Cerpen Mainan Keluarga

Tidak ada hal-hal yang menyenangkan sehabis ayah meninggal dunia, kecuali satu hal yang telah niscaya, bahwa tidak ada lagi seorang yang paling pemarah di rumah kami. Sesudah dia mati, ternyata beliau meninggalkan banyak hutang. Sebanyak satu gudang barang-barang antik koleksi dia, ternyata tidak diterima oleh orang-orang yang dihutanginya, alasannya adalah argumentasi yang sempurna juga. Barang-barang kesenian itu berdasarkan penagih-penagih hutang tidak bakal laku, dan jika pun laku, kata mereka, harganya akan murah sekali. Untunglah lalu, saya selaku anak sulung, dan lalu menjadi kepala keluarga di rumah, melakukan pekerjaan di suatu perusahaan kopra dan dalam tempo lima tahun hutang-hutang itu lunas semua.
Keluarga kami bahwasanya terdiri dan orang baik-baik, jujur dan ramah, kecuali ayah yang punya sifat pemarah dan peminum.
Belakangan saya menjadi heran, kenapa dengan sifat-sifat dia itu sebaliknya dia mengasihi barang-barang kesenian yang memerlukan satu gudang spesial buat menyimpannya.
Suatu hari Minggu, sekadar unluk mengetahui, kenapa barang-barang kesenian itu sungguh dicintai, dan untuk mengetahui di mana diam-diam kenikmatan yang ditimbulkan barang-barang itu terhadap seorang pemarah dan peminum, kubongkar barang-barang yang sudah berdebu itu. Yang paling banyak ialah kepala-kepala hewan yang sudah diair keras, kemudian porselin-porselin Cina, patung-patung yang menurutku buruk seluruhnya. Tapi suatu patung kuda putih sungguh menarik perhatianku. Semakin dibersihkan semakin manis patung itu. Kemudian patung ini menerima daerah yang terhormat di meja kerjaku, kuletakkan di samping mesin hitung duit di antara potret ibuku.
Sejak hari itu saya telah tidak hirau lagi pada barang-barang kesenian di gudang, terutama alasannya pemimpin perusahaan menyampaikan, bahwa penyelundupan kopra sungguh berbahaya. Tapi kembali barang-barang kesenian itu menjadi perhatianku, sejak aku bekerjasama dengan seorang gadis, semenjak saya mulai memikir persoalan-dilema cadeau ulang tahun, sejak saya mulai meletakkan praduga, barang-barang kesenian itu bisa dibawa-bawa selaku alat percintaan. Karena saya lebih banyak tahu pada jenis- jenis kelapa dan kwalitet-kwalitet minyak saja selama ini, saya berusaha menemukan seorang mitra yang kata orang-orang banyak beliau seorang seniman, tapi setahuku cuma suka keluyuran belaka. Dulu saya benci sama orang ini, alasannya saya juga benci pada orang-orang yang tak inginbekerja. Sejak aku membutuhkan beliau untuk suatu pertimbangan, kebencianku sudah menyusut.
Aku tanyakan padanya, apakah baik menawarkan suatu barang kesenian pada seorang gadis pacar kila. Kawan ini antusiasmendengarnya dan beliau menanyakan apakah jenis barang kesenian itu, lukisankah atau patungkah. Aku menyampaikan kulit macan.
Ia murka-marah mentertawakanku, alasannya adalah katanya kulit macan tidak tergolong barang kesenian, kecuali bila digunakan sebagai penghias dinding. Kataku, itulah yang kumaksudkan! Tapi dia menanyakan apakah saya menyimpan juga barang-barang kecil, misalnya patung. Aku bilang, saya punya patung kuda putih dari porselin.
Penganggur itu menepuk-nepuk bahuku dan ia menyarankan supaya saya menunjukkan patung kuda putih itu saja. Tapi kemudian saya menjadi bimbang, apakah gadis itu suka pada barang kesenian jenis patung kuda putih.
Di rumahnya ada tanduk menjangan, kataku. Barangkali beliau lebih senang diberikan barang-barang jenis hewan-binatang mati.
“Kalau kamu lihat seorang perempuan menggunakan baju biru,” katanya memberi pesan yang tersirat, “maka pujilah dia dan katakan padanya ia sangat manis memakai baju biru muda.”
“Aku tidak mengerti,” kataku.
“Engkau sangat goblok,” katanya.
Lalu dia menyatakan, alasannya di rumah gadis itu telah ada jenis barang-barang hewan mati, maka berikanlah kuda putih dan porselin itu.
Ternyata nasihatnya benar, aku takjub padanya, dan saya tidak benci lagi padanya. Aku merasa gembira sekali, alasannya di antara barang-barang cadeau ulang tahun yang bertumpuk-tumpuk banyaknya itu, porselin kuda putihkulah yang paling menawan perhatiannya, dibelai-belainya, matanya bersinar seperti mata cincinku.
Dipanggilnya ibunya yang duduk di sudut, yang kukira juga akan besar hati melihat pemberianku.
Aku menyaksikan gadisku meloncat-loncat di depan ibunya dan mengunjukkan barang itu. Kemudian ibu itu terkejut , kukira begitulah, niscaya ibunya kagum dan menghargai, sebab sesudah itu, dari balik kaca matanya beliau menatap kepadaku.
Ketika ibu itu menatap kepadakulah, aku pura-pura malu sambil memperbaiki dasi di leherku, melonggarkan ikatannya yang dalam beberapa menit terasa menjirat-jirat leherku. Barangkali leherku lebih sempurna untuk dasi kupu-kupu.
Ada dua puluh dua kali aku datang ke rumah gadis itu, Tapi hanya satu kali ibunya ke luar itu pun cuma mencongokkan kepalanya dari balik gordin. Tapi keluargaku dari kepingan ibu yaitu keluarga baik-baik, dilarang meletakkan curiga, dilarang membenci orang dengan dendam betul-betul, biarpun cara ibu itu sungguh kubenci dan merendahkan dan mengakibatkan dendam. Benar juga kiranya dugaanku, sebab suatu kali gadisku menasihatkan begini, “Kalau bisa kamu jangan sering-sering datang ke rumahku lagi.“
“Kenapa?” tanyaku.
“Apa ibumu tidak senang padaku,” tanyaku lagi.
Ternyata dia seorang gadis yang bagus, alasannya biarpun aku tahu bahwa memang begitulah hal yang bekerjsama, namun beliau membayangkan dari raut mukanya, bahwa yang kuduga yakni tidak benar.
Sampai di rumah, aku sungguh-sungguh lesu sekali. Aku duduk di beranda dengan tenang, meskipun dalam kepalaku telah terkocok-kocok oleh cita-cita murka-murka tak karuan. Aku kemudian teringat akan pesan tersirat ayahku, sifat-sifat ayahku. Waktu aku berusia sembilan tahun, saya disuruh ayah memanjat pohon kelapa. Anak-anak di kampung kami, pada usia tujuh tahun sudah memiliki kepintaran memanjat dan memetik kelapa. Tapi saya tidak berani. Aku dihajar oleh ayahku dengan rotan dan dia memaksaku sampai sebuah saat saya bangga sekali, dari tinggi sepuluh meter, kujatuhkan sebuah kelapa yang pertama kujatuhkan ke bumi.
Ayah senantiasa bercerita, bahwa ia tidak pernah gagal dalam hidupnya. Aku juga ingat, saat aku diludahi oleh seorang gadis, sempurna di mukaku, dan dia melihatnya.
“Bodoh,” teriak ayah melihat saya terpaku saja.
“Buru beliau!” teriaknya lagi, tetapi saya masih terpaku, dan keterpakuan kemudian bermetamorfosis terpelanting sehabis saya merasa kepalaku ditamparnya. Ayah mengatakan bahwa kegagalan ialah pantang, lebih pantang lagi jikalau yang gagal ialah lelaki. Kemudian ayah menceritakan dengan besar hati, bagaimana beliau dapat merebut ibu kami semasa gadisnya, dan bagaimana dia kawin, dan bagaimana beliau tidak pernah ditolak oleh seorang gadis selama hidupnya.
Kalau aku ingat hal-hal itu, banggalah aku sepantasnya. Tapi aku berasa aib dan kecil dan hina pada keluarga gadis itu, karena diriku tak memiliki pujian sama sekali. Dan semenjak kunjungan yang kedua puluh dua kali itu, saya tidak lagi pernah ke rumah gadis itu.
Dan alanghah kagetnya aku, saat suatu kali, seorang wanita masuk pekarangan rumahku, dan dialah itu!
“Kenapa kamu tidak pernah tiba lagi?” tanyanya. Aku tidak mampu menjawab karena saya bahu-membahu sangat gembira, dan tumbuhlah kebanggaan dalam hatiku. Ia lalu banyak bercerita, banyak menyesal, yang kesemuanya memperbesar -nambah kebanggaanku.
Tapi aneh, setiap dia kulamar, senantiasa minta ditangguhkan, dan sekali beliau berterus terang.
“Ibuku tidak senang kau kawin denganku,” katanya.
“Kau mampu jadi perawan renta,” kataku menggigil.
“Saya juga heran kenapa begitu,” katanya.
“Ibumu udik,” kataku.
“Kau pemarah,” katanya, sedangkan aku merasa tidak murka sama sekali alasannya aku mengucapkannya menggigit secara perlahan-lahan,
“Ibuku benci sama laki-laki pemarah,” katanya.
Tidak ada hal-hal yang tidak menggembirakan lagi sesudah ibunya, ibu gadis itu, sebuah hari meninggal dunia. Keluarga kami tidak boleh berdendam oleh pihak ibuku, sebab itu saya menyaksikan sendiri bagaimana ibu itu menghembuskan nafasnya yang penghabisan.
Perempuan itu menatap saja, kepadaku dengan tidak berkedip, sedikitpun tidak ada benci, malah sebaliknya. Matanya yang hampir layu itu seakan memberikan maaf yang banyak, kata-kata yang tidak berkata.
Setelah beliau mati, saya kawin dengan anaknya, dan kami pun dikurniakan belum dewasa, sebagai hasil perkawinan itu.
Anak-anak meminta ketekunan kepada orang-orang tuanya, terlebih jikalau mereka menangis. Dan beberapa hari belakangan ini kami sudah tidak tabah lagi menyaksikan pekik anak kami yang pertama. Aku tidak tahu apa karena ia menjerit-jerit. Istriku juga tidak tahu apa alasannya adalah beliau menjerit-jerit.
“Ada apa sayang? Ada apa elok?” tanya istriku sambil mendekapnya.
“Hantu! Hantu!” pekiknya sambil menunjuk-nunjuk ke dinding kamarnya. Tahulah kami lalu bahwa anak kami takut pada kulit dan kepala serigala yang sudah di air keras itu. Kuusul kan supaya kulit serigala itu dipindah saja ke daerah lain. Istriku cepat-cepat melarang dan mempesona tanganku.
“Ibuku semasa hidupnya melarang tiap-tiap orang di rumah ini membuka atau memindahkan barang itu.”
“Tapi anak kita mampu asing karenanya,” kataku dan secepatnya membukanya tanpa tunggu-tunggu lagi.
Di belakang kulit serigala itu ada goresan pena semacam tatto, yang menyatakan, sebagai perlindungan kasih sayang dari seorang lelaki terhadap seorang wanita. Pengirim lelakinya tertulis terperinci nama ayahku, ditujukan kepada nama seorang perempuan, nama ibu istriku.
Kemudian di bawahnya tertanggal 20 Juni 1927, jadi kira-kira tiga tahun sebelum saya dilahirkan oleh ibuku, dan mempunyai arti 34 tahun yang lampau.
Sebagai mahir hitung yang bagus, aku mengira, antara tahun 1927 dan tahun 1929 ayahku pernah mengalami kegagalan. Aku tertawa terbahak-bahak.
Istriku sebaliknya menangis.
“Tentang kuda porselin itu,” katanya.
“Kenapa?” tanyaku.
“Kuda putih itu dukungan ibuku pada ayahmu dahulu. Aku sudah lama merahasiakan,” katanya.
“Untung mereka tidak kawin,” kataku tertawa terbahak-bahak lagi, sehingga anakku yang tadinya menangis-nangis, tertawa pula terbahak-bahak, dan mudah-mudahan saja dia tidak mentertawakan kakeknya atau neneknya.
TAMAT