a. Pengertian pengamatan/pengamatan (Observation)
Menurut Kartono (1980: 142) pemahaman pengamatan diberi batasan selaku berikut: “studi yang disengaja dan sistematis perihal fenomena sosial dan tanda-tanda-gejala psikis dengan jalan pengamatan dan pencatatan”. Selanjutnya dikemukakan tujuan pengamatan ialah: “mengetahui ciri-ciri dan luasnya signifikansi dari inter relasinya elemen-unsur tingkah laris insan pada fenomena sosial serba kompleks dalam pola-contoh kulturil tertentu”.
Observasi dapat menjadi teknik pengumpulan data secara ilmiah jika menyanggupi syarat-syarat selaku berikut:
1) Diabdikan pada pola dan tujuan observasi yang telah ditetapkan.
2) Direncanakan dan dikerjakan secara sistematis, dan tidak secara kebetulan (accidental) saja.
3) Dicatat secara sistematis dan dikaitkan dengan proposisi-proposisi yang lebih biasa , dan tidak sebab didorong oleh impuls dan rasa ingin tahu belaka.
4) Validitas, reliabilitas dan ketelitiannya dicek dan dikelola seperti pada data ilmiah yang lain (Jehoda, M. dkk, 1959 dalam Kartono 1980: 142).
Catatan penulis: Untuk nomor 4) istilah validitas dan reliabilitas dalam penelitian kualitatif tidak biasa digunakan, perumpamaan yang biasa digunakan untuk menggantikan kedua perumpamaan tersebut adalah dapat dipercaya.
Poerwandari tidak menunjukkan batasan perihal observasi tetapi menunjukkan penjelasan wacana pengamatan selaku berikut: “Observasi barangkali menjadi tata cara yang paling dasar dan paling tua di bidang psikologi, sebab dengan cara-cara tertentu kita senantiasa terlibat dalam proses mengamati. Semua bentuk observasi psikologis, baik itu kualitatif maupun kuantitatif mengandung aspek observasi di dalamnya. Istilah pengamatan diturunkan dari bahasa Latin yang berarti “menyaksikan” dan “memperhatikan”. Istilah observasi diarahkan pada aktivitas mengamati secara akurat, mencatat fenomena yang timbul, dan menimbang-nimbang korelasi antar aspek dalam fenomena tersebut. Observasi selalu menjadi bab dalam penelitian psikologis, dapat berjalan dalam konteks laboratorium (eksperimental) maupun dalam konteks alamiah (Banister dkk, 1994 dalam Poerwandari 1998: 62).
Catatan penulis: Observasi yang dikerjakan dalam laboratorium dalam konteks eksperimental itu yaitu observasi dalam rangka penelitian kuantitatif. Observasi dalam rangka penelitian kualitatif harus dalam konteks alamiah (naturalistik).
Patton (1990: 201 dalam Poerwandari, 1998: 63) memastikan observasi ialah tata cara pengumpulan data esensial dalam observasi, terlebih penelitian dengan pendekatan kualitatif. Agar memperlihatkan data yang akurat dan bermanfaat, pengamatan sebagai sistem ilmiah harus dilakukan oleh peneliti yang sudah melewati latihan-latihan yang memadai, serta telah mengadakan antisipasi yang teliti dan lengkap.
Moleong tidak menunjukkan batas-batas perihal observasi, namun menguraikan beberapa pokok duduk perkara dalam membicarakan pengamatan, diantaranya: a) alasan pemanfaatan observasi, b) macam-macam observasi dan derajat peranan pengamat (Moleong, 2001: 125).
a) Manfaat Pengamatan
Menurut Guba dan Lincoln (1981: 191 – 193 dalam Moleong 2001: 125-126) alasan-argumentasi pengamatan (pengamatan) dimanfaatkan sebesar-besarnya dalam penelitian kualitatif, pada dasarnya karena:
1) Pengamatan ialah pengalaman eksklusif, dan pengalaman langsung dinilai merupakan alat yang ampuh untuk memperoleh kebenaran. Apabila informasi yang diperoleh kurang meyakinkan, maka peneliti mampu melakukan observasi sendiri secara pribadi untuk mengecek kebenaran informasi tersebut.
2) Dengan pengamatan dimungkinkan menyaksikan dan mengamati sendiri, kemudian mencatat sikap dan insiden sebagaimana yang bahu-membahu.
3) Pengamatan memungkinkan peneliti mencatat insiden yang berkaitan dengan wawasan yang berhubungan maupun wawasan yang diperoleh dari data.
4) Sering terjadi keragu-raguan pada peneliti kepada info yang diperoleh yang dikarenakan kegelisahan adanya bias atau penyimpangan. Bias atau penyimpangan dimungkinkan alasannya adalah responden kurang mengingat peristiwa yang terjadi atau adanya jarak psikologis antara peneliti dengan yang diwawancarai. Jalan yang terbaik untuk menetralisir keragu-raguan tersebut, lazimnya peneliti mempergunakan pengamatan.
5) Pengamatan memungkinkan peneliti bisa memahami suasana-suasana yang rumit. Situasi yang rumit mungkin terjadi jika peneliti ingin mengamati beberapa tingkah laris sekaligus. Kaprikornus observasi dapat menjadi alat yang ampuh untuk suasana-suasana yang rumit dan untuk sikap yang kompleks.
6) Dalam perkara-perkara tertentu dimana teknik komunikasi lainnya tidak dimungkinkan, pengamatan menjadi alat yang sangat bermanfaat. Misalkan seseorang mengamati sikap bayi yang belum mampu berbicara atau memperhatikan orang-orang hebat, dan sebagainya.
Perlu ditekankan disini pengamatan dimaksudkan semoga memungkinkan pengamat melihat dunia sebagaimana yang dilihat oleh subjek yang diteliti, menangkap makna fenomena dan budaya dari pemahaman subjek. Pengamatan memungkinkan peneliti merasakan apa yang dinikmati dan dihayati oleh subjek, bukan apa yang dirasakan dan dihayati oleh si peneliti. Kaprikornus interpretasi peneliti mesti berdasarkan interpretasi subjek yang diteliti.
b) Macam Pengamat dan Derajat Pengamat
Menurut Moleong (2001: 126-127) pengamatan mampu dibedakan menjadi: a) observasi berperan serta, b) observasi tidak berperan serta. Pengamatan juga dapat diklasifikasikan menjadi: a) pengamatan terbuka, jika keberadaan pengamat diketahui oleh subjek yang diteliti, dan subjek memberikan kesempatan kepada pengamat untuk memperhatikan peristiwa yang terjadi dan subjek menyadari adanya orang yang mengamati apa yang subjek kerjakan, b) observasi tertutup kalau pengamat melakukan pengamatan tanpa dimengerti oleh subjek yang diamati. Pengamatan juga mampu diklasifikasikan menjadi: a) observasi dengan latar alamiah atau observasi tidak terstruktur dan b) pengamatan produksi atau observasi terencana. Pengamatan terstruktur ini disebut eksperimen biasa digunakan dalam observasi kuantitatif. Sedang pengamatan alamiah atau observasi tidak terencana inilah yang umum dipakai dalam observasi kualitatif.
Selanjutnya Bunford Junker (dalam Moleong, 2001: 126-127) membagi peran peneliti selaku pengamat menjadi 4 (empat) jenis, ialah:
1) Berperan serta secara lengkap (the complete participant). Pengamat dalam hal ini menjadi anggota sarat dari suatu kelompok yang diamati, artinya peneliti bergabung secara penuh atau menjadi anggota secara sarat dalam kelompok yang diperhatikan sendiri oleh peneliti. Dengan demikian peneliti mampu mendapatkan info apa saja yang dibutuhkannya, termasuk yang belakang layar.
2) Pemeran serta selaku pengamat (the participant as observer). Peneliti tidak sepenuhnya menjadi anggota kelompok yang diperhatikan (misalnya anggota kehormatan), namun masih dapat melakukan fungsi observasi. Hal-hal belakang layar masih dapat diketahui.
3) Pengamat sebagai pemain film serta (the observer as participant). Peranan pengamat secara terbuka diketahui oleh umum, sebab segala jenis informasi termasuk yang belakang layar dapat dengan mudah diperoleh.
4) Pengamat sarat (the complete observer). Biasanya hal ini terjadi pada pengamatan sebuah eksperimen dilaboratorium yang memakai beling sepihak. Peneliti dengan bebas mengamati secara terang subjeknya dari belakang beling, sedang subjeknya sama sekali tidak mengetahui apakah mereka sedang diamati atau tidak.
Flick (2002: 135) menerangkan ihwal observasi sebagai berikut: disamping kesanggupan berbicara dan menyimak sebagaimana dipakai dalam wawancara-wawancara, observasi merupakan keahlian harian lain sebagai secara metodelogis disistematisir dan diterapkan dalam penelitian kualitatif. Tidak cuma pandangan visual namun juga persepsi berdasarkan pendengaran, perasaan dan penciuman yang diintegrasikan. (“Besides the competencies of speaking and listening which are used in interviews, observing is another everyday skill which is methodologically systematized and applied in qualitative research. Not only visual perceptions but also those based on hearing, feeling and smelling are integrated (Adler and Adler 1998)”).
Dengan menyepakati pendapat Friedrichs (1973: 272-273), Flick (2002: 135) menyatakan mekanisme pengamatan secara lazim diklasifikasikan menjadi 5 (lima ) dimensi, ialah:
a) Observasi tertutup versus pengamatan terbuka: seberapa jauh observasi diberitahukan kepada siapa yang diobservasi. (“Covert versus overt observation: how far is the observation revealed to those who are observed”).
b) Observasi tidak terlibat versus pengamatan terlibat: seberapa jauh pengamat menjadi bab yang aktif dari lapangan yang diamati. (“Non-participant versus participant observation: how far does the observer become an active part of the observed field”).
c) Observasi sistematis musuh pengamatan yang tidak sistematis: yakni suatu pengamatan yang lebih atau kurang terstandarisasikan dalam acuan pelaksanaannya atau pengamatan yang lebih fleksibel dan tanggap terhadap proses penelitian sendiri. (“Systematic versus unsystematic observation: is a more or less standarized observation scheme applied or does observation remain rather flexible and responsive to the processes themselves”).
d) Observasi secara alamiah versus situasi-suasana buatan: apakah observasi dijalankan dalam lapangan yang disukai atau apakah observasi dijalankan terhadap interaksi yang mengarah ke sebuah daerah yang khusus (misalnya suatu laboratorium) yang memungkinkan observasi yang lebih baik. (“Observation in natural versus artificial situations: are observation done in the field of interest or are interactions ’moved’ to a special place (eq. a laboratory) to give a better observability”).
e) Observasi diri versus mengobservasi orang-orang lain: kebanyakan orang lain diobservasi, maka berapa banyak niat/atensi peneliti melakukan refleksi dalam observasi diri sendiri untuk dijadikan dasar selanjutnya pada waktu melakukan penafsiran atas apa yang diobservasi. (“Self-observation versus observing others: mostly other people are observed, so how much attention is paid to the researcher’s reflexive self-observation for futher grounding the interpretation of the observed”).
Mengenai tahap-tahap pengamatan, penulis mirip Adler dan Adler (1998), Denzin (1989 b), dan Spradley (1980) (dalam Flick, 2002: 136) menyatakan bahwa observasi mempunyai 7 (tujuh) tahap, yakni:
a) Seleksi sebuah latar (setting) ialah dimana dan kapan proses-proses dan individu-individu yang menawan itu dapat diobservasi (“The selection of a setting, i.e. where and when the interesting processes and persons can be observed”).
b) Berikan definisi ihwal apa yang mampu didokumentasikan dalam pengamatan itu dan dalam setiap masalah. (“The definition of what is to be documented in the observation and in every case”).
c) Latihan untuk pengamat biar ada standarisasi contohnya apa yang dijadikan konsentrasi-fokus penelitian. (“The pembinaan of the observers in order to standarized such focuses”).
d) Observasi deskriptif yang menunjukkan suatu pemaparan lazim perihal lapangan. (“Descriptive observations which provide an initial general presentation of the field”).
e) Observasi terkonsentrasi yang semakin terkonsentrasi pada aspek-aspek yang relevan dengan pertanyaan observasi. (“Focused observations which concentrate more and more on aspects that are relevant to the research questions”).
f) Observasi selektif yang dimaksudkan untuk secara sengaja menangkap hanya faktor-aspek pokok. (“Selective observations which are intended to purposively grasp only central aspects”).
g) Akhir dari pengamatan bila kepenuhan teori sudah tercapai, yaitu bila pengamatan lebih lanjut tidak memberikan wawasan lanjutan. (“The end of the observations, when theoretical saturation has been reached (Glaser and Strauss, 1967), i.e. futher observations do not provide any futher knowledge”).
Kerlinger (1986, terjemahan Simatupang 1990: 857) pada dasarnya menyatakan bahwa insan melakukan observasi sehari-hari kepada orang lain, lingkungan sekeliling dan lain-lain. Tetapi observasi seperti itu terperinci tidak menunjukkan data yang mampu dipergunakan untuk observasi ilmiah. Oleh peneliti-peneliti kuantitatif supaya data hasil pengamatan dapat dimanfaatkan dalam penelitian ilmiah perlu diterapkan mekanisme pengukuran ialah setiap sikap diberi skor menurut hukum tertentu, sehingga berdasarkan skor-skor tersebut dapat disusun kesimpulan. Namun menurut Kerlinger hal tersebut ternyata masih menimbulkan kontroversi dan perdebatan. Para peneliti kuantitatif menyatakan bahwa perilaku tersebut mesti diatur secara ketat dan cermat supaya sikap tersebut mampu dikenakan mekanisme pengukuran, dengan demikian data tersebut berguna untuk ilmu wawasan ilmiah. Peneliti-peneliti kualitatif menyatakan bahwa pengamatan mesti alamiah (naturalistik): pengamat harus larut dalam suasana realistik dan alami yang sedang berlangsung, dan harus mengamati perilaku selaku yang muncul dalam wujud yang sesungguhnya. Walaupun hal ini dalam pelaksanaannya sungguh sulit dan rumit.
Sedang Bachtiar (dalam Koentjoroningrat, 1977: 139) pada dasarnya menyatakan bahwa dalam wawasan ilmiah mengenai segala sesuatu yang diwujudkan oleh alam semesta, observasi ialah teknik yang pertama-tama dipakai dalam penelitian ilmiah. Selanjutnya dinyatakan berbeda dengan observasi yang dilakukan sehari-hari, observasi sebagai cara penelitian menuntut dipenuhinya syarat-syarat tertentu yang ialah jaminan bahwa hasil pengamatan memang sesuai dengan kenyataan yang menjadi sasaran penelitian. Syarat-syarat tersebut yaitu peneliti mesti berusaha membandingkan dengan hasil observasi orang lain dalam masalah yang sama dan dalam kondisi yang sama, apabila ternyata menerima hasil yang tidak sama, maka harus diperiksa kembali dimana kesalahannya. Untuk menguji kebenaran suatu pengamatan, peneliti dapat mengulang pengamatannya kemudian membandingkan dengan hasil pengamatan pertama. Walaupun hal ini tidak senantiasa mampu dikerjakan alasannya ada kejadian yang cuma sekali terjadi, sehingga tidak dapat diperhatikan lagi. Catatan penulis: untuk membandingkan hasil pengamatan dari seorang peneliti dengan peneliti lain ialah sangat sulit karena belum tentu menerima peneliti dalam persoalan yang sama dengan subjek yang sama. Oleh karena itu peneliti wajib membandingkan wajib penelitiannya dengan hasil observasi significant others adalah individu yang dinilai berwibawa, dipercaya, disegani oleh subjek yang diteliti sehingga persepsinya terhadap subjek yang diteliti dianggap benar atau sesuai dengan kenyataannya.
Menurut Suparlan (1997: 103) metoda observasi dipakai untuk menemukan isu mengenai tanda-tanda-gejala yang dalam kehidupan sehari-hari dapat diamati. Hasil observasi biasanya didiskusikan oleh si peneliti dengan warga penduduk yang bersangkutan untuk mengetahui makna yang terdapat dibalik gejala-gejala tersebut. Selanjutnya menurut Suparlan (1994: 62) pada dasarnya terdapat fikiran sementara pihak bahwa observasi dinilai bukan suatu metoda observasi yang ilmiah alasannya sederhana, tidak rumit teknik-tekniknya dan tidak susah mengetahui dan menggunakannya. Padahal jika dipakai sesuai persyaratannya akan memperoleh data yang tepat dan mampu dipertanggung jawabkan. Suparlan selanjutnya mengemukakan bahwa dalam observasi ilmiah yang menggunakan metoda observasi, si peneliti hendaknya memperhatikan 8 (delapan) hal selaku berikut:
a) Ruang atau daerah: setiap tanda-tanda (benda, kejadian, orang, hewan) selalu berada dalam ruang atau daerah tertentu. Bahkan keseluruhannya dari benda atau gejala yang ada dalam ruang yang membuat sebuah suasana tertentu patut diperhatikan oleh si peneliti, sepanjang hal itu memiliki pengaruh gejala-tanda-tanda yang diamatinya.
b) Pelaku: pengamatan terhadap pelaku meliputi ciri-ciri tertentu yang dengan ciri-ciri tersebut sistem kategorisasi yang berpengaruh kepada struktur interaksi dapat terungkapkan.
c) Kegiatan: dalam ruang atau kawasan tersebut para pelaku tidak cuma berdiam diri saja tetapi melaksanakan acara-aktivitas, yakni tindakan-langkah-langkah yang dilaksanakan, yang dapat merealisasikan adanya serangkaian interaksi di antara sesama mereka.
d) Benda-benda atau alat-alat: semua benda-benda atau alat yang berada dalam ruang atau daerah yang digunakan oleh para pelaku dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya atau ada kaitannya dengan aktivitas-kegiatannya haruslah diamati dan dicatat oleh si peneliti.
e) Waktu: setiap aktivitas selalu berada dalam suatu tahap-tahap waktu yang berkelanjutan. Seorang peneliti mesti mengamati waktu dan urut-urutan kesinambungan dari kegiatan, atau cuma mengamati aktivitas tersebut dalam satu jangka waktu tertentu saja dan tidak secara keseluruhan.
f) Peristiwa: dalam acara-kegiatan yang dilaksanakan oleh para pelaku, mampu terjadi sesuatu peristiwa diluar acara-kegiatan yang kelihatannya berkala dan terorganisir itu atau juga terjadi insiden-insiden yang bantu-membantu penting tetapi dianggap lazimoleh para pelakunya. Seorang peneliti yang bagus harus tajam pengamatannya dan tidak lupa untuk mencatatnya.
g) Tujuan: dalam acara-aktivitas yang diamati mampu juga terlihat tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh para pelakunya sebagaimana terwujud dalam bentuk langkah-langkah-tindakan dan verbal paras dan gerak tubuh atau juga dalam bentuk ucapan-ucapan dan istilah-perumpamaan bahasa.
h) Perasaan: pelaku-pelaku juga dalam aktivitas dan interaksi dengan sesama para pelaku mampu terlihat dalam mengungkapkan perasaan dan emosi-emosi mereka dalam bentuk langkah-langkah, ucapan, ekspresi paras dan gerakan badan. Hal-hal seperti ini juga harus diperhatikan oleh si peneliti.
Dari berbagai usulan beberapa tokoh perihal observasi (observasi) maka mampu ditarik kesimpulan bahwa observasi (pengamatan) dalam konteks penelitian ilmiah adalah studi yang disengaja dan dikerjakan secara sistematis, terencana, terarah pada sebuah tujuan dengan memperhatikan dan mencatat fenomena atau perilaku satu atau sekelompok orang dalam konteks kehidupan sehari-hari, dan mengamati syarat-syarat observasi ilmiah. Dengan demikian hasil observasi mampu dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Agar hasil pengamatan mampu dipertanggung jawabkan kebenarannya maka hasil pengamatannya hendaknya daripada hasil pengamatan peneliti lain wacana orang atau fenomena yang serupa dan dalam suasana yang serupa pula. Dapat juga dijalankan dengan mengulangi pengamatannya atau melengkapi dengan memakai teknik lain misalnya wawancara dan lain-lain. Atau dapat pula dikerjakan dengan membandingkan dengan hasil pengamatan dari significant others. Jelaslah bahwa prinsip triangulasi dalam penelitian kualitatif mesti ditegakkan.
b. Ciri-ciri Observasi
1) Persyaratan lain disamping diterapkannya prinsip triangulasi, maka biar hasil observasi dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya perlu adanya latihan untuk melakukan pengamatan, dan sudah dimilikinya secara mantap wawasan teoritis atau konseptual dalam bidang atau persoalan yang diobservasi oleh si peneliti. Atau dengan kata lain peneliti sudah mempunyai kepekaan teoritis (theoretical sensitivity).
2) Pengamatan mampu dimanfaatkan sebesar-besarnya dalam penelitian kualitatif alasannya memiliki kelebihan selaku berikut:
a) Pengamatan yang dijalankan sendiri oleh si peneliti dapat diperoleh kebenaran yang meyakinkan, alasannya adalah si peneliti dapat secara eksklusif mengecek kebenaran gosip.
b) Pengamatan memungkinkan si peneliti mampu memahami suasana yang rumit yakni jika si peneliti ingin mengamati beberapa tingkah laku sekaligus atau tingkah laris yang kompleks.
c) Dengan pengamatan dimungkinkan menyaksikan dan mengamati sendiri, lalu mencatat sikap dan acara sebagaimana yang bekerjsama.
3) Dalam perkara-kasus tertentu dimana teknik komunikasi lainnya tidak dimungkinkan, pengamatan menjadi alat yang sangat berfaedah, contohnya memperhatikan bayi yang belum dapat berbicara, atau memperhatikan orang yang menderita cacat; tuna rungu/tuna wicara, tuna netra, dan lain-lain.
Perlu mendapatkan perhatian bagi peneliti muda (mahasiswa S-1 yang sedang menyusun Skripsi dengan pendekatan kualitatif) tujuan pengamatan yaitu menangkap makna fenomena sebagaimana pemahaman subjek yang diteliti terhadap fenomena tersebut. Merasakan apa yang dicicipi dan dihayati oleh subjek yang diteliti, bukan apa yang yang dirasakan dan dihayati oleh si peneliti.
4) Menggaris bawahi usulan Poerwandari (1998: 62) yang menyatakan bahwa pengamatan diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang timbul, dan mempertimbangkan hubungan antara faktor dalam fenomena tersebut. Ini berarti pengamatan harus dikerjakan dengan cermat dan cermat, dengan demikian pengamatan tidak dapat dilakukan secara serempak dengan wawancara, karena mustahil observasi yang dijalankan bersama-sama waktu dengan wawancara akan menerima hasil teliti dan cermat.
5) Mengacu pendapat dari Kerlinger (1986 terjemahan Simatupang, 1990: 857) yang menyatakan pengamatan dalam konteks observasi kualitatif suasana yang diperhatikan harus realistik dan alami (naturalistik), maka usulan Banister dkk (1994 dalam Poerwandari, 1998: 62) yang menyatakan pengamatan dapat berlangsung dalam konteks laboratorium (eksperimental) maupun konteks alamiah, maka pernyataan bahwa observasi mampu berjalan dalam konteks laboratorium (eksperimental) harus diartikan pengamatan tersebut dilakukan dalam rangka penelitian kuantitatif. Disini eksperimen direncanakan dan dikerjakan oleh si peneliti. Subjek yang diteliti dalam eksperimen penelitian kuantitatif berperan selaku objek eksperimen. Observasi mampu pula dikerjakan dalam observasi kualitatif kalau eksperimen disusun dan dilakukan oleh peneliti lain, si peneliti memperhatikan subjek yang diteliti dalam eksperimen tersebut dalam suasana apa adanya. Subjek yang diteliti tidak menjadi objek eksperimen dan tidak tahu kedatangan observer (eksperimen dengan laboratorium berkaca).
6) Agar mampu berfungsi sebagai metoda dalam penelitian ilmiah pengamatan harus dilaksanakan sesuai persyaratannya. Apabila hal tersebut dijalankan maka akan menemukan data yang sempurna dan dapat dipertanggung jawabkan (Suparlan, 1994: 62). Peneliti dalam observasi ilmiah dengan memakai teknik observasi harus mengamati 8 (delapan) hal, ialah: a) ruang atau tempat, b) pelaku, c) acara, d) benda-benda atau alat-alat, e) waktu, f) kejadian, g) tujuan, h) perasaan subjek yang diteliti.
7) Mengacu pendapat beberapa penulis Flick (2002: 136) menyatakan terdapat 7 (tujuh) tahap dalam pelaksanaan observasi, yakni:
a) Melakukan seleksi terhadap setting penelitian.
b) Mendefinisikan apa yang mampu didokumentasikan dalam observasi dan dalam setiap masalah.
c) Melakukan latihan bagi peneliti wacana aturan-hukum yang mesti ditaati dalam melaksanakan pengamatan sesuai fokus-konsentrasi penelitian yang direncanakan.
Catatan penulis: konsentrasi penelitian mampu berganti sesuai keadaan dilapangan.
d) Mendiskripsikan apa yang mau dijalankan dilapangan.
e) Memokuskan observasi pada aspek-faktor yang berkaitan dengan pertanyaan penelitian.
f) Menyeleksi apa yang diobservasi dengan memprioritaskan faktor-faktor pokok.
g) Mengakhiri observasi apabila tujuan pengamatan sudah tercapai artinya apa yang hendak diobservasi tidak mampu dikembangkan lagi karena telah sesuai dengan teori yang mendasari, dan tidak akan mendapatkan data-data baru lagi yang menawarkan wawasan baru.