Jika menyebut pemain musik dr grup band Noah yg sudah hijrah mungkin Anda akan eksklusif merujuk pada satu nama yaitu Reza. Padahal ada satu nama yg belakangan santer digaungkan yaitu Ihsan Nurrahman.
Ihsan setahun terakhir jarang kembali tampil di megahnya panggung musik. Pembetot bass yg sebelumnya selaku salah satu additional player tersebut mendarmakan diri pada Islam. Padahal posisi yg tatkala itu ialah posisi yg diimpikannya, bahkan Ihsan tercatat memiliki sumbangsih cukup besar dlm album Noah Seperti Seharusnya lewat keterlibatannya bersama David di laguSeparuh Aku & Tak Lagi Sama.
Lalu bagaimana cerita hijrah Ihsan Nurrahman?
“Selama ini saya hidup sedari kecil itu pengin menjadi artis terkenal,” kata Ihsan pada suatu tayangan televisi sementara waktu lalu.
Mulai dr duduk sekolah menengah pertama ia sudah aktif main alat musik bass. Latihan ke sana-sini, kemudian mulai main gitar di kafe & yang lain. Akhirnya, sempat menjadi additional player di band Laluna, Numata & terakhir diajak ke grup band Peterpan (sewaktu itu). Ia merasa tatkala itu makin erat ke tujuan yg diimpikan, kepada hal sesuatu yg besar. Tapi ternyata tatkala di posisi atas, meski selaku additional player, ia mencicipi kian lama kian ada yg kosong dlm hatinya. Ia dikala itu belum berpikiran untuk mendekat ke agama.
Ihsan cuma berpikir dlm hati, membuat sesuatu terlebih untuk menciptakan karya yg besar? Yang sebesar The Beatles yg levelnya bukan Asia Tenggara, tetapi dunia, bertahan hingga berapa generasi sih? Paling bertahan cuma dgn dua generasi. Lalu apa kabar dgn saya yg cuma additional player untuk suatu karya yg besar? Legacy saya kepada dunia ini itu apa?
Di tengah kegalauannya, Ihsan mendatangi salah satu masjid di Kota Bandung, Jawa Barat. Bahkan biar hatinya cuma konsentrasi pada Allah, Ihsan beriktikaf & berdzikir untuk menggapai ketenangan hidup. Hati sepenuhnya bersama Allah Swt.
Waktu itu, qadarullah, bareng dgn rombongan jamaah drummer Noah yakni Reza. Ia memaksa diri untuk ikut pogram 24 jam di masjid.
Dari masjid inilah titik balik hidupnya dimulai. Ia yg tadiya jarang-jarang sholat, tatkala pulang ke tempat tinggal, dengar adzan hatinya bergetar. Yang mengena di hatinya tatkala ia diajak silaturahim ke tetangga-tetangga bersahabat masjid. Makin melangkah kian pengin menangis. Rasanya sudah hingga ke leher ia tahan-tahan agar tak menangis. Tatkala pintu tetangga masjid dibuka, ia langsung menangis & nangisnya tak berhenti hingga Subuh. Seolah-olah diperlihatkan oleh Allah atas dosa terhadap diri pribadi, istri, anak, orangtua & para mitra.
“Berapa banyak orang yg saya lalaikan kepada Allah Swt. gara-gara musik?! Berapa orang yg meninggalkan sholat hanya karena ingin menonton saya 1,5 jam?!” akunya.
Hingga kini Ihsan mencoba untuk memperdalam ilmu agamanya & mencoba menerapkannya dlm kehidupan sehari-harinya. Ia sekarang tak lagi bermain musik, namun berbisnis busana.
“Bermuamalah ini seperlima agama. Yang saya pelajari seperti itu,” katanya yg sebelumnya konsultasi dgn ulama tatkala mengawali bisnis pakaian muslim.
Ihsan selama ini mencari musik untuk ketenangan, tapi ternyata tak ia dapatkan.
“Yang salah ternyata bukan lingkungan saya, tetapi ternyata ada pada diri saya. Hati ternyata bukan tempatnya untuk dunia. Dunia itu untuk digenggam, bukan dimasukkan ke hati. Tatkala saya memasukkan agama, saya memasukkan Allah, saya mencicipi ketenangan,” ujar Ihsan. [Paramuda/Wargamasyarakat]