Idealnya keluarga seorang pegiat dakwah mirip ini yakni keluarga yg tentram, membawa ketenangan & kebahagian serta penuh limpahan kasih sayang. Namun taraf ideal hanya bisa kunikmati di teks-teks buku perihal pernikahan & rumah tangga yg hanya berakhir di alam imajinasi.
Setiap pulang dr kerja, gue selalu mendapati rumahku seperti rumah penghuni neraka, sama sekali tak ada aroma surga sama sekali.
“An****” gue kaget mendengar kata buruk itu diucapkan oleh istriku pada anakku yg masih kecil. Seperti ada yg memporak-pondakkan hatiku. Bayangkan, mengeluarkan kata-kata kotor di depan teman saja sudah perbuat buruk, apalagi di depan anak sendiri? Aku menjajal sabar untuk tak memarahi istriku, namun apa mau dikata, gue harus tetap marah alasannya adalah kalimat itu sungguh tak layak ditujukan pada kedua anakku yg masih berusia tiga tahun & satu tahun. Berjalannya waktu, ia malah makin terbiasa dgn kalimat-kalimat yg sarat dgn nama-nama hewan di Ragunan.
Ketidaknyamananku makin menjadi tatkala ia senantiasa menanyaiku di mana gue berada, di mana posisiku & bareng siapa. Memang ini sudah sering ia lakukan di permulaan-permulaan ijab kabul. Kalau jarang-jarang itu masih masuk akal, nah bila sering menginterogasi tiap jam sedang di mana, siapa yg tak nyaman. Seakan gue yaitu suami yg tatkala keluar rumah terbang bebas dgn perempuan lain. Tatkala gue menginformasikan akan ada mukhoyyam, ia malah tak mengijinkan sama sekali. Aku tak boleh mengikuti kegiatan itu alasannya adalah di matanya bareng keluarga utama & kegiatan seperti itu di matanya tak ada artinya.
Di manapun gue pergi, ia ingin ikut. Ini sudah keluar dr kewajaran. Seakan hidupku tak dilingkupi kejujuran. Aku tak diberikan kepercayaan sama sekali. Ada batasan yg ia labrak. Suatu kali gue mendapat tugas mengisi di program kantor, di sebuah lapangan. Tatkala sedang menjadi master of ceremony di acara tersebut, istriku secara tiba-tiba ke depan & memangkukan anakku di pahaku. Aku tak persoalan bila di pangku anak, malah suka. Namun ini waktunya sungguh tak tepat sekali. Lebih lagi anakku itu habis dr buang air kecil & belum dipakaikan celana, masih telanjang. Sementara itu tatkala usai memangkukan anakku, istriku malah asyik main hape sendiri. Aku tak tahu sedang mengetik apa di papan ponselnya, sedang komunikasi dgn siapa. Aku heran pula malu, pasalnya para hadirin pula geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah polah istriku yg hirau tak hirau dgn anak & suami. Oh, Rabbi…
Idealnya seorang istri tak begadang bila memang tak ada hal yg memiliki kegunaan, imbasnya subuhnya kesiangan. Aku sudah membangunkan namun ia tidur lagi tak beranjak ke kamar mandi mengambil air wudhu. Berlangsung begitu terus, anak tak terurus sementara gue harus pergi ke kantor.
“Bagaimana kalau kita mencari pembantu?” tawarku tatkala itu.
Ia menggelengkan kepala & menolak tawaranku. Katanya uangnya mampu diberikan kepadanya ketimbang mesti diberikan pada pembantu. Entahlah, gue galau dgn jalan pikirannya. Mau tidak ingin gue mesti banyak mengorganisir anak & urusan rumah selain urusan kantor.
Hobinya begadang hingga malam kesudahannya kupergoki. Ia asyik chatting dgn seorang laki-laki yg bukan mahram. Ia menduakan? Sebentar, gue tak ingin menyimpulkan apalagi gres sekali lihat. Namun gue coba mencari bukti lain, & gue pun memperoleh satu kesimpulan: istriku selingkuh. Lebih lagi gue dengar beberapa orang ia sering nulis status Facebook yg sarat dgn urusan rumah tangga, pula lelaki lain. Satu perhiasan lagi, ia meng-unfriend gue di FB. Aku tak pun menanyakan kepadanya, apakah benar ia menduakan & menyayangi pria lain? Dan dugaanku benar. Ia mengaku selingkuh & lebih menyayangi lelaki itu.
Ini salahku. Aku melawan usulan ibuku, ibuku sedari awal tak oke gue menikahinya. Aku pula sebenarnya diusulkan murabbiku agar tak menikahi akhwat KW itu. Namun gue tetap menikahi alasannya adalah kecantikan fisiknya. Ia memang ikut halaqah, tetapi ternyata cuma berulang kali & murabbiahnya tahu istriku itu jarang hadir.
Setelah berdoa pada Allah semoga diberikan ketentuan terbaik, balasannya gue menceraikan istriku.Ini keputusan berat, tetapi mesti diambil. Sulit untuk mempertahankan bahtera kalau di dalamnya sarat dgn panasnya api neraka. Tatkala itu anakku yg pertama masih dgn usia sama, yakni tiga tahun & anak keduaku berusia satu tahun—ia terlihat sangat kurus sekali seperti tak terurus.
“Alhamdulillah, ananda jadinya menceraikannya. Ibu senang.” Kata ibuku sambil membenarkan kalimatnya dahulu tatkala melarang menikah akhwat KW itu. Aku hanya tersenyum. Memang ibu merasakan suasana yg tak nyaman meski gue tak pernah kisah. Ibu mencicipi ketidaknyamanan karena tatkala tiap kali berkunjung ke rumahku, istriku selalu pergi begitu saja tanpa argumentasi terperinci.
Berjalannya waktu, kudengar ia sudah menikah dgn laki-laki selingkuhannya. Dan tatkala ia mau menemui anakku—kebetulan hak asuh anak ada padaku, kulihat ia ada pergeseran drastis. Jilbabnya mini sekali, tak selebar dulu. Juga tak menggunakan kaos kaki.
Karena kesibukan kantor, kesannya kedua anakku diasuh oleh keluarga ibuku. Waktu terus berlangsung, & beberapa bulan kemudian akhwat KW, mantan istriku, ia menemuiku.
“Maafkan saya, Mas.” Ucapnya lirih.
Kemudian ia menjelaskan sudah bercerai dgn pria mantan selingkuhannya. Tak usang terucap bahwa ia minta kembali lagi. Rujuk.
Aku hanya menghela nafas. Luka-luka hati banyak belum tersembuhkan. Harus berpikir dua kali bila ingin berumah tangga, terlebih jikalau harus menyalakan api neraka gres di rumah.
Ke depan jikalau gue menentukan perempun untuk anak-anakku, gue tak boleh mentakacuhkan aspek yg sungguh penting: pengertian agama. Jangan sampai akhwat KW lagi. Aamiin. (pm)
*Seperti diceritakan pelaku pada suatu siang di Kalibata, Jakarta Selatan.