Peristiwa pertempuran Lekong yaitu satu cerita yang tidak mampu dilupakan begitu saja dalam perjalanan sejarah usaha pendirian Republik ini. Dalam pertempuran ini, sebanyak 33 taruna Militaire Academie Tangerang dan 3 perwira rela menjadi korban.
Peristiwa ini bermula dikala kekuatan militer yang terkumpul di Militaire Academie Tangerang kekurangan amunisi. Padahal, mereka masih mesti berjuang alasannya adalah masih ada beberapa ancaman dari pihak Belanda alasannya adalah tidak mengakui kemerdekaan Indonesia.
Satu-satunya jalan untuk memenuhi cadangan amunisi dan persenjataan itu yakni senjata milik prajurit Jepang yang ada di Lengkong, yang sudah dilarang memakai senjata dan harus dilucuti oleh Sekutu karena kalah dalam Perang Dunia II.
Upaya meminta senjata itu dilakukan oleh tiga perwira Resimen IV Tangerang yakni Letkol Singgih, Mayor Daan Mogot, dan Kapten Endjon dengan cara melakukan pendekatan terhadap Kapten Abe, petinggi serdadu Jepang di Lengkong. Tetapi, upaya itu senantiasa gagal alasannya Kapten Abe selalu menolak menunjukkan senjata.
Padahal, antara Republik Indonesia dengan Sekutu telah terjalin akad akan melucuti dan memulangkan para prajurit Jepang ke negeri asalnya. Sehingga, Resimen IV terpaksa harus sesegera mungkin meminta senjata-senjata itu sebelum pelucutan dijalankan sendiri oleh pasukan Sekutu.
Adanya info yang menyebut pasukan Belanda telah sampai di Parung dan akan menuju ke Lengkong untuk melaksanakan pelucutan senjata membuat suasana makin sukar. Akhirnya, Pimpinan Resimen Tangerang mesti bergerak cepat melakukan pelucutan senjata.
Berbekal alasan sudah adanya janji antara RI dengan Sekutu, Mayor Daan Mogot diutus memimpin pasukan yang beranggotakan para taruna Militaire Academie Tangerang untuk melucuti pasukan Jepang. Daan Mogot didampingi oleh seorang taruna Militaire Academie Tangerang yang ahli berbahasa Jepang bertemu dengan Kapten Abe.
Resimen IV pun tahu akan gagal jikalau pelucutan dikerjakan tanpa melibatkan bagian Sekutu. Mereka lalu memakai siasat dengan melibatkan beberapa pasukan Inggris keturunan India yang keluar dari satuannya untuk menemui Kapten Kobe.
Siasat itu ternyata berjalan dengan sangat efektif. Pasukan Jepang yakin bahwa yang melucuti senjata yaitu pihak Sekutu. Misi pelucutan senjata berlangsung dengan hening.
Tetapi, suatu insiden terjadi karena terdengar bunyi ledakan yang tidak dimengerti asalnya. Hal itu menciptakan pasukan Jepang berlarian dan berupaya menjangkau kembali senjata yang telah disita.
Pertempuran berlangsung secara tidak sepadan. Jika dibandingkan, pasukan Jepang memiliki pengalaman tempur yang cukup lama ditambah persenjataan yang lengkap, sementara taruna Militaire Academie Tangerang belum mempunyai pengalaman yang cukup.
Selain itu, aspek senjata menjadi salah satu kendala yang sungguh berat. Para taruna belum sudah biasa memakai senapan jenis caraben Terni. Ditambah lagi, kadang kala peluru yang dimasukkan tidak sesuai dengan spesifikasi senjata sehingga menyebabkan macet dikala digunakan.
Akhirnya, sebanyak 33 taruna dan 3 perwira, yakni Mayor Daan Mogot, Letnan Satu Soebianto Djojohadikusumo, dan Letnan Satu Soetopo meninggal dalam peperangan Lengkong. Para taruna yang masih hidup disandera Jepang dan disuruh menggali kubur bagi sobat-temannya yang meninggal.
Mendengar kabar itu, Pimpinan Resimen Tangerang kemudian meminta izin kepada Jepang untuk mengambil mayat para pejuang. Setelah diizinkan, mayat-mayit tersebut kemudian dikebumikan di bersahabat penjara belum dewasa Tangerang.
Saat proses pemindahan, didapatkan suatu catatan kecil berisi sajak berbahasa Belanda produksi Henriette Roland Holst di saku seragam Letnan Satu Soebianto Djojohadikusumo. Sajak itu lalu digubah ke dalam Bahasa Indonesia, dan diabadikan di pintu gerbang Taman Makan Pahlawan Tangerang. Sajak tersebut berbunyi:
Kami bukan pembina candi,
Kami cuma pengangkut batu,
Kamilah angkatan yang mesti musnah,
Agar berkembang menjadi angkatan baru,
Di atas kuburan kami telah tepat.
Sumber: http://www.merdeka.com