Perempuan berambut panjang yg digulung & membiarkan kepingan depannya diempaskan angin berjalan kaki di jalan raya. Berkalung & berpakaian khas warga sekitar. Ia berjalan pada siang yg berangasan di suatu padang sabana Sumba, Indonesia. Tangannya memegang senjata tajam. Sementara tangan yg satunya memegang gembolan: kepala insan!
Marlina nama perempuan itu. Perempuan ayu itu tampil selaku sosok yg mencekam dlm babak itu. Baru saja ditinggal suaminya. Ia menjanda & suaminya masih ada dlm bentuk jenazah saja, yg duduk bersedekap di ruang tengah rumahnya.
Marlin bukan tipikal wanita dgn emosi meluap-luap & melodramatis, namun tetap saja tak mampu betul-betul tenang dikala Markus tiba ke rumahnya & terang-terangan bilang mau merampok, menjarah binatang ternak, sekalian melampiaskan nafsu bejat ke Marlina.
Rumah berbahan kayu Marlina memang jauh dr mana-mana. Jauh dr tetangga. Jauh dr perkotaan. Kalaupun berteriak, ditentukan tak ada yg mendengar sama sekali. Kalaupun lari, Markus bisa saja memburu dlm sekejap, dgn motor bututnya yg memekakkan pendengaran. Akan tetapi nperempuan itu bukannya frustrasi & kehabisan logika. Lima dr tujuh berandal yg ingin menjarah rumahnya, justru hilang nyawa di tangan Marlina. Tewas! Empatnya tewas diracuni, sementara Markus yg sempat memerkosanya, mati dgn kepala terpenggal.
Kabar baiknya, Marlina di atas hanya tokoh fiktif yg disuguhkan dlm “Marlina Si Pembunuh dlm Empat Babak” oleh Sutradara Mouly Surya. Seperti yg terpampang terang di judulnya, dongeng Marlina terbagi dlm empat babak: Perampokan, Perjalanan, Pengakuan, & Kelahiran.
Kabar buruknya, film yg mendapatkan guyuran kebanggaan tersebut penuhdgn nilai yg tersembunyi. Dari babak ke babak yg dihidangkan bukan cuma merekam perjalanan seorang perempuan korban perkosaan dlm mencari keadilan, namun pula wajahsosial-budaya manusia—laki-laki & perempuan—yang sudah terlilit benang kusut patriarki. Setidaknya itu yg ingin disampaikan oleh sutradara: feminisme. Mencekoki sebuah gagasanliar!
Paradoks Feminisme & Perempuan dlm Islam
Feminisme. Sebuah paham gagasandr Simone de Beauvoir yg sangatlah khas & menarik serpihan sebagian golongan tertentu, utamanya mengenai eksistensialisme untuk perempuan, akar ketertindasan perempuan atas dominasi laki-laki. Dengan mengadopsi bahasa ontologis & bahasa etis eksistensialisme, Beauvoir dgn bakir mengungkapkan bahwa pria dinamai “laki-laki” sang Diri, sedangkan “perempuan” sang Liyan. Jika Liyan yakni ancaman bagi Diri, maka perempuan ialah ancaman bagi laki-laki. Karena itu, kalau pria ingin tetap bebas, ia mesti mensubordinasi perempuan terhadap dirinya.
Sekilas benar, tetapi menyisihkan tanda tanya besar yg sungguh menyakitkan. Apakah laki-laki diciptakan untuk menindas perempuan? Apakah perempuan kerap menjadi korban dr ketidakberdayaan? Tudingan ini kerapkali diluncurkan pada pemikiran Islam yg dinilai mengekang kaum perempuan.
Feminisme sejatinya ingin “menolong” perempuan namun pada kesudahannya malah menjerumuskan pada ideyg menjauhkan perempuan dr aturan Tuhan. Apakah Islam sebegitu jomplangnya dlm mengatur perempuan dgn laki-laki?
Dalam ayat-ayat Al-Qur’an, & telah terbukti dlm sejarah hidup Rasulullah sendiri, bahwa laki-laki yg beriman sama haknya dgn perempuan yg beriman, bahkan sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yg lain. Islam pun mengctahui & menjaga kondisi fisik perempuan. Jangan sampai ia memikul hal yg tak dapat dipikulnya.
Masyarakat insan yaitu adonan antara keaktifan pria dgn kepasifan perempuan. Merekalah yg mendirikan rumah tangga. Artinya ada pria untuk membangun “rumah” & perempuan yg membuat “tangga” untuk keberlangsungan hidup.
Jelas sekali sebenarnya rumah tangga yg aman & damai merupakan adonan antara tegapnya laki-laki dgn halusnya perempuan. Laki-laki mencari nafkah & perempuan mengendalikan nafkah. Tidak bisa satu rumah tangga bcrdiri bila hanya kemauan pria saja yg berlaku & tak bisa rumah tangga berdiri jikalau hanya kehalusan lemah lembut perempuan saja yg terdapat.
Kombinasi laki-laki & perempuanlah yg akan menjadi karena adanya keturunan, dr kasih ibu & ayahlah terbentuk anak-anak yg pada gilirannya melanjutkan perjuangan yg tak jauh berlainan.
Tersebut di dlm suatu hadits yg dirawikan oleh al-Bazzar bahwa suatu hari masuk perempuan bernama Asma binti Yazid ke dlm majelis Rasulullah, lalu ia berkata, “Ya Rasulullah, gue ini adalah utusan dr perempuan-perempuan, tiba menghadap engkau!”Sesungguhnya Allah telah mewakilkan kau-sekalian pada kaum perempuan sebagaimana kau-sekalian diutus untuk laki-laki.
Kaum perempuan duduk di dlm rumah tangga ananda (laki-laki). Kami yg memasakkan makanan kau, & kami puaskan syahwat kau. Kadang-kadang kalian pergi dr rumah, entah pergi musafir, atau naik haji, atau berjihad. Kamilah yg menjaga rumah tangga kamu, kamilah yg memelihara harta benda kau, & kami yg mcndidik belum dewasa kamu. Lalu, dilebihkanlah ananda dibandingkan dengan kami. Kamu pergi shalat Jum‘at, ananda pcrgi berjamaah, & pergi bcrjuang jihad fi sabilillah. Apalagi penggalan untuk kami, ya Rasul Allah?”
Usai perkataan perempuan tersebut, Rasulullah menoleh kcpada sababat-teman ia yg duduk mcngelilingi beliau kemudian berkata, “Sudahkah kalian dengar yg seumpama pertanyaan perempuan ini? Sudahkah kalian pahami apa isinya?”
Lalu, beliau menolehkan parasnya yg mulia pada Asma bin Yazid, & ia berkata kepadanya, “Sampaikanlah pada mitra-kawanmu, perempuan-perempuan yg mendelegasikan ananda ke sini, bantu-membantu ketaatan & mengamalkan apa yg diridhai-Nya yaitu lebih mengimbangi segala kelebihan yg ada pada pria itu.”
Mendengar jawaban Rasulullah yg demikian, berseri-serilah tampang Asma binti Yazid, lalu mengucapkan, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.” ia pun meninggalkan majelis tersebut.
Dalam “Buya Hamka Berbicara Perempuan” (GIP, 2015), Buya Hamka mengatakan “Para perempuan tak usahlah cemas. Islam tak menyuruh orang sujud pada yg selain Allah. Perempuan tak ditugaskan sujud pada suaminya. Yang diperintahkan hanya kesetiaan sebagai imbangan dr perintah Rasulullah pada laki-laki. Jika hendak dimasukkan hitungan orang yg muliawan, setiawan; hendaklah menilai mulia ahlinya, istrinya. Jika mahir & istrinya dianggapnya hina, hal tersebut pertanda bahwa dialah yg hina!”
Marlina memang bukan perempuan muslim. Ia tampil selaku simbol perempuan etnis, dr kelas miskin, not-well educated dan tinggal di daerah terpencil. Ia sepertinya tak pernah baca buku seorang filsuf feminis mirip Judith Butler, tapi percaya kalau keadilan atas hal yg menimpanya harus ditegakkan. Meski telah menuntaskan nyawa para perampok & pemerkosanya, Marlina digambarkan sebagai sosok yg tetap ingin dunia tahu kalau kebebasannya sudah dikangkangi—bahwa dendamnya mesti teratasi. Dan ini ancaman jika diterapkan bagi kaum muslimah yg menonton & memuji film apik ini.
Satu habitus yg terpancang dr suasana feminisme yg kerap mengelilingi kehidupan ini yaitu terbiasanya mengisahkan perempuan sebagai drama memerangi yg lain. Dan ini yg kerap dilaksanakan oleh kaum feminis.
Kita tak perlu menyigi kembali pijakan tugas perempuan dlm Islam. Perempuan itu butuh dimuliakan, bukan disamaratakan kedudukannya dgn pria. (*)