Pada tahun 1958, Putu Oka Sukanta dinobatkan sebagai deklamatir terbaik Bali. Pada tahun 1982, ia menjadi pemenang ke-II untuk mendongeng pada Lomba Dongeng Lingkungan Hidup di Jakarta.
Pada tahun 1982 & 1983, Putu Oka Sukanta mengikuti Popular Theatre Workshop di Sri Lanka & Bangladesh. Pada bulan April & Mei 1985, ia diundang untuk berceramah tentang sastra & membacakan puisi dlm Tembang Jalak Bali di beberapa universitas di Australia (Flinders University, Monash University, ANU, Sidney University). Selain di Australia, ia pula membacakan puisinya di Jakarta & Malaysia (Dewan Bahasa & Pustaka).
Buku-buku Putu Oka Sukanta lainnya (beberapa di antaranya sudah diterbitkan ke dlm bahasa gila) yaitu I Belog (cerita anak-anak Bali, 1980), Selat Bali (kumpulan puisi, 1982), Salam atau Greetings (kumpulan puisi dwi bahasa, 1986), Tembang Jalak Bali atau The Song of The Starlings (kumpulan puisi dwi bahasa, 1986 & 2000), Tas atau Die Tasche (kumpulan cerpen, 1987), Luh Galuh (kumpulan cerpen, 1988), Keringat Mutiara atau The Sweat of Pearls (kumpulan cerpen, 1991 & 2006), Matahari, Tembok Berlin atau Die Sonne Die Mauer Berlin (kumpulan puisi, 1992), Kelakar Air, Air Berkelakar (novel, 1999), Merajut Harkat (novel, 1999), Kerlap Kerlip Mozaik (novel, 2000), Di Atas Siang Di Bawah Malam (novel, 2004), Wounded Longing atau Rindu Terluka (kumpulan cerpen, 2004 & 2005).
Tulisan sastra Putu Oka Sukanta pula terdapat dalam Indonesian Contemporary Progresive Poetry (Indonesia, 1963), The Prison Where I Live (London, 1996), Voice of Conciences (USA, 1995), Bali Behind The Seen (Australia, 1997), Black Cloud Over Paradise Isle (USA, 1997), Manageri IV (Indonesia, 1998), & Silenced Voices (Hawaii, 2000).
Berikut 10 Contoh Puisi Putu Oka Sukanta yg mampu Sobat simak:
Selamat pagi, Selamat sore, Selamat malam
Apa ada orang di rumah?
Kulonuwun – apa ada orang di rumah, Punten – apa anda di rumah? Jero meduwe jero – apa anda di rumah?
Karena tak ada yg jawab, gue duduk-duduk di serambi dgn istriku & belum dewasa
Suatu hari salah seorang majikan datang untuk ngecek
“Nama saya E.T., Tuan.”
Aku tunjukkan KTP-ku & KTP keluarga
Bukti legal yg kubawa kemana-mana
“Oh, ya, Kelas Dua”
Didalam Sel
Aku mirip air
Mengendap sehabis diguncang
Membiarkan busa-busa melonjak
Biar sampah-sampah membentuk
Menepis yg artifisial
Suatu pagi yg cerah
Aku seperti air
Mengendap sesudah diguncang
Lihatlah ke dlm
Kejernihan dikitari halimun
Dan figur yg timbul dlm keseluruhannya
Samasekali bukan sekadar seseorang
Aku seperti air layaknya
Yang mengendap sesudah diguncang kegelapan melenyap
Dan cahaya memancar lancar
Bukan lagi cuma seseorang belaka
Mereka Berikan Aku
Mereka berikan gue sebungkah keberanian
Mengalir di sekujur tubuhku
Mereka berikan sepercik cahaya
Bercahaya di dlm mataku
Mereka berikan secangkir empedu
Menguatkan setiap langkahku
Mereka berikan sebungkah batu
Yang kuhancurkan & menciptakan jalan raya
Mereka melampiaskan cambuk pada tubuhku
Yang mengokohkan otot dipangkal lidahku
Apa lagi yg kau bisa berikan
Untuk menguji harga diriku?
Bulan di Atas Teras
Bulat tembikar
bercahaya
relung sutra biru
dari teras beradu pandang
kedamaian rasa melintas sepintas
sebelum teringat kawan di pengungsian
Bulan di atas teras, bulan tembikar
lampu alami di atas penampungan
RM, 2007
Semakin sering kita bertanya
tidak hanya di mana kita sekarang
kabut knalpot menutup pandang
bukankah masih di rumah kita berdua
Ragu, keraguan, gamang, kegamangan
Siapa kau-sekalian istriku?
siapa gue suamimu?
Pacu kuda, kuda dilecut berpacu
mengusung wangsit-ilham, pula amanat Tuhan
sudah menjadi mantel atau degup jantung
Ah, sudah waktunya mencari terminal
sejenak, setidaknya mengenang cinta
dalam kerinduan yg tak berwajah
Jakarta, 2006
tolong hati-hati menenteng pantat
jangan hingga basah pada umumnya dijilat
jangan salah pilih kacamata kuda
tolong sering-sering memeriksakan gigi
jangan sampai taring memanjang sendiri
tolong buatkan arahan khusus
supaya wajib memasang perangkap tikus
di daerah kerja & di dlm dada
tolong wajibkan setiap pagi senam kepala
menengok ke kiri kanan, ke belakang ke wajah
ke atas & ke bawah, bagi orang kaya
tidak terkecuali polisi, politikus & serdadu
tolong pak presiden-gres ingatkan para lelaki
jangan lupa diri
biar ingat neneknya wanita
semoga ingat ibunya perempuan
semoga ingat istrinya wanita
agar ingat pacarnya wanita
agar ingat punya anak wanita
(maaf temanku yg gay, & yg lesbian
ini simbol, bukan hanya perkelaminan)
kan kita tak akan ada kalau mereka binasa
ah belum apa-apa terlampau banyak gue minta tolong
maksudku baik, supaya jangan melewatkan orang minta tolong
atau hanya dianggap anjing melolong
sekali lagi, gue minta tolong
jangan banyak berucap lho
masih banyak hukum diskriminatif lho
menjadikan gue tetap tahanan lho
tolong jangan tinggal lho
palagi cuma berucap lho
tabik pak presiden-baru
aku akan sering kirim puisi
tolong jangan dibalas dgn mengantarpolisi
Jakarta, September 2004
bukanlah murung, ia pula bukan getir yg keruh
bukan rindu, sesekali ya, rumah jauh yg semakin menjauh
bukan hanya album mengusang tetapi tulang belakang
masa lalu
pohon yg merontokkan daun-daun dendam
menguning, kering diserap serabut bumi
bila kau-sekalian bertanya: siapakah aku?
kujawab singkat, tetapi kuharap engkau tak kecewa
: cita-cita
aku bukan Gautama yg membuang rakit sesudah tak terpakai
saya ialah Gautama yg membangun nirbana sambil mencari
RM, November 2003
Di kamar 210
engkau mengusik tak hentinya
Ah, gue risih, beri waktu gue sejenak melepaskan diri
beri gue waktu sejenak mengaca diri
dalam kemewahan gue ingin melalaikan kemiskinan, tau?
Ubud, 11 Oktober 2004
Kutatap patung Liberty
Teringat puisi tinggal di bui
New York, 2000
engkau tak pernah pergi
di manapun kamu-sekalian kini
tertinggal puisi
berkembang menggedor tirani
mencatat latini, bandar betsi, reformasi
kembaramu memahatkan puisi
hingga batas kesaktian insani
engkau tak pernah pergi
tiba-tiba gue merasa sendiri
Jakarta, 2003