Belakangan ini Nun mirip anggota grup vokal yg sedang mengambil jalur “solo karier”. Menyanyi seorang diri. Sayangnya, Nun bukan anggota grup vokal yg senang menyumbang suara sumbang. Nun cuma kader dakwah yg merasakan kesunyian membunyikan suara di barisan kerohanian Islam. Rekan-rekan dakwahnya menghilang.
Rekan pertamanya sudah menikah. Rekan keduanya sudah menikah pula & rekan ketiganya juga. Ketiga rekan yg tergabung dlm satu departemen itu dahulu ialah sosok-sosok yg aktif bergerak dlm barisan yg rapi. Aktif bervokal dlm ranah lokal. Tak pasif melaksanakan kegiatan sosial kemasyarakatan, kemanusiaan, daurah, pantia qurban & sebagainya. Namun semua berganti pascamenikah. Nun, yg masih melajang, menyaksikan betapa menikah itu ruang berbenah. Juga tohok telak baginya.
Pernah kah merasakan (atau mengalami?) apa yg dinikmati Nun & yg terjadi pada mitra-kawan perjuangannya yg mengalami keloyoan pascanikah?
Seorang mitra yg tinggal di Depok mengaku pernah mengalami fase seperti ini.
“Sekitar 6 bulan saya pernah vakum sehabis menikah. Tidak timbul dlm aktivitas dakwah, banyak ditanyakan ikhwah. Setelah merasa cukup pembiasaan dgn istri, saya kembali berdakwah, aktif lagi.” Ucapnya pada penulis pada suatu malam.
Banyak yg bilang ta’aruf yg sebenarnya itu tatkala setelah menikah. Awal-permulaan menikah pula perlu ‘pembiasaan’, menikmati ‘dunia milik berdua’ dgn suami atau istri, bisa sampai enam bulan atau setahun (?). Yang kelewatan itu bila raib dr peredaran pergerakan padahal tugas dakwah di depan mata sudah menunggu si ‘pengantin baru’ itu. Belum lagi nanti tatkala terlena tatkala datangnya baby yg menggemaskan, padahal “Ketahuilah bahwa hartamu & anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan & sesungguhnya di sisi Allah lah pahala yg besar.” (QS. Al-Anfaal: 28).
Ada itu di sebuah halaqah bahasa Arab, para pesertanya yg tadinya ramai sekarang kosong melompong. Sebab, para pesertanya sudah menikah.
Jika masih mengenaskan, coba tengok kembali; apa tujuan menikah?
Apakah benar untuk menggenapkan setengah din?
Seharusnya setelah menikah ruhiyah itu makin gagah. Makin tekun tilawah, dakwah tak kenal kata ogah, hafalan kian nambah, tak sering mangkir halaqah.
Jika sehabis menikah ruhiyah semakin payah, mungkin menikah bukan lagi menggenapkan setengah agama, tetapi membuat beragama jadi setengah-tengah. Bukan alfu mabruk namun alfu ambruk. Wallahua’lam. [@paramuda/ Wargamasyarakat]