peringatan perkawinan yg ke-34: Djokopekik & Ibu Tinuk.
MATA AIR IKAN 3
Dari utara si nenek miskin
tiba ikut memasang kicir
kicir anyaman benang angin
Nek, lama sudah kamu pasang kicir
ikan-ikanmu lari terjerat cacing
Nak, kenapa kamu terpancing
mencuri ikan dgn cacing
padahal kau berilmu menyuling
telah lari ikan-ikanku
di bambu serulingmu.
Pergi ke pasar anak gembala
siapa saja heran di sana
dia tawarkan ikan sambil menyuling
meski tidak mempunyai ikan hasil memancing
1982
SENJA KUNING PANTAI IKAN
Senja kuning pantai ikan
Terapung sampan anak nelayan
Didayung luka lautan
Sulingnya sedih merintih-rintih
Lengking gelepar napas-napas ikan
Senja kuning mengundang-manggil
Perempuan renta bergegas menggigil-gigil
Turun dr bukit berlubang
Dengan tenang rambut uban
Jala dilempar tanpa amarah lautan
Gemetar hati anak nelayan:
Sudah kaulempar jalamu berulang-ulang
Kenapa tak kaudapatkan ikan-ikan?
Ikanku mati jadi tangis sulingmu
Ibu, kuberikan ikanku padamu
Aku bukan ibumu
Ibumu dlm sulingmu
Terjerat dlm jalamu
Sampan anak nelayan
Jadi permadani wangi
Terbang bersayapkan angin prospek
Mengheningkan gemuruh
Pasar nelayan yg menawarkan
Hidup dgn ikan:
Nak, kenapa kaujual jalamu
Dan bukan ikan-ikanmu
Jalaku
dan bukan ikan-ikanku
adalah hatiku
kujual kegembiraanku
kujual kesedihanku
kujual kerinduanku
pada lautan
pada ikan-ikan
pada-Mu Tuhan
sebelum senjaku ditelan malam-Mu
sebelum pantaiku dihempas amarah pasang
gelombang-Mu
1994
MALAM KATAK-KATAK
Dari mana malam dibentuk
dari anak k a t a k – k a t a k
Suara katak berhati hijau
di watu hati k a t a k – k a t a k parau.
Kena pelipis sayap bebek
perut tertawa dgn menangis
Menyanyilah hai kali
dgn air mata berudu,
hati kami gembira
dengan rindu burung tuhu.
Cenggaretnong mengerik-erik
berlubang awan mata cengkerik
Dari utara tiba
angin kunang-kunang
Pucuk belimbing pohon beringin
datang angin menjinjing acuh taacuh
Dingin tak terasa di sungai-sungai
udara berenang-renang damai.
Dari mana malam dibentuk
dr hati bawah umur.
Bermain di hatiku malam anak-anak
kenapa fajar kamu melompat-lompat
girang mrekah
dengan lembut k a t a k – k a t a k merah?
1995
SUSU SEMAR
Semar itu bukan laki-laki bukan wanita
namun mirip lelaki seperti wanita
Tersimpan dlm buah dadanya
susu penderitaan para perempuan
Tak pernah Semar menarik wanita dgn senyum,
sebab dlm dirinya penderitaan wanita terkandung.
Sekarang Semar suka mesem,
Karena ia adalah Semar mendem.
1996
MBAH MERAPI
Malam gelap, malam yg hijau
hijau bulan, hijau dedaunan
hijau kuda-kuda
menderap turun ke Alas Patuk
Mbah Merapi berpesta raja
sedang hijau padang gembalaannya
angin hijau dr dahan-dahan
menelisik kain Nyai Gandhung Mlati
kegelapan di Alas Tutupan
terbangun oleh birahi
hijau di mana-mana
hijau di hatiku juga.
1995
RUMAH POHON
Sekarang Kotir sudah senang
selesai sudah pengembaraan
ia pulang sangkar
tahu-tahu rumahnya sudah tenang.
Bersayapkan burung sriti
harum dgn minyak serimpi
Kotir pulang ke tempat tinggal pohon
pule hijau daunnya segar
Paro petang bulan purnama
sahabat-temannya datang
mandi di Sendang Bagong
meraba-raba paha tak kelihatan
paha-paha putih
anak-anak Nyai Gadhung Mlati
Kotir naik sapi gumarang
melihat seribu bintang
menelan penderitaannya
istana langit terbuka pintunya
merintik turun gerimis kemenyan
jatuh jadi mutiara-mutiara doa
di atap rumah pohonnya
Harum dgn wangi bidadari
teman-sobat Kotir telanjang di sendang
mereka menyaksikan senang
Kotir sudah pulang sangkar
dan rumahnya sudah tenang.
Di malam seribu bulan
katak sedih katak harapan
menabuh gamelan di Jalakan.
Kotir mendengar senang
di rumah pohon dukanya menghilang
mengerjap dlm kesempatan
tahu-tahu rumahnya sudah tenang.
Rumah pohon di tepi Kali Boyong
batunya megah berantai emas
kalung lahar Eyang Merapi
Tiap hari Kotir mengais rezeki
pasir dihitungnya bagai butiran nasi.
Dari Pemancingan Seh Belu mampir
diberinya Kotir ilmu zikir pasir
Kali Boyong terus mengalir
nasi dr pasir tertanak dlm zikir Kotir
Kotir menatap pasir dgn mata Nabi Khidir:
samudera raya dgn segala aslinya
ternyata terkandung dlm sebutir pasir
Sebutir pasir ialah nasi
dalam sebutir pasir terkandung samudera
dalam sebutir pasir terkandung hidupnya
Kini dgn zikir pasir Kotir memahami
apa arti: bahtera yg menampung samudera raya.
Kotir menyesal, kenapa demikian usang
ia mesti mengembara mencari hidupnya
bila kekayaan hidupnya ada & berada
dalam pasir yg tiap hari diinjak-injaknya?
Kotir tak lagi mencari hidupnya
ia sudah pulang ke rumah pohon
dan mendapati rumahnya sudah tenang
2003
WAK DULJANGKEP
Niatku mau nggendhong
menggendong rumahnya Semar Boyong
Aku menabur dgn dukacita
aku menuai dgn sukacita
Niatku mau lelaku
Wak Duljangkep ngelmu-ku
Dul itu si Dul
artinya: jumendhul, lahir, muncul
Jangkep itu wejangan ganep
artinya jangkep: pas, tiada kurang, lengkap.
Aku renta, maka gue dipanggil Wak Duljangkep
Duljangkep, artinya lahirku, adaku, munculku
cuma untuk jangkep-jangkep
untuk melengkapi & perhiasan, biar semuanya pas.
Meski cuma hamba, bau tanah, miskin tak memiliki kegunaan
tanpa gue hidup tak akan pas, alasannya tak lengkap
Tanpa kau, hidup ini seperti
sambel tanpa terasi
sayur tanpa garam
kopi tanpa gula
obor tanpa sumbu
pintu tanpa engsel
tumbu tanpa tutup
tuan tanpa hamba
pimpinan tanpa rakyat
cinta tanpa nafsu
rahmat tanpa dosa
Tuhan tanpa manusia
Aku hanyalah miskin & hina
namun tanpa aku, semuanya takkan ada.
Aku ini hampir tiada, tapi ketiadaanku menciptakan ada.
Itulah saya, Wak Duljangkep.
Aku ini tiada yg menciptakan ada
maka gue ini tiada konkret yg menciptakan ada konkret
Akulah kesamaran yg ada di balik semua kenyataan.
Kenyataan akan hilang tanpa kesamarannya.
Maka bergotong-royong nyata itu samar:
Samar itulah kelemahan, kehinaan, kemiskinan
yang melengkapi kesempurnaan, kemuliaan, kekayaan:
Samar itulah Semar.
Wak Duljangkep itulah Samar yg Semar.
Ilmuku Wak Duljangkep, artinya
Samarlah yg ingin kuajarkan
Semarlah yg ingin kunyatakan.
Langkahku Semar yg tertawa
jalanku samar tiada habisnya.
Semar kuning yg menggiring
menggiring siapa?
menggiring badanku, supaya dilepaskan
dari kenyataanku, jadi
samar dlm kerohanianku.
Semar hitam yg mengejar
memburu siapa?
memburu nafsuku, biar disucikan
dari lumpur keserakahanku, jadi
samar dlm rasa pasrahku.
Semar merah yg marah
murka terhadap siapa?
terhadap budiku, biar dibebaskan
dari pengetahuan imitasi, jadi
samar dlm ketidaktahuanku.
Semar putih yg membersihkan.
membersihkan apa?
membersihkan tinggihatiku, supaya direndahkan
saya dr serbabisaku, jadi
samar dlm keterbatasanku.
Ke utara, rupaku kuning samar
Ke selatan, rupaku hitam samar
Ke timur, rupakau merah samar
Ke barat, rupaku putih samar.
Ke mana-mana gue tak dilihat orang
saya selamat alasannya Semar
yang membuatku tak dikenal.
Aku terlepas dr kesombongan:
Adaku hanyalah untuk pas-pasan.
Hatiku tentram, alasannya gue bisa pasrah
diriku hanya untuk imbuh-imbuhan
njedhul-ku cuma untuk jangkep-jangkepan
Ternyata duljangkep yakni misteri
kerendahanhati yg membuat hatiku tenang.
Kutemui Wak Duljangkep
saya duduk dengannya
jagongan & wedangan
dan gue disuruh makan gula kacang
Saking asyiknya omong-omongan
tak terasa hari sudah malam
tiba-tiba Wak Duljangkep menghilang
dan gue menjadi realita.
1999
ANAK BAJANG MENGGIRING ANGIN
Anak bajang
menggiring angin
naik kuda sapi liar
ke padang bunga
menggembalakan kerbau raksasa
lidi jantan sebatang
disapukan ke jagat raya
dikurasnya samudera
dengan tempurung bocor
di tangannya
di gelaran sayap garudayaksa
naik anak bajang
ke bukit hardacandra
janur gebang berayun-ayunan
anak bajang berarak-arakan
dalam iring-iringan panjang
para pencagakan & kemamang
di belakang riang memanjang
barisan warudhoyong & singabarong
dhenokongkrong & dhadhungwinong
berkebit-kebit di ekor
anak-anak carubawor
paro petang bulan purnama
lelap tertidur anak bajang
bersahabat perapian kundakencana
dibelai gading gajahmeta
dan bisa permata nagaraja
dengan tikar daun runya
dari negeri atas angin
berhembus nafas
naga giyani & mintuna
meniupkan samirana dukula
anak bajang melayang
sampai ke puncak mandira
menari-nari bersama kukila
di bawah perempuan menangis
melahirkan pedang
dari luka-luka kedukaan
sedih anak bajang mengajukan pertanyaan
bunda kenapa
kaurobek kainmu dgn darah
sedang hendak merayap saya
di antara dua bukit-bukitmu?
gelap pun gulita
dengan empat nafsu cahaya
anak bajang menyalakan dian
teja darpasura
bumi bergoncang
dahana menyala
jaladri pecah
prahara melimbah-limbah
anak bajang dikejar dua insan
senjatanya pedang emas
payung kencana
menghadang di sana raksasa
mulutnya berlumuran darah
ikan berbisa
anak bajang meronta-ronta
menolak susu wanita
yang menutup payung hitamnya
gemuruh malam kumbang
ular jantan di kiblatan
dipeluk petang jalanan catur denda
anak bajang lari menubruk sunya
langit mendung hujan bintang
matahari padam senyum bulan muram
kusuma melayang merebut singgasana awan
bidadari turun telanjang
di madu-madu buah dadanya
menyusu anak bajang
sekeras sedih-dukanya
tangis & sorak gambiralaya
lahir di saptapratala
dunia renta berusia bayi muda
1983
ULARULARAN WAKTU
Ularularan waktu
Waktuku berjalan berularularan,
nasib hidupku ulangmengulang
Harapan akan masa depanku,
ditelan kekejaman masa laluku.
Apa yg menyelamatkanku kini,
hanyalah apa yg menghancurkanku nanti,
dan semuanya tadi, sudah kuketahui
di masa kemudian sebelum ini.
Dengan sepatu koyak, gue mengejar-ngejar
masa laluku yg sudah hilang.
Ternyata gue terbawa terbang
ke langit tinggi masa depan,
dan kembali gue kehilangan
apa yg semestinya kudapatkan.
Hidupku menjadi layang-layang,
benangnya putus, & gue terlempar.
Kini tak ingin saya
terbunuh lagi oleh waktu.
Kugigit ekor ularularannya, dan
masa laluku pun mengucurkan darah
Kupatahkan kepalanya, dan
terbebas gue dr impian masa depannya.
Aku hidup dr waktuku,
lega, kendati kini berada aku
dalam gelap kekinian,
aku berlangsung dgn perut ular
mengelengsargelengsar tanpa perkembangan,
terhenti di masa kini, di dunia ini.
Baru sekarang gue rasakan
keabadian yakni kekinian yg kekal
di dalamnya masa laluku tertelan
dan masa depanku terkandungkan
aku bahagia, di sini & kini
2000