Mungkin banyak yg menduga rumah tangga kita romantis. Selalu nampak berkasih sayang setiap kali tampak orang. Penuh sakinah. Kemana pun pergi nyaris kerap bareng . Bisnis pun kita bareng . Namun semua cuma fatamorgana. Tuntutan-tuntutanmu terlalu tinggi sebagai seorang istri.
Kesedihan paling besar bagi seorang suami mungkin jikalau tak bisa menuruti ajakan istri. Dan Aku pikir itu hal yg wajar yg dipinta seorang istri pada suami; membelikan rumah. Yang diajarkan Rasulullah SAW, suami memang mesti memberikan tempat tinggal yg pantas pada istri. Tak harus eksklusif membeli, bisa mengontrak atau menyewa rumah. Lambat laun gue baru mengerti ternyata itu “dorongan besar lengan berkuasa” dr keluargamu dr kerabat-saudara kandungmu. Usaha toko elektronik yg kita bangkit bareng , mengalami goncangan pula. Penuh sengketa.
Kau pun meminta cerai. Hal yg halal namun sungguh dibenci oleh Allah SWT. Permintaanmu untuk cerai tak kugubris, akan tetapi membelikanmu rumah pula hal yg sangat susah kulakukan sebab keterbatasan. Lebih lagi tatkala kututup toko & beralih menjadi tukang bakso, usul ceraimu kian berpengaruh. Apalagi ada dorongan-dorongan saudaramu yg senantiasa menempatkan gengsi di atas segala. Aku bertahan karena dua buah hati yg kita bina bersama. Ternyata pertahanan harus roboh karena harga diriku sebagai laki-laki terpelanting ke dasar bumi. Remuk!
Keputusan cerai itu pun tiba. Kau tampak senang, setali tiga duit dgn kerabat-saudaramu. Kau kembali ke mereka yg kaum berada itu. Berimbas pula pada anak-anak kita. Anak pertama pria yg tadinya kupesantrenku kamu ajak ke kotamu. Kau manjakan. Untungnya anak kedua, wanita yg kecil, masih mau menetap pesantren.
Tak usang kudengar kau sudah menikah lagi. Dengan tipikal seorang pria yg ke mana-mana menggunakan gamis & sering mengajak orang pergi ke masjid. Baguslah jika kau menerima laki-laki yg sholeh. Turut bahagia. Namun pernikahanmu dengannya ternyata tak bertahan usang. Hanya setahun. Kau meminta cerai. Aku tak peduli, hanya bisa mengelus dada.
Kini gue berdagang bakso di daerah Bogor. Dengan dua karyawan. Tanpa berniat arogan, gue telah mampu berbelanja rumah. Tentu ini semua sebab kasih sayang Allah SWT. Aku hanya meyakini membuka warung bakso bukanlah pekerjaan rendahan. Bukan status sosial yg patut dihina-nistakan. Meski gue mesti menelan pil pahit juga. Anak laki-laki kita, yg sekarang memilih bersamaku, tak mau lanjut sekolah menengahnya. Kerjaannya cuma nongkrong saja. Telinganya tindikan. Pulang ke rumah hanya meminta duit kemudian pergi begitu saja. Murni gue tak menyalahkanmu sebab kamu cabut ia dr pesantren & kau manjakan. Ia hanya menjadi korban dr keegoisan kita. Ada hak anak yg tak kita tunaikan.
Pasca kamu bercerai dgn suamimu, kamu mengantarkan pesan kepadaku. Minta kembali lagi. Aku menimbang-nimbang dgn sarat tidak yakin. Namun pihak keluargaku menyarankan mentah-mentah. “Jika kamu terima ia kembali sebagai istri, jangan pernah anggap kami saudara kamu lagi,” tegas mereka berkata.
Anak wanita & anak pria kita tak jauh beda. Ia tak izinkan bapaknya kembali pada ibunya.
“Aku nggak mau bapak balik lagi ke ibu. Kalau bapak balik, gue akan pergi dr rumah,” kata anak wanita kita.
Aku memperlihatkan pemahaman mereka bahwa kamu tetaplah ibunya, ibu kandung, meski tak lagi satu rumah. Tak pernah ada sejarah berjulukan mantan ibu. Aku tetap meminta mengunjungimu tiap sebulan sekali.
Hidup mesti tetap berjalan, masa lalu biarlah menjadi spion. Yang perlu ditengok cuma sekali waktu saja supaya tak tertabrak di depan. Aku sekarang pun sedang ta’aruf dgn seorang muslimah yg sholehah. Anak-anak menyetujuinya. Dan gue harap kamu pula mendapatkan yg kaudamba. [Paramuda/ Wargamasyarakat]
*Seperti yg dituturkan oleh kawan di Bogor Ahad kemudian.